You Are My Soft Spot - Bab 417 Aku Bakal Baik Padamu (2)

Bibi Yun mengernyitkan alis. Ia marah sampai pandangannya terasa menghitam, “Kamu…… Bagaimana bisa aku melahirkan anak pembangkang seperti ini? Apa kamu harus lihat aku mati dulu baru puas?”

Melihat wajah mama sangat merah, Erin jadi khawatir dia bakal kenapa-napa. Sekali pun sangat kesal, ia terpaksa menghaluskan nada bicaranya, “Mama, jangan paksa aku lagi. Semakin kamu memaksaku, aku lama-lama bisa mati.”

Si anak lalu melanjutkan langkah keluar ruang pasien. Ia menyandarkan diri di tembok yang dingin. Ruang pasien hening beberapa saat, lalu terdengar bunyi barang-barang jatuh dan pecah. Erin memejamkan mata dengan hati pedih, air mata juga keluar dari sana.

Erin tidak bersedia mengalah, lebih-lebih juga tidak bersedia melepaskan James He. Mereka sudah sangat bahagia dengan hubungan ini, mana sanggup ia melihat si pria akhirnya bersanding dengan wanita lain? Maaf mama, tapi setujuilah rencana pernikahan kami……

Bibi Yun tidak menyangka anak baik-baik yang sudah ia besarkan bisa mengungkit soal kematian segala. Ia sendiri juga sadar dirinya sudah memaksanya dengan terlalu keras, bagaimana ya cara yang lebih ideal?

Tuan Muda sudah bilang tidak bakal melepaskan Erin, anaknya sendiri juga sudah berkeinginan kuat buat menikah dengan si pria. Tapi, ia sungguh tidak mau melihat mereka menikah.

Si bibi menoleh ke jendela, lalu seberkas sinar melintasi matanya. Dengan situasi yang alot begini, ia mau tidak mau harus mengikuti cara nenek Tuan Muda.

…..

Dari rumah sakit, Erin pergi ke Parkway Plaza. Waktu ia baru membuka pintu ruang kerjanya, asisten sementara langsung menghampiri: “Sekretaris Erin, situasi tidak bagus. Di bawah, ada klien yang minta pengembalian barang dan kompensasi.”

Erin memijit-mijit pelipisnya yang berdenyut. Ia menaruh tas di meja kerja, lalu berjalan keluar bareng si asisten sembari mendengarkan penjelasannya. Selama dia dan Vero He tidak ngantor, ternyata ada barang imitasi, yang tidak diketahui dari mana datangnya, terjual ke konsumen. Mereka sial, sebab si konsumen sangat paham dengan fashion. Ini membuatnya marah-marah dan protes keras.

Setibanya di gerai yang dituju, di depan sana sudah berkumpul sepasang nyonya dan nona. Para petugas gerai berjaga di belakang dengan wajah muram. Melihat sosok Erin, mata mereka langsung berbinar-binar bagai bertemu sosok penyelamat.

Erin meminta maaf pada nyonya dan nona, juga bilang bahwa mereka bakal memberi kompensasi uang dan produk terbaru musim ini. Bukannya merasa tersentuh dengan niat baik Erin, mereka berdua malah menyindir, “Hehe, katanya Parkway Plaza hanya jualan barang asli. Dengan fakta bahwa kalian pernah menjual barang imitasi padaku, siapa tahu yang kamu mau kasih ini juga barang imitasi?”

Erin menanggapi dengan sabar: “Nyonya Zheng tenang saja. Ini kekeliruan kami, aku akan tugaskan orang untuk menyelidikinya sampai jelas. Tidak boleh ada barang imitasi keluar dari Parkway Plaza lagi.”

Nyonya Zheng mengamati Erin dari atas ke bawah. Ia lalu mengungkit: “Waktu dulu beredar kabar bahwa Parkway Plaza menjual barang imitasi, CEO He kalian segera melakukan klarifikasi demi meredamnya. Sekarang, kok ini bisa terjadi lagi? Kalau CEO He tidak datang dan minta maaf langsung pada kami, jangan harap masalah ini dianggap selesai begitu saja.”

Si wanita merespon lagi: “Nyonya Zheng, CEO He masih belum kembali dari bulan madunya, jadi pengelolaan perusahaan untuk saat ini aku yang pegang. Masalah ini sepenuhnya kesalahanku, aku sungguh minta maaf. Soal asal mula barang imitasinya, aku juga akan tugaskan orang untuk menelusuri dan bakal memberi penjelasan di media.”

Dari gelagat Nyonya Zheng, Erin bisa melihat bahwa dia bukan orang yang mudah diajak bicara.

Atau, dia bisa jadi punya niatan rahasia tertentu……

Erin memutar otak, lalu mengajak Nyonya Zheng dan putrinya ke ruang penerimaan tamu. Kini tidak ada orang di sekitar, jadi mereka bisa berdiskusi dengan lebih nyaman. Nyonya Zheng sama sekali tidak puas dengan tawaran pengembalian uang dan pemberian satu produk baru yang Erin tawarkan, jadi negosiasi cukup alot. Pada akhirnya, Erin juga mengganti kartu VIP Nyonya Zheng dan si anak dengan kartu VVIP. Mereka baru puas dengan kompensasi ini.

Setelah mengantar Nyonya Zheng dan putrinya pergi, Erin kelelahan sampai merasa matanya berat. Ia kembali ke ruang kerja dan bersandar di meja kerja untuk istirahat sebentar. Tanpa disadari, si wanita malah tidur selama tiga jam. Waktu bangun, lehernya pegal bagai mau lepas.

Erin berjalan keluar ruang kerja sambil menggoyang-goyangkan leher. Siapa sangka, di luar sudah gelap semua. Itu tandanya para pekerja sudah pada pulang. Ia pun masuk lagi ke ruangan dan memutuskan untuk baca laporan.

Tidak berselang lama, kesunyian ruangan diganggu suara perut Erin. Ia memegangi perutnya yang kelaparan, namun segera mengabaikannya karena masih ada setumpuk berkas yang wajib diurus.

Sunyinya ruang kerja kemudian diganggu lagi oleh deringan ponsel. Erin melihat nama peneleponnya, lalu mengangkat dan disambut suara pria dari seberang, “’Di mana?”

Mendengar suara James He, Erin tanpa sadar teringat sikap mamanya tadi pagi. Ia tidak bakal bisa menang adu mulut lawan mamanya, sikap dia tidak akan bisa ia ubah! Si wanita menjawab lirih, “Masih di kantor.”

“Aku ke sana.” James He mematikan telepon, pergi ke restoran terkenal buat bungkus makanan, lalu melajukan kendaraan ke Parkway Plaza. Berhubung jalanan sangat lancar, ia bisa tiba di tempat tujuan jauh sebelum pukul sembilan.

Pengerjaan area kantor mal ini ia awasi sendiri, jadi ia paham betul di mana ruang kerja Vero He yang lagi ditempati Erin berada. Setelah melewati berbagai ruangan, ia akhirnya menemukan sosok Erin. Wanita itu lagi tekun membaca berkas di dalam ruangan yang terang-benderang.

James He menghampirinya perlahan-lahan. Ada yang bilang wanita yang sedang sibuk bekerja sangat menarik, kata-kata ini sangat cocok buat Erin. Saking fokusnya baca berkas, Erin tidak menyadari kedatangan si pria. Ketika James He tiba di depan pintu dan sengaja berbatuk keras, wanita itu baru mendongak.

Begitu melihat sosok yang dinantikan, mata Erin berbinar-binar. James He melangkah masuk sambil meneteng plastik makanannya, lalu bertanya: “Yang lembur hanya kamu seorang?”

“Iya,” angguk Erin. Begitu mencium aroma makanan, si wanita langsung mau meneteskan air liur. Ia menatap plastik makanan dengan mata yang masih berbinar, lalu berkomentar: “Benar-benar kebetulan, aku sekarang lagi kelaparan.”

James He tiba di depan meja Erin dan menaruh plastik makanannya di sana. Pria itu menyuruh: “Sana cuci tangan.”

Erin bangkit berdiri dan bergegas ke toilet. Sekembalinya ia dari sana, James He sudah membuka kotak makanan. Nafsu makannya langsung terpancing melihat lauk yang terpampang.

Sehabis bertengkar dengan mama tadi pagi, Erin kehilangan nafsu makan. Di kantor, sesudah mengurusi klien yang protes, ia malah ketiduran berjam-jam. Ia saat ini sungguh kelaparan sampai badannya sedikit lemas.

Si wanita menerima sodoran sumpit dari si pria. Ia lalu mulai menyantap makanan sambil memuji: “Kamu benar-benar malaikat penolongku. Aku sudah lapar sampai nyaris tidak kuat jalan.”

“Sudah lapar seperti itu, kamu masih mau mengobrol?” James He menyendokkan sepotong daging asam manis ke mulut Erin. Melihat wanita itu makan dengan lahap, hatinay sangat bahagia. Ia juga sangat senang dengan sensasi menyuapinya.

Makanan Erin habis dengan cepat. Di akhir, ia baru menyadari bahwa James He daritadi terus menyuapinya tanpa ikutan makan. Ia bertanya dengan canggung: “Ini makanannya sudah aku habiskan sendiri, terus kamu makan apa?”

Si pria menunjuk beberapa kotak makanan yang masih di plastik, lalu merespon: “Ini kan masih ada? Kamu sudah kenyang belum? Kalau belum, aku minta Thomas Ji antar makanan lagi kemari.”

Si wanita menggeleng. Perutnya sekarang sudah mau meledak, mana mungkin ia belum kenyang? Ia menaruh sumpitnya dan menjawab: “Sudah kenyang. Aku barusan hanya memerhatikanmu menyendokkan makanan buatku, aku lupa kamu tidak kebagian. Cepat kamu makan, aku temani kamu di sini.”

Si pria pun menyantap makanannya sendiri dengan elegan. Di tengah membaca berkas, Erin tiba-tiba teringat lagi perkataan mamanya tadi pagi. Ia anak yang tidak tahu diri. Jelas-jelas paham tidak boleh mengharapkan sesuatu yang tidak layak buatnya, ia masih bersikeras mempertahankan hubungan mereka……

James He bisa merasakan aura Erin yang meredup. Ia mengernyitkan alis: “Lagi memikirkan apa?”

Erin bangkit dari lamunannya. Ia menunjuk setumpuk berkas di meja dan tertawa: “Jadi bos benar-benar tidak mudah, ada sungguh banyak urusan yang harus dikerjakan. Melihat berkas-berkas ini, aku terus berpikir kapan Nona He kembali. Kalau dia sudah masuk lagi, aku bakal bebas.”

“Dalam waktu dekat rasa-rasanya kamu tidak bisa bebas. Vero He hamil, Taylor Shen pasti tidak bakal mengizinkannya ngantor.” Sejak adiknya itu sakit, adik iparnya selalu gelisah. Mana bersedia dia melepas Vero He pergi kerja?

Eri menutup muka dengan kedua tangan dan bertanya dengan berat hati: “Terus, apa kamu berencana menugaskan orang untuk menggantikan posisinya?”

“Lah, kamu kan sudah cukup bagus kerjanya?” Berhubung ngobrol sambil makan, suara si pria jadi terdengar agak beda.

“Iya sih.” Erin berpikir sejenak, lalu mendongak menatap James He. Melihat tatapannya yang takut-takut itu, si pria tidak sanggup menahan tawa, “Mau bicara apa? Katakan saja.”

Bukannya jadi lega dengan dipersilahkan begini, Erin malah jadi tidak enak hati. Ia ragu-ragu sejenak, lalu memutuskan untuk tetap mengutarakan kegelisahan hatinya. Wanita itu berkata: “Aku sekarang kan menggantikan posisinya, tapi gajiku sudah dua tahun tidak naik. Apa tidak seharusnya gajiku dinaikkan sesuai beratnya tugas yang kuemban?”

Erin berucap dengan hati-hati. Ia tidak terobsesi dengan kekayaan, tetapi di kota yang biaya hidupnya terhitung mahal seperti Kota Tong ini, gajinya hanya setara dengan gaji pekerja pertanian. Sekarang kondisi mamanya sudah tidak sebaik dulu. Selepas dia keluar dari rumah sakit, ia harus merawatnya di apartemen karena dia tidak balik bekerja ke rumah kediaman keluarga He.

Si wanita biasanya masih bisa membiayai kehidupannya sehari-hari, namun beberapa hari ini, ia pusing sekali melihat tagihan rumah sakit yang terus bertambah. Ia pun tidak punya pilihan lain selain minta naik gaji.

James He mana mungkin tidak bisa menangkap maksud implisit dari kata-kata Erin? Ia menaruh sumpit dan kotak makannya, lalu menggoyangkan jari pada Erin: “Kemari, bicara sambil duduk di dekatku.”

Si wanita yakin si pria mau bercanda, namun tetap mengambil kursi dan duduk di sebelahnya. Ia berharap bisa mendapatkan kabar baik darinya. Setelah ia duduk, James He mengangkat tangan dan merangkul pinggangnya, lalu berpisik pelan di samping telinganya: “Buat apa kamu ingin naik gaji? Peluk pria kaya di sampingmu ini, seumur hidup kamu tidak perlu khawatir soal uang lagi.”

James He juga meniup telinga Erin dengan pelan dan ini membuatnya bergidik. Ia melepaskan pelukan itu dan menanggapi kesal: “Ih, aku bicara serius. Aku tidak enak mengungkapkan ini waktu Nona He ada. Sekarang, aku tiap hari sangat kelelahan karena menggantikan dia. Kamu tidak boleh dapat keenakan secara cuma-cuma.”

“Aku sudah dapat banyak keenakan darimu.” Si pria pun tersenyum, “Lagipula aku kan milikmu, jadi semua hartaku juga punyamu.”

Mendengar perkataan ini, Erin benar-benar merasa tidak enak untuk mendesak kenaikan gaji. James He mendekapnya lagi, lalu mengeluarkan beberapa kartu bank dari dompet. Ia menaruh semuanya ke tangan Erin dan berinstruksi: “Kalau kurang uang, tarik saja saldonya.”

Erin menatap kartu-kartu bank di tangan dengan hati tersentuh. Si pria mengelus-elus rambutnya, “Jangan merasa tersentuh. Semua uang yang kucari memang sudah selayaknya diberikan padamu kok.”

“Tetapi aku tidak tahu PIN-nya……”

“……” James He memberitahukan sederet nomor pada Erin. Si wanita dalam hati mengulangnya sekali, lalu menatap si pria dengan setengah tidak percaya: “Tanggal ulang tahunku?”

“Iya.” Pria itu kembali mengangkat sumpit dan kotak makan. Meski makanannya sudah agak dingin, ia tetap bisa makan dengan lahap. Saat berada di sebelah Erin, makan sup yang tawar saja rasanya tetap enak buat dia.

Erin kehabisan kata-kata buat membahas PIN James He lagi. Pria itu menggunakan tanggal lahirnya buat dijadikan PIN kartu bank, ini cinta sedalam apa coba? Ia memegangi kartu-kartu itu dengan erat dan berujar sungguh-sungguh: “Aku bakal baik padamu.”

James He nyaris tersedak oleh butiran-butiran nasi yang lagi dikunyah. Ia menoleh ke Erin yang berwajah serius, kemudian mengelus rambutnya: “Kamu tidak marah-marah saja sudah cukup kok.”

“……”

Sehabis makan, James He merapikan meja dan membuang kotak makan di luar, sementara Erin lanjut baca berkas. Ia harus mendalami insiden barang imitasi tadi sore dengan sedetil-detilnya. Ini biar akar masalahnya bisa dipecahkan dan insiden tersebut tidak terulang lagi.

Penanggung jawab gudang perusahaan adalah Timo. Waktu dipanggil Erin ke ruang kerja tadi sore, dia bilang bahwa dia selalu mengecek sendiri semua barang yang masuk. Dia yakin betul semua barang adalah barang asli, entahlah mengapa tiba-tiba ada barang imitasi yang terjual.

Mendengar keterangan sip ria, Erin meminta Timo untuk menyerahkan catatan gudang. Ia tidak menemukan kesalahan apa-apa dalam catatan itu, berarti yang bermasalah adalah gerai dan staf-stafnya. Berhubung tidak seorang pun tahu ada berapa banyak barang imitasi yang tercampur di tengah barang asli, pengecekan satu per satu harus dilakukan. Kalau sampai konsumen tidak sengaja mendapatkan barang imitasi lagi, nama besar Parkway Plaza akan goyah.

Sekembalinya dari membuang sampah, James He menghampiri Erin dan tiba-tiba memeluknya. Ia lalu menyuruhnya buat duduk dalam pangkuan. Si wanita agak risih dan ingin turun, namun si pria tidak mengizinkannya. Ia menepuk-nepuk bahu wanitanya dan menyuruh datar: “Jangan gerak-gerak, duduklah yang tenang.”

Wajah Erin memerah. Semakin lama duduk di sofa berwujud manusia ini, ia semakin merasa tidak nyaman. Alasannya, tangan James He tidak berhenti bergerak-gerak di tubuhnya. Tangan pria itu sebentar mengelus wajahnya, sebentar menarik telinganya, sebentar memainkan rambutnya, lalu sekarang dimasukkan ke pakaiannya……

Erin mengeluarkan tangan James He dengan kesal, lalu menegur, “Kalau kamu berisik begini, aku tidak bisa fokus baca berkas.”

“Aku tidak bicara kok,” balas yang ditegur dengan raut tidak bersalah. Setelah kejadian kemarin, ia ingin terus menempeli Erin seolah wanita itu bakal terbang jika dilepas barang sedetik.

Novel Terkait

Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
4 tahun yang lalu