Cinta Pada Istri Urakan - Bab 22 Pilih-Pilih Makanan

Bab 22 Pilih-Pilih Makanan

Gavin dengan tenang mendekat kepadanya, memperingatkannya dengan serius : "Aku berikan kau satu lagi kesempatan terakhir."

Suara dan nada bicaranya ini membuat Laras gemetar ketakutan, satu-satunya cara menyelamatkan dirinya hanya dengan berkata sejujurnya, "Masalah ini jika ingin diceritakan akan sangat panjang, intinya adalah kaki Wilson dipatahkan olehku secara tidak sengaja, tetapi dia dulu yang mencari masalah dengan membantu Nadira memukulku, aku tentu saja harus melawan balik, dia tidak mampu mengalahkanku terus mencari orang lain untuk memukulku, makanya bisa seperti sekarang ini, ssshh ....."

Setelah itu dia segera menarik nafas dan bertanya : "Apa kau sudah mengerti?"

Gavin dari awal sudah tahu mengenai seluruh ceritanya, dia tidak perduli terhadap konflik antar mahasiswa di kampus seperti ini, dia hanya ingin mengambil kesempatan ini untuk membuat Laras mengerti kalau hal yang dia lakukan sangatlah kekanak-kanakan dan bodoh.

Dia menatapnya dengan dingin, sepasang matanya yang tajam ditutupi oleh lapisan kabut beku, membuat orang seketika merasa suhunya turun beberapa derajat, juga membuat Laras secara tidak sadar pelan-pelan menaikkan selimutnya sedikit demi sedikit sampai menutupi matanya.

Ada beberapa orang yang memang dirinya memancarkan wibawa, keganasan Laras membuat sekumpulan berandalan itu kagum terhadapnya, bahkan saat berhadapan dengan belasan laki-laki muda, dia tidak pernah kalah, tetapi di hadapan Gavin, dia bahkan tidak berani menatapnya, dia mengakui kalau dia takut padanya.

Takut dia galak, takut dia marah, takut dia memukulnya.

Tetapi yang paling dia takutkan adalah Gavin kecewa terhadapnya.

"Apa yang ditutupi, berani berkelahi tapi tidak berani melihat orang?" Gavin menarik selimutnya turun, wajahnya yang tidak berbentuk itu, benar-benar hebat.

Laras berkata dengan lirih : "Iya, tidak berani...."

Gavin menegurnya dengan tegas dan serius : "Kelak jika terjadi masalah apapun, bisakah kau mencariku dulu? Untung saja ada orang yang lapor polisi, polisi datang dengan cepat, jika tidak aku tidak berani membayangkan akibatnya, apakah kau dengan naifnya mengira kau sendiri bisa mengalahkan mereka semua?"

"Iya." meskipun suaranya kecil, tetapi keyakinannya tidak kecil.

Gavin menghela napas dengan berat, "Otakmu yang selalu lupa jika diberi tahu itu, memang seharusnya dipukul."

"Aku juga lihat keadaan, jika mereka semuanya jago berkelahi, aku pasti kabur, aku juga tidak mau rugi, aku lihat mereka semua hanyalah sekelompok orang tidak berguna makanya aku baru berani maju."

"......kau masih mencari pembenaran."

"Bukankah hanya berkelahi saja, aku sudah terbiasa."

Gavin tiba-tiba berdiri, dikuasai oleh amarah, dia berteriak dengan keras : "Gadis seperti apa yang seharian hanya tahu berkelahi saja?! Jika aku tahu kau masih berkelahi lagi, aku akan membunuhmu!"

Bibir Laras yang ditutup rapat agak bergetar, dari dulu Laras tidak pernah takut terhadap yang jahat, dia sudah bertekat untuk memerangi orang jahat sampai titik darah penghabisan, tetapi kata-kata "Aku akan membunuhmu" yang dikeluarkan oleh Gavin, dia benar-benar tidak mengganggapnya sebagai candaan, dia merasa Gavin benar-benar akan membunuhnya.

Sedangkan Gavin juga terdiam selama 2 detik, kalimat peringatan ini, ayahnya sering mengatakannya kepadanya, tetapi dia tidak pernah memperdulikannya, hanya saja saat dia mengingat wajah menyeramkan ayahnya saat mengatakan kalimat ini, apakah tadi dia juga seperti itu, dia agak sedikit menyesal.

Yang satu penakut, yang satunya menyesal, suasana diantara mereka berdua tiba-tiba sangat canggung.

Tiba-tiba terdengar gangguan dari luar kamar, ternyata adalah nenek yang datang dengan sangat khawatir, begitu masuk langsung berteriak : "Laras, buyutku tidak apa-apa kan? .......Tuhanku, kenapa wajahmu menjadi seperti ini?" Nenek hampir pingsan, untung saja Gavin menahannya, "Vin, apa yang sebenarnya terjadi?"

Laras sudah membatu, yang penting dia sudah berbaring di atas ranjang, lebih baik dia pura-pura mati.

Gavin memapah nenek yang tidak dapat berdiri dengan tegak sambil menenangkannya : "Nenek duduk saja, jangan khawatir dulu."

"Bagaimana mungkin aku tidak khawatir, aku di rumah semalaman tidak dapat tidur!"

"Itu....ada sekelompok anak muda pengangguran minum-minum lalu membuat masalah, tidak sengaja melukainya."

"Tidak sengaja melukainya?" Nenek sangat kaget.

Laras yang masih dalam keadaan membatu juga sama kagetnya.

"Semuanya sudah ditangkap, dua kelompok berkelahi, mereka mabuk jadinya pikirannya tidak jelas, membuat penonton yang disekelilingnya juga ikut terluka. Nenek, kami masih muda, nanti kami pasti bisa punya anak lagi."

Mata Orang tua itu tiba-tiba memerah, hidup sampai umur segini, anak dan cucunya tidak pernah membuatnya khawatir sedikitpun, semenjak suaminya meninggal, sudah lama sekali dia tidak pernah mengalami kejadian yang menyedihkan seperti ini, tetapi ini adalah hal yang paling diharapkan olehnya, duka ini benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Tetapi dia juga tahu, jika janinnya sudah tidak ada, yang paling sedih dan terluka pasti adalah ibunya.

"Laras kasihan sekali, dia tidak bersalah, Vin, kamu kasih tahu pihak kepolisian, harus menghukum para berandalan itu dengan sangat berat."

"Baik." Gavin juga dengan sedihnya mengganguk.

Yang penting Laras masih terluka, dia juga tidak tahu harus menjawab apa, langsung saja dia membelakangi mereka lalu pura-pura tidur, pura-pura mati.

Nenek melihatnya seperti itu, dia mengira Laras terlalu sedih, jadi dia menghibur Laras dengan sungguh-sungguh : "Ras, jangan terlalu sedih, janinmu sudah tidak ada, jangan bersedih lagi dan membuatmu sakit. Laras, kamu tenang saja, jika ada nenek, tidak ada yang bisa menindasmu, tidak ada yang bisa mengusirmu dari rumah Gavin."

Setelah Gavin berulang kali membujuknya, akhirnya nenek setuju untuk pulang terlebih dahulu, di dalam kamar pasien kembali hening.

Laras sudah tidur semalaman, saat ini dia tidak merasa ngantuk sama sekali, dia melirik Gavin dengan menggunakan sudut matanya, melihat dia sedang duduk bersandar di atas sofa sambil memejamkan mata, tidak tahu dia sedang tidur atau hanya istirahat sebentar.

Laras bangun pelan-pelan, tubuhnya bagaikan mesin yang sudah puluhan tahun belum diperbaiki, bahkan hanya untuk bergerak saja susah.

Tetapi untung masih dapat bergerak, dia benar-benar salut pada dirinya sendiri, nyawanya masih bisa terselamatkan.

Gavin adalah orang yang sangat sensitif, angin yang bertiup atau rumput yang bergerak saja dapat membuatnya bangun, melihat dia dengan sangat menyedihkan sedang duduk di pinggir ranjang, naik bukan, turun juga bukan, dia segera kesana untuk memapahnya.

"Kau sudah seperti ini, masih mau melakukan keisengan apa lagi? Apa kau tidak bisa berbaring dengan tenang?"

Laras hanya bisa tersenyum pahit, "Aku mau mengeluarkan mata air sebentar."

"Bicara bahasa manusia!"

"Setiap orang punya panggilan alam."

"......" Gavin merasa canggung, meliriknya sebentar lalu dengan cekatan segera menggendongnya.

"Ahhhh, apa yang kau lakukan?"

Gavin menunduk dan melihatnya, lalu bertanya : "Memangnya aku bisa berbuat apa terhadapmu?"

"Apa yang sudah kau lakukan terhadapku sangat banyak sekali, kau jangan mengira aku tidak tahu kalau kau sudah diam-diam menciumku."

"......"

Perkataannya membuat Gavin bagaikan disambar petir, tubuhnya yang tinggi terdiam dan kaku di tempat.

Rasanya seperti sudah berbuat hal yang tidak baik saat masih kecil, mengira sudah menutupinya dengan baik, tetapi sebenarnya sudah diketahui oleh orang lain.

Tetapi Gavin adalah orang yang pernah menghadapi berbagai macam kesulitan, hal kecil ini tidak dapat mempengaruhinya, dia hanya canggung selama 2 detik, tidak lama kemudian berlalu.

"Kau tenang saja, aku tidak selapar itu sampai tidak pilih-pilih makanan." dia menggendongnya dan melangkah dengan lebar ke kamar mandi yang ada di dalam kamar, lalu dengan gentle keluar dari sana dan menunggunya di depan pintu.

Laras masih terus berpikir apa maksud perkataannya barusan, saat dia melihat dirinya yang ada di kaca, tiba-tiba dia berteriak kencang "Waaaaa!"

Pantas saja dia berkata seperti itu, wajahnya saat ini bahkan masih lebih jelek dibandingkan dengan setan, bahkan dirinya sendiri merasa seperti itu, apalagi orang lain.

Meskipun Laras biasanya bertindak seenaknya, tetapi dia tetap peduli akan wajahnya, dia melihat dirinya melalui kaca, semakin dilihat semakin kesal.

Setelah 5 menit, suara siraman air belum terdengar, tetapi pintunya sudah terbuka, "Si brengsek Wilson di kamar nomor berapa? Aku mau membuat perhitungan dengannya!"

Novel Terkait

More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu