Suami Misterius - Bab 74 Turut Berdukacita

Evi tidak mengangkat kelopak matanya, sama sekali malas untuk menghiraukannya.

Evi adalah tipe keturunan dari keluarga terkemuka, diam dan elegan, tidak mungkin berdebat dengan anak muda seperti Elaine. Apalagi, dia adalah orang yang berpendidikan, tidak dapat melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar.

“Mau bilang apa terus terang saja, langsung pergi kalau sudah selesai bicara. Aku tidak melayanimu.” Evi mengatakannya dengan muka yang dingin.

Elaine mengenakan dandanan yang sempurna, mengelus rambut keriting yang bergelombang besar, tersenyum dan berkata, “Tante, jangan begitu emosi. Aku datang membawa berita yang baik, tanggal pernikahan aku sama Marco sudah ditetapkan di dua bulan kedepan, aku hari ini datang untuk membagikan undangan untukmu.”

Elaine selesai berbicara, mengeluarkan selembar undangan besar yang berwarna merah dari tasnya, meletakannya diatas kasur Evi. Warna merah yang menyilaukan.

Raut wajah Evi menjadi pucat, telapak tangan yang tertutup dibawah selimut mengepal erat, dan pura-pura tenang.

Dulunya, Rina merebut suaminya. Saat ini, anak perempuan Rina merebut lagi tunangan anak perempuannya. Ibu dan anak di keluarga Muray memang perampok.

“Kalau sampai saat itu aku masih belum mati, tentu saja akan menghadiri. Yani adalah orang yang begitu terus terang, tidak kepikiran dia akan membesarkan anak yang mudah berubah hati seperti Marco. Orang yang seperti itu, tidak pantas dapatkan Clara.”

“Aduh, begitu menjunjung kebenaran, kelihatannya kamu masih belum tahu kenyataannya.” Elaine tertawa dengan sindiran.

“Apa maksudmu ?” Evi kebingungan.

Elaine mendekatinya, suaranya berubah menjadi menusuk dan sindir, “Anak perempuan kesayanganmu tidak kasih tahu ya, alasan Marco tidak mau bersamanya lagi ? Clara bermain dengan lelaki yang tidak jelas, dan melahirkan anak haramnya, Marco tentu saja tidak akan terima wanita bekas yang tidak tahu malu seperti dia.”

“Kamu, kamu sembarangan berbicara!” Suara Evi gemetaran, satu tangannya memegang bagian dadanya.

“Kalau aku benaran hanya sembarang berbicara, buat apa kamu begitu panik.” Elaine lanjut berkata,”Bukannya sebelumnya Clara pernah bilang padamu kalau dia akan sekolah di luar negeri, sebenarnya dia tidak keluar negeri, tetapi karena dipecat oleh sekolahnya karena hamil. Tante, jangan – jangan kamu sama sekali tidak pernah curiga ya.”

Evi terdiam, karena, yang dikatakan Elaine adalah kenyataan.

Apalagi jangka waktunya, kebetulan sekali, lebih kurangnya sepuluh bulan.

“Kamu, kamu.....Aku tidak percaya, anakku tidak akan melakukan hal seperti itu.” Kondisi Evi sangat panik dan emosional, jantungnya berdetak dengan cepat dan tidak terkendali.

Dia memegang bagian dadanya, dengan raut wajah yang sangat sengsara. Berteriak dengan kesulitan, “Dokter, panggil dokter......”

Elaine mundur dua langkah karena ketakutan dengan wajahnya yang pucat, secara refleks dia lari keluar untuk mencari dokter.

Namun, setelah dia keluar dari kamar pasien, tiba-tiba berubah pikirannya.

Dengan kondisi Evi, seandainya terjadi masalah, bukannya akan menyalahkan padanya. Mendingan sekarang pergi saja langsung, lagi pula tidak ada yang tahu kedatangannya.

Elaine ragu sejenak, langsung lari ke arah pintu lift.

Dokter dan suster mendengar suara alarm pemberitahuan di kamar pasien, ketika sampai ditempat, jantung Evi telah berhenti berdetak, masuk ke kondisi koma.

“Langsung lakukan pertolongan.” Dokter berkata dengan panik.

Setelah melakukan pertolongan defibrilasi dan kompres dada, jantung Evi tidak kembali berdetak juga, memejamkan mata untuk selamanya.

Dokter menggelengkan kepala dengan tidak berdaya, memerintahkan suster untuk mencatat waktu kematian, setelah itu, memberitahukan keluarganya.

......

Ketika Clara menerima pemberitahuan dari pihak rumah sakit, dia sedang bersiap-siap untuk menghadiri acara pemilihan pemeran di lokasi syuting.

Penata riasnya telah selesai mendandani, dia masih belum sempat menghapus dandanan di wajahnya, dan langsung mengunjungi rumah sakit.

Ketika Clara tiba di rumah sakit, dokter dan susternya telah keluar, di dalam kamar pasien hanya tersisa seorang perawat yang sedang membereskan kamarnya.

Clara berdiri di depan pintu dengan kaku, pada detik itu, isi otaknya sudah kosong. Dia melihat Ibunya berbaring diam diatas kasur, perawat menyelimutkan kain putih pada tubuhnya, dari atas hingga bawah, dan akhirnya menutupi mukanya.

Sampai akhirnya dokter memberikan surat pemberitahuan kematian ke tangan Clara, dia baru menyadari, Ibunya telah meninggal.

Dia menyandar di tepi kasur, mengulurkan tangan yang gemetaran untuk membuka kain putih yang menutupi wajah Evi.

Dibawah kain putih,wajah Evi sudah sangat pucat, tidak ada sedikitpun tanda kehidupan.

Seluruh tubuh Clara bergemetar, dia mengulurkan tangannya yang masih gemetaran untuk mengelus wajah Ibunya, lalu menggenggam erat tangan Ibunya.

“Ma, Ma !” Dia melontarkan tangisannya, lalu berteriak kuat untuk memanggil dokter, “Dokter, mungkin kalian salah, Ibuku masih belum meninggal, tangannya masih hangat......”

“Nona Santoso, Ibu Anda telah meninggal dunia, turut berdukacita.” Perawat telah terbiasa dengan suasana perpisahan seperti ini, turut menasihatinya.

Clara menyandar di tubuh Ibunya dan menangis, rasanya seluruh tenaganya telah direnggut. Akhirnya hanya bisa membiarkan perawat itu yang bantu menahannya.

Dengan tidak berdaya, dia melihat perawat mendorong pergi jenazah Ibunya.

Ini pertama kalinya Clara ditinggal pergi selamanya oleh orang terdekat, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada selanjutnya, hanya bisa mengeluarkan ponselnya dengan mati rasa, untuk menghubungi Wulan.

“Mama Wulan, Ibuku baru saja meninggal dunia. Apakah aku harus menyiapkan kain kafan untuknya ?” Clara bertanya dengan suara serak.

Wulan juga tidak kepikiran Evi akan meninggal dunia secara tiba-tiba, dia juga menjadi kalang kabut, hanya menyuruh Clara tetap menunggunya di rumah sakit, dia akan mengunjungi langsung.

Clara tidak ingin menunggu sendirian di kamar pasien yang kosong, sehingga, masuk ke dalam lift dan turun ke lantai bawah, bermaksud

menunggu Wulan di depan pintu rumah sakit.

Dia barusan saja keluar dari pintu rumah sakit, sebuah petir yang kilat menyambar di langit, suara petir menggemuruh secara beruntun. Awan yang gelap menekan diatas kepala, menyesakkan orang yang ditekannya.

Clara duduk sendirian di sebuah tangga, membiarkan air hujan yang dingin membasahi tubuhnya.

Dia mengerutkan seluruh tubuhnya, tidak terdengar suara tangisan, suara tangisannya diterkam oleh suara petir yang menggemuruh.

Tetesan air hujan mengalir ke dalam matanya, membuat pandangan di depan matanya menjadi kabur, sama sekali tidak menyadari mobil Maybach yang berhenti di tepi jalan secara perlahan-lahan.

Satu sisi pintu mobil terbuka, kaki panjang seorang lelaki melangkah keluar, memegang payung, pelan-pelan menginjak tangga tersebut.

Clara memendam kepala diatas pahanya, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba, hujan diatas kepalanya berhenti.

Dia mengangkat kepalanya dengan kaku, diatas kepalanya ada sebuah payung besar berwarna biru langit, bagaikan langit biru dengan cuaca cerah.

Payungnya dipegang oleh tangan kuat seorang lelaki, dia menatapnya dengan sepasang bola mata yang hitam, menatapnya dengan pandangan dalam.

Bertatapan yang sejenak, tiba-tiba membuat mata Clara mengalirkan air mata yang deras, mengikuti raut wajahnya, mengalir tanpa henti.

“Rudy, Ibuku sudah meninggal dunia, aku tidak ada Ibu lagi.” Dia menangis sambil berkata, bagaikan seorang gadis kecil yang nyasar, lemah dan tidak berdaya.

Wajah Rudy muncul unsur emosional yang hilang seketika, setelah itu, membungkuk badannya, diam dan mengulurkan lengannya, memeluk dia ke dalam pelukannya. Air matanya telah membasahi baju di bagian dadanya dengan cepat. Membuat Rudy mengasihaninya.

Tubuh Clara dingin dan kaku, namun pelukan dia sangat hangat.

Dia sandar di dalam pelukannya, tidak ingin meninggalkannya lagi.

“Pegang.” Rudy memberikan payung kepadanya, lalu membungkuk pinggangnya, memeluk Clara dan masuk ke dalam rumah sakit.

Seluruh tubuh Clara telah basah, dia duduk di kursi panjang yang berada di lobi rumah sakit dan bergemetar. Rudy menemani di sisinya, Mengenakan jas berwarna abu-abu untuk menutupi tubuh Clara, dia sendirinya hanya mengenakan sebuah kemeja putih bergaris. Seluruh auranya terkesan lebih dingin dan mulia.

Novel Terkait

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu