Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 490 Asal Menjodohkan?

Kedua orang ini, satunya Jessi, salah satunya lagi adalah orang yang tak kusangka, Aiko.

Aiko menggeraikan rambutnya, kelima inderanya terbentuk di kulitnya yang putih tanpa riasan. Ia memakai gaun khas tiongkok, sehingga terlihat tubuhnya yang masih ramping, sepertinya sama sekali tidak terkena pengaruh setelah melahirkan. Ia terlihat bersih dan lembut. Tatapan matanya yang sekarang penuh dengan cinta, terus memandang ke bayi. Tangannya memegang botol bayi untuk disuapi ke bayi yang menatap dunia ini penasaran.

Ibu dan anak berdua duduk disana, seperti lukisan yang terindah dan terhangat. Tatapanku segera teralihkan ke bayi berwajah kecil itu. Bayi itu terbalut kain berbunga-bunga. Tangan kecil terayun asal, wajahnya yang putih, matanya jernih seperti diriku, membuat hati orang seperti terbersihkan.

Setelah tatapan mataku terjatuh pada bayi yang cantik itu, aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan. Mungkin karena aku berdiri diam disana, sehingga membuat Felicia penasaran. Ia tersenyum dan berkata kepadaku, “Reino, mengapa kamu diam saja disana?”

Ucapannya membuatku tersadar. Aku berdiri disana dengan tidak tenang. “Mengapa...tidak memberitahuku sebelumnya?”

Jessi dan Aiko tidak berbicara, bahkan Aiko tidak mengangkat kepalanya melihatku. Tapi aku dapat melihat matanya yang memerah, sehingga bulu matanya basah, begitupula dengan hatiku.

Mungkin karena takut suasana akan menjadi canggung, Govy langsung membalasku, “Kita ingin memberi kejutan untukmu, jadi tidak memberitahumu.”

Aku memegang erat kantong yang ada ditanganku. Ini sama sekali bukan kejutan, ini adalah menakuti. Sekarang aku hanya takut Felicia menanyakan pacarku yang mana dan mengapa tidka memberikan hadiahku. Tapi yang paling seru dalam kehidupan adalah apa yang ditakuti, akan segera didatangi. Felicia tersenyum dan berkata kepada Jessi. “Jessi, kamu disini juga. Mengapa tidak memberitahuku? Aku tadi membelikan Kakakku pakaian. Kalau aku tahu kamu ada disini, aku akan membelikannya untukmu.”

Sepertinya Felicia dan Jessi sangat dekat, kupikir juga. Saat Felicia tinggal di rumah sakit, Jessi sering menjenguknya. Mengingat ini, aku memandang Jessi penuh rasa bersalah dan berterima kasih. Ia tidak memandangku dan berkata, “Tak apa-apa, melihatmu saja sudah cukup.”

Felicia tertawa dan mengalihkan pandangan kepada Aiko. “Wanita ini cantik sekali, bahkan lebih cantik dari para wanita di dunia hiburan. Kamu pasti pacar Reino.”

Setelah itu, Felicia memandang kearahku dan berkata, “Reino, ku tak sangka kalau kamu juga berkharisma, bisa menemukan pacar yang begitu cantik.”

Seketika raut wajahku penuh dengan kecanggungan. Jessi dan Aiko masih saja tidak berbicara. Govy membiarkan Felicia dan aku duduk. Setelah aku duduk, awalnya aku ingin menaruh kotak perhiasaan yang kubeli disamping, tapi siapa sangka Felicia menunjuk kearah kotak itu. “Kamu bersusah payah untuk memilih hadiah pacar, mengapa kamu tidak memberikannya?”

Memandang Felicia yang sedang melepaskan kacamata hitamnya dan membersihkan tahi lalat, aku pertama kali begitu berharap ia bisa mengurangi kata-katanya. Saat ini, Felicia sepertinya merasakan suasana ruangan sedikit janggal dan bertanya, “Apakah aku salah mengatakan sesuatu? Mengapa kalian tidak berbicara sejak tadi?”

Aku memandang Felicia, lalu memandang Jessi dan Aiko. Akhirnya sekarang mereka menoleh kearahku. Jessi masih saja memandangku cuek, sedangkan mata Aiko memerah, penuh dengan emosi, tapi air matanya begitu saja kembali ke mata. Ia terus melihatku, sepertinya tidak pernah bertemu denganku. Aku juga melihat kearahnya. Aku tahu perasaannya yang sekarang, karena Jessi juga pernah memandangku seperti itu. Aku bisa merasakan hatinya yang sakit dan kasihan dalam tatapan mata itu.

Ia menyesap bibirnya dan tiba-tiba berkata, “Apakah kamu ingin menggendongnya?”

Bayi kita sekarang sudah minum susu. Aiko menegakkan tubuh bayinya dan menepuk pelan punggungnya. Gerakan Aiko begitu lembut, karena takut bayinya tidak nyaman. Seketika bayinya bersendawa, lalu Aiko membaringkannya kembali. Ia baru saja empat bulan, begitu kecil. Saat ia melihatku, tiba-tiba ia tertawa.

Aku segera berdiri. Karena terlalu kencang, kursiku jatuh ke belakang. Aku segera menangkap kursinya. Aku sangat gugup dan takut suara kursi jatuh akan mengageti anakku. Dalam sesaat, aku baru menyadari bahwa aku bukan orang yang tenang, bahkan hal kecil seperti ini bisa membuatku gugup.

Aku dengan cepat maju dan menerima bayi dari tangan Aiko, tapi saat aku berdiri disana, aku baru sadar kalau aku sama sekali tidak bisa menggendongnya. Aku menggaruk kepalaku canggung dan berdiri diam disana, seperti anak kecil yang melakukan kesalahan.

Aiko seperti mengerti dengan apa yang kupikirkan. Ia berdiri dan mengajarku dengan sabar. Di bawah ajarannyam aku menggendong anakku dari pelukannya. Ia sangat pintar. Ia terbaring didalam pelukanku dan memandangku dengan matanya yang besar itu, lalu tertawa senang.

Aku merasa hatiku hampir saja meleleh. Aku ingin menghiburnya, tapi tidak tahu caranya. “Anak pintar.”

Setelah itu, aku merasa semua orang sedang melihat kearahku. Wajahku tidak tahan memerah, begitupula dengan telingaku dan leherku. Kurasa wajahku pasti sangat merah, sedangkan anakku tertawa semakin kencang, entah ia melihat kecanggunganku atau tidak.

Aiko memegang tangan kecil bayi dan berkata, “Sayang, jangan terus ketawa, kalau tidak akan terluka.”

Aku bertanay dengan penasaran, “Apakah tertawa juga bisa terluka?”

Aiko menepuk pelan anakku. Anakku menaruhkan kepalanya di badan Aiko. Aku takut anakku terlalu menggunakan tenaga, jadi mendekatkan tubuhku ke Aiko, sehingga tubuh kita menjadi sangat dekat. Aroma tubuhnya masih saja aroma yang kukenali. Mungkin ia masih menggunakan sampo yang sama. Di kepalanya terpasang jepitan rambut yang polos, hampir sama dengan jepitan yang kuberikan kepadanya.

Ia tidak menoleh kepalanya dan memandang lembut ke bayi sambil berkata, “Benar. Kata orang tua, bayi terlalu kecil, jadi paru-paru belum berkembang dengan baik, jadi akan terluka kalau tertawa terlalu kuat.”

“Ternyata seperti itu. Aku sama sekali tidak mengerti.” Aku memandang anakku, rasanya manis seperti madu. Aku pikir hal-hal yang tidak kuketahui masih ada banyak. Melihat anakku yang sedang bersenandung, aku tiba-tiba ingin belajar cara untuk merawat anak. Aku ingin menjadi Ayah yang hebat dan itu pasti adalah hal yang paling bahagia.

Otakku tiba-tiba terlintas banyak gambaran aku bersama dengan anakku, lalu tidak tahan tersenyum. Saat ini, ucapan Felicia seketika memecahkan hatiku yang senang dan tenang. Ia mengatakan, “Ku tak sangka kalau kamu sudah menikah. Anakmu cantik sekali, bolehkah aku menggendongnya?”

Felicia langsung mendekat dan memandang anak dipelukanku. Tatapan matanya penuh dengan bahagia dan kagum.

Aku langsung menoleh ke Aiko. Aiko memandang Felicia dan berkata, “Nona Felicia sepertinya salah paham. Kita tidak menikah, pacarnya adalah Nona Jessi, bukan aku. Aku adalah kakaknya.”

Sebuah kalimat membuat hatiku seketika terjatuh. Felicia berkata dengan merasa bersalah, “Maafkan aku. Aku tidak tahu. Semua salah Reino, ia tidka menjawab pertanyaanku, sehingga aku salah mengira. Aduh, sangat canggung.”

Felicia mengeluarkan lidahnya bandel. Aiko berkata, “Tak apa-apa, yang penting jangan salah lagi lain kali.”

Felicia bertanya apakah ia boleh menggendong bayinya. Aiko mengangguk. Felicia juga tidak sungkan, lalu segera ‘merebut’ bayi dariku. Tapi ia juga tidak bisa menggendong, lalu Aiko mengajarnya. Saat ia menggendong bayinya, ia sangat senang dan berkata, “Ia benar-benar sangat cantik. Tapi sepertinya tidak terlalu mirip denganmu.”

Aiko membalas dengan cuek, “Iya, anakku lebih mirip dengan Ayahnya.”

Felicia tertawa dan berkata, “Kalau begitu suamimu pasti keren, kalau tidak bagaimana mungkin bisa melahirkan anak yang begitu cantik. Oh iya, apakah ia punya nama?”

Aiko menggelengkan kepalanya dan menusuk pelan pipi bayi. “Masih belum. Keluargaku sana ada adat istiadat, kalau rumah ada paman, maka anak itu harus diberikan pamannya, agar anaknya mudah dirawat.”

Aku tahu dunia ini tidak ada peraturan yang seperti ini, hanya saja Aiko ingin aku yang memberikan nama untuk anak ini, jadi asal membentuk ‘kebohongan’ seperti ini. Apakah aku hanyalah paman dari bayi itu? Padahal aku adalah Ayah dari anak itu. Aku ingin menjelaskan, tapi Aiko sepertinya sudah tertebak dengan apa yang ingin kukatakan. Ia memandangku cuek. Tatapan cueknya menusuk hatiku, saat ini aku baru menyadari satu hal, bahwa ia tidak pernah memaafkanku. Ia bilang ia ‘Kakakku’ kepada orang, hanya demi untuk berbohong, agar orang lain tidak salah paham hubungan kita berdua.

Aku menatap sisi samping wajahnya yang begitu cantik dan lembut, hatiku sangat tidak enak.

Felicia melihat diriku dan tertawa sambil berkata, “Paman? Kalau gitu bukankah Reino? Reino, cepatlah kamu berikan nama untuk keponakanmu.”

Aiko memegang tangan dan sudut bibirnya terangkat, tanpa melihat diriku. “Meskipun kamu bukanlah adik kandungku, tapi kita tidak perlu begitu banyak mengaturnya. Kamu adalah Paman kandungnya, berikan nama untuknya. Ia akan senang, jika mengetahui namanya diberikan olehmu.”

Aku memandang mata jernih anakku, entah ia menyadari sesuatu atau tidak. Ia juga terus menatapku. Aku menggandeng salah satu tangannya dan berkata, “Aku adalah orang biasa, tidak bisa memberikan nama yang baik. Anak ini adalah pemberian terbaik dalam hidupku. Aku rela menggunakan seluruh nyawaku untuk menukarkan ketenangan hidupnya, kebahagiaannya. Semoga selamanya tidak ada banyak kekacauan. Kalau gitu namanya ‘Cecilia’.”

“Cecilia.” Aiko menyebut pelan nama anaknya, lalu tersenyum bahagia dan matanya berkaca-kaca. Ia menggendong anaknya dari Felicia dan berkata, “Nak, kamu lain kali dipanggil ‘Cecilia’. Apakah kamu menyukai nama ini?”

Anaknya tiba-tiba tertawa, seperti sedang membalas pertanyaan Aiko.

Aiko menggendong anaknya kembali ke tempat. Tatapanku juga ikut terus teralihkan ke mereka. Setelah Aiko terduduk, Felicia juga kembali ke sampign Govy. Baru saja ia duduk, ia menepuk tangannya. Ia berkata dengan terkejut, “Bentar, kalau ia adalah Kakak Reino, berarti pacar Reino itu kamu?”

Felicia melihat kearah Jessi. Jessi berkata dengan cuek, “Aku pacarnya atau bukan, harus aku yang menentukannya, bukan ia.”

Felicia dengan semangat berkata, “Bolehkah aku menganggap ucapanmu bahwa kamu boleh setuju untuk menjadi pacarnya? Kalau begitu, apakah Kakakku masih punya kesempatan? Jessi, kamu juga boleh lihat Kakakku. Kakakku sudah menyukaimu sejak dulu.”

Novel Terkait

Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu