Suami Misterius - Bab 347 Si Penyanjung Clara Santoso

Rudy duduk di samping, minum teh dengan tenang, juga sudah merasa sedikit tidak tahan dengan Clara si penyanjung ini. Walau nyonya Sutedja melakukan perawatan yang baik, juga sudah tujuh puluh lebih, Clara memujinya hingga seperti gadis kecil, dalam hati merasa bersalah apa tidak.

Rudy sangat khawatir, bagaimana kalau nyonya Sutedja menganggapnya benaran?

Setelah makan siang, Kak Tikar menemani nyonya Sutedja merapikan lemari buku.

Tidak tahu dari mana Rudy mendapatkan sebuah sepeda, membonceng Clara berkeliling di kota.

Sepeda Rudy mengitari sebuah jalanan yang sempit dan berliku, di kedua sisi jalan tertanam pohon ginkgo yang tinggi dan besar. Sinar matahari menembus dedaunan, membuat sebuah bayangan yang beraneka ragam.

Clara duduk di belakang, satu tangan melingkari pinggang Rudy,sangat nakal mengulurkan satu tangan lagi, membiarkan bayangan cahaya bergerak naik turun di telapak tangan, bermain hingga sangat gembira.

Sepeda berhenti di tengah sawah yang ada di lereng bukit, Rudy memegang Clara, duduk bersama di atas gundukan tanah tengah hamparan sawah.

Dilihat dari posisi mereka, kebetulan seluruh kota bisa masuk dalam pandangan.

“Rudy, kamu nyanyikan sebuah lagu untukku saja.” Dia mendadak terpikir ide ini dan mengatakannya.

“Aku bernyanyi untukmu? Bukankah menunjukkan keterampilan di depan ahlinya.” Rudy tersenyum datar.

“Aku hanya ingin mendengar kamu bernyanyi untukku, tenang saja, aku tidak akan menghina nyanyianmu jelek.” Clara berkata dengan alasan kuat.

Rudy: “……..”

Apakah penampilannya terlihat seperti penyanyi yang buruk?

Tetapi, tuan muda keempat Sutedja memang sudah lama tidak menyanyi, terakhir kali bernyanyi saat berada dalam tim militer, menyanyikan lagu-lagu militer.

Dalam situasi dan pemandangan ini, duduk di bawah langit biru dan awan putih bersama gadis yang dicintai, jika dia menyanyikan sebuah lagu《We Are Soldiers》tampaknya juga tidak cocok.

Rudy sangat serius berpikir sejenak, baru terpikir sebuah lagu yang agak cocok. Hanya saja, dia tidak ingat semua lirik dan nada lagunya, nyanyiannya agak terputus-putus.

“Angin di tepi sungai, meniup rambut hingga melayang. Memegang tanganmu, merasa terharu tanpa sebab. Aku hanya ingin membawamu, kembali ke rumah nenekku. Melihat matahari terbenam bersama-sama, hingga kita tertidur. Aku ingin memegang tanganmu seperti ini dan tidak akan melepaskannya, bisakah cinta itu selamanya polos tanpa ada kesedihan. Aku ingin membawamu naik sepeda, aku ingin menonton bisbol bersamamu, ingin seperti ini tanpa kekhawatiran, menyanyi sambil terus berjalan.

Aku ingin memegang tanganmu seperti ini dan tidak akan melepaskannya, apakah cinta bisa sederhana saja tanpa terluka. Kamu bersandar di bahuku, kamu tertidur di dadaku, kehidupan seperti ini, aku mencintaimu dan kamu mencintaiku….”

Clara menopang pipinya dengan tangan, sangat serius mendengarnya. Setelah dia selesai menyanyi, memberi komentar yang tulus, “Nyanyian lumayan bagus. Suara juga tidak buruk, hanya sedikit kaku tidak lancar, kelak lebih sering ke ktv untuk berlatih sudah bisa.”

Rudy tidak bisa menahan tawa, lalu menganggukkan kepala menyatakan setuju.

“Ini lagu apa, cukup bagus.” Clara bertanya lagi.

“Jay Zhou 《Cinta Sederhana》, apa tidak pernah dengar?” Rudy berkata. Ketika dia masih bersekolah, lagu ini sudah populer di seluruh negeri. Di kampus sepuluh pria yang bernyanyi, ada sembilan yang menyanyikan lagu ini.

Raymond juga menjadikan lagu ini sebagai alat ajaib untuk mengejar wanita, menggunakan lirik lagu ini untuk diubah menjadi puluhan surat cinta, diberikan pada puluhan gadis muda, dan mendapatkan puluhan surat balasan, bimbang sangat lama, tidak tahu harus pacara dengan gadis yang mana.

“Lagu Jay Zhou, aku hanya pernah mendengar 《Blue And White Porcelain》, 《Putri Duyung》 dan 《Passing Stranger》.” Clara menatapnya dengan wajah penuh ketulusasn.

Rudy: “……..perbedaan angkatan 1990 dan angkatan 2000.”

“Aku juga angkatan 1990, paman Sutedja.” Clara terkekeh mengejeknya.

Saat suasana hatinya sedang baik selalu suka memanggilnya paman Sutedja, kemudian, mengulurkan tangan putihnya dan sekuat tenaga mencubit dagunya sejenak, penuh godaan.

Rudy meraba dagu yang sudah dicubitnya, tertawa tanpa sadar. “Baiklah, angkatan 1990 yang lahir tahun 1998.”

Dua orang berbincang dan tertawa, matahari juga sudah akan terbenam.

Satu tangan Rudy memegangnya, satu tangan lagi mendorong sepeda. Dua orang melewati jalan kecil yang sempit dan berliku pulang ke rumah.

Setelah menjelang malam kota kecil perlahan-lahan dari yang berisik berubah menjadi hening, hampir tidak ada kehidupan malam apa pun.

Clara awal sekali sudah naik ke ranjang untuk istirahat, Rudy menemani nyonya Sutedja duduk di halaman untuk ngobrol.

“Kenapa tiba-tiba membawa Clara kemari?” Nyonya Sutedja bertanya.

Waktu satu hari, panggilan dia pada Clara dari ‘nona Santoso’ diubah menjadi ‘Clara’. dapat dilihat, pentingnya menyanjung orang.

Rudy tersenyum datar, secara pribadi menuangkan teh, dan diberikan pada nyonya Sutedja. “Bukannya kamu selalu ingin bertemu dengan Clara, jadi aku langsung membawanya kemari.”

“Ingin bertemu kapan saja bisa bertemu, apa masih perlu secara khusus terbang ke sini? Aku yang melihatmu tumbuh dewasa, bagaimana aku bisa tidak memahamimu, kamu tidak pernah melakukan hal yang tidak berguna.” Nyonya Sutedja mencicipi teh, gaya sangat anggun, berkata tanpa tergesa-gesa.

Tangan kanan Rudy menjepit rokok, tangan kiri memegang poci, menuangkan teh ke gelas yang ada di hadapannya sendiri. “Menurut kamu bagaimana dengan dia? Apakah memenuhi kriteriamu dalam memilih menantu?”

Rudy bertanya sambil tersenyum, nyonya Sutedja juga menjawab sambil tersenyum: “Keluarga Sutedja memilih menantu hanya beberapa kriteria itu: sosial keluarga sama, usia selaras, pengertian dan patuh. Tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Tetapi, jika kamu meminta pendapatku, aku hanya ada satu hal: kamu tulus menyukainya sudah cukup.”

“Apa pendapat orang-orang keluarga Sutedja, aku tidak peduli. Aku mendengarkanmu.” Rudy berkata sambil tersenyum.

“Seekor rubah kecil.” Nyonya Sutedja meliriknya sekilas.

Rudy menyanjungnya hingga begitu tinggi, hanya ingin dia membantunya menahan tekanan dari keluarga Sutedja.

“Ma, aku berencana secepatnya menikah dengan Clara. Jika kesehatanmu memungkinkan, aku ingin memintamu secara pribadi memimpin upacara pernikahanku.” Rudy memegang tangan nyonya Sutedja.

Nyonya Sutedja tersenyum hangat, memandanginya, dalam mata penuh cinta dan kasih sayang. “Kamu memang sudah seharusnya menikah. Tenang saja, aku atur sebelah sini dulu sebentar, beberapa hari lagi akan ke kota A.”

“Aku akan utus orang datang menjemputmu.” Rudy berkata.

“Tuan muda keempat Sutedja begitu tulus, bagaimana kalau datang jemput sendiri?” Nyonya Sutedja menggodanya.

“Baik.” Rudy mengangguk sambil tersenyum. “Ma, angin malam dingin, aku akan memapahmu ke dalam rumah dan istirahat lebih awal.”

“Kalau menurutku, kamu yang ingin lebih cepat kembali untuk menemani Clara. Jangan menggunakan aku sebagai alasan.” Nyonya Sutedja mengejeknya, lalu berdiri sambil tersenyum, dan kembali ke kamar.

Setelah itu Rudy juga kembali ke kamar.

Kamarnya berada di bagian kiri, Kak Tikar tahu kebiasaannya, jadi, kamar ini selalu disisakan untuknya, sering dibersihkan, biasanya tidak akan membiarkan orang lain tinggal di sana.

Rudy kembali ke kamar, perabot di dalam kamar simpel dan elegan, tempat tidur besar berukir dari kayu pearwood, di salah satu sisi ranjang besar ada lemari lantai, lemari berbentuk peti harta karun, mewah dengan seni ukir, tentu saja harga sangat mahal.

Di depan jendela ada sebuah meja rias kuno, di depan meja rias ada beberapa perhiasan. Tadi pagi ketika dia datang masih belum ada, mungkin nyonya Sutedja baru menaruhnya, jelas sekali diberikan untuk Clara.

Tetapi, jelas sekali Clara tidak menyentuhnya. Gadis kecil yang ceroboh dan tidak teliti ini, mungkin dia sama sekali tidak menyadarinya.

Di ranjang besar berukiran bunga, Clara terbungkus selimut sutra, sedang tidur nyenyak.

Rudy berdiri di depan jendela, melepaskan jam tangan yang ada di pergelangan tangan, menaruhnya di atas meja rias. Kemudian, sambil melepaskan kancing kemeja yang ada di depan dada, sambil berjalan ke ranjang besar.

Pada umumnya Clara tidak akan tidur terlalu lelap di tempat asing, ketika dia mendekat, dia langsung bangun.

Clara mengusap matanya, langsung duduk di atas ranjang, mengulurkan tangan memeluk lehernya, wajah penuh semangat bertanya: “Apa yang kamu bicarakan dengan bibi? Apakah dia memujiku? Apakah sangat puas terhadapku?”

“Kamu si penyanjung kecil ini, siapa yang tidak menyukainya.” Rudy mengulurkan tangan menjitak keningnya sejenak sangat memanjakan.

Novel Terkait

Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu
The True Identity of My Hubby

The True Identity of My Hubby

Sweety Girl
Misteri
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu