Cinta Dibawah Sinar Rembulan - Bab 752 Sebelum Pertarungan Dimulai

Widya bilang kalau aku mati, ia tidak akan membantuku untuk mengalahkan Hensen. Aku tahu ia sedang berbohong, ia hanya tidak ingin aku mati.

Aku tertawa dan berkata, “Aku disini ‘berterima kasih’ dulu kepadamu.”

Widya dengan kesal membalas, “Untuk apa kamu berterima kasih? Apakah kamu tidak mengerti maksudku…”

Aku tidak menunggu ia selesai berbicara dan langsung memutuskan panggilan. Aku tahu meskipun mulutnya berbicara seperti itu, tapi kalau terjadi sesuatu padaku, Widya akan mengurus masalah ini dengan baik. Aku percaya kepadanya.

Aku keluar ke balkon dan meringkuk di pagar sambil memandang kota yang asing dan kenal bagiku. Aku jadi teringat rasa kepercayaan diri saat aku tiba di kota ini, teringat aku sedang memimpin dari belakang, sehingga Keluarga Yang dan Keluarga Wang bertengkar, itu cukup membuatku senang. Semuanya seperti mimpi.

Aku tak sangka…aku masih saja kalah kepada kecerobohanku, kepercayaan diriku. Aku tidak takut kalah, aku takut melibatkan anakku yang lucu, melibatkan teman-temanku dan juga takut Jessi yang sedang menunggu kedatanganku di Beijing, takutnya ia tidak dapat menunggu brengsek seperti diriku memakaikan gaun pernikahan untuknya.

Tiba-tiba teleponku berdering. Aku menundukkan kepalaku dan menemukan Jessi yang menghubungiku. Aku tahu ia pasti sudah mendengar beritanya.

Aku menekan tombol angkat, lalu disebrang sana terdengar suara datar Jessi yang bilang, “Aku sudah mendapatkan beritanya, bagaimana kamu bersiap untuk mengatasinya?”

Aku menarik nafas dalam dan berkata, “Aku mau menyerang langsung dan membunuh seluruh Keluarga Yang.”

Jessi yang berada di sebrang sana tidak berbicara. Hatiku benar-benar merasa bersalah. Aku berkata, “Aku tahu, mau atasan atupun warga biasa sedang menatap kepada beberapa keluarga besar ini. Kalau aku benar-benar langsung membawa orang ke Keluarga Yang dan bertengkar disana, mungkin akan ada banyak orang yang terluka. Saat itu kekacauan yang disebabkan akan tidak sebanding dengan sebelumnya. Kekacauan yang kusebabkan kali ini, memiliki bukti yang cukup, maupun orang yang di belakang sana ataupun atasan Beijing tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk menyerangku. Meskipun atasan ingin menggunakan diriku untuk mengeluarkan orang di belakang sana, tidak berarti mereka akan memaafkanku, lagipula mereka hanya perlu memastikan aku tidak mati. Kalau dipenjara…seperti sudah tidak bisa terhindar dan ada mungkin dipenjara selama hidup…”

Aku tidak dapat melanjutkan kata-kataku lagi. Aku dapat mendengar helaan nafas Jessi dari sebrang sana. Aku juga menghela nafas dan berkata, “Jessi, maafkan aku. Sepertinya aku harus mengingkari janji lagi. Kalau aku benar-benar dipenjara, kamu tidak perlu menungguku dan cari orang yang lebih baik dariku untuk dinikahi. Kamu boleh menikahi siapapun, tetapi tidak dengan Hensen. Anak itu cocok denganmu. Lagipula aku lihat ia sudah memilih jalan yang salah. Siapa tahu ia bisa melanggar sesuatu yang lebih besar dan tidak bisa memberikan kebanggaan dan kehidupan yang tenang untukmu. Kamu tenang saja, kalaupun aku dipenjara, aku juga memiliki cara untuk mengalahkannya…”

Aku asal mengatakan kalimat yang tidak berguna, bahkan ada beberapa kata yang kurasa terlalu kekanak-kanakkan. Tapi aku selalu merasa tidak ada kesempatan lagi kalau aku tidak mengucapkannya, jadi aku dengan semangat mengatakan semuanya. Hingga akhir, aku bisa merasakan mulutku sudah mau kering. Jessi masih saja tidak berbicara. Tiba-tiba aku menghela nafas dan terduduk lemas di lantai. Aku berkata dengan pelan, “Maaf, maaf, maaf, maaf…”

Aku menutup mulutku untuk menahan tangisanku. Kurasa tidak ada seorangpun yang mengerti perasaanku sekarang, tidak akan mengerti betapa aku ingin menikahi wanita ini. Gaun pernikahan yang kugambarkan untuk dirinya, sepertinya tidak ada kesempatan lagi untuk dipakaikan olehnya.

Jessi. Jessi, akhirnya kamu tidak dapat menunggu berita baik dariku, bukan?

Jessi akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara. Ia bilang, “Tidak perlu meminta maaf kepadaku. Dan juga, selain dirimu, aku tidak akan menikahi siapapun. Maupun kamu dipenjara, aku juga akan menunggumu keluar. Kamu dikurung setahun, aku akan menunggumu setahun. Dikurung sepuluh tahun, aku akan menunggu sepuluh tahun. Mau dua puluh tahun, tiga puluh tahun…ataupun selamanya, aku juga rela menunggumu.”

Tiba-tiba air mataku mengalir. Suara Jessi juga terdengar suara isakannya. Ia bilang, “Dasar cengeng! Kamu pasti terharu hingga hidungmu merah. Sudah sebesar apa dirimu, apakah kamu tahu lelaki sejati tidak mudah menangis?”

Aku berkata, “Bukankah sama untukmu? Dasar bocah!”

“Aku sudah sebesar apa, kamu masih saja memanggil bocah.” Jessi tertawa, tetapi aku bisa menemukan dirinya sedang menangis dari suaranya yang bergetar.

Aku berkata, “Di mataku, kamu selalu adalah bocah bodohku.”

Jessi berkata, “Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Aku akan mendukungmu.”

Hatiku sedikit kacau mendengar ucapan Jessi. Rasa yang paling besar adalah terharu, tetapi aku bagaimana mungkin menyuruhnya untuk brengsek seperti diriku selamanya? Bagaimana mungkin aku menganggu masa-masa baiknya?

Aku ingin sekali mengatakan kepadanya untuk tidak menungguku, untuk tidak menghabiskan waktu pada diriku. Tapi aku tidak bisa mengucapkannya, karena aku tahu ia tidak akan mendengar perintahku, yang terpenting adalah didalam hatiku masih ada pikiran yang egois, yaitu aku masih berharap bisa memilikinya.

Mungkin aku memanglah orang yang egois. Walaupun aku tahu bisa mendapatkan masalah karena ini, mungkin saja tidak ada kesempatan untuk bersama dengannya. Mulutku mengaku kekalahan terhadap dunia ini, tetapi hatiku tidak mengalah.

Saat ini, Samuel dan Sulistio mendatangiku. Aku tahu mereka ada sesuatu yang ingin dilaporkan kepadaku. Aku mengatakan kepada Jessi, “Jessi, aku putuskan panggilanku terlebih dahulu, aku masih kerjaan lain.”

“Baik.”

Aku memutuskan panggilan dan terduduk di lantai sambil memandang bengong kearah telepon. Mengingat pembicaraanku dengan Jessi tadi, aku mengeluarkan sebatang rokok dan kuhisap beberapa kali. Sulsitio berjalan kearahku dan berkata, “Kak Alwi, aku dan Samuel sudah membahasnya, untuk masalah Keluarga Yang, kamu tidak mengurusnya. Kita berdua akan membawa orang untuk menyerang langsung. Jika atasan ingin menyalahkan orang, juga salahkan kepada kami, sama sekali tidak berhubungan dengan Kak Alwi.”

Aku menaruh rokok di mulutku sambil mengeluarkan asap. Memandang mereka berdua, aku tahu mereka ingin membantuku untuk menanggung hukumannya, aku sangat terharu dan sedikit marah. Aku bertanya, “Bukankah kalian berdua ingin membuatku merasa sangat bersalah? Kita adalah teman, kalian berdua menjual nyawa kalian untukku dan masih ingin menanggung hukuman untukku. Kalau begitu, bagaimana denganku? Bukankah sangat tidak bertanggung jawab?”

Sulistio dnegan sibuk berkata, “Kak Alwi, kita tidak bermaksud seperti itu, hanya saja usahamu hingga hari ini, kamu dan Nona Jessi sudah mau… Kita tidak boleh mengagalkan kebahagiaanmu. Ini adalah kemauan kita, kamu tidak perlu merasa bersalah atau tidak enak, benar.”

Aku mematikan rokok dan berkata, “Aku dan Jessi memang tidak mudah untuk bersama. Kalau begitu, aku tanya apakah kamu mudah dengan Kak Mondy?”

Tatapan mata Sulistio ada rasa sedih. Ia menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku bersalah kepada mereka, tapi apa yang kuperoleh hari ini, merupakan pemberian dari Kak Alwi. Aku harus membalas kebaikanmu, kurasa Kak Mondy tidak akan menyalahkanku.”

“Tidak mungkin.” ujarku kesal. “Sulistio, bukan aku mengataimu. Kamu lebih tua dariku beberapa tahun dan juga sudah menjadi suami dan Ayah, bagaimana tidak memiliki rasa tanggung jawab atas keluarga? Dengan apa kamu berkorban untuk diriku, sehingga Kak Mondy mereka bisa mengerti? Kalaupun mereka mengertinya, bagaimana aku harus memikirkannya? Aku akan merasa bersalah selamanya, aku selamanya akan memandang rendah diriku. Kamu ini bukan menolongku, kamu itu lagi mengacaukanku.”

Sulistio makin menundukkan kepalanya karena ucapanku. Samuel berkata, “Kalian semua memiliki keluarga, tetapi aku sendirian, jadi kalian semua minggirlah dan biarkan aku menanggung hukumannya.”

Aku memutar balik bola mataku dan berkata, “Menanggung hukuman apa! Apakah aku terlihat begitu takut mati? Lagipula aku menolong anakku sendiri, mengapa kalian tidak membiarkan aku melakukannya?”

“Tapi masalah ini akan menyebabkan kekacauan yang besar. Kak Alwi pergi dan mungkin saja tidak akan keluar selamanya.” ujar Samuel sambil mengerutkan dahinya.

Aku berdiri pelan-pelan dan tersenyum kepadanya. Aku berkata, “Temanku yang bodoh, bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya? Tapi memang mengapa? Kehidupan memang seperti itu, ada yang bisa dilakukan, ada yang tidak bisa dilakukan. Aku bertarung demi anakku, kalaupaun aku mempertaruhkan semuanya, memang mengapa?”

Setelah itu, aku membungkuk kepada mereka. Mereka terkejut dan sibuk bertanya kepadaku apa yang kulakukan. Aku berkata, “Aku tahu kalian berdua berpikir untuku. Aku menerima kebaikan kalian, tapi aku benar-benar tidak bisa menggunakan kalian dengan tenang dan diriku sendiri bersembunyi begitu saja. Apalagi membuat kalian dalam kebahayaan bersamaku, sudah cukup membuatku bersalah. Kalau kalian terus seperti ini, aku tidak ada muka lagi untuk mengajak kalian pergi bersamaku.”

Sulistio dan Samuel adalah asistenku yang terbaik. Untuk masalah ini, atasan tidak akan menangkapku sendiri, mereka pasti akan terlibat. Meskipun aku sudah memikirkan berbagai cara untuk mereka segera kembali, tapi hatiku masih merasa bersalah. Jadi saat mereka ingin menanggung hukuman untukku, aku semakin merasa bersalah.

Sulistio sibuk mengatakan, “Kak Alwi, kita semua adalah teman. Saling berbagi sesuatu yang baik dan buruk. Kamu jangan sungkan kepada kami.”

Aku tersenyum memandangnya dan berkata, “Iya, seharusnya kita saling berbagi kesulitan dan kebahagiaan. Jadi apa yang tadi kalian lakukan?”

Sulistio dan Samuel saling memandang, akhirnya menyadari kesalahan mereka dan tidak akan mengatakan hal-hal yang sembarangan seperti itu. Melihat mereka, aku merasa hatiku yang kacau menjadi hangat. Di saat ‘terakhir’ seperti ini, aku sudah merasa puas, bisa berbicara dengan teman-temanku.

Hanya saja….

Aku teringat Aiko dan hatiku sedikit ragu. Aku tahu dengan kepribadiannya, kalau tidak memberikannya kesempatan untuk menolong Cecilia, ia pasti tidak akan menurut dan marah besar. Tapi kalau ia pergi dan kita ditangkap, siapa yang akan merawat Cecilia? Jadi aku tidak boleh membiarkannya dalam kebahayaan.

Mengingat ini, aku memutuskan untuk menyuruh Samuel membeli obat. Setelah Samuel pergi, Sulistio berkata, “Kak Alwi, apakah kamu ingin memberi obat pingsan untuk Kak Aiko?”

“Iya, Aiko tidak boleh ada Ibu.” ujarku. “Jadi maupun ia akan menyalahkanku dan membencimu, aku juga harus melakukannya.”

Sulistio mengangguk dan berkata, “Aku mengerti dirimu. Kalau aku menjadi dirimu, aku juga akan melakukannya.”

Aku berkata, “Sulistio, bawakan beberapa sayur segar untukku.”

“Apa yang ingin kamu lakukan?”

“Sepertinya ia lapar. Aku berhutang kepadanya terlalu banyak, jadi ingin membuat sarapan untuknya.”

““Baik.”

Aku tidak lagi mengurus kondisi diluar sana, karena aku tahu aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan. Sekarang hanya perlu menunggu orangku datang, menunggu informasi pembagian daerah rumah Keluarga Yang dari Widya, lalu bersiap untuk bertarung!

Setengah jam kemudian, aku membawakan bubur dan sayur ke kamar Aiko. Ia pastinya tidak tidur. Saat membuka pintu, ia memandangku terkejut.

Aku bilang, “Lapar kan? Aku buatkan bubur dan sayur untukmu.”

Aiko menggelengkan kepalanya. Aku berjalan masuk dan menaruhkan barang diatas meja. Aku berkata, “Aku tahu kamu tidak lapar. Tapi coba kamu berpikir lagi, Cecilia sedang menunggu pertolongan kita, kalau kamu pergi dengan kondisi buruk, apakah bisa memastikan semuanya baik-baik saja?”

Ucapanku tidak lagi membuat Aiko keras kepala. Ia berjalan ke depan meja dan duduk. Aku berkata, “Makanlah beberapa suap untuk mengisi perutmu.”

Aiko mengangguk dan makan beberapa suap. Ia memandangku terkejut. Aku tertawa dan berkata, “Enak bukan?”

Ia mengangguk. Aku lanjut berkata, “Kalau begitu, makan banyakan dan juga sayurnya.”

“Hmm.” balas Aiko tidak semangat.

Aku tidak lagi berbicara dan duduk disampingnya menunggu ia selesai makan. Setelah ia selesai makan dan berdiri, tiba-tiba tubuhnya berguncang pelan. Aku segera berjalan kearahnya dan bertanya ada apa yang terjadi padanya. Ia bilang, “Kepalaku tiba-tiba terasa pening.”

Aku memeluk pinggangnya dan berkata, “Mungkin lelah, seharusnya kamu istirahat.”

Aiko tercengang dan memandangku berkata, “Kamu…”

Ia terjatuh dengan lemas dan aku menggendongnya. Melihat ia sedang mengerutkan dahinya, aku berkata dengan lembut, “Maafkan aku, Kak. Biarkan aku yang menolong Cecilia. Kamu tunggu saja, aku akan membawanya kembali.”

Aku meletakkan Aiko di ranjang dan melepaskan sepatunya, lalu kututup dengan selimut. Obat ini setidaknya berefek selama seharian, jadi aku tidak khawatir ia kan tiba-tiba terbangun. Aku akan menyelesaikan masalah sebelum ia kembali tersadar.

Melihat ia yang tertidur nyenyak, aku menyentuh pelan rambut halusnya, lalu berdiri dan berjalan keluar dengan percaya diri. Saat ini, Sulisitio berteriak, bahwa Nody mereka telah tiba.

Novel Terkait

The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu