Cinta Pada Istri Urakan - Bab 195 Musibah Datang

Diikuti dengan suara derungan mobil yang besar, terkadang juga bercampur dengan suara ledakan.

Orang-orang menoleh dan melihat ke sana, hanya terlihat belakang gunung yang sebelumnya berwarna hijau lumut, warna hijau lumut itu mulai retak di bagian pinggang gunung, kemudian meluncur ke bawah seperti kulit yang terlupas.

Badan gunung yang luas dengan semua mahkluk hidup di atasnya, dengan cepat meluncur ke bawah, bunyinya semakin besar, juga menggoncangkan tanah.

“Ah, badan gunung melongsor!!”

Ada orang yang menjerit, seketika, semua orang jadi panik, satu per satu menjerit rusuh seakan seperti lalat yang tak berkepala.

Laras dan Manda, juga tertegun.

Ada apa ini? Siapakah aku? Aku dimana?

Sepasang mata Rendra melotot besar, dirinya tidak berani percaya gambaran yang dilihat oleh matanya sendiri, apa mungkin ini bukan musibah dalam film?

Dia tetap tenang, berteriak dengan keras, “Bawa anak-anak pergi, bawa anak-anak pergi.”

Tepat pada saat semua orang sedang berlari keluar, dia tanpa ragu dengan cepat masuk ke dalam ruang kelas.

Anak-anak di sini, yang paling besar 14 tahun, yang paling kecil hanya 2.5 tahun, ketika musibah terjadi, mereka semua tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Semua orang berlari keluar, pintu yang kecil itu macet, Mon yang menggendong adik berusia 2.5 tahun berada di paling belakang, sama sekali tidak bisa keluar.

Rendra masuk dan langsung menggunakan pukulan untuk membobol jendela, anak yang agak besar bisa melompat keluar sendiri, tapi anak yang agak kecil, terkejut sampai tertegun, selain menangis keras sama sekali tidak bisa berbuat apapun.

Tukang foto yang berlari paling cepat, awalnya masih menggendong di punggungnya barang yang memberinya nafkah, ketika dia berlari sampai di luar dan sekali melihat, batu gunung di belakang sana seperti air mengalir dengan cepat kemari, dia segera membuang kamera, dengan sekuat tenaga berlari ke depan.

Tanah bergerak gunung bergoncang, orang saja tidak bisa berdiri dengan baik.

Ariel menyambar ke depan Rendra dan menariknya, “Ayo, cepat lari.”

Tapi Rendra menjawab saja tidak sempat, langsung menggendong anak dan berlari dengan cepat keluar.

Ariel ikut dengan pria itu berlari dengan cepat keluar, siapa sangka, setelah pria itu menurunkan anak kecil dan menyuruhnya berlari ke depan, mau berputar balik lagi.

“Rendra, apa yang kamu lakukan? Masih tidak segera lari?”

Dan kemudian, Rendra masih tetap tidak menjawab semua perkataannya, dengan kukuh berlari dengan cepat ke dalam.

Juga masih ada beberapa tentara, satu per satu berlari ke sana menyelamatkan anak-anak.

Laras dan Manda yang tertegun tak berhenti terdorong dan tertabrak oleh gerombolan orang, dua kakak adik menggenggam erat sepasang tangan, siapapun juga tidak berlari.

“Manda, berlari kemana?”

“Kamu ke arah mana?”

Laras tak bersuara, dia tidak bisa memutuskan nyawa Manda, detik ini, sebaliknya dia jadi tenang, berkata: “Aku hitung satu dua tiga, kita berdua lari bersama, tidak perlu peduli pihak lawan, hanya berlari dengan cepat ke satu arah.”

“Baik.”

“Satu, dua…. tiga!”

Di waktu yang genting, kedua kakak adik masih tetap kompak sekali, melepaskan tangan masing-masing, melangkahkan kaki menyerbu masuk ke dalam ruang kelas.

Di dalam masih ada belasan anak kecil.

Langit berubah menggelap, tanah bergoncang, rumah bergoyang, batu yang berwarna abu-abu di atap satu per satu terjatuh ke bawah, debu berterbangan di udara.

Anak-anak menjerit berteriak memanggil, tidak ada waktu lagi suara gemuruh gunung belakang terdengar.

Musibah terjadi dalam waktu sekedip mata, ketika Dimas berlari dengan cepat sampai di depan pintu ruang kelas, kusen pintu patah berbunyi “Krak”, gedung kelas yang tidak besar ini takutnya sudah mau roboh.

Di tengah kekacauan, pria itu dalam sekejap kelihatan Laras, dia berlari menghampiri, dengan satu gerakan merebut anak yang ada di tangannya, satu tangan menarik wanita itu, berteriak dengan keras berkata: “Kakak ipar kamu cepat pergi keluar, bagunan ini segera roboh.”

“Baik, baik.” Laras juga takut, di mulut berkata baik, dan juga menganggukkan kepala, tapi mata masih melihat ke belakang.

Di saat dia kelihatan Mon menggendong adik yang berjongkok di sudut menangis dan menjerit dengan tak berdaya, dia langsung melepaskan tangan Dimas, berbalik lari ke arah Mon.

“Kakak ipar…..”

Suara Dimas terkubur oleh suara gedung roboh yang keras sekali.

Dalam waktu sama yang terkubur, juga ada gedung pembelajaran, dan juga orang-orang di dalamnya.

Setelah suara yang sangat keras berlalu, tanah tidak goncang, gunung tidak bergoyang lagi, semua seakan menjadi tenang kembali.

Orang yang meloloskan diri semua ada di luar, sekali menoleh dan melihat, setengah gunung belakang sudah runtuh, tepat sekali menimpa sekolah.

Tembok pembatas dan ruang makan di belakang semua tertimpa habis, seluruh gedung pembelajaran roboh di depan batu besar.

Semua kejadian tidak sampai 2 menit.

Dua menit, semua yang ada di sini, semuanya musnah.

Hutan di pegunungan yang awalnya penuh kehidupan, saat ini sudah berubah menjadi lereng berwarna kuning tanah, sekolah yang awalnya bertembok putih dan berbatu abu-abu, saat ini sudah berubah menjadi setumpukkan runtuhan.

Muka anak-anak dipenuhi dengan debu, berdiri di depan gerbang sekolah berbalik memandang, semua melihat tertegun.

Kalau badan gunung berlanjut meluncur ke bawah lagi, benar demikian, tidak ada orang yang bisa melarikan diri.

Saat ini, di tengah runtuhan, seorang anak kecil yang penuh debu mulai merangkak, dia itu didorong oleh Dimas keluar sebelum gedung roboh.

“Guru.” Suara anak kecil yang muda dan kenyal terdengar dari tumpukan debu dan tanah, anak yang berada puing runtuhan tidak berlari ke depan, sebaliknya berteriak ke belakang, “Guru, guru, kalian segera keluar~~~”

Teriakan ini, semua anak kecil yang terdiam di depan gerbang sekolah, satu per satu berlari kembali, menangis sambil memanggil, “Bu guru, Pak guru ~~~~~”

Beberapa tentara yang berhasil meloloskan diri segera ke depan menghadang, badan gunung ini tidak tentu kapan lagi bisa meluncur ke bawah, masih ada batu berjatuhan seperti itu, terlalu berbahaya.

Kepala sekolah dan beberapa guru segera membawa pergi anak-anak.

“Aku sudah kelihatan ketua rombongan.” Seorang tentara dengan suara tinggi berteriak.

Semua orang berusaha bersama menggali setumpukan batu hancur, di pinggir runtuhan tergali keluar Dimas yang tertimpa dan pingsan.

“Ketua rombongan, ketua rombongan, bangun.”

Dimas perlahan membuka mata, menggeleng-geleng kepala, berdiri dengan bantuan dari tentara.

“Ketua rombongan, kamu….”

Dimas mengangkat tangan memotong pertanyaan tentara, berkata: “Aku tidak apa-apa, Daril, segera hubungi markas, Aryo, “Dia terdiam sebentar, menoleh memandang runtuhan debu yang berterbangan itu, tidak berani membayangkan, “Aryo, Amir, kalian segera pergi lihat orang di dalam sana.”

Kejadian tadi tiba-tiba tak bisa diperkirakan, saat tentara ke sana sudah terlambat, kekuatan utama yang menyelamatkan anak-anak adalah Rendra, Laras, Manda tiga orang.”

Kebanyakan anak-anak sudah keluar, tapi tiga orang ini semuanya masih di dalam.

Kepala Dimas agak pusing, dahi yang terpukul dan terluka mengalirkan keluar darah segar.

Sepasang tangan mengusap wajah, dalam benak teringat kembali janji terhadap bos.

——“Aku mau kamu pasti harus dengan selamat dan tanpa luka membawa wanita itu kembali.”

——“Bos tenang saja, aku Dimas dengan menggunakan nyawaku menjamin, pasti menjaga dan melindungi keselamatan kakak ipar, serta menyelesaikan tugas pengusutan.”

Janji seorang tentara, lebih tinggi dari gunung, lebih dalam dari lautan.

Tapi sekarang ini, hidup mati kakak ipar tidak jelas.

Di dalam sana, ada satu orang adalah kakak sepupu bos, ada seorang adalah istri tercinta bos, dia mau bagaimana menjelaskan ke bos?

Dia mau bagaimana hidup di dunia?

Teringat ini, dia menyeret badan yang terluka, satu langkah demi satu langkah berjalan masuk ke dalam, “Kakak ipar, kakak ipar, apa kedengaran aku yang sedang memanggilmu? …… Pak Rendra, pak Rendra? Apa bisa mendengar perkataanku? ……”

Takut di tempat kejadian terjadi longsor atau runtuh lagi, mereka siapa juga tidak berani berjalan dengan kuat, perlahan dan dengan ringan berjalan di atas batu, dengan tangan kosong menggali batu satu per satu.

Daril dengan segera berlari ke ruang petugas keamanan di gerbang sekolah, suara bicaranya agak sedikit gemetaran, “Markas, memanggil markas, sini adalah sekolah dasar Gunung Sumbing, sini adalah sekolah dasar Gunung Sumbing.”

Sinyal tidak terlalu bagus, di telpon semua adalah suara gaduh, dia tidak kedengaran suara balasan, terlebih tidak tahu lagi orang markas bisa tidak mendengar dengan jelas perkataannya.

Suara gemetarannya terdengar sangat lantang, berkata: “10 menit lalu, gunung di belakang SD Gunung Sumbing tiba-tiba runtuh, seluruh sekolah semuanya musnah, ada beberapa orang terperangkap di dalam, minta pertolongan, minta pertolongan.”

Novel Terkait

Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu