Cinta Pada Istri Urakan - Bab 517 Mengurus Buang Air Besar Dan Buang Air Kecil Tidak Termasuk Apa-Apa

Laras menjalani operasi selama tiga jam lebih, ketika dia didorong keluar, Gavin melihat wajahnya pucat pasi, rasa sakit di hatinya tak dapat diungkapkan.

Sebelum operasi, karena waktu terlalu mendesak, dokter tidak menjelaskan secara detail proses operasi, Gavin baru mengetahuinya setelah bertanya pada Anis.

Anis memberitahunya, prosedur umum operasi ini adalah, pertama harus dorong tulang yang patah ke posisi semula, baru dipasangkan gips.

Dan proses mengembalikan tulang ke posisi semula sangat menyakitkan, banyak orang yang pingsan karena kesakitan.

Sulit dibayangkan, apa yang sudah dialami Laras dalam ruang operasi.

Ketika keluar, Laras dalam keadaan sadar, jelas-jelas dia lemah sekali, tapi tetap menunjukkan senyuman yang tenang.

“Bagaimana, putriku?”

“Pa, jangan khawatir, aku tidak merasakan apa-apa, kamu jangan melewatkan waktu menjemput Nana dan Bobi.”

Romo mengangguk, “Aku tidak akan lupa, sebentar lagi aku akan pergi jemput mereka, langsung pulang ke Mansion Atmaja, kamu tenang saja melakukan pemulihan di rumah sakit.”

“Baik.”

Pandangan Laras tertuju ke arah Gavin lagi, Gavin saat ini, mirip selir yang ada di dalam istana zaman kuno, sedang cemas menanti agar dapat dipilih melayani kaisar.

Tapi, semakin dia tidak sabar, Laras semakin mengabaikannya, bolak-balik menatap dirinya, dia memejamkan mata.

Kamar pasien adalah kamar pasien pribadi dengan kelas teratas di rumah sakit, sama seperti kamar suite hotel, di depan jendela tersimpan beberapa pot tanaman hijau, dalam kehangatan dan kenyamanan bertambah beberapa sentuhan kehidupan.

Romo tidak tinggal lama, begitu supir datang, dia langsung pergi, dia harus pergi menjemput kedua cucunya.

Dalam kamar pasien hanya tersisa Gavin yang menemani, untuk waktu yang lama kedepannya, dia harus berada di sini menemani, dan melayaninya secara pribadi.

“Mau minum?”

“Apakah perlu membantumu memijit kaki?”

“Lapar tidak? Aku pergi belikan sedikit pangsit ke sini?”

“Apakah boleh kamu menjawabku sekali saja?”

Laras benar-benar dibuat pusing, “Kamu bisa tenang tidak?”

Gavin tersenyum, “Bisa, pertanyaan terakhir, apa masih sakit?”

“Tidak sesakit sebelumnya, kamu terus bicara yang membuatku sakit kepala.”

Gavin bergegas menutup mulutnya erat-erat.

Setelah itu Laras sayup-sayup tertidur tapi tidak pulas, ketika dia benar-benar terbangun, di luar jendela langit sudah gelap.

Dan Gavin, sedang tertidur di atas sofa samping ranjang.

Hanya pada saat ini Laras, baru berani menatapnya tanpa peduli apa-apa.

Dalam masa waktu ini dia harus merawatnya, juga harus menjaga anak-anak, dan harus setiap saat membantu Laras, dia pasti sangat lelah.

Laras terus menatapnya, hanya melihat gaya tidurnya yang mendongak, mulutnya menganga, jika ganti orang lain, pasti tidak bisa digambarkan jeleknya, sepertinya dia tidak ada hubungannya dengan kejelekan, tetap terlihat begitu memenuhi standar.

Agak bodoh, agak lugu, tapi lumayan imut.

Mungkin mendapat panggilan dari tatapan mata Laras, Gavin juga bangun, "Aish? Kapan kamu bangun?"

"Lebih awal sedikit darimu."

"Kenapa tidak memanggilku, hanya diam-diam melihatku saja?"

".....siapa yang diam-diam melihatmu."

Gavin tersenyum, kedua siku tangan diletakkan di atas lutut, mencondongkan badan ke depan, langsung mendekat ke hadapannya, “Apa yang dirasakan? Masih sakit?”

"Tidak sakit, kata dokter berapa lama baru bisa keluar dari rumah sakit?"

"Tunggu tulang tumbuh dengan baik, dan lepaskan gips."

"Lalu butuh berapa lama?"

"Dokter takut setelah pulang ke rumah kamu bandel lagi, menyarankan agar sembuh baru keluar rumah sakit, jika tidak sembuh total takutnya nanti jadi penyakit lama maka akan repot.”

Laras tidak membantah, hanya mengucapkan sepatah kata dengan suara rendah, "Baiklah, aku masih ada orang tua dan anak kecil, tidak boleh sampai jatuh sakit."

Saat ini, suster datang untuk mengganti obat, beberapa obat untuk anti peradangan dan penghilang rasa sakit, sekalian bertanya, “Apakah Jenderal Pradipta tahu bagaimana mengosongkan kateter urin?”

"Tahu."

"Baik, ada masalah bisa langsung tekan bel setiap saat."

"Terima kasih."

"Sama-sama, sudah seharusnya."

Suster sudah pergi, Laras yang selalu tidak peka sekarang baru menyadarinya, kalau dirinya masih terpasang kateter urin.

Dia merasa panik dan tidak tenang sambil menatap Gavin Pradapta, dia yang tuang?

Gavin bagaikan cacing pita yang ada di dalam perutnya, sekejap sudah melihat rasa sulitnya, tersenyum mengatakan: “Mengurus buang air kecil dan buang air besar tidak termasuk apa-apa, aku saja tidak keberatan, buat apa kamu keberatan, dibiasakan saja.”

“..........” Woi, aku tidak ingin terbiasa.

——

Perubahan Real Estate Podomoro menggemparkan dunia bisnis, dulu Reni yang sangat bersinar dalam sekejap menjadi seorang tahanan.

Reni karena diduga melakukan pembunuhan berencana dan bukti-buktinya cukup meyakinkan, ditambah identitasnya adalah orang Australia, pihak kepolisian khawatir dia akan melarikan diri keluar negeri, jadi tidak mengabulkan pengajuan pembebasan bersyaratnya.

Kembalinya Romo digambarkan sebagai terjadinya titik balik, awalnya mengira orang yang sudah akan meninggal, mendadak bangkit dan hidup kembali penuh dengan kemuliaan.

Perubahan membuat orang jahat mendapat hukuman seperti ini membuat orang-orang merasa senang sekali dan terus membicarakannya.

Harga saham Real Estate Podomoro, karena kembalinya tim Romo, langkah lebih stabil dan terus naik.

Lana tinggal di Mansion Atmaja, meskipun Romo merasa kecewa dengan mereka, namun tidak akan mengusir putri kandung sendiri, hal seperti ini tidak bisa dia lakukan.

Lana juga tidak bodoh, jika pada akhirnya Reni dinyatakan bersalah dan harus masuk penjara, maka dia hanya bisa mengandalkan Romo.

Hari itu, waktu makan, Lana lama sekali masih belum turun dari lantai atas.

“Kita makan dulu saja, tidak perlu pedulikan dia.” Romo berkata.

Nana mendongak sambil menatap lantai dua, “Tidak bisa, tidak boleh tidak mempedulikan tante, tante akan kelaparan.”

Dalam dunia anak-anak, tante, dan nenek, mereka sama dengan kakek, semua adalah satu keluarga yang tidak bisa terpisahkan.

“Kakek, aku pergi panggil tante untuk makan.” Sambil bicara, kaki mungil Nana tut tut tut berlari ke lantai dua.

Tapi tidak lama, di lantai atas terdengar suara teriakan marah yang keras dari Lana, “Kamu jangan ganggu aku, pergi sana jauh-jauh.”

“Jangan panggil aku tante, aku bukan tantemu!”

“Pergi, pergi sana!!!”

Suara Lana agak serak, disebabkan teriakan sekuat tenaga, ditambah wajahnya yang seram, membuat Nana ketakutan “Wuaaaa” seketika langsung menangis.

Bobi segera meletakkan sumpit, lari pergi menolong adiknya.

Nana sambil menangis, sambil memegangi pegangan tangga selangkah demi selangkah berjalan turun, tubuh mungilnya tidak stabil, sepertinya setiap saat bisa salah injak dan terjatuh.

“Nana,” Romo Atamaja tidak sempat mengambil tongkat lagi, sambil menyeret kaki yang pincang berjalan ke sana, “Pelan sedikit, hati-hati, jangan sampai jatuh.”

Para pembantu juga pergi ke sana, sejak mengetahui perbuatan nyonya dan nona, sikap mereka pada Lana juga jadi datar, berbeda jauh dan tidak sehormat dulu lagi.

Bobi sampai di tempat adiknya, memegang adik turun tangga, Romo langsung menggendong Nana ke dalam pelukan, menepuk punggung anak untuk menghiburnya.

Nana terisak-isak dan bertanya: “Kakek, tante.....tante.....kenapa......tidak suka denganku.....saat aku bermain.......sudah......sudah tidak berteriak keras lagi.....”

“Bukan salahmu, jangan nangis lagi.” Romo mendongak dan marah berteriak, “Lana, kamu turun!!”

Begitu Nana mendengarnya, bergegas membekap mulut Romo dengan tangan kecilnya, “Kakek jangan marahi tante, suasana hati tante tidak baik.”

“........” Hati Romo, terasa sakit dan malu.

Lana selalu di sayangi dan dimanjakan olehnya, sehingga sejak dari kecil sifatnya tumbuh menjadi egois dan sombong, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan anak empat tahun yang lebih bisa memaklumi orang.

Ini adalah kegagalannya sebagai seorang ayah.

Bobi menarik-narik ujung baju kakek, berkata: “Kakek, kita makan dulu, simpankan sayur buat tante, jika tante lapar pasti akan memakannya.”

Romo sangat terharu, anak-anak bahkan tahu apa artinya sekeluarga, namun mereka sebagai orang dewasa, malah menghancurkan ikatan keluarga dengan perebutan kekuasaan, saling memanfaatkan, saling menyakiti.

“Baik, kita makan.” Lana, seharusnya kamu merasa malu.

Novel Terkait

Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
5 tahun yang lalu