Suami Misterius - Bab 789 Beberapa Hari Ini Jangan Berulah Sembarangan

Wajah Clara merona merah, dia mengulur tangan untuk membuka pakaian di tubuh Rudy, gerakannya sangat berhati-hati dan tidak tenang.

Biasanya lelaki ini sudah bertingkah bagaikan lelaki kehausan, apalagi perpisahan pada kali ini yang sudah begitu lama, namun dia bahkan sanggup menahan untuk tidak menyentuh dirinya, kelihatannya sudah terluka dengan parah.

Clara sama sekali tidak bisa tenang apabila tidak memperhatikan lukanya dengan mata sendiri.

Rudy langsung menahan gerakan Clara dengan satu tangannya, dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan membiarkan Clara berbaring di atas tubuhnya, lalu tersenyum menggoda dan berkata, “Nyonya Sunarya, seandainya kamu begitu mau, aku sekarang sudah bisa memuaskanmu.”

Setelah selesai berbicara, Rudy langsung membalik tubuhnya dengan lincah dan menindih di atas tubuh Clara, setelah itu dia memberikan ciuman yang dalam pada bibir lembut Clara, ciuman Rudy terus berpindah ke bawah dan mengecup pada lehernya yang mulus dan tulang selangkanya yang cantik.

Wajah Clara semakin panas dan merona, dia membuka kedua mata cantiknya dan terus menjerit dengan nada ketakutan :”Rudy, jangan mengusik lagi, kamu sedang terluka.”

Dikarenakan mempertimbangkan luka pada tubuh Rudy, sehingga Clara tidak berani terlalu memberontak.

Setelah itu, pakaian pada tubuh mereka menjadi berantakan, nafasnya juga mulai terengah-engah, bahkan udara di sekelilingnya juga mulai membara, kesannya hangat dan mesra.

Rudy yang telah hilang kendali terus melilit pada tubuh wanita tercintanya, setelah itu langsung terdengar suara yang berasal di luar pintu, suara ketukan pintu yang mengiringi suara pembicaraan nenek Sunarya.

“Rendi, Clara, sudah selesai minum sup kan, aku suruh bibi menuangkan lagi.”

nenek Sunarya berbicara di luar pintu kamar, sementara di dalam kamar, dua tubuh yang sedangg berpelukan menjadi sedikit kaku.

Tatapan Rudy perlahan-lahan beralih dari gairah menjadi dingin, sepertinya merasa sangat tidak berdaya.

Wajah Clara merona merah, dia buru-buru merapikan baju di tubuhnya, setelah itu juga memasang kancing kemeja Rudy.

Setelah kesibukan sejenak, Rudy baru turun dari kasur dan membuka pintu kamar.

Setelah pintu kamarnya terbuka, nenek Sunarya berdiri di luar pintu, tangannya sedang memegang sebuah termos yang berisi sup tulang.

“Nenek.”

Rudy membuka mulut untuk menyapa, dikarenakan efek bermesraan pada barusan, sehingga suaranya masih sedikit serak.

Mata nenek Sunarya langsung menilai Rudy dari ujung ke ujung, lalu berkata dengan reaksi serius :”Kalian harus tahu batas, tubuhnya masih ada luka, beberapa hari ini jangan berulah sembarang.”

Rudy hampir tersenyum keceplosan setelah mendengarnya.

Rupanya tujuan utama neneknya bukan sekedar mengantar sup tulang, malahan untuk mengingatkan mereka agar jangan berulah sembarangan lagi.

Rudy mengambil sup tulang dan kembali ke dalam kamarnya, setelah itu sebuah bantal langsung melayang ke tubuhnya, bantal tersebut sangat lembut, sehingga Rudy sama sekali tidak terasa sakit.

Rudy melirik bantal yang tergeletak di bawah kakinya, setelah mengangkat kepalanya, langsung bertatapan dengan sepasang mata indah yang penuh dengan api amarah.

“Semua salahmu ! Nenek pasti merasa kalau aku yang tidak pengertian dan terus menyeretmu.”

Clara mencibir bibir dan berkata dengan nada merajuk.

“Kalau begitu, apa perlu aku yang klarifikasi dengan nenek kalau aku yang terus menyeretmu ?”

Clara :”……” Dia tidak dapat membantah apapun lagi karena emosi.

Rudy meletakkan termos sup tulang ke hadapannya, lalu berkata dengan nada lembut :”Minum selagi hangat.”

Clara mengulur tangan dan mengambil termos tersebut, setelah itu dia menyendok dan mencicipi sekilas, rasanya lumayan enak dan cenderung tawar, sama sekali tidak berminyak.

“Lumayan enak, kamu coba.”

Clara menyuap ke hadapan mulut Rudy, Rudy yang sangat bekerja sama juga membuka mulutnya.

Setelah itu, Clara perlahan-lahan menyuapkan semua sup tulang ke dalam mulut Rudy, jelasnya sudah menganggap dirinya sebagai pasien yang sedang luka parah.

Rudy sangat tidak berdaya dan menggeleng kepala sendiri, lalu tersenyum dan berkata :”Aku besok mau ganti obatnya di rumah sakit, kamu pergi denganku, sekalian lihat apakah lukaku ada separah itu sehingga tidak sama sekali bisa menyentuhmu.”

Pada saat berbicara, jarinya mencubit ringan pada dagu Clara.

“Ada lagi, kamu sekalian menjenguk Lena, sambil mengucap selamat dengannya.”

“Selamat apanya ?”

Otak pemikiran Clara masih belum sempat menyadari apapun.

“Lena sama Raymond sudah mau menikah.

Raymond sudah mengajukan surat persetujuan pernikahan, kelihatannya bulan depan sudah bisa mengadakan acara.”

Rudy menjelaskannya.

“Serius ?”

Clara merasa sangat kaget setelah mendengarnya.

“Menikah mana boleh tidak serius.”

Rudy mengelus ringan pada ujung Clara, lalu tersenyum keceplosan dan berkata :”Sudah mau menghabiskan uang, masih bisa bersenang ria pula.”

“Tuan Sunarya tidak kekurangan uang juga.”

Clara selesai berkata, langsung menyuapkan sup tulang ke dalam mulutnya.

Rudy menjadi terbatuk karena tersedak.

“Aku minum sendiri saja.”

Rudy mengulur tangan dan mengambil termosnya, setelah itu langsung menghabiskan semua isi di dalamnya.

Setelah selesai minum, Rudy tidur beberapa jam lagi.

Pada saat dirinya sedang menjalani tugas, dia bahkan tidak bisa tidur dalam waktu puluhan jam, dikarenakan apabila dirinya menjadi lengah, bisa jadi akan kehilangan nyawanya.

Oleh sebab itu, ketegangan dan konsentrasi dirinya dalam beberapa hari ini sudah hampir melampaui batasan ketabahan tubuh manusia.

Saat ini dirinya telah pulang ke rumah, seluruh pemikirannya menjadi tenang, Rudy terus ketiduran dan baru bangun hingga waktu makan malam.

Hidangan makan malam sangat lezat, hampir semuanya adalah makanan kesukaan Rudy.

Bola mata nenek Sunarya hampir saja melekat pada tubuh Rudy, dia terus mengambilkan sayur dan menuangkan sup untuk cucunya, lauk yang berisi di dalam piring Rudy juga telah menggunung.

Dengan jarangnya Bahron juga mengambilkan sayur ke dalam piring Rudy, “Waktu dekat ini juga harus memperhatikan pola makan, luka di pundak jangan sampai terkena air, kalau tidak bisa pulih dengan normal, mungkin saja akan mempengaruhi kemampuan penembakan.”

“Aku tahu, ayah,”

Rudy menjawab dengan sopan.

“Tugas kali ini dilaksanakan dengan sempurna, atasan sudah mencatat penghargaan unggulan untukmu, jadi posisi kamu sekarang sudah dapat diduduki dengan stabil.

Ke depannya harus berpikir untuk melangkah maju lagi.”

Rudy mengangguk dengan datar, lalu menunduk dan lanjut menyantap hidangan.

Ardian Sutedja malah mengerut alis dan menatap ke arah suami dan anaknya.

Sebenarnya dia tidak setuju dengan persepsi mereka berdua yang rela mengorbankan nyawa hanya demi masa depan.

“Ini di rumah, waktu makan ya makan.

Jangan membahas pekerjaan lagi, tidak takut gangguan pencernaan ya.”

Ardian Sutedja selesai berbicara, langsung mengambilkan sepotong daging ikan ke dalam piring Wilson.

Wilson memasukkan daging ikan ke dalam mulutnya, dia membuka lebar kedua matanya yang bulat dan menatap ke arah ayahnya.

“Papa, kamu beberapa hari ini tidak pulang ke rumah, kamu pergi menangkap penjahat ya ?

Kalau sudah dewasa, aku juga mau seperti ayah, mengangkat senapan dan memukul penjahat.”

Setelah mendengar kata-kata Wilson, Rudy langsung tersenyum dan mengelus kepala anaknya.

Reaksi wajah Bahron yang serius juga menampakkan senyuman lembut, lalu mengangguk dengan perasaan terharu, “Bagus, memang anak keluarga Sunarya, ada ambisi.”

Suasana makan malam masih tergolong santai.

Setelah selesai makan, Rudy dan Clara menemani anaknya main di halaman rumah.

Meskipun Rudy jarang menetap di rumah, namun Wilson tetap saja paling menyayangi ayahnya, dia sering mengambil topi ayahnya dan memakai pada kepala sendiri, sepertinya ingin berpura-pura sebagai tentara.

“Papa, aku mau diangkat tinggi.”

Wilson mengulur lengannya dan meminta pelukan Rudy.

Anak kecil ini paling senang dengan permainan diangkat tinggi oleh ayahnya.

“Wilson, tidak boleh ya.

Papa sedang terluka.”

Clara berkata dengan reaksi serius.

Wilson meletakkan tangannya, lalu mengangkat kepalanya dan bertanya dengan tampang serius, “Papa terluka karena menangkap penjahat ya ?”

Rudy tersenyum lembut, lalu mengangguk kepalanya.

Setelah itu, Wilson terus menepuk tangan sendiri dan berkata :”Papa adalah pahlawan besar.”

Rudy membenarkannya dengan wajah serius :”Papa adalah tentara dan juga pelayan publik.

Memukul penjahat dan melindungi masyarakat adalah sebuah tanggung jawab, jadi tidak boleh menganggap diri sendiri sebagai pahlawan, mengerti ?”

“Oh.”

Wilson mengangguk kepalanya, seolah-olah telah mengerti dengan didikan ayahnya.

Novel Terkait

Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu