Suami Misterius - Bab 161 Mempercayai Dan Menghargai

Sebenarnya, ada sesaat Clara benar-benar ingin membohonginya, mumpung hanya sembarang menjawabnya: Ya, hari ini ada siaran. Dengan begini, dia bisa langsung pergi.

Namun pikiran itu langsung dihilangkan olehnya. Kalau mereka menginginkan kepercayaan antar sesama, maka terus terang adalah syarat yang paling dasar.

Clara tanpa sadar mengulurkan tangan menarik rok di tubuhnya, tiba-tiba merasa bersalah dan gelisah yang tak terkatakan.

Sebenarnya, kadang-kadang dia lumayan takut pada penganggur di rumahnya ini, meskipun dia juga tidak tahu apa yang dia takutkan. Tetapi tubuh Rudy memiliki aura kuat yang tidak dapat diabaikan.

Clara terdiam untuk waktu yang lama, tatapan Rudy padanya semakin mendalam, dia mengangkat alisnya dan berkata, “Pergi kencan?”

“Ya, telah mengajak Marco.” Clara berkata dengan terus terang.

Kali ini gantian Rudy yang terdiam.

Dia meletakkan koran di tangannya, dan menatapnya dengan tatapan mendalam, semakin tidak berbicara, semakin membuat Clara merasa tertekan.

“Aku hanya mengajak Marco makan bersama, bukan melakukan hal lain.” Clara menundukkan kepala dan bergumam berkata. Hatinya berpikir: “Bocah ini terlalu pelit.

“Apa lagi yang ingin kamu lakukan?” Suara Rudy terdengar dingin.

Clara merasa, kalau terus seperti begini, dia mungkin tidak perlu keluar lagi. Jadi dia merendahkan dirinya, tersenyum duduk di sebelah Rudy.

Dia mengulurkan tangan kanan, dan menegakkan tiga jarinya, bersumpah: “Aku jamin, aku tidak akan melakukan hal bodoh dan juga tidak akan menggodai Marco.”

Rudy tetap berwajah suram, sangat jelas dia tidak yakin dengan jaminannya.

Tak berdaya, Clara hanya bisa menggunakan kecantikannya, lengannya merangkul lehernya, dan duduk di pelukannya. Dia mengedipkan matanya yang polos dan berkata, “Rudy, apakah kamu tidak bisa bersikap lebih percaya diri? Kamu lebih tampan dari Marco, postur tubuhmu lebih bagus darinya, dan yang paling penting kamu lebih setia daripada dia. Bagaimana mungkin aku pergi melakukan hal tidak senonoh dengannya.”

Perkataan ini sangat jelas sedang membujuknya, tetapi sangat berfungsi padanya.

Rudy adalah pria yang pintar, dia tentu tahu Clara tidak akan berdekatan lagi bersama Marco. Kalau mereka ingin melakukan hal tidak senonoh, mereka sudah melakukannya ketika masih memiliki hubungan sebagai tunangan, tidak akan menjadi gilirannya.

Rudy hanya tidak suka mereka bertemu.

Tapi Rudy sangat jelas, kematian Evi adalah sebatang duri di hati Clara, kalau Clara sendiri tidak mencabut duri itu, dia tidak akan dapat hidup tenang selamanya.

Dan Marco adalah sebuah jembatan bagi Clara untuk menuju jalan pembalasan dendam, dia tidak dapat menghindari untuk bergaul dengan Marco. Meskipun hati Rudy tidak senang, namun dia tetap menghargai keputusannya.

Ketika seorang pria mencintai seorang wanita, yang harus dia lakukan selain mempercayainya juga harus menghargainya.

“Aku mengantarmu pergi?” Nada Rudy terdengar tak berdaya.

Clara mana mungkin berani menyuruhnya antar, bagaimana kalau bertemu Marco dan berkelahi? Clara tidak takut prianya dirugikan, dia takut Marco kalau dipukul menjadi cacat akan sulit diselesaikan.

“Aku mengendarai mobil pergi sendiri. Kamu menyuruh Sus Rani menyiapkan sup bebek, malam ini aku pulang menemanimu dan Wilson makan bersama.” Selesai berkata, Clara segera mencium di pipinya.

Setelah menciumnya, baru saja ingin pergi, tangan di pinggangnya tiba-tiba menjerat dengan erat, membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali.

Clara berwajah penuh keluhan, hatinya berpikir: Apa mungkin pria ini menyesal? Dia benar-benar sangat sibuk, tidak punya waktu menemaninya.

Tepat ketika Clara sedang berpikir, bibirnya sudah dicium. Bibir Rudy menciumnya dengan sombong, setelah mencium lumayan lama, baru melepaskannya dengan enggan.

Jarinya yang panjang menyentuh pada bibir Clara yang memerah setelah dicium olehnya, kemudian berkata, “Pergilah.”

Clara segera melarikan diri, pergi meninggalkan apartemen, kalau terus dicium olehnya, dia merasa hari ini dia tidak perlu bertemu dengan orang lagi.

……

Pada saat yang sama, di apartemen Keluarga Santoso.

Elaine sedang terbaring lemah di ranjang besar kamar tidur, wajahnya agak pucat, terlihat lemah tak berdaya.

Ini bukan pertama kali dia hamil, mungkin ayah dari anak berbeda, reaksi awal kehamilan kali ini agak serius, dia sudah muntah selama tiga hari berturut-turut, membuatnya pusing.

Namun, begitu terpikir mengandung anak Marco, dia tidak bisa menahan diri merasa senang. Anak ini memberinya kepercayaan diri untuk kembali bersama Marco lagi.

Elaine muntah sepanjang pagi dan perutnya sudah kosong, seluruh tubuhnya terasa malas, tetapi suaranya tidak kecil sama sekali. “Vivi, Vivi, di mana bubur sarang burungku.”

“Ini.” Suara Vivi datang dari luar pintu. Kemudian, pintu terbuka, dan Vivi masuk ke kamar sambil membawa bubur sarang burung.

“Kamu mati ke mana? Hanya memasak bubur sarang burung, mengapa begitu lama? Apakah kamu sengaja membuatku kelaparan?” Elaine memelototi Vivi dengan pandangan tidak puas.

Vivi juga merasa sedih, semalam dia memasakkan bubur untuk Elaine, dia selalu disalahkan terlalu panas atau terlalu dingin. Akhirnya, hari ini dia menunggu sampai suhu bubur sarang burung itu sedang. Tapi hasilnya, Nona yang susah dilayani ini bilang gerakannya lambat.

Namun, meskipun Vivi tumbuh di tempat kecil, tapi dia sangat pintar, kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa tinggal untuk menjadi mata-mata Clara.

Vivi tidak mambantah kata-kata Elanie, tapi tersenyum berkata dengannya: “Nona Elaine, bubur sarang burung hari ini sangat enak, kamu coba mencicipinya, apakah sesuai dengan keinginanmu.”

Elaine memelototinya dengan tidak sabar, tetapi dia tidak terus mempersulitkan Vivi.

Elaine mengambil bubur dan mencicipinya dengan sendok. Suhunya sedang dan rasanya pas. Dia mengangguk puas dan memakannya.

Meskipun rasa buburnya enak, tapi nafsu makannya terlalu buruk, Elanie memaksa diri memakan setengah mangkuk dan menyuruh Vivi bawa keluar.

“Kamu pergi ke dapur dan melihat apakah ada aprikot atau prem, bawakan aku beberapa bungkus.” Elanie berkata lagi.

Vivi mengangguk dan keluar.

Elaine terbaring malas di ranjang, dia memegang ponsel di tangannya, dan sedang ragu apakah ingin menelepon Marco. Sudah lebih dari seminggu sejak mereka bertemu terakhir kali, kalau dia tidak mengambil inisiatif menghubungi Marco, Marco sama sekali tidak akan menelepon dan mengirimkan pesan teks padanya, alasannya selalu sibuk bekerja.

Meskipun Elaine selalu memaksa diri pura-pura kuat di depan orang, namun perasaannya pada hubungan baru ini selalu tidak tenang. Untungnya, sekarang dia memiliki anak Marco. Anak ini seperti tali, dan pasti dapat mengikatnya kembali bersama Marco.

Telapak tangan Elaine sedang membelai perutnya yang rata, pintu kamar didorong terbuka.

Elaine tanpa sadar menyangka itu adalah Vivi, jadi dia berteriak dengan tidak puas: “Vivi, apakah kamu tidak ingin bekerja lagi! Hanya mengambil brem asam pun bisa begitu lama.”

Baru saja selesai berkata, sebungkus buah prem dilemparkan di ranjangnya, Elaine menundukkan kepala menatap ponsel, dia merasa sangat tidak puas, “Kamu.....”

Sebelum selesai berbicara, kata-katanya langsung tersangkut di tenggorokan, dia mengangkat kepala melihat Rina sedang mengerutkan kening berdiri di tepi ranjang.

Novel Terkait

Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
4 tahun yang lalu

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
4 tahun yang lalu

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu

Yama's Wife

Clark
Percintaan
4 tahun yang lalu

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
5 tahun yang lalu

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
5 tahun yang lalu