Cinta Pada Istri Urakan - Bab 285 Ayahnya Adalah Seorang Pahlawan

Gavin terus mengusap-usap kedua tanganya, merasa diri sendiri sangat kotor, sehingga dia tidak menggandeng tanganya.

Dia pun menjamin: “Hanya sekali ini, ini tidak akan terjadi lagi.”

Laras menatapnya dalam, tergambar di kedua pandangan mata lelahnya menyiratkan sesuatu.

Lagipula dia selalu menjadi orang yang sangat misterius, menyembunyikan sesuatu sedalam-dalamnya, jika dia tak ingin Laras mengetahuinya, Laras tidak akan ada cara untuk mengetahuinya.

Laras melihatnya terus mengusap-usap kedua tanganya, walaupun tanganya sudah memerah masih saja terus diusap, kemudian Laras pun mengeluarkan sebotol air, dan meyarankan: “Mau dicuci?”

“Baiklah.”

Lalu, Laras pun menuangkan airnya secara perlahan dan Gavin mulai menyuci tanganya.

Berdekatan denganya, tercium aroma rokok yang pekat, Laras berinisiatif menahan lenganya, dan dengan khawatir berkata: “Jika kamu memang merokok aku tidak masalah, aku bukanya tidak mengizinkanmu merokok, tapi melihatmu menghisap begitu banyak, aku hanya khawatir padamu.”

Gavin dengan senyum terpaksa mengatakan: “Aku baik-baik saja, hanya saja……”

Dia tidak ingin lagi mencari alasan untuk menenangkan Laras, dia hanya ingin membagikan sedikit masalah yang mengganggu dirinya.

“Kita pergi lihat Bobi.”

“Sekarang?”

“Iya, kebetulan masih sempat sampai sebelum gelap.”

Walaupun Laras merasa waktunya agak sempit, tapi dia sudah menyutujuinya, “Ayo, masih belum terlambat, lebih baik kita buruan.”

Di perjalanan, Gavin mengemudi mobil, begitu keluar dari kota dia langsung ngebut, dengan begitu mereka akan sempat sebelum gelap.

Kepala sekolah kaget ketika melihat mereka, “Tuan Pradipta, Nyonya Pradipta, sudah sangat malam ada apa datang kesini?”

Gavin pun mengibaskan tanganya kepada kepala sekolah dan berkata: “Tidak apa-apa, hanya tiba-tiba kangen sama Bobi, jadi ingin bertemu denganya, semoga tidak mengganggu kalian.”

Kepala sekolah: “Tentu saja tidak, Bobi sedang di ruang belajar, kalian sudah makan?”

Agar tidak merepotkan, Gavin mengangguk: “Sudah makan, Pak, tolong panggilkan Bobi, kami hanya ingin melihatnya saja, kami tidak ingin anak lain terganggu”

Kepala sekolah: “Eiih, baik lah, tunggu sebentar.”

Tak lama, terlihat Bobi berlari kearah mereka, setelah mendengar paman Gavin datang mencarinya, dia sangat senang.

“Paman Gavin,” Panggil Bobi senang sambil berlari kearah mereka yang disambut pelukan oleh Gavin, lalu dia melihat kearah Laras, “Hi bibi, dulu aku tidak tahu kalau bibi istri paman.”

Laras pun merentangkan kedua lenganya berkata: “Sekarang sudah tahukan, ayo sini bibi peluk.”

Reaksi Bobi sangat senang: “Bolehkah? Tubuhku ada sesuatu yang tidak baik.”

Gavin tersenyum-senyum berkata: “Tidak apa, pelukan tidak akan apa-apa, sama saja dengan paman memelukmu.”

Bobi tertawa, tawanya lebih bahagia dan membuka kedua lenganya, berpindah dari pelukan Gavin ke pelukan Laras.

Laras dengan sigap menangkapnya, tak disangka seorang anak kecil bisa seberat itu, “Aiyaa, Bobi kamu gendutan ya?”

“Ya, bibi, Kepala Sekolah berkata kamu menyumbang uang banyak untuk sekolah kita. Sekolah membangun asrama baru dan kualitas makanan ditingkatkan setiap hari, sekarang ada daging di makanan, bagaimana aku tidak tambah gendut?”

Laras menggendongnya atas hal ini pun dengan rendah hati berkata: “Ini semua uang Paman Gavin-mu ya”

Bobi: “Sama saja, uang dari Paman Gavin bukankah saja sama saja dengan uang bibi?”

Laras: “Ya, benar begitu, hahaha.”

Kali ini melihat Bobi, dia jauh kelihatan lebih ceria dibandingkan saat dia sakit kemarin, raut wajahnya sudah jauh lebih baik, Laras sangat menyesal, anak yang begitu baik seperti dia mengapa bisa mengidap virus HIV, jika ayah ibunya masih ada mungkin hati mereka akan sangat sakit.

Bobi mengangguk-angguk, “Benar, benar, kalau begitu aku setiap hari akan makan dua piring nasi.”

Laras: “Anak baik.”

Gavin berjalan mendekat, dan bertanya: “Bobi, kamu kangen sama papamu?”

Pertanyaan ini pun membuat Bobi bingung dan terdiam, begitu juga dengan Laras, dia pun berbisik: “Apa baiknya menyinggung masalah ini sekarang? Bukankah ayah Bobi sudah meninggal lama? Kenapa sengaja membuat kesal anak ini?”

Gavin menggelengkan kepala nya kepada Laras, dengan kedua matanya memberi kode kepada Laras agar tetap diam, lalu dengan pandangan tegas memandang ke Bobi, dan berkata: “Bobi, ayah kamu kemungkinan belum meninggal.”

Dengan pandangan kaget Bobi memandang Gavin, dan dengan pelan bertanya: “Benarkah paman?”

Gavin: “Aku tidak akan berbohong padamu, jika aku tidak pasti, aku tidak akan memberitahumu. Hanya saja tugas ayahmu belum selesai, dia adalah seorang yang sangat bertanggung jawab, sangat pemberani dan seorang pahlawan yang hebat, setelah dia selesai dengan tugasnya dia akan menemuimu.”

Bobi dengan mata berkaca-kaca, dengan rasa tak percaya bertanya: “Benarkah?”

Gavin mengangguk pasti, “Benar, makanya Paman sengaja kesini menemuimu untuk memberitahumu berita baik ini.”

Bobi tertawa lepas, dia belum pernah bertemu dengan ayahnya, hanya mendengar tentang ayahnya dari orang lain, mereka mengatakan ayahnya adalah seorang pahlawan, dan selalu menjadi kebanggaanya.

Laras turut senang, “Wah, Bobi apa kamu senang? Kalo nanti ayahmu telah menyelesaikan tugasnya dia akan datang menemuimu.”

Bobi dengan mata berkaca-kaca, dengan umur yang masih sangat kecil sudah merasakan pahitnya kehidupan, dengan bibir bergetar menahan tangis, seperti ingin menumpahkan semua penderitaan yang telah dipendamnya selama ini.

“Ya.” Kata Bobi sambil megusap matanya, bersikukuh agar tidak menangis.

Tak terasa hanya mengobrol seperti ini waktu sudah berlalu beberapa saat, dan sudah waktunya Gavin dan Laras untuk pamit.

Dalam perjalanan kembali ke kota, Laras memperhatikan pandangan Gavin khawatir, bertanya: “Ayah Bobi belum meninggal, seharusnya kamu senang bukan? Mengapa pandangan matamu kelihatanya khawatir sekali? Apa kamu membohongi Bobi?”

Gavin menggeleng, “Tidak, aku sudah menemui ayahnya, dia masih mengintai markas musuh.”

“Lalu apa yang kamu khawatirkan?”

“Aku kasihan dengan Bobi.” Gavin memilih sebuah alasan dia tidak boleh membiarkan Laras terlalu banyak mengetahui tentang pekerjaanya.

Sambil mengemudi, dia pun menggandeng tangan Laras, “Lapar ? Kita pergi makan dulu, kamu ingin makan apa?”

Laras sangat senang, hanya saja dia khawatir dengan nenek, “Apa kita benar tidak usah pulang ke rumah untuk makan? Pulang larut malam apakah nenek tidak keberatan?”

“Ha, nenek sudah bilang, hari ini nenek sudah peringatkan suruh kita menginap di motel”

“Jangan terlalu memikirkan apa yang telah kamu dengar, Nenek memang orangnya seperti itu.”

“…..” Nenek, kamu sudah mengajari cucumu hal buruk.

Gavin meremas tanganya, dengan suara beratnya bertanya: “Apakah kamu lupa hari ini hari apa?”

“Hari apa emangnya?” Laras tidak ingat, hanya saja ditanya dengan nada dan suara seperti itu membuat hati Laras berdegup kencang.

“Sungguh tidak berperasaan, tahun lalu di hari ini kita menjadi suami-istri.”

Laras seketika teringat, tak bisa mengendalikan ekspresinya, “Oh….”

Novel Terkait

Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu