Suami Misterius - Bab 657 Terharunya Sampai Ingin Menangis

Clara Santoso mandi dan mengganti pakaiannya, lalu mengikuti Rudy Sutedja sarapan di lantai bawah.

Menu sarapan sangat sederhana, cenderung mengutamakan kandungan gizi dan rasa yang lebih ringan.

Clara Santoso sudah merasa kenyang setelah makan setengah mangkuk bubur dan satu telur rebus.

Rudy Sutedja mengenakan setelan jas formal, sangat menonjolkan aura mulia dari kelahirannya.

Rudy Sutedja membawa mobil sendiri dan mengantar Clara Santoso ke rumah sakit.

Mobil Maybach yang sangat menarik perhatian berhenti di depan pintu rumah sakit, Clara Santoso baru saja ingin mendorong pintu dan turun dari mobil, namun Rudy Sutedja malah menarik lengannya.

Clara Santoso menoleh ke arahnya, dia mengira Rudy Sutedja ingin meminta ciuman padanya, sehingga dengan inisiatifnya menghampiri dan mengecup ringan pada bibirnya.

Akan tetapi, Rudy Sutedja malahan memeluk Clara Santoso ke dalam pelukannya dengan erat.

“Clara, aku mencintaimu.”

Bibir Rudy Sutedja melekat pada telinga Clara Santoso, lalu berbisik ringan kepadanya.

Suaranya mengandung rasa tidak berdaya dan kepahitan yang dalam.

Clara Santoso hanya merasa sakit hati dan tidak tega dengannya, sehingga mengulurkan tangan dan memeluk pada pinggang Rudy Sutedja.

“Oh, tahulah.”

Clara Santoso menarik nafas dalam, berusaha menggunakan nada santai untuk berkata padanya :”Begitu banyak orang yang mencintaiku, CEO Sutedja harus lebih berusaha lagi ya, kalau tidak maju tandanya sedang mundur, kalau mundur terus akhirnya akan disingkirkan sama sainganmu.”

Rudy Sutedja mendengarnya hanya merasa tidak berdaya,

Clara Santoso selalu sanggup mengalihkan semua topik pembicaraan yang berat menjadi bahan bercanda yang santai.

Rudy Sutedja melepaskan tangannya, dengan biasanya mengulurkan jari tangan dan mengelus ringan pada ujung Clara Santoso, “Pergilah.”

Setelah itu, Clara Santoso mendorong pintu dan turun dari mobil, dia berdiri di samping mobil dan melambaikan tangan pada Rudy Sutedja, lalu masuk ke dalam rumah sakit bagaikan seekor kupu-kupu kecil dan hilang dalam pemandangan.

Suasana pagi hari di rumah sakit sangat ramai, dan juga sangat bising, Clara Santoso akhirnya bisa menyelip ke dalam lift dengan terpaksa.

Clara Santoso mengenakan masker besar yang menutupi sebagian wajahnya dan berdiri di sudut lift.

Setelah itu, Clara Santoso mengikuti kerumunan orang dan berjalan keluar lift, akhirnya dia tiba di lantai bagian kebidanan.

Akan tetapi, Lena Tahar tidak ada di dalam ruangannya, orang yang melayani dirinya adalah seorang suster kecil yang muda.

“Di unit gawat darurat masuk seorang pasien yang sedang kritis, Lena sedang merawatnya, kamu tunggu sebentar ya di sini.”

Di samping suster kecil ada sebaris kursi yang panjang, Clara Santoso duduk menanti di tempat tersebut.

Sedangkan ruangan di hadapan suster ini adalah ruang operasi, berbagai orang yang sedang menanti di koridor ruang operasi tersebut, suasananya lebih ramai dari pusat pembelanjaan.

“Hari ini ada jadwal konsultasi dengan dokter ahli ya ?

Begitu ramai yang sedang antri.”

Clara Santoso bertanya dengan nada datar.

“Orang itu antri untuk aborsi.”

Suster melirik sekilas, lalu menjawab dengan nada biasa.

Kesannya sangat terbiasa dengan kondisi seperti ini.

Clara Santoso dengan refleksnya mengerutkan alis, namun tidak berkata apapun.

Dalam pandangan berbagai orang, kandungan di dalam perut hanya sekedar sebuah janin saja.

Namun dalam pandangan Clara Santoso, jantung janin telah menandakan sebuah nyawa yang hidup, oleh sebab itu, pada saat itu dia tetap tidak sanggup untuk menggugurkan Wilson yang berada di dalam kandungannya.

Clara Santoso sudah bosan menantinya sehingga mengeluarkan ponsel dan bermaksud menelusuri berita, tiba-tiba terdengar suara jeritan suster, “Sheri, kamu waktu dekat ini sedang flu ya, hasil pemeriksaan darah menyatakan infeksi virus, jadi sementara ini tidak bisa melakukan operasi aborsi lagi, kamu pulang saja dulu.”

Clara Santoso dengan refleksnya melirik ke arahnya, awalnya dia mengira hanya sekedar kesamaan pada nama.

Namun ternyata orang yang berdiri di sana adalah Sheri, Sheri berdiri di depan ruang operasi dan sedang membahas dengan suster.

Clara Santoso merasa aneh, Yani Karsena selalu mengharapkan kedatangan cucunya, namun Sheri malah melakukan operasi aborsi di rumah sakit.

Dalam waktu itu, Clara Santoso ingin sekali telepon untuk bertanya kepada Yani Karsena, namun hanya sekedar pemikiran dalam waktu itu saja.

Bagaimanapun ini urusan keluarga Ortega, tidak ada hubungan dengan dirinya yang hanya orang luar.

Seandainya Sheri nekat untuk menggugurkan kandungannya, Yani Karsena belum tentu dapat menghalanginya, malahan mungkin menimbulkan perselisihan antara mertua dan menantu ini.

Clara Santoso mengeluh nafas tidak berdaya, ketika dia ingin menunduk dan melihat kembali pada ponselnya, Sheri telah menoleh ke arahnya.

Meskipun wajah Clara Santoso sedang tertutupi oleh masker yang besar, bahkan telah menutupi sebagian besar bentuk wajahnya, namun Sheri sepertinya telah mengenalnya, dikarenakan tatapan Sheri terhadap dirinya sangat dalam.

Mereka berdua menjadi saling bertatapan, Clara Santoso tidak mungkin berpura-pura seperti tidak mengenal Sheri, sehingga hanya bisa mengangguk padanya, mengisyaratkan sebagai sapaan.

Namun Sheri malah mengalihkan tatapannya dengan tampang tidak berekspresi.

Clara Santoso merasa terabaikan olehnya, sehingga terus menunduk dan memperhatikan ponselnya.

Setelah itu, Lena Tahar telah kembali.

Lena Tahar kembali dengan reaksi penuh amarah.

“Bukannya pasien kritis ya ?

Operasinya begitu cepat selesainya ?”

Clara Santoso bertanya.

“Saat tiba di sini jantung janin sudah tidak ada berdetak lagi, aku juga bukan dewa, tidak ada kemampuan untuk menolongnya.

Lagi pula, akan lebih baik bagi pasien itu kalau anaknya keguguran, dia keguguran karena kekerasan rumah tangga oleh suaminya, pernikahan seperti ini mendingan cepat cerai saja, daripada anaknya juga ikut sengsara.”

Sifat Lena Tahar sangat terus terang, pastinya akan mengomel untuk masalah yang tidak berperikemanusiaan ini, sehingga hampir berkelahi dengan keluarga pasien, akhirnya dia diusir oleh pimpinan unit gawat darurat.

Lena Tahar sambil berbicara sambil berjalan masuk ke ruangannya, lalu mengeluarkan sebuah cincin dari laci meja dan memberikan kepada Clara Santoso.

Clara Santoso menerima cincin dan langsung memasang pada jari tangannya.

Kesannya sangat menghargainya.

Clara Santoso masih ingat kata-kata Rudy Sutedja ketika pertama kalinya dia memakai cincin ini di tangannya.

Rudy Sutedja berkata : Tidak boleh melepaskan cincin ini lagi kalau sudah dipakai.

Pada saat itu yang dipikirkan oleh Clara Santoso adalah : Cincin yang begitu mahal, dia tidak akan mau mengembalikan padanya lagi meskipun cerai.

Clara Santoso merasa sedikit lucu apabila memikirkan masalah ini.

Namun apabila mengingat janji yang dilontarkan oleh Rudy Sutedja dengan nada serius, Clara Santoso tidak sanggup tertawa lagi, malahan ingin menangis karena terharu.

“Aku nanti ada dua jadwal operasi lagi, tidak bisa melayani kamu.

Lagi pula, rumah sakit juga bukan tempat yang baik, lain kali baru berkumpul lagi.”

“Baik.”

Clara Santoso tersenyum menjawabnya, lalu pergi meninggalkan rumah sakit.

Pada saat Clara Santoso menginjak keluar pintu rumah sakit, langsung terima telepon dari Luna, Luna memberitahukan bahwa besok pagi ada jadwal penerbangan ke Eropa, jadwal untuk pemotretan iklan merek permata.

Di dalam telepon, Luna berkata bahwa :”Nona besarku, kamu buat apa lagi, tiba-tiba ada pekerjaan pemotretan iklan permata merek internasional yang jatuh dari langit, harganya sesuai permintaan kita lagi, syarat satu-satunya adalah kamu besok mesti terbang ke Eropa untuk rekam iklan ini.”

Clara Santoso mendengarnya hanya menarik sudut bibir dan tersenyum, senyuman yang menyindir.

Clara Santoso mengakui bahwa kinerja kerja Rudy Sutedja memang sangat cepat, dalam waktu yang singkat ini sudah sanggup mendapatkan alasan yang membuat Clara Santoso harus terbang ke luar negeri.

“Bukannya bagus kalau merek internasional, seandainya mereka tidak keberatan dalam harga, minta saja harga sepuluh kali lipat dari biasanya, suruh Melanie bantu aku membereskan barangnya, besok pagi berkumpul di bandara.”

Clara Santoso memutuskan telepon, dia berdiri di tangga depan pintu rumah sakit sambil menatap keramaian pada jalan raya, tiba-tiba merasa sangat bingung.

Dia tidak tahu tempat kepergian untuk dirinya.

Pada keesokan harinya, jadwal penerbangan Clara Santoso adalah pesawat pagi hari.

Rudy Sutedja yang mengantar dirinya ke bandara.

Setelah itu, Rudy Sutedja terus diperintah oleh Clara Santoso untuk mengganti boarding pass dan meletakkan kopernya.

Setelah selesai semuanya, Rudy Sutedja menemani Clara Santoso menjalankan pemeriksaan keamanan.

Penumpang yang menanti di ruang VIP tidak terlalu ramai.

Clara Santoso berdiri di hadapan jendela besar sambil menatap pesawat yang mulai terbang ke atas langit.

Di dalam hatinya ada rasa kekosongan.

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang pada pundaknya, membawa sedikit beban yang berat namun juga membawa kesan kenyamanan.

Clara Santoso mengangkat kepalanya dengan refleks, lalu menatap Rudy Sutedja yang berdiri di sampingnya.

Rudy Sutedja tidak berbicara, hanya saja tatapan matanya sangat dalam, bagaikan laut yang tidak berujung.

“Rudy Sutedja, seandainya, seandainya Bobo memang sebuah kecelakaan antara kamu dan Rahma Mirah, apa yang akan kamu lakukan ?"

Novel Terkait

Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
5 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu