You Are My Soft Spot - Bab 276 Kamu Merupakan Takdirku (2)

Vero He tersenyum senang dan mengelus kepala si anak. Ia dalam hati bertanya, apa mereka sekarang hitungannya sudah berbaikan?

Si wanita menenteng gambar itu dan pergi ke dapur, sementara Jacob Shen tinggal sendirian di ruang tamu. Di dapur, Bibil Lan sedang memasak menu makan malam. Melihat kedatangan bos wanitanya, wanita itu bertanya: “Nyonya, kalian tadi pasti mainnya sangat seru ya? Aku sudah lama sekali tidak melihat Tuan Muda Kecil gembira begini.””

“Iya. Dia senang sekali melihat berbagai binatang laut di Ocean Park. Pulang-pulang, dia langsung menggambar pinguin,” balas si bos degan senyum lebar. Melihat Bibi Lan sibuk dengan berbagai potongan lauk, ia berinisiatif: “Bibi Lan, biar aku bantu menyiapkan makanan.”

“Tidak, tidak usah, Nyonya. Kamu adalah tuan rumah, aku bawahan. Keluar dan duduklah sana, makan malam akan segera disajikan,” kata Bibi Lan sambil melambaikan tangan bagai menunjukkan gestur tidak.

Vero He tersenyum patuh dan berjalan keluar dapur.

Bibi Lan mengamati bayangan tubuh Vero He dengan pikiran yang mengembara ke ibu kandung Jacob Shen. Tuan Muda Kecil sangat disayangi Nyonya di sini. Ketika ibu kandungnya datang menjemput, apa Nyonya bakal bersedia melepaskannya demi mempertemukan kembali seorang ibu dengan anak kandungnya?

Vero He sekarang duduk di ruang tamu. Ia pas kecil sangat senang dan berbakat dalam menggambar, bahkan pernah belajar sketsa. Sayang, karena tuntutan hidup, ia mau tidak mau meninggalkan dunia gambar dan mencari bidang yang bisa lebih menghasilkan uang.

Tadi, melihat gambar Jacob Shen, ia merasa anak itu juga punya bakat menggambar seperti dirinya dulu. Meski gambarnya masih selevel anak-anak, namun gambar yang dibuat tetapi bisa dipahami oleh siapa pun yang melihatnya. Tidak banyak anak kecil yang bisa membuat gambar dengan level ini. Keluar dari lamunannya, Vero He mengambil selembar kertas dan membuat sketsa.

Berselang beberapa saat, Jacob Shen mencuri pandang pada sketsa Vero He karena penasaran. Melihat skesta yang digambar si wanita adalah dirinya dalam versi kartun, anak itu gembira sekali. Meski begitu, dia memilih menampilkan wajah tidak senang dan bertanya sinis: “Ngapain menggambar aku?”

Yang ditanya menjawab satu kata: “Tampan.”

Wajah Jacob Shen memerah. Anak itu mengamati skesta Vero He untuk beberapa saat lagi, lalu kembali melanjutkan gambarnya sendiri. Setelah si wanita membuat tiga versi sketsa Jacob Shen, Bibi Lan keluar dari dapur sambil mengabarkan makan malam sudah siap.

Vero He menyimpan gambarnya di laci, lalu mengajak Jacob Shen cuci tangan untuk bersiap makan.

Meski Jacob Shen masih belum bisa sepenuhnya menerima kebersaaman Taylor Shen dengan Vero He, namun anak itu tidak ribut lagi dengan si wanita. Seusai makan malam, dia kembali ke kamar dengan tenang dan menyisakan Taylor Shen serta Vero He berdua di meja makan. Melihat pemandangan ini, Bibi Lan yang daritadi berdiri di pintu dapur pun berbalik badan dan masuk dapur. Ia tidak mau mengganggu kebersamaan mereka, juga takut melihat atau mendengar sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat atau dengar.

Vero He melihat jam tangan. Menyadari waktu sudah tidak dini lagi, ia berpamitan: “Aku malam ini pulang deh. Ada beberapa berkas di rumah keluarga He yang mau dipakai buat besok rapat, jadi mau tidak mau harus pulang.”

“Asistenmu kan tinggal di rumah keluarga He juga? Suruh dia bawa saja besok,” tawar Taylor Shen. Ia tidak mau berpisah dengan Vero He satu detik pun. Hanya dengan bisa melihatnya setiap saat, hatinya baru akan terasa tenang.

Si wanita menggeleng, “Menyuruhnya via telepon akan tidak jelas. Biarkan aku pulang, oke? Kita masih punya banyak waktu untuk tidur sekamar lagi.”

“Tiffany Song, aku tidak ingin berpisah denganmu. Sebentar lagi kita tidur saja, lalu besok bangun pagi dan aku antar kamu mengambil berkas di rumah keluargamu. Setuju?” Taylor Shen menjepit kedua kaki Vero He dengan kedua kakinya, lalu menahan pinggangnya dengan tangan. Ia menatap si wanita lekat-lekat seperti mengharapkan dia menuruti permintaannya.

Wajah Vero He memerah ditatap begitu. Ia berujar ragu-ragu: “Kita semalam baru melakukan “itu”, malam ini……”

Si pria baru sadar si wanita sudah salah paham. Ia menenangkan sambil tersenyum ramah, “Siapa bilang kalau kamu tinggal di sini wajib melakukan “itu”? Memangnya kita tidak bisa murni berbincang santai sambil selimutan?”

“Kalau tidak melakukan “itu”, aku makin tidak punya kepentingan bermalam di sini. Aku……”

“Oh, jadi kamu merasa sayang kalau bermalam di sini tapi tidak melakukan “itu”? Baik, aku akan ikuti kemauanmu.” Taylor Shen tersenyum nakal dan berbisik pelan di telinganya: “Sebentar lagi kamu aku puaskan di kamar.”

Wajah Vero He jadi makin merah. Taylor Shen sudah salah memahami maksudnya, namun ia sendiri kesulitan untuk menjelaskan maksud yang ada di benaknya. Wanita itu memilih menunjukkan gestur bersiap meninju saja: “Ih, kamu ah.”

Taylor Shen menggenggam tangan Vero He. Hatinya berdesir melihat wajahnya yang barusan bertambah merah. Bisa melihat tapi tidak bisa “menikmati”, tahu betapa sakitnya hati ini misal-misal dia ada di situasi itu?

Vero He menyipitkan mata canggung. Ia melepaskan tangan si pria, berjalan keluar dari ruang makan, dan melangkah naik ke lantai atas dengan cepat.

Taylor Shen masih duduk sebentar di ruang makan. Sesudah makanannya turun semua, ia bangkit berdiri dan ikut naik ke atas.

……

Vero He bangun cukup pagi keesokan hari, tepatnya pukul enam. Semalam mereka tidur cukup dini, kira-kira dari jam sepuluh. Meski Taylor Shen meledek “mau memenuhi permintaannya”, tetapi mempertimbangkan dirinya yang kelelahan, pria itu tidak macam-macam. Mereka hanya berbincang santai saja sambil berpelukan. Rasanya nyaman sekali……

Sekeluarnya dari kamar mandi, Vero He meihat Taylor Shen bersandar di kepala ranjang dengan mata yang masih mengantuk. Pria itu melambaikan tangan tanda memintanya mendekat. Vero He menghampirinya dengan perlahan dan berkata: “Sekarang masih pagi, kamu tidur lagi saja. Aku dan Budi mau mengantar Jacob Shen ke sekolah, lalu aku langsung ke rumah untuk ambil berkas. Kamu tidak perlu sengaja ikut buat menyupiriku.”

Si pria memegang tangan si wanita dan mendudukkannya dalam pangkuan. Ia mengelus-elus rambut wanita itu, lalu menempelkan bibirnya yang hangat pada bibir si wanita dan memain-mainkannya. Taylor Shen baru melepaskan ciuman mereka setelah nafas keduanya sudah terengah-engah. Setelah itu, si pria meminta dengan ambigu, “Tiffany Song, beri aku dua puluh menit.”

“Apa?” Sebelum Vero He menyadari apa yang dimaksud dengan dua puluh menit tadi, tubuhnya sudah ditimpa dengan tubuh si pria. Ketika ia akhirnya sadar maksud kata-katanya, Taylor Shen sudah memain-mainkan selangkangan ke organ vitalnya. Mereka larut dalam indahnya cinta dan kehangatan……

Sudah “sarapan”, Taylor Shen jadi sangat bersemangat. Ia mandi dan masuk mobil bersama Vero He tepat pukul tujuh. Cuaca di luar berkabut tebal. Belakangan ini, cuaca makin lama memang makin sulit ditebak. Kemarin lusa hujan salju kecil, kemarin matahari panas, lalu pagi ini berkabut.

Berhubung jarak pandang sangat pendek, Taylor Shen mau tidak mau mengendarai mobil ke rumah kediaman keluarga He dengan sangat pelan.

Mereka tiba di tujuan sekitar pukul setengah sembilan. Jam segini, keluarga He kebetulan belum sarapan pagi.

Sejak pensiun, Felix He selalu tidur awal dan bangun pagi. Setiap pagi, ia bakal jalan keliling taman bunga dan menonton taekwondo di ruang tamu.

Melihat kedatangan Taylor Shen dan Vero He, ia bertanya pada mereka apakah mereka sudah sarapan. Mendapat respon belum dari si pria, ia memerintahkan Bibi Yun untuk menambah porsi sarapan untuk dua orang lagi.

Vero He bergegas ke lantai atas untuk mengambil berkas. Kamarnya terletak di ujung lorong jalan, jadi setiap kali mau masuk atau keluar kamar ia harus melewati kamar James He. Persis ketika ia melewati kamar kakaknya, pintu kamar itu terbuka. Si wanita refleks menghentikan langkah dan menoleh untuk menyapanya. Tetapi, yang terjadi adalah…… dia melihat Erin keluar dari sana sambil celingak-celinguk dengan was-was.

Mata Vero He dan Erin bertemu. Kedua wanita sama-sama kaget

Wajah Erin memerah lalu kemudian memucat. Ia terdiam di tempat tanpa tahu harus tetap melangkah keluar atau masuk kamar James He lagi.

Vero He dalam hati bertanya-tanya, kok bisa-bisanya Erin keluar dari kamar kakak begini? Ketika sudah lebih tenang, Erin berinisiatif memberi penjelasan: “Melihat Tuan Muda tidak bangun juga, mamaku khawatir dia sakit. Ia pun memintaku untuk membangunkannya.”

Yang diberi penjelasan menoleh ke dalam. Kamar kakak gelap karena tirainya sepenuhnya ditutup. Ia tidak bisa melihat apa-apa di sana dan mengangguk paham saja. Baru mau melangkah, Vero He dikejutkan oleh suara serak seorang pria dari dalam. Itu mirip suara Taylor Shen ketika nafsunya lagi membara.

“Erin, kamu belum pakai celana dalammu ya?”

Kepala hingga kaki Erin jadi kaku dengar kata-kata itu. James He, ini kamu sih namanya sengaja mendorongku ke jurang! Jelas-jelas ia ingin memperjelas status mereka sebagai atasan dan bawahan pada umumnya, ini si James He malah melontarkan kata-kata yang bisa memicu kesalahpahaman! Erin berujar canggung tanpa berani menatap Vero He, “Aku turun dulu.”

Si bos melihat bayangan tubuh asistennya yang berlari menuruni tangga. Hatinya penuh dengan rasa terkejut. Kalau tidak salah dengar, barusan kakak tanya Erin sudah pakai celana dalam atau belum kan?

Satu pria dan satu wanita berada dalam satu kamar tidur…… Apa yang terjadi dalam situasi ini semua orang paham tanpa harus diberi tahu. Yang bikin ia penasaran, sejak kapan mereka berdua memulai hubungan ini? Apa kakak sengaja mendekati Erin begitu tahu asistennay itu tengah mencari pacar? Erin-nya sendiri pun tidak gencar mencari, bukan?

Kalau memang mereka punya hubungan spesial, kakak kan sudah menikah? Jadi, Erin ini hitungannya apa dong? Selingkuhan kan?

Ya Tuhan! Kalau sampai Bibi Yun tahu anaknya melakukan ini, kaki Erin bisa-bisa dipatahkan olehnya!

Vero He jadi bingung harus melakukan apa. Kalau dia masuk dan bertanya pada kakak sendiri, ia khawatir bakal melihat sesuatu yang tidak sepantasnya dilihat. Mereka memang kakak-adik, tetapi kakak-adik yang sudah pada dewasa punya privasi masing-masing kan?

Sudahlah, biar ia cari waktu lain untuk membahas ini dengan kakak. Sekarang, ia bisa bertanya pada Erin terlebih dahulu.

Si wanita lanjut melangkah ke kamar dengan pikiran yang mengawang kemana-mana. Ia bahkan tidak berkonsentrasi ketika mencari berkas. Ia sudah mengetahui sebuah rahasia super besar, bagaimana bisa ia bertindak seolah tidak mengetahui apa-apa?

Setelah menemukan berkas yang dicari, Vero He kembali turun ke lantai bawah. Semua anggota keluarga He, kecuali dirinya, sudah berkumpul di meja makan.

Vero He belakangan sangat jarang balik ke rumah ini. Sudah lama tidak bertemu Angela He, ia baru sadar adiknya itu jadi tambah cantik. Rambutnya sudah kembali ke warna hitam, terus rambut keritingnya juga sudah kembali lurus. Ia terlihat seperti wanita yang baru berusia dua puluhan.

Melihat sosok kakaknya di tangga, Angela He memanggil: “Kak, ayo cepat kemari. Tinggal kamu nih yang belum datang.”

Sembari mengambil sebuah bakpau tanpa ragu-ragu, Nyonya He berkomentar pedas: “Gila, sok penting sekali ya sampai membiarkan semua anggota keluarga menunggu lama.”

Semua orang mengabaikan komentar Nyonya He. Wanita paruh baya ini sebelumnya merupakan orang yang lembut, tetapi sikapnya berubah drastis begitu James He membawa Vero He tinggal di rumah kediaman keluarga He. Felix He dulu masih menoleransi sikapnya karena masih merasa bersalah padanya. Namun, sejak sikapnya berubah jadi makin ekstrem selepas kematian Tuan Besar He, perasaan Felix He itu jadi sepenuhnya hilang.

Vero He duduk di sebelah Taylor Shen. Ia menatap James He sejenak seperti tengah mencari tahu sesuatu.

Si kakak menyadari tatapan yang diberikan olehnya. Barusan dia memang sengaja berteriak begitu. Semakin Erin ingin menjaga jarak dari dirinya, maka akan semakin iseng pula dia untuk memicu rumor-rumor perselingkuhan yang tidak benar. Kalau Erin mau menikahi orang kaya, memang dirinya kurang kaya apa lagi? Mengapa Erin tidak tertarik pada dirinya saja dan malah cari pria lain di luaran sih?

Vero He mulai menyantap sarapan. Nafsu makannya tidak begitu bagus karena terus memikirkan insiden tadi. Melihat wajah kakak masih datar-datar saja, pikirannya makin ruwet. Berselingkuh…… Kalau sampai papa dan Nyonya He tahu soal ini, bakal dipanggang hidup-hidupkah dia?

Taylor Shen menyadari wanitanya terus mengamati kakaknya sendiri. Sekali pun mereka merupakan adik kakak, ia tetap merasa agak cemburu. Demi mengalihkan perhatiannya, pria itu mengambilkan sebuah pangsit goreng ke piringnya dan berucap: “Mumpung masih panas makan nih, kalau sudah dingin tidak enak.”

Vero He tersadar dari lamunannya. Ia menyantap pangsit goreng itu, namun rasanya jadi tawar sekali karena hatinya sedang tidak tenang.

Seusai sarapan, Taylor Shen mengantar Vero He ke Parkway Plaza. Selama di mobil, si wanita masih saja diam seribu bahasa dan sibuk dengan alam pikirannya sendiri. Ia terus berpikir sejak kapan kakak dan Erin memulai hubungan gelap ini. Selain itu, ia juga bertanya-tanya sudah sejauh mana hubungan mereka.

Kepala Vero He jadi pusing sendiri. Kakak adalah pria beristri. Ia harus bagaimana bicara dengan Erin supaya tidak menyinggung kehormatan dirinya?

Novel Terkait

Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
5 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu