You Are My Soft Spot - Bab 276 Kamu Merupakan Takdirku (3)

“Kamu sedang memikirkan apa?” Taylor Shen memerhatikan Vero He jadi diam saja sejak balik ke rumah kediaman keluarga He. Sebenarnya terjadi hal apa yang sanggup membuatnya langsung jadi banyak pikiran dalam waktu sesingkat tadi?

Vero He menoleh ke Taylor Shen. Dengan ragu-ragu, ia bertanya: “Taylor Shen, kalau kamu kenal seorang wanita yang punya hubungan dengan pria beristri, apa yang akan kamu lakukan?”

“Ini orangnya orang lain kan? Ya tidak usah ikut campur,” jawab si pria singkat.

“……” Si wanita gigit-gigit bibir, “Kalau itu teman dekatmu sendiri dan bukan orang lain bagaimana?”

“Siapa temanmu yang punya hubungan dengan pria beristri?”

Haduh, pria kalau diceritakan sebuah masalah fokusnya memang bukan ke masalahnya, tetapi ke hal-hal lain. Vero He terdiam sejenak, lalu menyudahi saja, “Sudah ah, bertanya padamu sia-sia. Biarlah aku berpikir sendiri solusinya.”

Taylor Shen tersindir dan mulai menjawab dengan serius: “Tiffany Song, hubungan itu butuh kebersediaan dari dua pihak. Yang satu bersedia “memukul”, yang satu bersedia “dipukul”. Kalau temanmu punya hubungan begitu, mereka pasti punya alasan untuk membina hubungan itu.”

“Tetapi, kalau ini tidak etis bagaimana?”

“Tiffany Song, kita bukan dewa. Kita tidak boleh menempatkan diri di atas semua orang dan menunjuk-nunjuk siapa yang etis serta siapa yang etis. Setiap hubungan dimulai dengan tidak mudah. Mereka juga pasti tahu ini tidak etis. Kalau sudah tahu begitu namun masih mau tertap lanjut, mau kamu bujuk bagaimana pun temanmu itu, dia tidak akan mau dengar.”

“Taylor Shen, aku……” Vero He menunduk. Ia hanya khawatir Erin akan sakit hati kalau dia tegur. Tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, kakak seharusnya juga bukan orang yang akan berdiri dua kaki di dua kapal berbeda.

Meski bagi orang berduit dan kelas atas punya selingkuhan bukan hal yang langka, Vero He tetap tidak bisa menerima adanya hubungan macam ini antara dua orang terdekatnya.

Kakak dan Erin…… Dia tidak pernah menyangka mereka bakal punya hubungan spesial, namun nyatanya malah kejadian.

Si pria mengenggam tangan si wanita dan membujuk, “Tiffany Song, semua orang punya sikapnya masing-masing terhadap hidup. Tidak usah terlalu ikut campur dalam urusan mereka, karena hidup sendiri juga pada waktunya akan mengajarkan mereka apa yang benar dan apa yang salah.”

Vero He gigit-gigit bibir. Ia jelas-jelas menyaksikan sendiri insiden tadi, jadi dia tidak tahu harus bagaimana biar bisa pura-pura tidak lihat apa pun. Si wanita makin menunduk hingga dagunya menyentuh leher.

Mobil melaju memasuki parkiran bawah tanah Parkway Plaza. Mobil sudah melaju jauh dari sejak mereka berbicara tadi, namun pikiran Vero He masih tertinggal di rumah kediaman keluarga He. Di tempat ia biasa menurunkan Vero He, Taylor Shen menghentikan mobil, memeluk si wanita, dan mencium bibirnya selama dua menit. Sembari berciuman, ia sempat menggigit bibir si wanita karena daritadi diam saja dan tidak mengajaknya ngobrol. Pria itu lalu menyuruhnya turun, “Sepanjang jalan tadi kamu terus memikirkan urusan orang lain. Jangan dipikirkan lagi, naiklah sana.”

Vero He mengangguk. Wanita itu melepaskan sabuk pengaman, turun dari mobil, dan melangkah ke lift.

Demi menghindari Vero He, Erin pagi-pagi sekali langsung berangkat ke kantor. Setibanya Vero He di ruang kerja, sekretaris bilang asistennya itu lagi berkeliling kantor untuk inspeksi. Si bos menyalakan pemanas ruangan untuk menghilangkan butiran air dan embun di kaca yang disebabkan oleh suhu dingin.

Setelah itu, Vero He duduk di kursi dan mulai membuka berkas. Sudah menatap berkas beberapa menit, tidak ada satu pun kata yang masuk ke otaknya. Ia pun menutup berkas dan memijat-mijat pelipisnya yang berdenyut.

Pukul sepuluh, rapat pagi dimulai tepat waktu. Dalam rapat, Departemen Penjualan menginisiasikan strategi promosi Natal dan Tahun Baru. Strategi itu mendapat dukungan dari pekerja dari berbagai departemen tanpa tantangan yang berarti. Tahun ini pendapatan perusahaan terjun bebas, jadi mereka sangat berharap bisa meraup pundi-pundi lebih dengan strategi itu.

Mendengar angka pendapatan perusahaan yang sangt rendah, kepala Vero He makin pusing. Setelah rapat kelar, Vero He meminta Erin untuk ikut bersamanya ke ruang kerja.

Matahari sudah mulai bersinar terang, jadi suhu menjadi lebih hangat daripada tadi pagi. Cahaya matahari menembus masuk ruang kerja Vero He dan membuat ruangannya jadi terang tanpa butuh pencahayaan buatan.

Si bos menunjuk sofa dan menyuruh si asisten duduk. Hati Erin sangat tidak tenang. Ketika James He berujar kata-kata yang porno tadi, ia sudah langsung tahu Nona He pasti akan mencarinya untuk bicara.

Pembelaan diri Erin tadi pagi sama sekali bukan dusta. Ketika ia bersiap berangkat kerja, ia memang dihentikan oleh mama dan disuruh naik membangunkan James He. Ia awalnya ingin jauh-jauh dari si pria cabul itu. Kalau tidak ada urusan yang sangat penting, ia mau menghindarinya semaksimal mungkin.

Yang jadi masalah, tadi pagi ia menganggap remeh suruhan ini. Ia pikir, hanya membangunkan saja harusnya tidak bakal terjadi apa-apa lah. Tanpa disadari, ia sebenarnya tengah mengantarkan dirinya sendiri ke kandang beruang yang ganas.

Erin mondar-mandir beberapa menit di depan kamar James He, lalu akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Seumur hidup, ia tidak pernah takut apa-apa selain James He. Ia tidak berani melawannya, juga yakin tidak bakal bisa menang darinya. Solusi terbaik bagi dirinya hanya sembunyi, sembunyi, dan sembunyi.

Sudah diketuk sekali, dari dalam tidak terdengar suara apa pun. Ia kembali mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil pelan: “Tuan Muda, sarapan sudah siap. Mama menyuruhku untuk membangunkanmu.”

Masih belum ada suara di dalam kamar, Erin melihat jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Berdasarkan jam istirahat James He sehari-hari, pria itu tidak mungkin bangun sesiang ini. Apa jangan-jangan dia sakit?

Erin ragu-ragu sejenak, lalu mengulurkan tangan dan membuka engsel pintu. Krek! Pintu yang ternyata tidak terkunci langsung terbuka dengan sedikit tekanan saja. Jantung Erin berdebar kencang bagai habis membuka pintu sebuah bangunan tua. Dengan perasaan gelisah sekaligus penasaran, ia melangkah masuk dengan perlahan.

Tiba-tiba, pintu di belakang tubuhnya tertutup sendiri. Erin kaget setengah mati dan langsung menengok ke belakang. Ketika mau membuka pintu dan kabur keluar, tubuhnya sudah ditabrak sesosok tubuh. Tanpa kesiapan sama sekali, wanita itu pun jatuh tersungkur ke lantai.

Setelah ia jatuh, pinggangnya dipegang oleh sepasang tangan besar. Tangan itu mendekatkan tubuh Erin ke depan. Si wanita lalu merasa tubuh bagian depannya mengenai dua dada yang bidang. Jantung Erin berdebar makin dan makin kencang……

Mata si wanita perlahan bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan di dalam kamar James He. Ia lama-kelamaan melihat sesosok pria berjongkok di depannya sembari tersenyum nakal. Pria itu membuka percakapan, “Pagi-pagi begini langsung menyerahkan diri buat dipeluk? Senafsu itu ya?”

Erin bukan wanita yang bisa dipengaruhi ejekan dengan mudah. Wanita itu marah dan menatap James He dengan waspada, “Berhubung sudah bangun, turun dan sarapanlah. Aku mau pergi kerja.”

Si wanita lalu bangkit berdiri untuk kemudian bergegas ke pintu. Baru jalan selangkah, jalannya sudah ditahan oleh tangan besar si pria. James He bicara lagi: “Erin, dia tidak cocok denganmu. Putuslah.”

Erin menegaskan posisinya, “Aku tahu sendiri siapa yang cocok dan siapa yang tidak cocok denganku. Tuan Muda tidak perlu repot-repot memikirkannya.”

James He menggeretakkan gigi. Ia mau bicara baik-baik, kok orang ini malah nyolot sekali? Pria itu bertanya dengan nada meledek: “Tidak perlu repot-repot berpikir? Dari kecil sampai sekarang, memang kamu jarang membuatku tidak berpikir?”

Erin membalas sinis: “Aku tidak pernah bermaksud membuat Tuan Muda berpikir. Mulai detik ini, Tuan Muda tidak perlu memikirkan aku lagi. Aku keluar dulu.”

Berulang kali ditolak dan didebat oleh wanita ini, James He seketika termenung. Ia tidak menghalangi Erin lagi dan membiarkannya bergegas pergi. Ia hanya bisa berjongkok sembari menatap bayangan tubuh si wanita yang lenyap di balik pintu.

Selepas kaburnya Erin, di depan pintu terdengar suara Vero He yang diikuti dengan pembelaan diri Erin. Semakin wanita itu ingin menjauhkan diri darinya, ia makin tidak mau membuat niatnya itu jadi kenyataan. Untuk itu, James He pun mengucapkan kalimat tentang celana dalam tadi.

Menghadapi tatapan lekat dari Vero He, Erin harus mengaku dirinya gentar. Bagaimana pun juga, ia sudah tertangkap basah keluar dari kamar James He dengan diikuti pertanyaan soal celana dalam. Suasana ruangan makin lama makin tegang. Bingung harus mulai bicara dari mana, Vero He melontarkan pertanyaan yang paling sederhana, “Erin, waktu itu kamu tanya padaku apa masuk setengah saja bisa hamil, itu karena kamu dan kakak melakukan “itu”?”

Si asisten tidak menyangka si bos masih mengingat pertanyaan ini. Ia seketika menunduk dan tidak berani menatap mata lawan bicaranya.

Dari reaksi Erin, Vero He sudah bisa menebak ada sesuatu yang tidak beres di antara kakaknya dan asistennya. Kelihatannya, ia sudah cukup terlambat. Vero He bertanya lagi karena tidak dijawab, “Iya atau tidak?”

Erin menggerak-gerakkan bibir dan berujar pelan: “Iya.”

Si asisten belum pernah merasa semalu ini di hadapan bosnya. Sekarang, yang ia inginkan hanya menggali lubang dalam-dalam dan mengubur dirinya sendiri dengan tanah.

“Baik, aku paham. Keluarlah,” angguk si bos. Ia tahu diri untuk tidak mencampuri urusan kakak. Selain itu, ia pun tidak mau menyulitkan Erin lebih lanjut.

Si asisten terhenyak. Ia pikir bosnya bakal bicara panjang lebar untuk menceramahi dirinya, nyatanya dia hanya bilang paham saja. Ia memanggil lirih, “Nona He……”

“Erin, aku selama ini menganggapmu sebagai teman dan bahkan saudara, sadar tidak? Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan itu dengan kakak. Tetapi, tidak peduli bagaimana, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian,” ujar Vero He tulus. Sebagaimana yang Taylor Shen katakan, biarlah hidup yang mengajarkan kakak dan Erin sendiri apakah hubungan mereka benar atau tidak. Ia tidak berhak sok-sokan jadi dewa yang menentukan berdosa atau tidaknya seseorang atas tindakannya.

Erin membujuk Vero He untuk berubah pikiran: “Nona He, aku dan Tuan Muda tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami……”

“Erin, aku ingin menenangkan diri. Keluarlah,” potong si bos. Ia takut bakal menyakiti hati Erin kalau ia bicara macam-macam lagi. Soal kakak, ia harus bicara bagaimana ya dengannya?

Melihat raut wajah Vero He, Erin tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Bagaimana pun juga, hubungan dirinya dan James He sangat berantakan. Batasan antara apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalamnya sangat samar.

Si asisten pun bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ketika memegang engsel pintu, ia menoleh ke bosnya dan berujar penuh keyakinan: “Nona He, yang waktu itu kamu menawarkanku untuk dijodohkan, aku bersedia.”

Vero He menoleh ke arahnya dengan tatapan setengah tidak percaya, “Erin, jangan begitu. Kalau kakak tahu kamu mau dijodohkan dengan pria lain, dia pasti bakal marah besar.”

“Itu urusanku sendiri. Aku juga mau lepas dari kakakmu itu.” Setelah mengucapkan ini, Erin membuka pintu dan melangkah keluar.

Dari usia delapan belas sampai dua puluh delapan tahun, Erin sudah terlalu keras kepala soal urusan cinta. Jelas-jelas tahu impiannya mustahil, ia diam-diam masih menyimpan hatinya buat James He. Sekarang, berhubung hubungan di antara mereka tertangkap basah oleh orang lain, ia tidak bisa melanjutkannya lagi. Ia harus cari cara untuk melepaskan diri.

Tetapi, sekalinya terbayang harus menerima cinta pria lain dan mengubur dalam-dalam perasaannya pada James He, hati Erin langsung terasa pedih. James He, tahukah kamu bahwa kamu sebenarnya merupakan takdirku?

Benak Vero He sama sekali tidak merileks dengan kepergian Erin, malahan makin kacau. Asistennya itu barusan bilang mau lepas dari kakaknya. Apa maksud dia mengatakan ini? Ada sesuatu apa lagi yang tidak ia ketahui dalam hubungan keduanya?

Kalau Erin benar-benar punya hubungan dengan kakak, melihat sikap kakak waktu si asisten mau dijodohkan, kalau tahu dia minta dijodohkan lagi pasti si kakak bakal marah besar. Namun, di sisi lain, kalau terus dilanjutkan, hubungan mereka juga tidak normal dan suram.

Vero He mengacak-ngacak rambut dengan frustrasi. Ia sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Semua hal yang ia pikirkan hasilnya tidak ada yang bagus.

Kakak sangat baik padanya. Kalau ia melakukan sesuatu yang membatasi pergaulannya, dia pasti bakal marah besar. Vero He bangkit berdiri dan berpikir sejenak. Ia kemudian berbalik badan dan berjalan ke meja kerja. Dari sana, ia mengambil sebuah kartu nama dan menelepon nomor yang tertera di atasnya.

Novel Terkait

The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
5 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
4 tahun yang lalu