You Are My Soft Spot - Bab 164 Pasien Wanita Misterius di Rumah Sakit (1)

Tiffany Song gemetar. Ia menatap Callista Dong heran. Ia pikir ia sudah menyembunyikan ini dengan sangat baik, kok wanita ini tetap bisa tahu?

Melihat Tiffany Song tidak membantah, sinar di mata Callista Dong langsung meredup. Ia memejamkan mata dalam-dalam. Tiffany Song melihat monitor detak jantung Callista Dong yang langsung naik turun tidak beraturan. Ia menggoyang-goyang tangan wanita itu dengan kencang: “Mama, aku Nini, aku sungguhan Nini, mama jangan pikir yang macam-macam. Mama sembuhkan dulu luka mama, nanti setelah mama sudah pulih sepenuhnya kita bicarakan lagi ini.”

Callista Dong membuka matanya. Melihat Tiffany Song panik, ia membalas: “Aku dari awalnya harusnya sadar. Pertama kali berjumpa denganmu aku langsung salah paham denganmu. Ada juga petunjuk dari kata-kata papamu padaku dan sikap bencinya padamu. Tiffany Song, beritahu aku, Nini yang sebenarnya ada di mana?”

“Mama, luka mama sangat parah. Nanti setelah mama sembuh kita baru bicarakan ini lagi, oke?” bujuk Tiffany Song. Kalau ia memberitahukan soal Nini sekarang, kondisi tubuh Callista Dong pasti akan melemah.

“Benarkah ia sudah mati?” tanya Callista Dong tiba-tiba.

Tiffany Song membuang muka. Ia tidak berani menatap langsung mata Callista Dong yang dipenuhi penantian. Penantian bahwa tebakannya ternyata tidak benar, penantian Tiffany Song membantah kata-katanya. Tetapi kenyataan tidak sesuai dengan penantiannya…… Tiffany Song mengangguk berat: “Nini pada usia dua tahun mati tenggelam. Nenek merasa sangat bersalah, ia takut kamu akan menyalahkannya saat kamu kembali, jadi ia pergi ke panti asuhan dan mengadopsiku. Nenek kemudian sakit katarak dan ia menyerahkanku ke keluarga Song. Aku pun tumbuh besar di rumah kediaman keluarga Song.”

Air mata langsung mengalir deras dari sepasang mata Callista Dong. Ia dari awal sebenarnya sudah menebak ini, tetapi ia tidak berani menerimanya karena itu akan menyakitkan. Ia bahkan tidak berani mengambil rambut Tiffany Song untuk dites DNA. Dengan hati pilu, ia berteriak pelan, “Niniku yang sangat kasihan!”

Tiffany Song ikut menangis. Ini teriakan seorang ibu yang sangat putus asa dan sangat berduka. Tiffany Song menunduk dan berujar dengan penuh penyesalan: “Maaf, ini aku juga baru tahu. Aku bingung bagaimana menceritakannya padamu.”

Monitor detak jantung langsung menunjukkan peringatan. Melihat peringatan ini, Tiffany Song langsung menekan tombol gawat darurat. Dokter dan perawat segera datang sambil berlari. Tiffany Song disuruh keluar. Dari kaca, ia melihat mereka melakukan penyelamatan pada Callista Dong sambil menutup mulut. Dadanya sesak sekali.

Ia tidak tahu dari mana Callista Dong tahu hal ini, tetapi jelas sekali kenyataan ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi wanita itu. Tiffany Song dalam hati berdoa: Nenek, Nini, mohon lindungi dia agar tidak apa-apa.

Keadaan Callista Dong sudah kembali stabil setengah jam kemudian. Dokter berpesan pada Tiffany Song untuk tidak membuat emosi pasien naik turun lagi, kalau tidak ia dikhawatirkan tidak akan bisa distabilkan lagi.

Tiffany Song keluar dari area ICU. Ia berjalan gontai ke kursi di hadapannya dan duduk di sana. Sambil memangku wajah dengan kedua tangan, ia menatap area ICU. Mulai saat ini, ia kembali jadi orang yang sebatang kara lagi.

Dari sisi sebelahnya tiba-tiba terlihat sepasang sepatu kulit yang berkilapan. Tiffany Song mendongak mencari tahu siapa pemilik sepatu itu. Ternyata Taylor Shen yang datang. Tiffany Song langsung memendamkan kepalanya ke pelukan pria itu.

Taylor Shen menggenggam tangan Tiffany Song, lalu meledek: “Kok tiba-tiba seramah ini menyambutku?”

Tiffany Song bersandar lemah dalam pelukan pria itu. Sambil merangkul lehernya, ia bercerita serak, “Taylor Shen, mama sudah tahu, mama sudah tahu aku bukan Nini. Apa aku ini terlalu egois? Aku tidak berani menceritakan ini padanya selain karena takut hatinya terluka juga karena takut aku akan kehilangan semua kebaikan yang ia berikan.”

Hati Taylor Shen langsung berdesir. Tiffany Song selalu berpura-pura kuat. Ia baru bisa mengetahui isi pikiran wanita itu setiap terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Sejak Tiffany Song tahu dirinya adalah anak sebatang kara yang tidak punya orang tua, wanita itu terus ketakutan ditinggal Taylor Shen. Meski ia sekarang sudah dua puluh lima tahun, ketakutan akan ditinggalkan ini tidak lenyap juga darinya.

Tiffany Song selalu berpura-pura kuat hanya karena takut Taylor Shen melihat sisi lemahnya. Dasar wanita ini……

“Jangan menangis, Tiffany Song. Sekali pun kamu kehilangan seluruh dunia, kamu masih punya aku. Aku selalu ada di sisimu,” Tiffany Song mengelus-elus punggung Tiffany Song.

Tiffany Song diam saja dengan posisi masih tetap bersandar di bahu Taylor Shen. Ia tiba-tiba bingung. Ia bukan Nini, bukan juga Tiara, jadi dia sebenarnya siapa?

“Tenang, jangan menangis lagi, oke?” Taylor Shen mencium jidat Tiffany Song. Mengapa wanita ini selalu membuat dia iba dan kasihan sih?

Beberapa lama kemudian, suasana hati Tiffany Song sudah jauh lebih baik. Ia mengelap air matanya dan berusaha tersenyum pada Taylor Shen, “Aku sudah tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatirkan aku.”

Taylor Shen menatap Tiffany Song lekat-lekat. Ia mengelap lagi air mata Tiffany Song yang masih menetes sedikit, lalu menepuk-nepuk tangannya: “Aku sudah menyuruh orang untuk menyelidiki insiden di lokasi proyek. Orang yang memukul Callista Dong adalah pekerja yang emosi karena gajinya bulan lalu salah dihitung. Kami Sudha melaporkannya ke polisi.”

“Terima kasih, Taylor Shen. Kamu adalah Doraemon-ku.” Tiffany Song memeluk Taylor Shen. Asal ada dia di sisinya, masalah apa pun yang ia hadapi pasti akan bisa diselesaikan dengan lebih mudah.

Taylor Shen mengetuk-ngetuk jidat Tiffany Song sambil tertawa: “Memang menurutku aku mirip robot kucing itu?”

“TIdak mirip,” Tiffany Song menggeleng. Orang ini memang tidak mengerti analogi ya……

Taylor Shen mengajak Tiffany Song berdiri, “Yuk jalan, kita pulang dulu.”

“Tetapi……” balas Tiffany Song ragu-ragu sambil menatap area ICU.

Seperti tahu apa yang dikhawatirkannya, Taylor Shen menenangkan: “Di sini ada dokter-dokter dan perawat-perawat yang siap menjaga Callista Dong setiap saat. Kamu sekarang butuh istirahat, kalau tidak nanti setelah dia keluar dari ruang ICU kamu tidak punya tenaga untuk merawatnya.”

“Iya.” Tiffany Song menarik pandangannya dari ruang ICU.

Tiffany Song esoknya buru-buru datang ke rumah sakit begitu mendengar kabar Callista Dong sudah keluar dari ruang ICU. Ia tiba-tiba dihadang Audrey Feng di depan ruangannya. Audrey Feng bilang, Callista Dong tidak mau bertemu dengannya.

Tiffany Song dalam hati tahu betul alasan Callista Dong tidak mau bertemu dengannya. Ia tidak mau membuat Callista Dong stress lagi, jadi ia berbalik badan untuk bergegas keluar dari rumah sakit. Di depan pintu lobi, ia melihat Benjamin Song berjalan melangkahi anak tangga satu per satu sambil membawa sebuket bunga.

Sejak ia dan Lindsey Song kecelakaan, ia belum pernah berjumpa lagi dengannya. Benjamin Song kali ini terlihat sangat bersemangat dan bugar. Tiffany Song sama sekali tidak terkejut dengan kehadirannya di sini, toh Callista Dong bagaimana pun juga adalah mantan istrinya.

Melihat sosok Tiffany Song, Benjamin Song bertanya: “Bagaimana keadaan mamamu?”

Begitu menatap Benjamin Song, Tiffany Song langsung teringat semua kekerasan yang ia alami. Hatinya bergetar. Pria ini sudah membesarkannya dan menyediakan ini itu baginya, tetapi sekaligus tidak mencintainya sama sekali. Tiffany Song tidak tahu apakah ia harus berterima kasih padanya atau membencinya, tetapi yang jelas ia harus mengklarifikasi satu hal soal Callista Dong.

“Dia barusan baru keluar dari ruang ICU, tapi ia menolak bertemu denganmu. Kamu tahu sebabnya?”

Benjamin Song sudah tiba di ujung anak tangga. Ia kini berdiri sejajar dengan Tiffany Song. Pria itu tiba-tiba teringat perjumpaan pertamanya dengan wanita itu. Tiffany Song kala itu berdiri di depan pintu bersama Nenek Dong sambil menatapnya dalam-dalam. Ia terlihat sangat mengibakan.

“Apa?”

“Karena aku bukan putrinya. Putri kandung dia dan kamu dua puluhan tahun lalu mati tenggelam di sungai. Ia dari dulu tidak pernah mengkhianatimu, kamu yang harusnya merasa bersalah pada dia karena berpikiran tidak-tidak.” Tiffany Song merasa puas melihat ekspresi kaget Benjamin Song. Tanpa berbicara lagi, ia langsung berbalik badan dan pergi.

Benjamin Song sangat terkejut soal ini. Ia termenung menatap bayangan tubuh Tiffany Song yang semakin lama semakin jauh darinya. Ia tidak berani percaya, Callista Dong ternyata tidak pernah mengkhianatinya. Mereka memang benar-benar punya seorang putri, tetapi anak yang hidupnya sangat tragis itu telah mati.

……

Tiffany Song tidak tahu ia harus ke mana sekeluarnya dari rumah sakit. Ia merasa tidak ada satu tempat pun di dunia yang bisa mengayominya. Setelah lelah berjalan, ia memutuskan duduk di kursi kayu depan sebuah mal. Ia duduk sambil mengamati langit biru yang berawan.

Tidak jauh dari tempatnya duduk sebuah Maybach berhenti pelan di sisi jalan. Pintu belakang dibuka dan keluarlah sesosok pria berjas hitam. Pria itu berjalan ke bangku kayu dan duduk di sebelah Tiffany Song sambil berkata: “Jam kerja kok malah duduk-duduk di sini? Jadi manajer umum ternyata tidak begitu sibuk ya.”

Tiffany Song menoleh kaget. Begitu sadar siapa sosok yang duduk di sampingnya, ia bertanya keheranan, “Tuan He, kok kamu bisa ada di sini?”

“Kebetulan saja. Melihat kamu duduk di sini seperti anjing kecil yang tidak berpemilik, aku memutuskan turun dari mobil dan menghampirimu. Kamu lagi lihat apa?” James He ikut menatap ke arah yang sedang ditatap Tiffany Song. Ia tidak menemukan apa-apa yang menarik.

Tiffany Song tertawa pelan: “Aku bukan anjing kecil yang tidak berpemilik kok.”

“Kalau begitu kucing kecil?” tanya James He dengan alis terangkat.

“Bukan juga. Aku anak perempuan sebatang kara,” tutur Tiffany Song pilu.

“Sebatang kara? Kok aku ingat papamu namanya Benjamin Song dan mamamu namanya Callista Dong ya? Bagaimana bisa kamu tiba-tiba berubah jadi anak sebatang kara?” James He tidak pernah sembarangan mendekati orang. Ia sebelumnya sudah pernah menyuruh orang untuk menelusuri latar belakang Tiffany Song. Yang unik darinya adalah ayah dan ibunya cerai, lalu ia tinggal dengan ayahnya dan ibu tiri.

“Panjang ceritanya, kapan-kapan kalau ada waktu aku ceritakan.” Tiffany Song teringat sesuatu, “Oh ya, mumpung ketemu, desain rancangan yang kamu minta buat waktu itu aku sudah selesaikan. Mungkin ada baiknya aku tunjukkan padamu sekarang untuk minta tanggapanmu, kalau tidak entah kapan kita bertemu lagi berikutnya.”

James He mengangguk: “Boleh. Tetapi tidak akan menunjukkannya padaku di sini juga kan?”

“Di depan ada kedai kopi. Kita ke kedai kopi saja, nanti aku tunjukkan desain rancangannya pada kamu si orang besar ini. Oke tidak?” tanya Tiffany Song sambil meledek. Ia kemudian mengambil tasnya dan bangkit berdiri. Membincangkan pekerjaan membuat suasana hatinya yang buruk barusan langung terlupakan.

James He ikut bangkit berdiri. Ia mengamati lekat-lekat penampilan Tiffany Song yang langsung bergairah begitu membicarakan pekerjaan. Barusan ia bukannya bersedih seolah dimusuhi orang satu dunia ya? Dasar wanita, mereka memang mudah berubah drastic.

James He merapikan kerah bajunya dan ikut Tiffany Song berjalan ke kedai kopi. Supir memidahkan Maybach-nya ke parkiran yang paling dekat dengan kedai kopi.

Tiffany Song memesan segelas cappuccino untuk dirinya sendiri dan segelas latte untuk James He. James He menatapnya dengan bertanya-tanya: “Kok kamu tahu aku suka latte?”

“Hanya nebak saja.” Tiffany Soong tersenyum lebar. Ia menyalakan laptop, membuka file desain rancangan, lalu menggeser laptopnya itu ke arah James He: “Ini desain rancangan yang sudah aku edit, coba kamu lihat. Kalau tidak ada masalah, kita langsung tandatangan kontrak biar besok aku bisa suruh orang-orangku mulai kerjakan. Masa kerjanya, karena sekarang sudah musim dingin dan ada beberapa bagian bangunan yang butuh waktu lama untuk mendingin, aku tetapkan tiga bulan. Menurutmu bagaimana?”

James He menggerak-gerakan kursor untuk melihat-lihat semua bagian desain rancangan. Desain yang kali ini terlihat juah menarik dari yang sebelumnya. Desainnya terlihat sangat asri, juga menggabungkan kelembutan dan kegagahan. Ia bertanya pada Tiffany Song: “Kamu suka desain rancangan ini?”

“Jelas dong, desain rancangan yang dibuat oleh seorang desainer pasti menuruti kesukaannya. Sebagai rumah pengantin baru, rumah ini harus mengakomodasi definisi rumah baik bagi pihak pria maupun pihak wanita. Aku rasa calon istrimu juga akan suka dengan desain ini,” jawab Tiffany Song penuh percaya diri.

James He menggeser laptop kembali ke hadapan Tiffany Song. Ia berujar santai: “Ya sudah aku setuju dengan yang ini. Masa kerja tiga bulan juga oke. Kamu print saja kertas kontraknya, besok datang ke kantorku untuk aku tandatangani.”

Tiffany Song entah mengapa merasa ada sesuatu yang ganjil. Meski kini bukan pertama kalinya ia bekerjasama dengan James He, ia sangat penasaran mengapa pria itu barusan bertanya apa ia suka dengan desain ini. Ia dari dulu belum pernah berjumpa dengan kekasihnya, apa ini sungguhan rumah pengantin barunya?

“Tuan He, ini kan rumah pengantin baru, kalau kamu minta pendapat calon istrimu juga bukannya itu akan lebih ideal ya?”

“Dia orang yang sering tidak bisa berpendapat. Apa yang aku suka ia pasti akan suka juga. Ya sudah sampai di sini dulu ya, aku masih ada urusan. Pamit duluan ya.” James He bangkit berdiri sambil membawa jas yang ia taruh di punggung sofa barusan. Tiffany Song ikut bangkit berdiri dan mengajaknya bersalaman, “Senang bekerjasama denganmu, Tuan He!”

James He menyambut sodoran tangan Tiffany Song. Ia menggoyangkan lembut salaman mereka, lalu melepaskan tangannya dan bergegas pergi.

Tiffany Song mengamati bayangan tubuh James He. Sebagai pewaris takhta keluarga He, ia orang yang sangat rendah hati. Tiffany Song bahkan hampir tidak pernah melihat berita tentangnya di koran. Orang sukses sejati memang begitu, mereka sibuk bekerja keras di belakang tanpa bersedia diberitakan dan dibesar-besarkan.

Ia sangat penasaran bagaimana rupa kekasih James He.

Tiffany Song mengalihkan pandangannya ke desain rancangannya. Rumah impiannya sebenarnya juga seperti ini. Ia menyimpan ulang desain rancangan itu, mematikan laptop, lalu berjalan ke kasir. Ketika bersiap membayar, pelayan kafe bilang James He sudah menyelesaikan tagihan mereka duluan.

Ia tersenyum dan keluar dari kafe.

Novel Terkait

Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu