Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 279 Tidak akan Menyesalinya

Aiko bilang bahwa lukaku masih belum sembuh dan juga berkata bahwa ikan yang amis ini dia dapat menanganinya. Inilah kekuatan para wanita.

Aku betulan memiliki luka di bahuku. Beberapa hari yang lalu Claura menembak disana dan sekarang masih belum sembuh. Aku pun harus menghindari untuk mandi, apalagi menggunakan tenagaku. Tapi, ini bukanlah alasan mengapa aku kabur. Sebelumnya, aku telah dilindungi oleh Aiko karena aku tahu bahwa diriku tidak memiliki kemampuan, tetapi sekarang ini berbeda. Aku pun sudah memiliki kemampuan untuk melindungi diriku. Demi melindunginya, aku tidak ingin berdiri dibelakangnya lagi. Ini mungkin merpakan harga diri setiap pria.

Aiko seakan-akan tahu apa yang sedang kupikirkan, memandang pria itu dan berkata, “Bagaimana jika aku bertarung denganmu?”

Si kurcaci ini mundur satu langkah kebelakang, membuang pisau belati tersebut ke sebelah ranjangnya Nody. Dia berjalan dari ranjangnya ke tempat yang kosong dan berkata, “Baiklah.”

Aku mengerutkan alisku dan berkata, “Lawanmu adalah aku.”

Dia pun juga tidak melihatku dan berkata, “Aku tidak akan melawanmu. Pertarungan yang tidak adil tidak akan membawakan kerhormatan bagi pemenangnya. Saat itu tiba, kau akan nangis dan akan berkata bahwa kamu kalah karena kamu masih terluka.”

Aku tidak menduga akan mendengarkan balasannya yang ini. Apa sebenarnya identitas guru Fuiz? Ada awalnya ketika Aiko terluka, si tua itu sama sekali tidak menunjukkan setengah belas kasihannya. Namun, orang ini menolak bertarung denganku karena aku masih terluka. Karakter orang ini jauh lebih ramah dibandingkan gurunya. Aku pun sekilas melihat Aiko yang walaupun masih memakai baju piyama Paul Frank, dia pun masih tetap terlihat cantik, sangat mencurigai orang ini ingin mengambil kesempatannya. Pikiran ini sungguh menggangguku. Aku pun turun dari ranjang dan berkata, “Aiko, kalahkan dia dalam sepuluh gerakan, jika tidak aku yang akan maju.”

Aiko dengan datar berkata, “Baiklah. Kau baik-baik melihatnya ya.”

Aku mengangguk kepalaku dan berkata: “Baiklah, aku akan baik-baik melihatnya.”

Aiko pun memandang lawannya dan bertanya, “Namamu?”

“Elbert,” kata pria itu.

“Aiko,” balas Aiko dengan nada datar.

Setelah dia selesai mengatakannya, kedua orang tersebut mulai saling berhadapan. Pada awalnya, mereka pun tidak ada yang bergerak. Aku merasakan suasananya membara-bara di udara. Aku pun dengan sabar menunggu. Ketika aku mengambil keluar rokok untuk dinyalakan dengan korek api, Elbert akhirnya tidak dapat menahankan dirinya dan menerobos kea rah Aiko. Pertarungannya sungguh sangat liar, tidak seperti Fuiz yang beraturan. Aku pun mau tidak mau terus bertanya-tanya apakah si tua Fuiz benar-benar mengajariku dengan serius.

Elbert bertarung dengan pukulan hook kiri-kanan. Aiko pun tidak terlalu cepat maupun lambat. Dia menggunakan gerakan Delapan Diagram Taiji Palma untuk menghadang serangannya Elbert. Diwaktu yang bersamaan, dia memanfaatkan serangan saingannya untuk membalasnya dan Elbert pun mundur beberapa langkah kebelakang. Dia pun mengambil kesempatan ketika lawannya terhuyung kebelakang untuk berjingkat-jingkat dan dalam sekejap mata bergegas ke hadapannya Elbert. Sebuah gerakan bohongan menghadap kedepan membuat Elbert langsung mengulurkan tangannya untuk menahan serangannya. Alhasil, tangannya tiba-tiba bergetar karena menerima seluruh serangannya. Dia pun berjongkok dan dengan sebuah tendangan sweep menghadap Elbert.

Reaksi Elbert pun sangat cepat. Dia segera meloncat dan menghindari serangan Aiko. Siapa yang akan sangka Aiko tiba-tiba bangkit berdiri dari lantai dan meninju bagian perutnya. Seketika dia mundur beberapa langkah dan Aiko pun menendang dengan sekuat-kuatnya. Tubuhnya pun menyamping, satu tangannya menahan di ranjang dan dengan paksa memutarkan badannya ke 180 derajat. Kakinya Aiko dengan rapat menyapit lehernya Elbert dan dengan tenaga memutarkannya ke satu sisi. Elbert pun jatuh berlutut.

Aiko pun tidak berpikir untuk berhenti. Melainkan, langsung bergegas ke hadapannya Elbert. Ketika dia ingin menonjok Aiko, Aiko meraih lengannya dan dengan cepat mengangkat dan membuangnya keluar. Elbert yang memiliki kekuatan yang besar tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Aiko yang tersimpan kekuatan yang menakutkan. Aiko pun mengambil pisau belati yang terdapat di ranjang dan menempelkannya ke lehernya Elbert sambil berkata, “Kamu telah kalah.”

Aku pun menelan air ludahku dan melihat Aiko yang berjongkok disana dengan pandangan yang dingin, diam-diam membandingkan kekuatan dia dengan dirinya di dalam hatinya. Kemudian dengan sakit hati aku menyadari bahwa aku sama sekali bukanlah lawannya. Benar juga, bagaimana mungkin aku dapat mengalahkannya? Dony Yun pernah bilang jika ingin berbicara mengenai kekuatan, Aiko lah wanita yang terbaik di Tiongkok ini.

Elbert dengan datar berkata, “Aku mengakui kekalahanku. Jika kamu ingin membunuhku, bunuhlah!”

Aiko sama sekali tidak melakukannya melainkan memandangku, seakan-akan bertanya-tanya apakah aku ingin membunuhnya atau tidak. Aku pun berpikir-pikir dan berkata, “Kamu pergilah.”

Elbert pun tidak menduganya. Aiko pun melemparkan pisau belati tersebut ke sisinya dan pelan-pelan datang ke hadapanku. Dia pun berjuang menutupi perutnya dan bangkit berdiri dari lantai. Dengan terengah-engah berkata, “Kamu beneran tidak berencana untuk membunuhku?”

Aku menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak salah lagi, aku merasa dia sekarang seharusnya sudah siap untuk meninggalkan Nanjin, bukan? Jika kamu tidak mengikutinya, siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi dengannya ketika dia seorang diri berada di tempat yang asing, bukan? Kamu pergi pun, setidaknya dapat saling menjaga diri dengannya.”

Elbert pun sedikit terkejut dan melihatku sambil bertanya, “Mengapa? Bukankah kamu benci dengan nyonya muda?”

Aku dengan datar berkata, “Kamu cukup katakan apakah kamu ingin pergi menemaninya atau tidak. Jika tidak, sekarang aku juga dapat mengambil nyawamu. Jika iya, kamu sekarang boleh pergilah.”

Elbert pun dengan segan mengucapkan kata “terima kasih” kepadaku, memungut pisau belatinya dan memutar badannya untuk pergi ke arah jendela tersebut. Kemudian, dia pun loncat dari balkon dan menghilang dari pandanganku.

Aiko pun tiba-tiba berkata, “Kamu masih saja memperlakukan Claura dengan baik.”

Aku pun mengangkat alisku, menunduk kepalaku memandang dia. Pandanganku pun jatuh ke bibirnya yang berwarna merah muda dan dengan lembut berkata, “Kamu iri?”

Dia pun mengigit bibirnya dan berkata, “Tidak.” Dimana kata ini berlawanan dengan isi hatinya.

Aku pun tersenyum dan berkata, “Itu artinya iya. Aku mengaku bahwa aku khawatir dengan Claura, tapi itu bukanlah khawatir mengenai apa yang sedang dia lakukan diluar sana. Yang terpenting adalah aku khawatir apa yang akan dilakukannya. Aku takut dia akan diam-diam melakukan sesuatu dimana akan merugikan kita. Hari ini aku melepaskan Elbert. Kupikir untuk kedepannya dia akan mengingat kebaikanku. Mungkin pada saat itu, dia juga akan sangat membantu.”

Aiko pun melihatku dengan terkejut dan berkata, “Ternyata kamu berpikir demikian. Tapi aku merasa bahwa Elbert mungkin tidak akan membantumu. Coba kamu pikirkan, gurunya meninggal pun dia tidak pergi membalas dendam. Tuan-nya Gunawan meninggal pun, dia juga tidak pergi membalas dendam. Hanya karena kamu membuat Claura sakit hati, dia pun datang kemari untuk membunuhmu. Jika kamu melihat, dia adalah orang yang lebih mementingkan perasaan dibandingkan keadilan. Bagaimana mungkin kamu dapat mempercayainya, bukan?”

Saat membicarakan ini, Aiko memandangku dan berkata, “Jadinya, kamu melepaskannya karena sebenarnya kamu masih perhatian dengan Claura. Mungkin kamu tidak bersedia untuk mengakuinya, tapi di matamu, Claura bukanlah wanita yang membuatmu membencinya. Mungkin dirimu sendiri tidak tahu posisi apa yang dia tempati di dalam hatimu.”

Aku dengan lembut mengelus pipinya Aiko. Satu tanganku memegang pinggangnya dan dengan pelan mendorongnya ke dinding. Dia mengangkat matanya memandangku. Aku dengan lembut berkata,

“Kak, jangan sembarangan memikirkannya. Aku mengakui bahwa aku beneran memiliki sedikit perasaan ke Claura, tapi itu karena adikku, karena aku telah berjanji kepadanya. Bagaimanapun juga, aku tidak akan melawan Claura. Adikku sudah pergi. Yang paling dia prihatin adalah aku dan Claura. Aku tidak ingin membuatnya sedih ketika dia barusan sudah pergi.”

Berbicara mengenai adik perempuanku, Aiko pun menjadi sedikit lemas. Matanya memandang kebawah dan dengan pelan berkata, “Maafkan aku, aku seharusnya tidak boleh berpikiran terlalu sempit.”

Setelah selesai mengatakannya, dia dengan gelisah berkata, “Gambaranku yang saat ini pasti sama dengan wanita yang lainnya. Terlihat tidak masuk akal, bukan?”

Aku menggelengkan kepalaku dan dengan pelan berkata, “Sedikitpun tidak. Aku pun berharap kamu setiap hari dapat seperti ini. Kamu yang seperti ini sangat lucu, juga sangat nyata sehingga membuatku tidak dapat menahan diriku.”

Aiko mengangkat matanya memandangku, mati kami pun saling berhadapan. Di saat ini, kita hanya memiliki satu sama lain di mata kami. Aku perlahan-lahan mendekatinya, mencium bibirnya yang lembut itu. Sebuah aroma yang ringan membuatku semakin serakah menginginkan bibir merahnya itu dan bagian belakangnya yang seperti sorga.

Tangannya Aiko dengan erat memegang dadaku, menerima ciumanku dengan pasif dan malu-malu. Berbeda dengan kecupan bibir pada biasanya, kali ini aku sudah melewati batasku dan mencium sedalam-dalamnya. Jarinya perlahan-lahan mengepal. Aku pun tahu bahwa dirinya sangat gugup, siapa yang akan menyangka bahwa sebuah senyuman pun akan muncul dalam hatiku. Dikenal dengan sebutan rubah, ternyata wanita tercantik di Nanjin akan merasa gugup seperti anak-anak ketika berciuman.

Aku pun menarik diri dari pertarungan ini dan tiba-tiba meninggalkannya dalam keadaan linglung. Aku pun berkata, “Kak, jika kamu memegang bajuku seperti ini, aku mungkin akan tercekik mati olehmu.”

Pipinya Aiko pun memerah merona bagaikan dua awan yang berwarna merah. Rupanya yang menawan penuh dengan pesona. Dia pun tidak enak hati dan melepaskan tangannya. Aku pun memegang memegang wajahnya dan sekali lagi mencium sedalam-dalamnya. Dia pelan-pelan menutup matanya. Dia pun perlahan-lahan mulai menanggapiku dengan lembut, menciumku sehingga membuatku sekujur tubuhku terasa panas dan haus. Akhirnya, aku menggendong dia dengan gaya tuan putri dan dengan lembut meletakkannya di ranjang. Dia tidak menolakku dan malah dengan malu menutup matanya. Aku meraih tangannya dan menciumi satu per satu jarinya. Dia pelan-pelan membukakan matanya dan menatapku dengan samar. Tanganku perlahan-lahan mengulurkan tanganku ke kerah bajunya, menelan ludahku dan bertanya, “Apakah kamu tidak akan menyesalinya?”

Aiko pun mengigit bibirnya, dengan mata setengah terbuka berkata, “Aku tidak akan menyesalinya.”

Novel Terkait

Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
3 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu