Cinta Pada Istri Urakan - Bab 369 Pertemuan Yang Canggung

Walaupun Manda pada akhirnya mengumpulkan naskah wawancara, tetapi dia masih juga dipecat, alasannya adalah -- tidak ada meminta izin sebelumnya.

Dia sampai ke kantor pemimpin redaksi untuk memberi penjelasan, demam tinggi hingga pingsan bukanlah keinginannya, saat dia bangun hal pertama adalah langsung meminta izin.

Tapi, masih juga tidak dapat merubah akhirnya di mana dia dipecat.

Manda meninggalkan stasiun TV dengan marah, sebenarnya di dalam hatinya telah ada perhitungan, dirinya dipecat adalah masalah waktu, hanya saja hatinya sangat tidak rela, benar-benar tidak rela.

Hasil tes tertulisnya juara satu, wawancara dan tes ulang juga juara satu, pemimpin redaksi pernah menyambut kedatangannya dengan sukacita, bahkan sepenuh tenaga menganjurkannya untuk menghentikan studi pascasarjananya, dan menjanjikan dia setelah lulus sekolah boleh langsung menjadi karyawan tetap.

Tetapi, dengan nilainya yang luar biasa ini juga mudah menimbulkan rasa iri, identitasnya sebagai anak grup Atmaja yang melakukan penggelapan uang juga tidak lama langsung diadukan orang ke pemimpin redaksi.

Sejak itu, dia jelas merasakan sikap editor terhadapnya telah berubah, rekan-rekannya pun bersikap sopan padanya di depan namun menjauhinya di belakang.

Saat dia memeluk sebuah kotak kardus kecil keluar dari gedung stasiun TV, suasana hatinya sudah sangat terpuruk.

Baru keluar tidak jauh dari pintu kaca besar itu, tiba-tiba, sepatu berhak tinggi yang dipakainya seperti tersandung sesuatu di atas lantai, karena tidak seimbang, seluruh tubuhnya pun menyondong ke depan.

“Ah!” dia memeluk kotak kardus dan terjatuh ke lantai, barang kecil dari kotak kardus tersebut terserak berantakan di lantai.

Suasana terdiam.

Saat suara di telinga tiba-tiba terjadi perubahan, atau tiba-tiba berisik, atau tiba-tiba sunyi, merupakan suat hal yang tidak dapat diabaikan orang.

Manda Atmaja baru akhirnya menyadari, dirinya seperti baru saja menerobos ke dalam sebuah peristiwa yang penting.

Lantai di pintu besar tersebut diselimuti karpet merah, dia tepat tersandung karpet merah tersebut.

Di kedua sisi karpet merah tersebut berdirilah ketua-ketua yang berpakaian tegas dan lengkap, dia lihat sekali, semuanya seragam adalah atasan stasiun TV.

Peristiwa yang begitu mewah, bahkan Direktur pun ada, jangan-jangan ada sosok lebih besar yang akan berkunjung?

Dia yang linglung ini tiba-tiba terjatuh di tengah jalan, pandangan seluruh ketua dengan rapi terpana padanya, bahkan semuanya menunjukkan ekspresi panik.

Orang jika mulai sial, satu dunia bagaikan sedang menentangmu, berjalan di jalan saja bisa jatuh hingga mukanya ke tanah.

Manda segera berdiri, “Ah!” Tetapi, kakinya terkilir, berpijak sekalipun terasa sangat sakit.

Oh tidak, sudah jatuh tertimpa tangga, Tuhan Engkau jangan bermain-main denganku boleh tidak?

Ada dua orang sekretaris yang segera datang mengusir, “Kamu dari departemen apa, apa yang terjadi? Direktur Jenderal akan segera tiba, peristiwa sepenting ini kamu datang mau membuat masalah apa?”

Manda menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, dengan segera memungut barang-barangnya.

“Ingin menggunakan cara lain untuk mencari perhatian ya? Wartawan kecil sekarang ini memang punya bermacam-macam taktik, tetapi kamu juga tidak melihat ini peristiwa apa, Direktur Jenderal mau datang loh, masih tidak cepat pergi?!”

Direktur Jenderal ? Manda merasa kaget hingga seluruh tubuhnya berkeringat dingin, pantas hingga Direktur sendiri datang menyambut, memang benar pemimpin besar datang memantau.

Dua orang rekan membantu memungut barang bersama, langsung melemparkannya ke dalam kotak kardus.

Ada ketua yang menggerutu, “Mobil Direktur Jenderal sudah sampai, cepat pergi!”

Kedua rekan sekali mendengar itu, tidak mengatakan apapun, langsung menopang Manda pada kedua sisi, dan menyeretnya ke samping.

Keramaian orang yang bagaikan dinding itu pun dengan cepat menghalang Manda ke luar, dia dan kotak kardusnya yang kacau itu, bagaikan sampah yang dibuang ke luar.

Dia menggigit bibirnya, tidak ada apapun yang dapat dia keluhkan, hanya saja suasana hatinya semakin jatuh terpuruk.

Pada saat ini, sebuah barisan hitam pun dengan perlahan masuk menuju karpet merah, orang-orang pada kedua sisi karpet merah pun mulai bertepuk tangan.

Mobilnya berhenti, pintunya dibuka, Rendra keluar dari tempat penumpang.

