Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 666 Di Desa Tidak Ada yang Mengenal

Aku merasa bahwa setiap orang memiliki ide untuk meninggalkan kampung halaman mereka dan mereka harus kembali dengan mulia. Ini bukanlah kesombongan, melainkan sebuah pola pikir yang ingin memenangkan kembali kehormatannya.

Bertahun-tahun yang lalu, kami sekeluarga hidup dengan tidak begitu baik di sebuah desa. karena ayah angkat bekerja di pasar luar, maka kami sekeluarga sering ditindas oleh orang lain. Ditambah dengan ibu angkatku memiliki rupa dan postur tubuh yang lumayan bagus, para lelaki sering mencari keuntungan, Saat itu, air mata ibu angkatku yang mengalir sudah bisa membentuk kolam kecil.

Setelah kematian orang tua angkat, kami para kakak dan adik semakin tidak bisa menjalankan kehidupan yang baik. Bahkan saat ditindas oleh anak yang lainnya pun juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, anak-anak itu tidak tahu dan masih belum paham apa-apa. Tetapi bahkan para orang dewasa pun juga menindas kita dan selalu menertawakan kita.

Ketika memikirkan kembali kehidupan saat itu pun sudah sangat jauh meninggalkanku. Saking jauhnya sampai membuatku sedikit meragukan apakah aku benar-benar pernah mengalaminya. Hanya saja, kemiskinan itu, perasaan yang berkali-kali tidak memiliki jalan keluarnya, perasaan yang dipermalukan dan dihina itu, bahkan ketika aku mengingatkannya kembali, aku pun tidak lagi membencinya, tetapi malah membuatku tidak merelakannya.

Aku pikir sudah waktunya untuk kembali.

Dony Yun dengan lembut berkata, “Kalau ingin kembali, ya kembali lah. Aku juga ingin memanggil mereka yang pernah memandang rendah dirimu untuk melihat bahwa saudaraku pada saat ini begitu sukses.”

Aku tersenyum dan berkata, “Iya. Masalah yang Nanjin itu kamu bantu aku lihat-lihat dulu.”

Dony Yun berkata, “Kamu tenang saja. Selama aku di Nanjin, maka langit-langit di Nanjin pun akan selamanya adalah langit-langitnya Alwi.”

Aku memandang Dony Yun dan teringat bahwa aku telah dengan hati-hati meminta untuk bertemu dengannya. Ketika mengingat kembali bahwa aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengannya, aku pun merasa bahwa waktu adalah hal yang luar biasa dan nasib di antara manusia adalah hal yang lebih luar biasa.

Keesokan pagi harinya, aku dengan Dony Yun bersama-sama memakan sarapan pagi. Kemudian, aku menerima teleponnya Samuel. Dia memberitahuku bahwa semua persiapan yang seharusnya dilakukan telah dipersiapkan dan bertanya kapan aku akan berangkat. Aku pun memintanya untuk datang menjemputku, lalu berjalan ke arah kampung halaman.

Duduk di dalam mobil dan melihat kampung halamanku semakin lama semakin dekat. Aku pun tidak bisa mengatakan betapa semangatnya suasana hatiku. Pada saat ini, aku telah melepaskan perjuangan pendirianku yang tak terhitungkan jumlahnya. Tidak lagi ada Beijing di hatiku. Tidak ada Tianjing, tidak ada Nanjin, tidak lagi ada tanah luas yang menungguku untuk ditaklukkan. Malah hanya ada kenangan masa kecil yang tidak termasuk bahagia, tetapi membuatku merindukannya.

Ketika gambaran garis besar kampung halamanku semakin lama menjadi semakin jelas, kenangan masa lalu pun kembali mengalir seperti arus gelombang.

Kesepian.

Ketika mobil kami melaju ke jalan tanah sempit di mana hanya muat satu mobil saja, aku pun tiba-tiba kepikiran satu istilah dalam hatiku. Bahkan jika kali ini ada Samuel yang datang menemaniku, bahkan jika dia sengaja memanggil sekelompok saudara untuk mendukungku, tetapi hatiku masih terasa sedikit kesepian. Ini karena aku benar-benar merasakan bahwa aku ‘sama sekali tidak bisa bergantung pada siapa-siapa’ di desa ini. Desa ini tiba-tiba menjadi asing dan tidak ada hubungannya denganku.

Sekarang sudah mau masuk pada tengah hari, tetapi masih ada banyak orang yang sedang panen di lapangan. Mungkin saja satu baris dengan puluhan mobil kami menjadi sangat langka dan mempesona bagi mata mereka. Selain itu, mobil yang dikendarai Samuel pada hari ini adalah mobil porsche panamera yang lumayan lama, tapi malah tidak pernah dikendarai keluar. Mobil jenis ini pun sangat langka bagi desa kami yang miskin dan terbelakang ini.

Banyak orang yang berhenti dan dengan penasaran memandangi ke arah kami. Dari pandangan mata orang-orang yang penasaran, iri, dan sedang diam-diam bergosip, aku pun tahu mereka sedang mendiskusikan siapa orang yang sedang datang kemari ini.

Mobil itu berjalan dengan pelan. Aku mengangkat kelopak mataku dan memandang Samuel. Dia benar-benar mengendarai mobil itu seakan seperti 10km/jam. Motor listrik pun bahkan jauh lebih cepat daripada ini. Tetapi aku tidak mengatakannya, melainkan sangat terharu karena aku tahu bahwa dia sengaja mengendarai dengan begitu pelan. Ini dilakukan supaya membuat semua orang-orang keluar untuk melihat kami dan untuk membuat semua orang-orang tahu bahwa aku telah kembali dengan membawa kehormatan.

Aku tiba-tiba tertawa dan Samuel pun bertanya aku sedang menertawai apa. Aku pun berkata, "Aku berpikir bahwa kita semua sudah begitu besar. Bukankah akan terlalu kekanak-kanakan untuk melakukan demikian?"

Samuel berkata dengan lembut, "Tidak kekanak-kanakan. Ini memang seharusnya, semua orang bodoh kalau bisa pulang dengan dengan mewah juga akan semakin melakukan hal demikian."

Satu kalimat ini telah menghiburku. Tetapi ketika mobil berhenti di depan pintu rumahku, aku pun juga tidak bisa tertawa lagi. Aku dengan diam menatap gubuk yang kumuh ini. Karena sudah terlalu lama tidak dikunjungi orang-orang, dia pun menjadi semakin tua dan semakin rusak, tetapi aku malah merasa sangat dekat dengan begitu. Rumput-rumput liar yang tumbuh di depan pintu itu memiliki jejak yang ditinggalkan oleh aku dan adik perempuanku saat sedang bermain petak umpet, memiliki jejak ibuku yang sedang duduk di depan pintu untuk membuat pakaian bagi aku dan adikku di bawah sinar bulan dan masih ada jejak ayahku yang pergi memburu dan tertawa sambil berkata akan ada tambahan makanan pada malam ini.

Bagian ujung mataku tiba-tiba berair. Aku sedikit mengangkat sudut bibirku dan berbisik, "Ayah, ibu, adik, aku sudah pulang."

Terdengar suara pintu yang ditutup dengan rapi di telingaku. Mobil dibaris sepanjang deret dan para saudara-saudara sudah keluar dari mobil dan dengan otomatis datang ke depan mobilku, menunduk dan menungguku turun dari mobil. Selain itu, rumahku dari awal sudah dipenuhi orang-orang. Ada orang yang bahkan pergi memanjat pohon besar demi melihat ‘rahmatku’.

Samuel pun turun dari mobil dan datang ke depan pintu mobilku, membukakan pintu untukku, dan dengan hormat berkata, "Kak Alwi."

Aku perlahan-lahan turun dari mobil. Pada saat ini, aku merasakan berbagai sorotan mata yang tak terhitungkan sedang menatapku dan pada waktu bersamaan, para saudara-saudara serempak berteriak, "Kak Alwi!"

Mereka sambil mengatakannya, sambil membungkuk kepadaku. Ini terlihat seperti bos besar di jalanan dengan sekelompok anak buahnya yang sedang memberi hormat kepada bos besar mereka.

Penduduk desa yang berdiri dari kejauhan pun tidak berani mendekat dan mulai menyebarkan komentar mereka. Meskipun suara mereka tidak keras, tapi suara mereka masuk ke dalam telingaku.

Ada yang berkata, "Orang ini memiliki perilaku yang besar dan sama seperti pemain bintang film. Hei, siapakah dia, kenapa dia bisa pergi ke depan pintu keluarga seperti itu?"

Saya merabah wajahku dan baru teringat bahwa wajahku telah barubah dan ada kemungkinan bahwa orang-orang ini tidak mengenalku.

Pada saat ini, ada lagi yang berkata, "Barusan aku mendengar sekelompok orang itu memanggilnya ‘kak Alwi’. Dia tidak mungkin si Alwi yang bocah liar itu, bukan?"

Langsung ada yang segera tertawa dan dengan remeh berkata, "Tidak mungkin, keduanya orang ini jelas terlihat berbeda. Selain itu, bagaimana mungkin si bocah Alwi itu bisa menjadi begitu hebat, kan?"

"Siapa yang bilang tidak bisa? Sebelumnya bocah itu kembali sekali dan bukankah dia membawa begitu banyak orang? Perilakunya hampir sama dengan orang yang saat ini dan masih memiliki wanita yang sangat cantik lagi."

"He he, mungkin saja dia dibantu oleh wanita itu. Dengan kehidupannya ayahnya, ibunya dan adiknya yang malang mungkin saja dia tidak akan tahan begitu lama dirawat oleh wanita kaya itu.”

Begitu kata-kata ini keluar, sekelompok orang itu sedang terkikik disana.Tentu saja mereka semua sudah menentukan bahwa aku bukanlah Alwi. Jika bukan karena aku yang membiarkan mereka, mereka juga tidak akan berani berkata demikian di hadapanku.

Samuel yang dari awal mendengarnya pun memarah. Dia ingin kedepan untuk menghentikannya, tapi malah dihentikan olehku. Aku pun sekilas melirik sekelompok orang itu dan mendengar suara tawa sinis yang akrab dari salah satu wanita disana.

Dia adalah wanita berusia lima puluh atau enam puluh tahun. Dijari wanita itu terjepit sebatang korek api, dimana menunjukkan bahwa dia sedang merokok. Tampaknya dia adalah saudagar yang kotor dan juga licik.

Meskipun sudah terpisah begitu banyak tahun, tapi aku pun sekilas masih mengenali orang ini. Dia adalah satu-satunya pemilik toko kecil desa kami. Perilakunya begitu sombong dan kasar dan memiliki mulut jahat yang suka blak-blakan. Ibuku sebelumnya sering ditindas olehnya. Setelah ibuku meninggal, setiap dia melihatku, dia akan langsung mengejekku. Aku mengabaikannya dan dia akan menyebutku dengan perkataan binatang yang lainnya. Pada saat itu, walaupun aku marah, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku yang sekarang ini tentu saja tidak memiliki waktu untuk mempedulikan wanita yang seperti ini. Hanya saja ketika memikirkan ibuku yang menerima penderitaan seperti itu, aku malah masih merasa bahwa tenggorokanku menjadi kering dan hatiku merasa sangat tidak enak.

Masa lalu telah menusuk diriku, membuat seluruh temperamenku menjadi sangat dingin. Mungkin karena ini, senyumanku pun tiba-tiba menghilang. Banyak penduduk desa pun menatapku dengan penuh ketakutan.

Tampaknya begitu sekali orang kuat maju, beneran bisa membuat aura yang dapat membuat para orang-orang jahat menjadi ketakutan.

Aku meraba kunci di kantongku dan perlahan-lahan berjalan menuju ke arah pintu rumah. Samuel meminta seseorang untuk menghapus bersih gembokan kunci terlebih dahulu. Aku pun menggunakan kunci untuk membuka pintunya. Pada saat ini, kerumunan tersebut seketika menjadi berisik. Banyak orang-orang yang bertanya siapakah aku sebenarnya.

Aku berjalan masuk ke kamar, melihat susunan yang terletak sama, melihat ranjang kayu yang sederhana itu dan teringat adikku yang pernah kesepian dan dengan pasrah berbaring di atasnya. Bola mataku seketika memerah.

Pada saat ini, Samuel memanggilku dan mengatakan bahwa ada orang yang datang kemari. Aku membalikkan tubuhku dan pergi melihat. Aku melihat si kepala desa tua yang berjalan kemari. Dia tersenyum dengan sopan dan dengan sedikit takut sambil bertanya, "Maaf, tuan ini siapa ya?"

Aku dengan lembut berkata, “Kepala desa, aku adalah Alwi.”

Kepala desa itu menunjukkan raut wajah terkejut dan kemudian berkata, "Tapi wajahmu dan juga suaramu ..."

Dia menatap bekas luka di wajahku. kemungkinan bekas luka ini sudah cukup menjadi tanda sebagai orang jahat bagi orang biasa seperti dia ini.

Aku tersenyum dan berkata, "Wajahku terluka dalam sebuah ledakan dan pita suara juga ikut rusak. Makanya aku pergi mengoperasi wajahku dan pita suaraku juga berubah menjadi seperti ini. Jika kepala desa masih meragukan dengan identitasku, kamu bisa pergi ke kantor polisi untuk memeriksa sejenak. Aku sungguh-sungguh adalah Alwi."

Setelah mengatakannya, aku mengeluarkan KTP-ku dan memperlihatkan kepadanya. Alamat rumahku tidak pernah berpindah dari desa ini, jadi alamat yang terdaftar pada KTP-ku masih adalah di rumah kami ini.

Setelah kepala desa itu melihatnya, dia terengah-engah dan berkata, "Aku tidak menyangka kamu akan mengalami nasib seperti ini. Karena kamu adalah Alwi, maka aku juga akan tenang. Awalnya ... Aku malah mengira bahwa kamu datang kemari untuk mengambil rumahnya Alwi. "

Aku tahu bahwa kepala desa tua ini adalah orang yang lumayan, tetapi saat aku mendengarkan perkataannya yang ini, aku pun masih merasa sedikit tersentuh. Aku pun tersenyum dan berkata, "Maaf aku telah meropotkan kepala desa."

Ketika dia melihatku begitu ramah, dia pun memberanikan diri untuk bertanya, "Alwi, bolehkah aku menanyakanmu beberapa pertanyaan?"

Aku berkata, “Kamu boleh menanyakan apapun yang kamu mau.”

Kepala desa tua itu bertanya apa tujuanku datang kemari. Melihat wajahnya yang begitu gelisah atau mungkin dia takut bahwa aku akan datang kembali untuk membalaskan dendamku kepada mereka yang pernah menindasku. Ketika mengatakannya juga sangat aneh, orang-orang di desa ini memperlakukan sekeluarga orang kami dengan sangat buruk, tapi malah saling memiliki hubungan yang baik. Perasaan ini seakan seperti keluarga kamilah yang berbeda.

Aku melihat potret orang tua dan adikku yang telah meninggal sambil berkata dengan lembut, "Aku kembali ke kampung halamanku untuk menyembah leluhurku, mendoakan orangtua dan adikku. Tentu saja di samping itu, aku juga ingin memberikan kontribusi untuk desa kami, dan mendonasikan untuk memperbaiki jalanan dan jembatan umum pada desa ini. "

Begitu mendengarkan perkataan ini, kepala desa itu pastinya akan terkejut. Kemudian dia pun bertanya dengan terkejut, "Apakah yang kamu katakana itu sungguhan?"

Aku balik bertanya, “Kepala desa, apakah kamu melihatku sedang bermain-main?”

Kepala desa itu segera mengucapkan terima kasih kepadaku dan dengan gembira berkata, "Kamu sungguh baik. Alwi, orangtua mu akan sangat bahagia di atas sana. Aku juga mewakilkan desaku untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas pengampunanmu atas kejahatan mereka dan juga membantu desa kami melakukan hal ini. "

Aku menggelengkan kepalaku dan berkata, "Masa lalu adalah masa lalu. Sekarang aku melakukan hal-hal ini hanya karena ingin melakukan kebajikan bagi orang tua dan adikku."

Kepala desa tua itu menghela nafasnya dan berkata, "Kamu tenang saja, mereka adalah orang yang baik, dan pasti akan berbahagia di atas sana. Selama kamu menjalankan hidupmu dengan baik, mereka pun akan merasa tenang."

Samuel pada saat ini mengatakan bahwa waktu sudah larut dan bertanya kepadaku kapan aku akan berangkat.

Karena kami disini memiliki sebuah kebiasaan, yaitu ketika menyembah leluhur kami tidak boleh sampai lewat pukul dua belas siang dan sekarang sudah pukul sebelas. Makanya aku berkata beberapa kata kepada kepala desa dan membawa Samuel mereka orang ke kuburan.

Novel Terkait

My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu