Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 145 Dia Menyukaimu

Gunawan tertawa dan berkata jika aku bisa menggendong Aiko keluar dia akan mengampuni nyawaku, tapi syaratnya adalah harus pergi meninggalkan nanjing.

Jika meninggalkan nanjing, itu artinya semua usahaku akan hancur, yang artinya aku akan berubah menjadi tidak memiliki apa-apa, tidak, bahkan lebih buruk dari dulu, karena kemungkinan seumur hidup ini aku hanya bisa duduk di kursi roda.

Tapi sekalipun begitu aku tetap harus hidup, karena aku harus menggendong Aiko keluar, aku harus mengantarnya kerumah sakit, aku ingin dia tetap hidup.

Mengingat ini, aku berusaha sekuat tenaga mencoba menggunakan tanganku menopang tanah, sedikit demi sedikit tatapan mataku kabur, situasi tampak buruk, Aiko merangkak kemari. Setiap kali aku bergerak, kakiku akan memberikan rasa sakit yang tidak tertahankan, rasa sakit ini membuatku tidak berani memaksa kedua kakiku menggunakan tenaga.

Kepalaku pusing, darah mengaburkan penglihatanku, sekali demi sekali aku mengusapnya.

Dengan cara ini, aku perlahan naik ke sisi Aiko, Aiko menatapku berlinangan air mata dan aku tersenyum memandangnya, “Aaa aa”, dia mengulurkan tangan menopang daguku, dan aku berkata: “Kak, aku akan membawamu pergi meninggalkan tempat ini.”

Aiko mengangguk, menutupi lukanya dengan susah payah, berbaring dipunggungku.

Awalnya tubuhku yang sudah berat ditambah dengan beban satu orang, aku merasa diriku tertimpa hingga kewalahan untuk bernafas, aku menggertakkan gigi, berusaha mati-matian untuk bangkit, melalui usaha beberapa kali, aku tetap tidak bisa bangkit.

Aiko berkata dengan sedih: “Alwi……”

Aku memalingkan wajah, berkata: “Kak, aku bisa, aku pasti bisa.”

Aku teriak mengerangkan gigiku, dengan susah payah akhirnya aku berhasil berbalik, ketika aku berbalik dan merangkak menuju pintu, aku terkejut melihat bekas darah dilantai, bekas darah itu adalah hasil seretan kakiku di lantai……

Aku selangkah demi selangkah merangkak ke depan pintu, jarak yang begitu dekat, tapi bagiku itu tampak sangat lama, seluruh punggungku sudah basah kuyub, tidak hanya karena keringat, tapi juga karena pendarahan terus menerus dari luka Aiko, dia berbaring telentang, menempelkan wajahnya ke pundakku, dan berkata dengan lemah: Alwi, mungkin aku tidak bisa menunggumu keluar.”

Tiba-tiba hatiku menjadi sangat takut, aku merasa seperti akan kehilangan dirinya. Aku berteriak histeris: “Kak, bertahanlah, kita sebentar lagi sudah bisa keluar.”

Aiko berkata dengan lemah: “Semua orang mengira aku adalah pembunuh hebat, tapi tidak ada yang tahu, sebenarnya aku sangat menyukai kehidupan yang tenang……sekarang semua akan baik-baik saja, setelah meninggal, aku bisa menjalani kehidupan yang damai.”

Ada sesuatu yang menetes ke wajahku, mengalir sampai ke bibirku, rasanya sangat pahit, aku merangkak sambil berteriak: “Tidak, aku tidak ingin kamu mati, jika kamu mati, aku juga tidak bisa hidup lagi, kak diantara kita berdua tidak ada yang boleh meninggal, kita hidup bersama-sama ok?”

Aiko memegangi leherku dengan erat dan memberitahuku bahwa dia mengantuk, aku menangis dan berkata dengan suara gemetar: “Kak, ku nyanyikan lagu untukmu, ok?”

Aiko menjawab iya dengan lembut.

Aku berusaha sekuat tenaga merangkak keatas, sambil bernyanyi: “Aku ingin mempunyai sebuah rumah, tidak perlu yang mewah, ketika aku lelah aku akan mengingatnya. aku ingin sebuah rumah, tidak perlu yang besar……”

Aku bernyanyi dengan kuat hingga urat nadiku terlihat jelas, leherku basah, aku tahu itu adalah air mata Aiko.

Aku tersenyum, meskipun aku merasa diriku tidak bisa merangkak sama sekali, mataku gelap, tapi mengingat Aiko menggertakkan gigi berusaha bertahan, aku memiliki kekuatan lebih untuk bertahan.

Hingga akhirnya aku perlahan-lahan merangkak sampai ke depan pintu, Aiko menopang dirinya untuk membuka pintu, aku menghela nafas, tersenyum pahit berkata: “Kak, kita berhasil melakukannya……”

Ehn.”Aiko menjawabku dengan suara yang tidak terdengar, meskipun suaranya lemah, setidaknya itu bisa membuktikan dia masih hidup, itu sudah cukup.

Aku menggendong Aiko sampai didepan koridor.

Tidak tahu apakah karena ulah Gunawan, seluruh bangunan tampak sangat kosong, bahkan tidak satu orangpun, untungnya masih ada lift, aku menggendong Aiko masuk ke dalam lift, lalu menggendongnya keluar, aku berkata: “Kak, kita sudah keluar.”

Aiko tidak mengatakan apa-apa, aku berteriak histeris memanggilnya, aku sekuat tenaga menoleh kebelakang, hanya melihat dia berbaring disana dengan wajah putih pucat tanpa darah mengalir ke wajahnya, tidak tahu apakah dia pingsan atau mati……

Saat ini juga aku merasa diriku sudah tidak sanggup, aku memandang langit yang gelap dan berpikir apakah ini adalah akhir dari kita berdua?

Saat ini, terdengar suara mesin yang kuat yang berada tidak jauh, sorotan lampu-lampu menyilaukan memaksaku untuk menutup mata, aku merasa kepalaku seperti bola lumpur yang kabur hingga pingsan……

Tidak tahu selang berapa lama, otakku perlahan sadar, aku membuka mata dan menatap langit-langit putih di atas kepalaku, pikiranku terbang kembali untuk memikirkan semua hal yang terjadi sebelum pingsan, lalu tiba-tiba aku bangkit duduk, tanganku sakit karena tertarik, tiba-tiba aku menarik nafas lega, dan memalingkan wajah mendapati diriku sedang diinfus.

Aku yang baru bersiap-siap mencabut jarum, mendengar suara “ckckc”disamping telingaku, aku memandang ke sumber suara, mendapati seorang kakek tua berbaju cheongsam abu-abu keluar dari pintu dengan perasaan putus asa, memelintirkan kumis memandangku: “bocah, jika kamu berani mencabut jarum infus, aku akan memutuskan urat kakimu lagi!”

kakek tua itu awalnya tampak berwibawa dan galak, tapi ketika dia berbicara sifat aslinya langsung terlihat.

Aku ketakutan hingga tidak berani bergerak, kakek tua itu mengangguk puas dan berkata: “Ini lumayan.”

Selesai mengatakannya, dia tiba-tiba mengangkat kakiku, dan aku tidak merasakan sakit sama sekali, untuk sementara hatiku merasa ngeri, apakah itu artinya kakiku benar-benar cacat, apakah aku bahkan tidak bisa merasakan sakit? aku yang berpikir seperti itu, memandang pergelangan kakiku, yang diluar dugaan kakiku sekarang dipasang gips, pria tua itu melihat kakiku ke kiri dan ke kanan, menggunakan tangan memijatnya, aku merasakan sengatan sakit berdatangan, lalu melihat wajahnya tersenyum dan berkata: “Pemulihan yang cukup bagus.”

Aku terpana melihat ekspresinya, mengingat gerakannya, mengingat ucapannya, aku sedikit gembira dan bertanya: “kakek tua, maksudmu adalah……urat kakiku sudah tersambung?”

kakek tua itu memandangku dan berkata: “responmu cukup lamban, iya, urat kakimu sudah tersambung, jika kedepannya kamu berlatih dengan baik, kakimu tidak akan mengalami masalah.”

Setelah mengatakan ini, kakek tua itu memegang kedua tangannya dan berkata dengan bangga: “Semua ini berkat kemampuan medisku, masih tidak cepat terima kasih padaku.”

Aku memandang kedua kakiku dengan girang, awalnya aku sangat putus asa, aku mengira meskipun diriku keluar dari tempat nereka itu, juga tidak mungkin ada kesempatan untuk menerima pengobatan, siapa sangka begitu membuka mata, ada orang yang memberitahuku kedua kakiku bisa sembuh total, kebahagiaan ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Aku sangat senang hingga tidak bisa mengontrol diri, aku terus mengucapkan terima kasih kepada kakek tua itu.

kakek tua itu dengan bangga menyentuh janggutnya, aku melihat sekeliling dan tidak melihat Aiko, aku sedikit gelisah dan bertanya: “kakek tua, numpang tanya apakah kakakku berada di kamar yang lain? Bisa tidak bantu aku sembuhkan lukanya.”

kakek tua itu melirikku: “Disini bukan rumah sakit, tidak ada kamar pasien, tapi aku bisa memberitahumu dengan penuh kasih sayang, gadis cantik itu sedang memasak di dapur, selain luka di bahu dan punggungnya, tidak ada luka parah.”

Aku sangat senang, hatiku gembira mendengar Aiko baik-baik saja, ini benar-benar sangat bagus! Tapi, kakek tua malah mengatakan dia memasak, jelas-jelas dia terluka, bagaimana masih bisa memasak? Aku bertanya pada orang tua itu dengan curiga.

kakek tua itu memelototiku dengan marah dan berkata, “Oh, aku menyelamatkan kalian berdua, apakah aku harus melayani kalian berdua untuk makan, mandi dan buang air? Terlebih dia masih memiliki satu lengan yang bisa bergerak, jika begitu dia harus masakkan makanan untukku.”

Ternyata begitu, aku benar-benar merasa lega, jika bukan karena kaki ku tidak bisa bergerak, aku benar ingin pergi ke dapur melihatnya.

Aku menahan pikiranku, dan bertanya pada kakek Ergi ini dimana, bagaimana aku bisa kemari?

kakek tua itu menjawab: “Ini rumahku, terkait bagaimana kamu kemari, aku juga tidak tahu, setelah bangun dari tidur aku melihat kalian berdua berada di depan pintu rumahku.”

Setelah mengatakannya, Kakek Ergi itu memegang janggutnya dan bertanya padaku: “Mendengar maksudmu, bukan kamu sendiri yang mencariku?”

Aku memandang kakek tua itu dengan curiga, meskipun ekspresinya sangat wajar, tapi aku selalu merasa dia tidak mengatakan yang sebenarnya, dan setelah aku pingsan aku tidak ingat apa-apa, aku hanya ingat melihat mobil sebelum pingsan, aku tidak terlalu memperhatikannya sebelumnya, sekarang setelah dingat-ingat sepertinya kendaraan militer……

Apakah orang di dalam mobil yang mengantarku dan Aiko kemari? Jika iya, siapa yang ada di dalam? Dan apakah kakek tua ini benar-benar tidak tahu apa-apa, atau bersekongkol dengan mereka, dan sekarang sedang berakting saja?

Aku yang memikirkan itu, merasa kepalaku sangat sakit, kakek tua itu tiba-tiba berkata dengan sedikit gugup: “Jangan pikir sembarangan, kepalamu terluka, dan sudah koma selama setengah bulan, jika asal pikir dan terlalu memakan kekuatan otak, tidak baik untuk otakmu.”

Aku tertegun, tidak menyangka diriku sudah koma selama setengah bulan.

Aku berkata: “Terima kasih kakek tua, tidak tahu bagaimana memanggil nama kakek tua?”

Dia menyentuh janggutnya, dan berkata sambil tersenyum, “Margaku Tai, namaku Ergi , kamu panggil aku kakek Ergi saja.”

Aku tidak bisa menahan tawaku dan berkata: “kakek Ergi?”

kakek Ergi memelototiku dengan marah dan berkata: “Bocah sialan, tertawa lagi, ku putuskan urat kakimu.”

Sangat galak, tapi sangat akrab, aku merasa orang di depanku seperti kakekku sendiri, yang membuatku merasa nyaman.

Aku menyentuh hidungku dan berkata: “kakek Ergi , aku tidak berani lagi, tapi bisakah Anda memberitahuku, mengapa kamu bersedia menyelamatkan kami berdua yang tidak jelas asal-usulnya?”

kakek Ergi mengedipkan mata, dan berkata dengan nakal: “Itu karena aku menyukai gadis itu, aku ingin menjadikanya sebagai cucu menantuku!”

Mendengar perkataan ini, aku tertegun seketika dan berkata: “Tidak mungkin!”

kakek Ergi bertanya padaku mengapa tidak mungkin? Aku bilang kakakku milikku, tidak ada yang bisa mengambilnya dariku.

kakek Ergi melotot dan berkata: “Kamu percaya tidak aku bisa memutuskan urat kakimu?”

Aku marah dan berkata: “Bagaimana bisa seorang dokter, menggunakan keahlian medis memaksa pasien? Ku beritahu kamu, aku lebih bersedia urat kakiku putus, daripada membiarkanmu memaksa kakakku melakukan sesuatu.”

Aku pikir kakek tua itu akan sangat marah, hatiku kacau, siapa sangka dia tiba-tiba tersenyum memandang kearah pintu dan berkata: “Gadis kecil, sudah dengar belum? Bocah ini menyukaimu, bahkan sangat menyukaimu.”

Setelah mengatakannya, seorang wanita dengan baju daster besar muncul dari balik pintu, wanita itu tidak menggunakan make up, rambutnya yang panjang berkibar-kibar, meskipun dia mengenakan pakaian pedesaan, dia tetap cantik dan memikat orang.

Wanita ini persis seperti Aiko yang aku rindukan.

Novel Terkait

Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu