Cinta Pada Istri Urakan - Bab 85 Jangan Bangunkan Aku (2)

Laras sedikit geram, ia menutup matanya rapat-rapat tidak ingin terbangun, ia sudah terlalu merindukan Gavin, memikirkannya siang dan malam, tidak mudah untuk bisa memimpikannnya sekali, ia benar-benar tidak ingin terbangun.

Awalnya, Gavin masih membawa hawa dingin dari luar, perlahan, kehangatan tubuhnya mulai terasa, menciumi dari bawah hingga atas.

Akhirnya, lambat laun Laras menyadari ada yang tidak wajar, ini bukanlah mimpi, jelas-jelas sebuah kenyataan.

Tubuhnya meringkuk, tegang, sepertinya sengaja berteriak, "Ah----"

Suara teriakannya terhenti, singkat dan penuh kepanikan, bibir Laras di tutupin oleh telapak tangan yang besar, seluruh tubuhnya ditekan, tidak bisa berkutik.

Sst, ini aku, aku, Gavin," ia berbicara sembari mengigit telinga Laras, "Aku adalah Gavin Pradipta, suamimu."

Laras terlalu terkejut sehingga membuatnya kini benar-benar sadar, namun kehadiran Gavin membuatnya marah sekaligus malu, ia memegangi Gavin dan menahannya menggunakan lutut, dari mulutnya keluar berbagai kalimat kotor.

Gavin menahannya sambil berkata, "Seorang wanita, bisakah emosinya tidak segalak ini?"

"Hah, di tengah malam sarangmu di datangi seekor serigala, apakah kamu tidak marah? Kamu tidak ingin memaki?" Seluruh tubuh Laras dikuasai Gavin, Laras pun menggunakan dahinya untuk diadu dengan Gavin.

"Huft......" Dahinya yang bertabrakan dengan Laras membuatnya pusing, cepat-cepat mengelus dahi Laras, "Tomboi, aku menyerah, aku mengaku salah. Bagaimanapun juga kamu tidak boleh menyakiti diri sendiri."

Laras juga kesakitan, ia menggertakan giginya, "Kamu sungguh menyebalkan."

Keduanya saling mengusap dahi pasangan, meski lampu tidak menyala, hanya terlihat siluet satu sama lain, namun tatapan mata keduanya saling berkomunikasi dengan kuat, rasa yang ada juga semakin lama semakin kental.

Hampir secara bersamaan, mereka saling mencium satu sama lain, menggunakan cara yang paling dasar bagi manusia untuk menyampaikan kerinduannya satu sama lain.

Sekali demi sekali, terus hingga keduanya puas, barulah berhenti.

Saat itu, badai salju di luar akhirnya tampak mereda, angin tidak sehebat tadi lagi, perlahan mulai reda dari amarahnya, butiran salju juga tidak sebanyak tadi, berubah menjadi tenang dan indah.

Laras bersandar di bahu Gavin, tempatnya suka dan duka yang selalu membuatnya merasa aman.

Terpancar kepuasan di wajah Gavin, berbaring dengan malas, mulai merasakan kantuk, tapi tidak rela untuk tertidur, ia menatap rambut Laras, memainkannya di jarinya.

"Rambutmu cukup panjang, jangan memotongnya, begini lebih cantik."

Rambut Laras hampir menutupi seluruh lehernya, sedikit di atas bahu, semakin lama semakin terlihat sebagai seorang wanita, begitu mendengar ini Laras pun tidak terima, ia mengerutkan bibirnya: "Apanya yang cantik, kamu tidak menatapku tapi menilaiku cantik, pasti kamu membohongiku, aku tidak percaya."

"Aku tidak butuh melihat untuk menilaimu cantik atau tidak, yang penting hatiku sudah memahaminya."

"Huft, bohong, aku tidak ingin mendengar gombalanmu."

Gavin memeluknya erat, lalu mulai menggigit telinga Laras lagi, "Kalau kau tidak ingin mendengar ini semua, maka aku akan menyatakannya dengan perbuatan nyata."

"......" Laras langsung terhanyut, "Tuan, lepaskan aku, wanita muda ini masih ingin melihat matahari di esok hari."

Gavin tersenyum, berkata sambil merasa bersalah: "Begitu matahari terbit, aku harus pergi, kali ini, sepertinya harus pergi untuk waktu yang cukup lama."

Laras menjawab dengan bercanda: "Huft, setiap kamu dinas keluar kota selalu berkata tidak tahu kapan akan kembali, memberiku bayangan harus menanti untuk waktu yang lama, hasilnya, bukankah kamu selalu kembali setelah hanya beberapa hari? Huft, aku tidak akan membiarkanmu melihat wujudku yang tidak rela melepaskanmu, aku sangat senang kamu pergi dinas, tidak ada yang mengaturku, betapa indahnya."