Suami Misterius - Bab 75 Paman

Clara tidak bicara, pandangan mata hanya melayang. Satu lengan Rudy merangkul bahunya, Clara tidak bicara, dia juga sangat diam.

Pada saat ini, yang dibutuhkan Clara bukanlah dihibur, melainkan ditemani. Ada seseorang yang menemaninya, membuat dia merasa tidak terlalu kesepian, membuat dia merasa, dia tidak seorang diri.

Mereka tidak menunggu terlalu lama, Wulan dan Melanie Mintani sudah tiba.

Wulan sama sekali tidak menyangka kalau Evi akan mendadak meninggal, datang terlalu tergesa-gesa, sehingga kehujanan sampai sangat menyedihkan.

“Nona, nyonya dimana? Jelas-jelas operasi nyonya sangat berhasil, juga sudah melewati masa kritis, kenapa tiba-tiba langsung……” Wulan berjalan dengan tidak stabil ke sini, penuh perasaan sedih memegang lengan Clara, suara isak semakin hebat.

Clara berada dalam keadaan setengah mati rasa, raut wajah pucat pasi bagaikan kertas putih. “Bibi Wulan, sekarang bukan waktunya untuk mengatakan semua ini, yang paling penting adalah urus pemakaman mamaku.”

“Nona, bagaimana mengatur pemakaman ini, aku juga tidak terlalu mengerti. Apakah dalam hatimu ada pertimbangan?” Wajah Wulan menangis hingga berantakan, membelalakkan dua mata kosong menatap Clara.

Clara seorang gadis kecil yang hanya berumur dua puluh lebih, tentu saja tidak pernah melaksanakan pemakaman. Akhirnya, hampir semua masalah pemakaman Evi ditangani oleh Rudy.

Evi penganut agama Protestan, upacara pemakamannya dilaksanakan di sebuah gereja kecil, meskipun tidak termasuk agung, tapi dari segala aspek diurus dengan baik.

Hanya saja, Evi saat masih hidup tidak memiliki banyak teman, aula kecil dalam gereja sangat dingin, hanya ada beberapa orang yang datang mengantarnya.

Yani termasuk sahabat paling baik Evi semasa hidupnya, dia menangis hingga hampir pingsan di depan foto Evi.

“Evi, kenapa kamu begitu buru-buru pergi, masih belum sempat mengucapkan perpisahan denganku….aku bahkan tidak bertemu denganmu untuk terakhir kalinya…….”

“Tante, terlalu banyak menangis bisa merusak kesehatan, jika di alam sana mamaku mengetahuinya, juga tidak akan merasa tenang.” Clara memapah lengan Yani, suaranya sangat tenang, hanya serak sekali.

Yani memegang tangan Clara, terisak bertanya, “Ketika mamamu pergi, apakah masih ada pesan lain?”

Clara menggeleng, “Dia pergi dengan tergesa-gesa, bahkan aku juga tidak sempat bertemu untuk terakhir kalinya.”

Kedua mata Clara memerah, air mata tersimpan di dalam rongga mata.

Yani mendengarnya, mulai menangis tersedu-sedu lagi.

Marco selalu menemani di sisinya, membujuk beberapa kali juga tidak berguna. Oleh karena itu, hanya bisa berkata pada Clara: “Akhir-akhir ini kesehatan ibuku tidak baik, aku bawa dia pulang dulu, jika perlu bantuan apa, setiap saat kamu panggil aku akan datang.”

Clara mengangguk kepala, mengucapkan terima kasih dengan datar. Tapi sebenarnya, dia pasti tidak mungkin menghubungi Marco. Dan hal ini, dalam hati Marco juga pasti jelas sekali.

Dia menuntun Yani bersiap untuk pergi, sebelum pergi, masih tidak bisa menahan diri untuk menatap Clara. Raut wajahnya sangat pucat, mata memerah, tetesan air mata jernih tersimpan di dalam mata, penampilannya yang terlihat menangis tapi tidak meneteskan air mata, malah semakin membuat orang merasa lebih menyakitkan dan sedih.

“Clara, orang mati sudah pergi meninggalkan kita dan kita yang masih hidup harus tegar menjalani hidup ini, kamu harus bisa berpikir lebih terbuka. Tante sudah masuk ke surga, juga tidak berharap melihatmu sedih."

"Hidup dan mati sudah diatur tuhan, aku tidak berpikiran tidak terbuka. Hanya saja mamaku mendadak pergi, sebagai putrinya tidak mungkin tidak merasa sedih." Clara selesai bicara, membungkuk, memberi hormat pada dia dan Yani.

Sesuai etiket dan kebiasaan, ini adalah tanda terima kasih dari pihak keluarga kepada orang yang datang melayat, juga berarti mengantar tamu. Sangat jelas, Clara tidak ingin terus berbicara dengannya.

Marco menuntun Yani berjalan keluar gereja, kebetulan langsung bertemu dengan Rudy.

Dengan sifat pemberontak dan sombong Rudy, terhadap orang di level seperti mereka sama sekali tidak layak dipandangnya. Dia dengan punggung yang tegap, melangkahkan kaki panjangnya berjalan menaiki tangga, langsung berpapasan dengan mereka.

Dan bagi Marco, Rudy adalah wajah yang asing. Namun, seluruh tubuhnya yang beraura bangsawan, sungguh membuat orang tidak bisa mengabaikannya.

Tanpa disadari dia menghentikan langkah kakinya, saat menoleh, kebetulan melihat Rudy berdiri di hadapan Clara, tangannya membelai rambut Clara, jari-jari ramping melintasi sudut matanya, menghapus butiran air mata yang baru saja terjatuh.

Tidak tahu apa yang mereka berdua katakan, kelihatannya hubungan sangat mesra. Clara di hadapan pria, sangat patuh sekali.

Yani mengikuti tatapan Marco melihat ke sana, tentu saja juga melihat pemandangan ini, menghela nafas berkata: “Seharusnya Clara sudah memiliki pacar baru.”

“Tidak jelas, kami sudah tidak saling menghubungi.” Marco tanpa perasaan apa-apa menjawab sepatah.

Meskipun dibatasi jarak, Yani malah memperhatikan Rudy dari atas sampai bawah. “Pria muda kelihatannya lumayan baik.”

“Pria jangan hanya lihat penampilannya saja.” Marco menjawab sepatah, bahkan dia sendiri tidak menyadari betapa sinis nada bicaranya.

Yani juga tidak memperhatikan nada bicara putranya, lalu mengangguk setuju, “Kamu cari orang yang bisa diandalkan untuk selidiki, latar belakang keluarga dan watak moral semuanya harus diselidiki dengan jelas baru bisa. Clara masih muda, jangan sampai dibohongi.”

“Eng, aku tahu.” Marco mengangguk dan setuju.

Yani menghela nafas sedih lagi. “Bibi Evi-mu pergi begitu saja, Yanto sebagai ayahnya tidak bisa diandalkan, apalagi ibu dan anak Keluarga Muray lebih tidak memiliki niat baik, Clara sungguh sangat kasihan. Marco, kamu dan Clara sejak kecil tumbuh besar bersama, meskipun tidak ada jodoh untuk menjadi suami istri, dia juga termasuk adik perempuanmu, sudah seharusnya kamu lebih menjaganya.”

Marco menundukkan kepala, menjawab sekali, “Eng.”

Di dalam gereja kecil, pendeta sedang mendoakan orang yang sudah meninggal.

Setelah selesai berdoa, sama sekali tidak melihat bayangan Ezra dan istrinya.

“Tuan muda Sutedja?” Anggota staf berjalan ke sini,penuh hormat bertanya maksud Rudy.

Rudy mengangkat alis sambil melirik Clara sejenak, dia agak menundukkan kepala, terdiam berdiri di hadapan foto Evi, pakaian berduka warna hitam, rambut panjang yang hitam, membuat wajahnya semakin terlihat pucat. Bagaimanapun Ezra adalah satu-satunya adik laki-laki Evi, tidak peduli bagaimanapun juga harus datang mengantar Evi untuk terakhir kalinya.

“Tunggu dulu.” Rudy berkata dengan suara berat.

“Clara, kenapa paman dan tantemu masih belum datang? Menunda waktu pemakaman takutnya tidak baik.” Wulan tidak bisa menahan diri dan mengeluh.

Clara mengangkat dagu kecilnya, ekspresi wajah sangat pucat dan tenang. “Aku sudah menghubungi paman, penerbangan tertunda, dia sedang mengendarai mobil ke sini.”

Setelah dia selesai bicara, lalu melihat ke arah Rudy, “Kamu bicarakan dengan anggota staf, merepotkan mereka untuk menunggu sebentar lagi.”

Rudy mengangguk dengan datar.

Musik berkabung di dalam aula gereja berlangsung lama sekali, Ezra dan istrinya baru tiba setelah perjalanan jauh.

Karena cuaca di ibukota, penerbangan ditunda, Ezra sepanjang malam sudah mengendarai mobil lebih dari sepuluh jam untuk bergegas kemari, sepasang mata begadang hingga sangat merah, pada saat melihat foto Evi, detik itu juga mata yang memerah dalam sekejap mengeluarkan air mata.

Beberapa hari yang lalu, mereka kakak beradik baru saja saling menelpon, Evi senang sekali setelah tahu dia akan dipindah tugaskan kembali ke Kota A, mereka berdua masih mengobrol banyak tentang masa kecil.

Ibu Pipin (Ibu Evi) meninggal cepat, ayah Pipin (Ayah Evi) sibuk dengan usahanya, perhatian kepada mereka kakak beradik sangat kurang. Ezra sejak dari kecil saling bergantungan dan berhubungan baik dengan kakaknya, hubungan antara mereka berdua jauh lebih kuat dibandingkan kakak beradik lainnya.

Jadi, ketika Evi mendadak meninggal, pukulan terhadap Ezra juga sangat besar. Bahkan istrinya juga merasa, kesedihannya agak lewat batas, sepertinya dalam semalam menua sangat banyak.

Dia seorang diri berdiri di depan foto Evi, telapak tangan yang gemetaran, diam-diam membelai peti abu berwarna hitam.

“Paman.” Clara berjalan ke sisinya dengan mata memerah, memanggilnya dengan suara yang tersedak isakan.

Ezra baru mengangkat kepala, melihat gadis ramping dan anggun yang muncul di depannya. Dia baru menyadari, dirinya sungguh sudah pergi sangat lama sekali, keponakan perempuan kecil yang ada dalam ingatannya, sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu