Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 1077 Perasaan Gelisah

Pamanku mengatakan kalau aku adalah ‘budak istri’ di depan banyak orang, aku meliriknya dengan suram dan berkata: "Paman, apa kamu bisa memberiku sedikit muka?"

Pamanku tertawa dan berkata: "Apa kamu masih tahu apa yang namanya muka?"

Mendengar suara tawa orang-orang di belakangku, aku aku langsung menjawab pamanku, sambil berpura-pura menghela nafas berkata: "Yahh, aku menyukai Paman yang kaku, tapi ah, aku rasa Bibiku di masa depan nanti tidak akan menyukainya, jadi Paman harus mengubah sifat paman yang seperti karakter dari Sunny Piggy, yahh, Paman, apa kamu itu Piggy? "

Mendengar aku mengejeknya, paman berkata dengan marah: "Sial, kamu berani mengejek pamanmu? Hati-hati, aku akan melaporkan kamu ada Ibumu!"

Aku berkata tanpa takut: "Lapor saja, lihat apa Ibuku akan memihak padaku atau padamu."

“Kamu!” Paman terus menatapku, tatapannya seperti ingin membunuhku, tapi melihat aku yang pasrah, itu benar-benar membuatku merasa sangat gelap.

Kami lalu beradu mulut sampai ke lantai atas, sampai di depan pintu suatu kamar, Paman memberi tahuku kalau Widya sedang beristirahat di dalam kamar itu, aku hanya tersenyum dan membatuk gugup, Paman tiba-tiba mengangkat alis dan menatapku dengan ekspresi lucu, tatapannya seperti mengatakan: "Lihatlah dirimu."

Aku memutar mataku kesal pada Paman, lalu aku mengetuk pintu.

“Silakan masuk.” Suara Widya terdengar dari kamar.

Saat aku membuka pintu, Widya sedang berbaring di kasur sambil melihat buku, mendengar pintu terbuka, dia lalu mengangkat kepalanya, saat dia melihat aku, dia jelas terkejut, dia lalu menyipitkan matanya sambil menatapku dan berkata: "Apa kita pernah bertemu?"

Meskipun Widya tahu kalau aku masih hidup, dia tidak tahu bagaimana penampilanku, apalagi kalau aku adalah "Alwi" yang dia selamatkan dari kekacauan.

Aku mengangguk dan berkata: "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya, saat aku penuh dengan luka dan menjadi buronan di seluruh kota, jika saat itu aku tidak beruntung dan tidak bertemu dengan mobilmu, aku rasa mungkin aku sudah mati sekarang."

Setelah mengatakan itu, aku tersenyum pada Widya dan berkata: "Apa kamu masih mengingat namaku?"

Dia sedikit mengernyit, dan berkata dengan santai: "Aku ingat, kamu bilang namamu Alwi."

Aku berkata dengan agak bersalah: "Ya, tapi aku membohongimu."

Widya terdiam sesaat, menatap ke arahku sebentar, lalu dia menutup buku ‘plop’, ekspresinya terlihat kesal, tapi sudut mulutnya sedikit terangkat, matanya yang indah terlihat seperti mengejek, dia berkata: "Jadi, saat itu kamu sengaja menyembunyikan identitasmu, iya kan?"

Aku menelan saliva dan berkata: "Tidak ada salahnya, saat itu aku sedang menjalankan tugas, aku tidak bisa memberi tahu kamu identitasku, aku minta maaf, tapi semua yang aku katakana saat itu tulus dari hatiku."

Widya memutar matanya dan dia terlihat semakin emoasi, tiba-tiba dia mengambil buku dan melemparkannya ke arahku dengan keras, dengan cepat aku menghindar lalu mengangkat tanganku untuk menangkap buku itu, dan berpura-pura sakit, lalu berkata: "Widya, bukankah kita teman baik? Aku tidak mati, bukannya seharusnya kamu senang?"

Siapa sangka, Widya berteriak marah: "Keluar kamu!"

Melihat dia berteriak dengan marah, aku tahu dia benar-benar emosi, tapi aku juga tidak tahu kenapa dia emosi, aku berkata dengan sabar: "Maaf, aku tidak bermaksud sengaja menyembunyikannya darimu, aku tahu tubuhmu masih belum membaik, seharusnya kamu beristirahat dengan tenang sekarang, bukan malah…"

Tidak menunggu aku selesai berbicara, dia dengan emosi memarahiku: "Bukan urusanmu! Alwi, keluar kamu, dan biarku beri tahu, mulai hari ini, kita tidak berteman lagi."

Aku membeku, aku tidak menyangka dia akan semarah itu, dan juga dia tidak terlihat sedang bercanda, menyadari masalah yang serius ini, aku mengerutkan kening dan bertanya: "Kenapa?"

Widya berkata sambil mencibir: "Kamu masih punya muka untuk bertanya kenapa? Biar aku tanya, membuatku terlihat bodoh, membuatku menunjukkan perasaanku yang sebenarnya, apa kamu sangat senang? Apa dalam hatimu, kamu sedang mengejek harapan dari nona yang bodoh ini?"

Hatiku rasanya seperti jatuh, aku langsung mengerti kenapa dia marah, saat aku menyembunyikan identitasku dan berbohong kalau aku mengenalnya melalui ‘Alwi’ yang lain, dia mungkin berpikir kalau aku benar-benar mati, dia sangat kecewa, dan juga sangat penasaran, bagaimana posisinya dalam hatiku, jadi dia bertanya padaku.

Sebenarnya, aku tidak berharap dia menyatakan perasaannya saat itu, aku juga menggunakan identitasku lain untuk mengatakannya dengan jelas, aku hanya menganggapnya sebagai teman baik, saat itu, aku hanya bermaksud untuk menghasut pikirannya, aku tidak menyangka hari ini akan muncul masalah yang gawat.

Aku tahu saat melihat temperamen Widya, saat ini dia pasti sangat marah, emosinya sedang berapi-api, dan saat dia sedang marah, kalau kamu masih mencari masalah, hal itu sama saja dengan sedang cari mati, jadi aku berkata: "Widya, maaf, istirahatlah yang baik, aku akan menemuimu nanti."

“Sebaiknya kamu tidak pernah muncul di depan mata ibuku, wanita tua itu tidak akan menahan emosinya dan membunuhmu dengan pisau!” Widya berkata dengan dingin.

Aku memegang kepalaku, bagaimana masalahnya bisa jadi seperti ini?

Saat aku keluar dari kamar, aku menyadari kalau Paman belum pergi dari tadi, melihat aku keluar, dia melihatku dengan tatapan kasihan, dan aku berkata dengan suram: "Kenapa? Tidak bersiap-siap untuk mengejek keponakanmu yang malang ini?"

Paman menepuk pundakku dan berkata: "Hei, aku masih meliki sedikit hati nurani, aku bisa membedakan mana yang bisa dijadikan lelucon. Alwi, kenapa kamu mencari masalah dengan Nona Besar itu? Dia memiliki emosi yang berapi-api, kalau saja aku tidak mendengar kalian di balik tembok, aku hampir tertipu dengan penampilannya beberapa hari ini."

"Ini bukan salahnya, dia sangat marah, karena sebelumnya aku yang tidak mempertimbangkan semuanya dengan baik." Kataku dengan menyesal.

Perempuan, dalam beberapa keadaan memiliki perasaan yang lebih rumit, seperti Widya yang memendam perasaan kepada identitasku yang satu lagi yang sudah mati, jadi kalau dia tidak mengumpulkan semua keberaniannya, dia tidak mungkin mengungkapkan perasaannya padaku, bahkan hanya untuk mengatakan harapannya padaku, juga tidak mungkin.

Karena itu, saat dia tahu kalau aku adalah Alwi yang asli, dalam hatinya dia pasti sangat kesal, dia pasti merasa aku mempermainkannya, jadi dia sangat marah, memikirkan hal ini, aku menghela nafas, aku tahu kalau itu adalah salahku, jadi aku akan mencari cara untuk jujur dan minta maaf padanya, lagipula, kami berdua adalah teman baik, dan dia adalah asisten yang sangat baik,aku tidak ingin merusak hubungan kami hanya karena hal seperti ini.

Sambil memikirkan hal ini, aku turun ke bawah dengan Paman, saat sampai di bawah, aku melihat Ibuku dan Aiko sedang memasak, keduanya berbicara dengan sangat akrab, ada senyum di sudut mulut mereka, melihat mereka, aku hampir lupa kalau Aiko dan keluargaku memiliki perseteruan.

Saat itu, Jessi sedang memegang sebuah buku, sambil memeluk Cecilia dengan kedua lengannya, dia terlihat sedang mengajari Cecilia membaca, Kakek luarku sedang duduk di samping sambil menyeduh teh yang aku bawa tadi, dia terlihat sangat puas.

Melihat pemandangan yang hangat ini, aku sangat tersentuh dan dalam hatiku, aku merasa beruntung, seandainya saja aku bisa menghabiskan hidupku dalam suasana yang hangat ini, bukankah sangat baik?

Saat ini, Ibu menatapku dan berkata sambil tersenyum: "Alwi, kamu sudah turun? Sudah waktunya makan, telepon Kakekmu dan minta dia datang untuk makan."

Aku tidak mengira Ibu akan menyuruhku mengajak Ficky Chen untuk makan, aku terkejut dan tidak menjawabnya, Ibu lalu pura-pura marah: "Anak ini, sedang apa kamu berdiri di sana? Apa kamu tidak mendengar apa yang Ibu katakan?"

Aku lalu tersadar, aku mengerutkan kening, dan berkata: "Apa Kakek akan datang dan makan di sini? Bukannya dia tidak suka keramaian?"

Semakin aku berbicara, semakin kecil juga suaraku, dan dalam hatiku seperti ada kekosongan.

Ibu menatapku dengan aneh dan berkata: "Omong kosong, Kakekmu sudah tua, dan dia suka menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya, tapi karena tadi pagi ada masalah, jadi dia tidak bisa datang, kamu cepat telepon dia, kalau tidak, melihat sifatnya yang seperti anak kecil, saat dia kembali dia akan mencari masalah denganmu."

Meskipun dia bercanda, aku tahu Ibu serius saat menyuruhku mengajak Ficky Chen untuk makan bersama, aku lalu mengangguk, dan menekan nomor telepon Ficky Chen, perlahan aku berjalan keluar dari rumah untuk mencari tempat yang tenang.

Dengan cepat, Ficky Chen mengangkat teleponku, suaranya terdengar sedikit lelah, dan dia bertanya: "Alwi?"

Dia memang mengenali nomor teleponku, tapi aku tidak peduli, aku berkata: "Ibu mengundangmu ke rumah Paman untuk makan siang, kalau kamu bersedia, cepat datang ke sini, kalau tidak, aku akan membantumu menolaknya."

Ficky Chen terbatuk, dan berkata dengan santai: "Aku tidak akan pergi, aku akan memasak sesuatu untuk aku sendiri, kamu baru saja berkumpul dengan semua orang, aku tidak mau merusak kesenanganmu."

Saat aku mendengar kata-kata Ficky Chen, dalam hati aku merasa kesal, aku lalu mengertakkan gigiku dan berkata: "Ya sudah kalau tidak datang, perasaanku juga akan lebih baik kalau kamu tidak datang!"

Selesai berbicara, aku lalu memutus sambungan telepon. Setelah menutup telepon, aku merasa agak kecewa, sebenarnya aku tidak bermaksud mengatakan itu, aku juga tidak tahu kenapa aku sangat marah tanpa alasan yang jelas.

Aku kembali ke ruang tamu dengan lesu, dan Ibuku bertanya: "Kenapa berteriak? Apa yang Kakek katakan?"

Aku berkata: "Oh, dia bilang dia sibuk, jadi dia tidak akan datang."

“Oh begitu, kalau begitu nanti kamu antarkan nasi dan beberapa lauk ini padanya.” Kata ibuku, lalu memberi isyarat kepada semua orang, dan berkata: “Ayo kita makan, karena Kakek tidak datang, kita jangan menunggunya lagi."

Paman lalu menarikku ke arah meja, setelah aku duduk, dalam hati aku memikirkan Ficky Chen, memikirkan lelaki tua itu yang sudah terbatuk-batuk, bahkan tidak memiliki tenaga untuk berbicara, apa mungkin dia sakit? Dia sudah sangat tua, jangan sampai dia mati dan tidak ada orang yang tahu.

Memikirkan hal ini, aku berdiri dan berkata: "Bu, mana makanan Kakek? Itu... aku rasa dia pasti sudah lapar, lebih baik aku mengantarkan makanannya dulu, lalu kembali untuk makan."

Ibuku terlihat ragu sebentar lalu berkata: "Baiklah, aku benar-benar khawatir pada Kakekmu, aku rasa dua hari belakangan tubuhnya terlihat kurang sehat, aku akan membungkus lebih banyak makanan, kamu tidak perlu bolak-balik, kamu makan saja di sana dengan Kakek."

"Oh..." Kataku, dalam hati aku berpikir, kenapa aku peduli dengan orang tua itu lagi?

Novel Terkait

Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu