Suami Misterius - Bab 1042 Akhir Dari Astrid

Ketika Wilson berusia enam tahun dan Key berusia satu setengah tahun, putra Aldio dan Raymond satu per satu lahir.

Pada tahun yang sama, nenek Sunarya meninggal.

Nenek Sunarya berusia sembilan puluh tahun, termasuk berumur panjang.

Saat meninggal juga sama sekali tidak ada penderitaan, mendadak serangan jantung ketika tidur, paginya nenek tidak turun ke bawah untuk sarapan, pembantu baru ke atas memanggilnya.

Ketika orang di rumah menyadari kematian nenek Sunarya, tubuh juga sudah kaku.

Keluarga Sunarya tidak mengadakan pemakaman yang berlebihan, tapi yang datang menghadiri pemakaman, hanya beberapa kerabat dan sahabat.

Bahron dan Ardian yang memimpin pemakaman, Rudy dan Clara juga membawa Wilson untuk hadir.

Semua orang mengenakan pakaian hitam, Wilson ikut di samping orang tuanya, ekspresi wajah sangat suram.

Anak berusia enam tahun, samar-samar sudah ada konsep terhadap kematian.

Dia tahu, kelak tidak akan bisa bertemu dengan nenek buyut lagi.

Dalam musik sedih, penuh dengan kesedihan.

Mata Bahron merah sekali, kelihatanya sangat sedih sekali.

Ardian selalu menemaninya.

Dan Astrid duduk di atas kursi roda, memeluk foto nenek Sunarya, menangis sambil menjerit histeris, suaranya lebih besar dibandingkan suara musik, benar-benar menjadi pusat perhatian dan bahan tertawaan di pemakaman.

Bahron tenggelam dalam kesedihan kematian ibunya, malas untuk mempermasalahkan semua ini dengan Astrid.

Namun, tidak lama setelah pemakaman nenek Sunarya selesai.

Orang tua meninggal belum lama, Astrid sudah menggugat kakaknya Bahron ke pengadilan, meminta untuk membagi aset kekayaan nenek Sunarya.

Dalam sekejap, tetua Sunarya menjadi terdakwa, masalah digugat oleh adik kandungnya ke pengadilan telah menjadi topik hangat di sosial kelas atas.

Bahron marah hingga tekanan darah terus melonjak, hampir saja masuk ke rumah sakit.

Harga dirinya seumur hidup ini, sudah dipermalukan habis-habisan oleh Astrid.

Astrid malah bersemangat dan membusungkan dada, merasa sangat beralasan dalam berbicara.

“Kakak, kamu juga jangan menyalahkanku hanya melihat uang tanpa melihat orang.

Mama tahu kamu tidak bisa diandalkan, setelah dia mati, kamu dan Ardian, masih ada putra kesayangan kalian Rendi Sunarya, kalian sekeluarga pasti tidak akan memperlakukanku dengan baik, jadi, sebelum mama meninggal pernah mengatakan, semua harta miliknya ditinggalkan untukku.”

“Mama tidak pernah mengatakan hal ini padaku, jika kamu memang memiliki surat wasiat, maka lakukan sesuai wasiat.”

Bahron berkata dengan wajah marah.

“Mama begitu mendadak meninggal, masih belum sempat menuliskan surat wasiat untukku.

Tapi karena dia sudah mengatakannya, maka itu tetap berlaku.”

Astrid berkata dengan tidak masuk akal.

“Karena tidak ada surat wasiat, maka bagi harta mama sesuai hukum yang berlaku saja.”

Bahron merasa malas untuk terus berdebat dengannya.

"Meskipun tidak ada surat wasiat, tapi saat mama mengucapkan kata-kata ini, pembantu di rumah mendengarnya.

Aku memiliki saksi mata."

Astrid menunjuk seorang pembantu di rumah.

Pembantu ini dipekerjakan oleh nenek Sunarya, khusus untuk merawat Astrid, umurnya tiga puluh lebih, belum menikah, marga Wang, biasanya orang-orang memanggi dia Miwang .

Miwang ditunjuk oleh Astrid, ketakutan dan berhati-hati mengatakan: “Saat nenek masih hidup memang pernah mengatakan, takut setelah dia meninggal, kak Astrid tidak memiliki sandaran, akan meninggalkan harta kekayaan atas namanya pada kak Astrid.”

Miwang berbicara, membuat Astrid semakin sombong.

Bahron marah hingga dadanya terasa sakit.

Ardian melihat Miwang dengan tatapan dingin, dalam hati tidak bisa menahan diri mencibir.

Pembantu yang mereka bayar, sekarang malah ikut dengan Astrid menyerang mereka.

"Apakah kamu mendengarnya dengan telinga sendiri saat nenek Sunarya mengucapkan kata-kata ini?"

Ardian bertanya.

"Iya."

Miwang mengangguk.

"Kapan dan di mana mengatakannya?"

Ardian lanjut bertanya, tatapan dan suara sangat tajam.

"Tidak ingat lagi, nenek Sunarya pernah mengatakan beberapa kali, semua dikatakan di dalam kamar kak Astrid.

Nenek Sunarya berkata: harta kekayaan dalam keluarga Sunarya atas nama tetua Sunarya, kak Astrid ingin mendapatkannya juga sulit.

Jadi ingin meninggalkan harta kekayaan atas namanya kepada kak Astrid.

Nenek Sunarya masih nengatakan: lagi pula, lagi pula tetua Sunarya tidak kekurangan uang segini."

Kata-kata Miwang , sungguh membuat Bahron dan Ardian tidak bisa berkata apa-apa.

Jika Bahron tidak setuju memberikan semua harta kekayaan atas nama nenek Sunarya pada Astrid, artinya bahkan uang sekecil ini juga diperebutkan.

“Aku benar-benar sudah meremehkanmu.”

Ardian tidak bisa menahan diri untuk mencibir, memerintahkan: “Karena kamu begitu berkemampuan, kelak kamu ikut dengan Astrid saja, gajimu juga dia yang akan membayarkannya.”

“Masalah gaji, aku sudah berjanji padanya. Aku merasa gaji yang kalian berikan pada Miwang terlalu rendah, aku sudah menaikkan gaji untuk dia.”

Astrid sambil bicara sambil tersenyum.

Wajah Ardian dingin sekali, mengatupkan bibir tidak mengatakan apa pun.

Astrid sambil tersenyum sambil merapikan rambutnya, terus mengatakan: “Kakak, kamu selalu efisien dalam melakukan sesuatu, aku berharap, kamu bisa memutuskan secepatnya, bagaimanapun, aku harus membayar gaji Miwang , sangat menunggu uang untuk digunakan.”

“Benarkah?

Kalau begitu tunggu saja.

Seharusnya pengacaramu sudah memberitahumu, gugatan warisan semacam ini sangat menghabiskan tenaga dan uang.

Dalam satu tahun ini, bahkan beberapa tahun yang akan datang, aku rasa kamu bukan hanya harus hutang gaji pada Miwang , masih akan berhutang sejumlah besar biaya pengacara.”

Ardian menyilangkan kaki, berbicara sambil mengangkat dagunya.

“Kalau itu kakak ipar tidak perlu khawatir, aku masih memiliki beberapa perhiasan yang ditinggalkan mama untukku, masih cukup untuk melawan gugatan selama delapan atau sepuluh tahun.

Hanya saja, tidak tahu apakah kakak dan keluarga Sunarya sanggup tidak dipermalukan seperti ini.”

Astrid selesai bicara, memanggil Miwang " Miwang , dorong aku kembali ke kamar saja. Aku agak lelah, nanti sore masih harus bertemu dengan pengacara.”

“Kalian memang sudah harus kembali ke kamar, cepat kemasi barang-barang kalian.”

Ardian berdiri dari sofa, menatap Astrid dari atas ke bawah.

“Aku hanya memberi kalian waktu dua jam, jika kalian masih belum pergi, aku hanya bisa menyuruh orang melempar kalian keluar.”

“Berdasarkan apa?

Ini adalah rumah keluarga Sunarya, kamu memiliki hak apa untuk mengusirku pergi!”

Raut wajah Astrid langsung berubah.

“Rumah ini tidak ada hubungannya dengan kalian. Aku menerima kalian tinggal di sini karena rasa kemanusiaan, tapi bukan kewajiban untuk harus menerima kalian tinggal di sini.”

“Ardian, kamu mengusirku keluar, apakah tidak takut orang lain membicarakan keluarga Sunarya di belakang sana!”

Kedua tangan Astrid memegang kursi roda, marah hingga kedua telapak tangan gemetaran.

“Mama meninggal belum lama, kamu sudah menggugat kakak kandungmu ke pengadilan, keluarga Sunarya sudah dipermalukan habis-habisan olehmu, juga tidak masalah tambah sedikit lagi.”

Ardian berkata dengan acuh tak acuh, memerintahkan Bibi Liu mengawasi Astrid pindah rumah, agar mereka tidak membawa pergi barang yang tidak seharusnya mereka ambil.

Astrid membawa Miwang , serta simpanan pribadi dan perhiasan nenek Sunarya, bersama-sama pindah dari kediaman Sunarya.

Bahron marah hingga tekanan darah langsung melonjak 180, Ardian mengambilkan obat dan air, membujuknya: "Sudahlah, tidak pantas marah hingga sakit hanya karena dia. Aku sudah menghubungi akuntan, untuk menghitung aset atas nama mama, dia mau maka berikan saja padanya."

Bahron memegang tangan istrinya, merasa tidak berdaya dan menghela nafas.

Sebuah gugatan hukum, mereka memang tidak sanggup menghabiskan waktu untuk hal itu.

Astrid tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, dia berani berbuat seperti itu, tapi keluarga Sunarya tidak bisa dipermalukan seperti itu.

Hanya saja, akuntan Ardian belum selesai menghitung aset atas nama nenek Sunarya, mereka sudah menerima telepon dari pihak kepolisian.

Ternyata, setelah Astrid membawa Miwang keluar dari kediaman Sunarya, lalu tinggal di sebuah apartemen.

Miwang mengambil kesempatan di saat Astrid tertidur, mencuri semua perhiasaan Astrid dan bersiap melarikan diri, sungguh tidak kebetulan sekali, tengah malam Astrid bangun untuk ke toilet dan memergokinya.

Kedua orang terjadi perselisihan, setengah badan Astrid tidak bisa digerakkan, tentu saja tidak bisa menang melawannya, didorong oleh Miwang hingga terjatuh dari atas balkon dan kepala belakangnya terbentur.

Karena terjadi pada malam hari, tidak ada orang yang menyadarinya.

Keesok paginya, setelah bibi yang membersihkan koridor menemukannya, langsung lapor polisi.

Setelah melakukan penyelamatan, Astrid didiagnosis kondisi vegetatif persisten, jika bisa dirawat dengan baik, mungkin bisa bertahan hingga Petty dibebaskan dari penjara.

Bahron sudah tidak merasa sedih melihat Astrid berbaring di atas ranjang pasien dengan kondisi tidak hidup juga tidak mati, hanya menghela nafas dalam-dalam.

Novel Terkait

Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu