You Are My Soft Spot - Bab 156 Sehidup Semati (1)

Baru berlari sebentar, si pria berbalik badan seolah teringat sesuatu. Ia kembali menghampiri Tiffany Song dan melemparkan ponsel ke arahnya. Pria itu kemudian berujar pongah, “Jangan benci padaku. Bencilah pada dirimu sendiri karena kamu sudah memilih hidup dengannya.”

Pria itu berbalik badan lagi dan kali ini benar-benar pergi. Tiffany Song berteriak-teriak kencang memohon belas ampun pria itu, tapi si pria tidak menengok sama sekali dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan malam.

Tiffany Song ketakutan sampai berkeringat dingin. Ia bukan takut nyawanya terancam, melainkan takut Taylor Shen datang kemari. Ia tidak tahu timer bom di punggungnya diset3el berapa menit. Kalau Taylor Shen datang pada saat yang tidak tepat, bom itu pasti akan meledak tidak lama setelah kedatangannya…… Terbayang ini, sekujur tubuh Tiffany Song gemetar. Wanita itu merintih, “Taylor Shen, jangan kemari, jangan tolong aku!”

Tiffany Song menoleh ke segala arah untuk mencari tempat yang bisa ia jadikan tempat sembunyi. Kalau memang ia harus menerima kematian kali ini, ia tidak akan mengajak Taylor Shen ikut dengannya. Dengan posisi kaki dan tangan terikat, Tiffany Song mendudukkan diri perlahan-lahan. Matanya tiba-tiba terasa silau oleh suatu cahaya.

Ia mengamati sumber cahaya lekat-lekat. Sepertinya di ujung bawah gunung sana ada bayangan orang yang tengah bergerak-gerak dan berjalan ke arahnya. Tiffany Song menoleh lagi bom yang terpasang di punggungnya. Setiap timer bom berbunyi, Tiffany Song merasa ia semakin dekat dengan kematian. Sudah tidak keburu sepertinya……

Tiffany Song bersusah-payah bersembunyi ke belakang sebuah nisan makam. Karena ia berjalan dengan posisi menyeret tubuh, di tanah jejaknya berbekas sangat jelas. Ia tahu tindakannya ini bodoh, tetapi ia tidak mau Taylor Shen masuk dalam bahaya. Tffany Song tidak ingin Taylor Shen melihat tubuhnya terkoyak-koyak dan terpencar kesana kemari.

Dalam sekejap, Taylor Shen dan Huffman tiba di kompleks makam. Kompleks itu sangat sepi dan tidak ada apa-apa. Melihat kekosongan ini, hati Taylor Shen langsung dipenuhi keputusasaan. Ia berteriak kencang-kencang: “Tiffany Song!”

Di balik nisan makam Tiffany Song menangis dan terisak mendengar panggilan ini.

Huffman mengamati lingkungan sekitar. Ia kemudian menyadari ada sebuah koper tidak jauh dari mereka. Ia langsung berujar pada bawahan-bawahannya: “Tom sempat kemari, ia dan sanderanya pasti masih di sini. Cepat cari!”

Para polisi bersenjata langsung menyebar ke segala arah. Salah satu dari mereka melapor: “Komandan, di tanah ada jejak kaki sampai ke arah sana.”

Taylor Shen berjalan ke arah yang ditunjuk itu. Dengan cahaya senter, ia bisa melihat di tanah ada jejak orang yang berjalan dengan posisi menyeret. Taylor Shen membuka telinga lebar-lebar dan ia pun mendengar suara gerasak-gerusuk tidak jauh darinya. Ia bertanya: “Apa kalian ada dengar sesuatu?”

Mereka semua langsung hening. Taylor Shen berjalan setapak demi setapak sembari mencari tahu sumber suara. Suara itu semakin lama semakin terasa dekat. Di depan sebuah nisan makam, salah seorang polisi menghadangnya: “Hati-hati, siapa tahu orang itu bersembunyi di belakang. Ini sangat berbahaya!”

Taylor Shen tidak mengenakan rompi anti bom sama sekali. Ini jelas situasi yang sangat berisiko, tetapi ia tidak peduli apa pun lagi asal bisa menemukan Tiffany Song. Ia berjalan ke belakang makam itu sambil berteriak: “Tom, akulah yang membunuh kakakmu. Kalau kamu mau balas dendam, balas dendamlah padaku. Kamu jangan jadi pengecut gini malah balas dendam pada perempuan tidak bersalah!”

Yang menjawabnya adalah isakan tangis. Tangisan itu terdengar seperti tangisan orang yang dikuburkan di situ.

Huffman memberi kode pada bawahannya untuk melindungi Taylor Shen. Dia ini orang yang pernah dilindungi secara khusus oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya di New York, mereka pasti akan menanggung konsekuensi yang besar.

Mendengar langkah kaki orang-orang yang semakin mendekatinya, Tiffany Song sadar persembunyiannya sudah terbongkar. Ia tidak bisa mengumpat lagi. Tiffany Song mendongakkan kepala dari belakang nisan makam. Para polisi langsung menodongkan senjata ke arahnya.

Senter Taylor Shen juga diarahkan ke Tiffany Song. Sinar senter membuat wanita itu langsung kesilauan. Melihat wajah Tiffany Song, Taylor Shen langsung berujar: “Jangan tembak!”

Taylor Shen langsung berlari menghampiri Tiffany Song dan memeluknya erat-erat. Ia seperti menemukan kembali harapannya yang sempat hilang. Tiffany Song tidak kenapa-napa, ia ada di sini tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Taylor Shen berucap sambil menatap langit, “Terima kasih langit, akhirnya aku bisa menemukanmu.”

Melihat Taylor Shen dan Tiffany Song berpelukan, Huffman memberi pengarahan lagi pada bawahan-bawahannya, “Si pelaku sudah kabur. Bagi anggota kita jadi dua grup dan berpencarlah ke arah yang berbeda untuk cari dia. Ia tidak boleh kabur lagi.”

“Baik, Komandan.” Para polisi langsung berpencar untuk melaksanakan perintah Huffman.

Tiffany Song memejamkan mata. Bau tubuh Taylor Shen yang sangat familiar membuat hatinya terasa jauh lebih tenang. Teringat timer bom yang tertempel di punggungnya, Tiffany Song kembali berteriak dan menangis lagi. Taylor Shen sadar ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Ia melepaskan wanita itu. Tiffany Song mengenakan piyama tidur, kedua tangan dan kedua kakinya sama-sama diikat tali. Karena tidak mengenakan sendal, kakinya penuh dengan lumpur becek. Di pinggang Tiffany Song tertempel bom dan di belakang punggungnya ada timer bom.

Menyadari adanya bom di tubuh Tiffany Song, Huffman buru-buru memanggil salah satu bawahan: “Segera panggil ahli penjinak bom kemari.”

Sekujur tubuh Taylor Shen kaku. Melihat waktu yang masih tersisa di timer bom, ia mendebat: “Sudah tidak keburu, kita hanya punya tiga menit.”

Tiffany Song jadi panik. Ia tidak bisa bicara karena mulutnya dilakban, tetapi dilihat dari tatapannya ia seperti sedang berkata: “Taylor Shen, cepat pergi! Jangan pedulikan aku!”

Taylor Shen melihat kode mata yang diberikan Tiffany Song. Tatapan Tiffany Song dipenuhi ketakutan, tetapi Taylor Shen tetap bisa memahami apa yang sedang ia ingin katakan. Pria itu menggeleng, “Tiffany Song, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Kamu hidup, maka kita hidup sama-sama. Kamu mati, maka kita mati sama-sama juga!”

Tiffany Song kaget dengan pernyataan ini. Ia menunduk menatap lakban yang tertempel di mulutnya seolah memberi kode pada Taylor Shen untuk bantu melepaskan. Pria itu langsung paham dan bergerak memenuhi permintaannya.

“Taylor Shen, cepat pergi! Cepat pergi!” suruh Tiffany Song begitu lakban terlepas. Ia tidak ingin Taylor Shen sama-sama dimakamkan dengannya. Ia ingin pria itu tetap hidup.

“Aku tidak pergi, Tiffany Song.” Taylor Shen menggeleng tegas. Ia tidak mungkin meninggalkan Tiffany Song dalam kondisi begini.

Sepanjang mereka berbincang begini, Huffman berjongkok mengamati punggung Tiffany Song. Ia melihat dengan seksama timer bom dan jenis bom yang terpasang padanya. Ini bukan timer bom yang rumit. Timer itu punya tiga kabel dengan warna berbeda-beda: merah, kuning, hijau. Potong kabel yang salah berarti bom akan meledak, potong kabel yang benar berarti bom akan mati otomatis.

Mencoba menjinakkan bom saat ini sudah terlambat. Mereka tidak punya pilihan lain selain berjudi dengan memilih salah satu kabel.

“Tuan Shen, tinggal dua menit. Di timer bom ada tiga buah kabel. Kalau bisa potong kabel yang benar, timer akan langsung berhenti. Kalau salah potong, bom akan langsung meledak. Kadar bom yang tertempel di tubuh Nona Song cukup untuk membuat tubuhnya teroyak-oyak ke segala arah. Kita tidak punya waktu lagi, serahkan Nona Song pada kami, biar kami kerjakan.”

Dengan wajah penuh air mata, Tiffany Song kembali mengusir Taylor Shen: “Cepat pergilah! Aku tidak ingin membuatmu ikut sengsara!”

“Aku lebih pilih ikut kamu sengsara.” Taylor Shen mengelus-elus pipi Tiffany Song yang bengkak. Tatapan pada wanita itu sangat iba. Kalau mereka hari ini bisa terbebas dari malapetaka ini, ia pasti akan mencari orang yang berani memperlakukan wanitanya itu begini. Sungguh tidak mau hidup lagi orang itu.

Tiffany Song menggeleng kencang, “Taylor Shen, aku ingin kamu bisa tetap melanjutkan hidupmu, paham? Cepat pergi. Kalau memang benar ada kehidupan yang berikutnya, aku akan menunggumu datang mencariku. Aku tidak akan memberikan hatiku pada orang lain. Aku janji.”

“Mengapa setiap kali ada masalah kamu selalu menyuruhku pergi? Tiffany Song, pernahkah sekali saja kamu izinkan aku menemanimu untuk menghadapi masalah bersama-sama, kalau pun masalah itu adalah kematian?” Hati Taylor Shen terasa teriris-iris. Bagaimana mungkin ia mau melihat Tiffany Song mati karena bom di hadapannya sendiri? Kalau pun Tiffany Song harus mati, ia mau mati dengannya.

“Karena yang kali ini taruhannya nyawa. Pergi sana!” teriak Tiffany Song.

Melihat keduanya berdebat tanpa henti, