You Are My Soft Spot - Bab 226 Mengaku Punya Perasaan Denganku (3)

Berselang beberapa saat, Vero He kembali membuka mata. Sekarang tatapannya bersinar-sinar, tidak ada rasa bersalah dan putus asa seperti barusan. Ia berkata dengan semangat: “Kakak, aku sudah tahu harus apa.”

Fabio Jin melihatnya dengan bingugng. Ketika menemui sinar di tatapannya, ia agak meringis karena merasa matanya seperti terkena cahaya yang sangat terang.

Wajah James He ikut berbinar. Vero He yang sudah disemangati kini bangkit lagi! Ia mengulurkan kedua tangan dan memeluknya erat, “Vero He, aku jadi tenang sekarang. Terima kasih karena kamu tidak mengecewakanku!”

Vero He tersenyum lebar. Ia tidak boleh kalah oleh kesulitan, begitu pikirnya!

Fabio Jin berdiri di samping sambil melihat sepasang kakak-beradik itu berpelukan. Ia agak cemburu dan melepaskan tangan James He sambil meminta: “Aku juga mau peluk.”

Sebelum berhasil memeluk Vero He, tangan Fabio Jin sudah dibalas diturunkan oleh James He. Saat sepasang kakak-beradik ini masih saling tatap-menatap dengan riang, Erin mendekat. Raut wajahnya agak serius. Ia menyapa ketiga orang, lalu bertutur: “Tuan Muda, Nona Vero He, aku dan orang-orang barusan sudah melakukan pengecekan. Baut belakang prize wheel dikendorkan orang, sementara meteran listrik diturunkan orang. Aku curiga kekacauan malam ini adalah sesuatu yang disengaja.”

Tiga orang itu dari awal sudah menebak semua ini disengaja. Penuturan Erin meneguhkan firasat mereka. Meski begitu, tamu malam ini sangat banyak dan semuanya mengenakan topeng, jadi sulit untuk cari si pelaku. Tetapi, sesusah apa pun itu, harapan tetap ada dan tidak boleh dilepaskan begitu saja.

Erin menyodorkan baut kendor yang ia temukan ke Vero He. Kaki si wanita masih sakit, jadi karena sudah berdiri lama ia pun kini harus bersandar di James He. Si kakak membantunya menerima sodoran itu. Di bagian baut memang ada bekas dicongkel dan goresan-goresan.

Awalnya prize wheel hanya bergoyang saja, tetapi akhirnya jatuh karena tarikan ke bawah makin kuat. Apalagi, prize wheel itu terbuat dari kayu jadi berat.

Vero He menyipitkan mata. Ini sebuah fitnah yang direncanakan. Fitnah ini dibuat bukan hanya untuk melukainya, tetapi juga untuk menghancurkan nama baik yang sudah dititihkan Parkway Plaza dua tahun ini. Pelakunya sangat jahat!

James He menoleh ke Vero He. Melihat wajah si adik yang seperti tengah berpikir sesuatu, ia bertanya: “Vero He, sudah punya sosok yang dicurigai?”

“Sudah, namun aku tidak bisa apa-apa sekarang karena belum punya bukti.” Isi pikiran Vero He adalah kejadian ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Angelina Lian. Hebat sekali wanita itu, baru bangun dari koma saja langsung tidak sabaran memfitnahnya lagi.

“Siapa?”

“Angelina Lian!” jawab Vero He sambil menggeretakkan gigi. Kelihatannya kebaikan dia untuk melepaskannya sangat keliru. Wanita macam ini tidak akan tobat sampai kapan pun!

James He dan Fabio Jin bertatap-tatapan. Kalau memang benar Angelina Lian pelakunya, berarti dendam lama dan dendam baru harus dibalaskan bersamaan.

Melihat raut wajah ketiganya jadi tidak begitu baik, Erin berkata lagi: “Aku sudah menyuruh orang untuk meng-copy rekaman kamera CCTV. Tuan Muda, Nona Vero He, aku sarankan kalian lapor polisi.”

“Lapor polisi memangnya akan sungguhan diurus?” debat James He. Ia bukannya punya sentimen pada polisi, tetapi buktinya kejadian tujuh tahun lalu sampai sekarang tidak terang. Pihak polisi tidak juga bisa menjawab bagaimana Vero He dibawa pergi tanpa diketahui satu personel pun.

Erin buka mulut mau jawab, tetapi kembali diam ketika melihat Vero He. Kejadian hari ini sangat besar dan mengakibatkan terlukanya tamu. Rasa-rasanya polisi tanpa diminta pun akan tetap ikut campur melakukan penyelidikan.

Vero He berbeda pendapat dengan sang kakak: “Aku setuju masukan Erin. Walau kita sudah punya sosok yang dicurigai, kita tidak punya bukti. Biarlah pihak kepolisian ikut serta dan mencarikan buktinya.”

Fabio Jin ikut mengangguk, “Yang dikatakan Vero He benar. Kekacauan ini sudah memancing perhatian banyak orang. Kalau kita tidak mengizinkan pihak kepolisian masuk dalam penyelidikan, kita akan kesulitan dapat bukti. Polisi sekarang tidak malas kok, siapa tahu dengan intervensi mereka semuanya akan jadi terang seterang-terangnya.”

James He mendeham pasrah, “Yakin bisa? Kalau polisi bisa diandalkan, mereka dari jauh-jauh hari pasti sudah menemukan pembunuh si pemilik toko kecil. Kalian kok segini optimisnya dengan polisi sih?”

Keempatnya diam saja. Jidat Vero He berkeringat dingin karena kakinya makin lama makin sakit. Sayang sekali tidak ada yang menyadari itu karena semua fokus dengan pikiran masing-masing.

Erin ragu-ragu sejenak, namun akhirnya memutuskan bercerita satu hal lagi: “Ada satu hal lagi. Waktu hall pesta gelap gulita, aku berusaha keras mengendalikan situasi, tetapi aku mendengar ada beberapa orang yang sengaja bikin panik. Mereka sepertinya memang datang kemari untuk membuat kekacauan."

"Copy dulu rekaman kamera CCTV-nya, juga suruh orang untuk terus cari bukti dan petunjuk di tempat kejadian. Semua tindakan buruk pasti ada celahnya,” balas James He. Tamu malam ini sangat banyak, semua secara prinsip layak dicurigai. Meski harapan menemukan si pelaku tipis, mereka tetap harus berusaha. Pelaku tindakan gila begini tidak boleh dibiarkan berkeliaran di luaran sana dan buat kekacauan di tempat lain lagi.

“Baik, aku akan perintahkan mereka untuk terus cari bukti,” angguk Erin. Tadi sore saat dia kemari dan melakukan pengecekan semuanya normal. Itu berarti si pelaku mulai bekerja saat acara sudah dimulai dan orang mulai padat. Mungkin mereka bisa mulai penyelidikan dari logika ini.

Vero He belum bersuara lagi. Fabio Jin akhirnya memerhatikan jidatnya yang penuh keringat. Ia buru-buru bertanya, “Vero He, kamu tidak apa-apa kan? Sial, aku sampai lupa kamu terluka. Aku antar kamu ke rumah sakit sekarang ya.”

Yang ditanya menggeleng. Wanita itu berujar pada si asisten: “Erin, jangan lupa data orang-orang yang terluka malam ini. Semua dari mereka harus dikirimi satu keranjang buah dan sebuket bunga sebagai tanda maaf.”

Erin memerhatikan bekas darah di gaun Vero He. Ia mengangguk, “Nona Vero He tenang saja, semuanya akan aku urus semaksimal mungkin. Aku tidak akan membuat kejadian malam ini jadi bahan tertawaan kedepannya. Kamu urus saja lukamu itu dulu, hal-hal lain biar aku yang tanggung jawab.”

James He melipat dahi melihat adiknya. Sudah terluka begini, bisa-bisanya dia masih memikirkan tamu. Ia lalu berkata pada Fabio Jin, “Vero He aku serahkan ke kamu. Aku harus tinggal di sini untuk memperbaiki semua yang kacau.”

“Baik, tenang saja,” jawab Fabio Jin sigap. Pria itu segera menggendong Vero He dan membopongnya keluar.

James He tetap berdiri di tempat meski mereka sudah pergi. Wajahnya perlahan memuram. Belakangan Vero He sering masuk berita utama karena isu-isu negaitf. Ini tandanya masih ada orang yang berani menganggu proteksi yang ia berikan padanya. Ia tidak boleh hanya menangkap pelaksana semua ini saja, ia harus menangkap perancangnya juga! Kalau tidak begitu, Vero He tetap akan terancam terus.

……

Kaki Vero He tadi terkilir saat tertimpa Taylor Shen. Beruntung, tulangnya tidak kenapa-kenapa. Setelah perban dipasang, wanita itu menoleh pada Fabio Jin dan bertanya: “Fabio Jin, apa Taylor Shen juga di rumah sakit ini?”

Vero He terus mengkhawatirkan Taylor Shen yang tadi pingsan. Kalau bukan karena dia, Taylor Shen tidak bakal tertimpa prize wheel kayu yang sangat berat.

Kalau bilang tidak cemburu sama sekali Vero He menanyakan soal pria lain, Fabio Jin bohong. Ia kini sudah menyadari ketertarikannya pada dia sudah naik level ke cinta. Cinta jauh lebih kuat daripada tertarik, juga disertai harapan untuk dicinta balik oleh si lawan jenis.

Tetapi si pria lain itu bagaimana pun juga malam ini sudah berjasa besar. Kalau tidak ada Taylor Shen, ia tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Vero He sekarang.

“Iya, dia juga di sini. Barusan aku telepon, kata staf rumah sakit ia masih di ruang operasi,” jawab Fabio Jin tanpa mendetailkan alasan Taylor Shen masih di sana. Sayang, bagaimana pun dia menyusun kalimat, ekspresi Vero He tetap berubah drastis.

Ini sudah dua jam dari sejak Taylor Shen dibawa ambulans. Bisa dibayangkan kan seberapa parah kondisinya kalau sampai sekarang masih di ruang operasi? Vero He memejamkan mata dan meminta: “Gendong aku ke sana. Aku mau lihat dia.”

Sesuai permintaan, Fabio Jin membopong Vero He ke sana. Di depan ruangan itu tidak ada satu orang pun. Mereka tidak sempat mengabari siapa pun soal kejadian yang dialami Taylor Shen.

Fabio Jin mendudukkan Vero He di sebuah bangku panjang. Melihat tatapan Vero He terus mengarah ke ruang operasi tanpa putus sedetik pun, ia kembali cemburu. Ia menyesal kalah selangkah. Kalau sekarang yang ada di dalam adalah dirinya, mungkinkah Vero He akan menunggu di luar dengan sekhawatir ini?

Vero He duduk di bangku panjang dengan menaruh kedua tangan di lutut. Rambutnya sekarang berantakan, riasan di wajahnya juga pudar karena tangisan. Wajahnya terlihat seperti wajah orang bengong. Pikiran dia fokus ke pria di dalam yang sepertinya berada dalam kondisi hidup dan mati.

Kalau saja…… Kalau saja……

Vero He bahkan tidak beranni berpikir soal “kalau saja”. Sekalinya ia berpikir soal itu, ia pasti akan makim hancur. Sekarang ia punya banyak urusan untuk diberesi, namun mana mood ia mengurusinya saat ini? Ia hanya ingin tinggal di sini dan menunggu Taylor Shen keluar tanpa kekurangan apa-apa.

Fabio Jin pergi sebentar dan kembali dalam beberapa menit. Ia ternyata pergi ke minimarket lantai bawah. Sekembalinya ke Vero He, ia sudah membawa sepasang sendal, sekotak susu hangat, dan sebuah kue potongan kecil. Ia duduk di sebelah Vero He dan memakaikan sendal untuknya.

Kaki Vero He yang dingin membuatnya khawatir. Ia menyodorkan susu dan membujuk: “Vero He, kamu hari ini belum makan apa-apa. Minum susu nih, terus ini ada kue juga.”

Si wanita menggeleng, “Tidak kepingin.”

“Ayolah, sedikit saja. Kamu harus menjaga kondisimu, kalau tidak nanti saat Taylor Shen keluar kamu malah pingsan lagi. Taylor Shen tidak mau lihat kamu pingsan kan?” bujuk Fabio Jin lagi.

Vero He akhirnya menerima. Baru minum sedikit susu, ia melihat lampu merah dalam ruang operasi mati. Ia buru-buru bangkit berdiri, namun agak goyah karena kakinya masih luka. Untungnya, si pria dengan sigap bisa menahan tubuhnya biar tidak jatuh. Meski begitu, susu yang ada di tangan Vero He tetap tidak terselamatkan dan tumpah ke lantai.

Fabio Jin membuang nafas panjang melihat susu yang dia beli barusan tumpah.

Dokter keluar dari ruangan. Tanpa peduli genangan susu, Vero He segera menghampiri si pria berjas putih dengan pincang. Ia memegang tangan dokter dan bertanya khawatir: “Bagaimana dokter? Operasinya berhasil?”

Novel Terkait

Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
4 tahun yang lalu