Direktur membawa eksekutif teratas di stasiun TV, dengan ramah membawanya ke atas -- berjabat tangan dengan Rendra.

Ini adalah pertama kali sejak Rendra menduduki jabatannya, pertama kali datang untuk memeriksa, siapapun tidak berani lalai.

Wartawan yang memfoto tidak berhenti menekan tombol, merekam adegan yang menggembirakan ini.

Sekumpulan besar orang masuk ke dalam, tiba-tiba, Rendra menghentikan langkah kakinya, menetapkan pandangannya pada pintu masuk.

Hanya terlihat sebuah sepatu hak tinggi hitam yang tergeletak di atas karpet, sepatu kulit yang hitam, karpet yang merah, sangat menarik perhatian.

Direktur segera memerintah orang di sebelahnya, “Cepat singkirkan sepatu itu.”

Tetapi, Rendra sudah selangkah lebih cepat berjalan ke depan, membungkukkan tubuhnya dan mengambil sepatu itu.

Sepatu ini dilihat dari jauh biasa saja, tetapi setelah dilihat dari dekat, dia langsung mengenalnya, Manda juga memiliki sepasang sepatu hak tinggi hitam dari merek ini, itupun Rendra sendiri yang memilihnya.

Rendra tidak berpikir banyak, hanya sekalian melihat sekali hak sepatu tersebut, hak sepatu tersebut sama dengan yang dimiliki Manda, juga terdapat bekas goresan yang dangkal.

Bagaimana bisa begitu kebetulan?

Seperti telepati, Rendra sedikit memutarkan kepalanya, pandangannya jatuh pada bayangan yang kasihan namun akrab di balik kerumunan orang.

Manda…

Dia mengucapkan namanya di dalam hatinya, kedua kaki dengan sendirinya berjalan menujunya.

Manda pada saat ini, satu tangan menggendong kotak kardus, satu tangan menopang dinding, terpincang-pincang sepanjang jalan.

Intinya, kakinya tidak memakai sepatu.

Rendra tidak banyak berpikir, menghalau semua orang di sekitarnya, melangkah besar menuju Manda.

“Sepatumu…” katanya.

Manda terhenti sebentar, lalu perlahan-lahan membalikkan badannya, sekali lihat, pikirannya langsung menjadi kacau.

Ternyata dia yang datang, ternyata dialah orang besar tersebut, dia canggung sampai otot mukanya pun terasa kaku.

Saat ini, pemimpin redaksi dari departemen wawancara pun dengan panik bergegas kemari, berkata: “Direktur Jenderal, maaf mengganggumu, dia adalah karyawan magang yang baru aku pecat, aduh, cara kerjanya tergesa-gesa dan tidak teliti sedikitpun tidak serius, tolong jangan dibawa ke hati.”

Punggung Manda bersandar pada dinding, kepalanya menunduk, berdiri dengan satu kaki, kedua tangan menggendong kotak kardus, seperti seekor burung kecil yang lemah dan sendirian, bergetar dan menggigil di sana.

Rendra mendengar celaan pemimpin redaksi terhadap Manda, dalam hatinya merasa sangat tidak enak.

Tes tertulisnya dibimbing olehnya, wawancara pertamanya juga dipandu olehnya, Manda belajar dengan serius, bahkan dia pun merasa kagum, masih berkata dia tidak teliti, benar-benar tidak masuk akal.

“Kamu jangan bicara lagi.” Rendra memotong kata-kata pemimpin redaksi, tatapan matanya lurus menatap Manda.

Pemimpin redaksi segera terdiam, membungkuk badannya dan menundukkan kepala, terlihat sangat ketakutan.

Rendra menundukkan kepalanya untuk melihat ke arah bawah, kakinya yang memakai stoking berwarna krem, pergelangan kaki kirinya yang membengkak sangat besar, pantasan dia terpincang-pincang.

Dia berkata: “tunggu di mobilku”

Manda: “…”

Pemimpin redaksi: “…”

Manda menggelengkan kepalanya, dari tangan Rendra dia mengambil sepatunya yang satu lagi, dia masih tidak berani menatapnya, “Terima kasih Direktur jenderal, aku bisa berjalan sendiri, mengganggu pekerjaanmu, aku benar-benar meminta maaf.”

Di dalam hati Rendra terasa sakit, ini baru berapa hari, terhadap dia, sudah bersikap begitu jauh.

Dia juga dengan kejam menekan rasa sakitnya yang kehilangan Manda, membius diri sendiri dengan sibuk bekerja, tetapi saat malam tiba, rasa rindu selalu menjeratnya bagaikan wine dan menyiksanya. Beberapa kali dia tidak tahan mengambil HPnya dan menekan nomor telepon Manda, tetapi pikirannya penuh dengan kata ‘Jangan terlalu dekat’ yang dikatakannya.

Saat ini, seharusnya dia tertawa, bukan? Dia menendangnya ke tepi dengan begitu dingin, dengan cepat sudah mendapat balasannya, dimulai dengan kehilangan rumahnya, lalu ibunya pun masuk penjara, sekarang masih kehilangan perkerjaannya.

Tetapi, mengapa hatinya begitu sakit?

“Tunggu aku di mobil.” Dia memerintahkan sekali lagi, bahkan berpaling ke supirnya dan berkata: “Pak Jamet, bantulah dia naik mobil.”

Novel Terkait

Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu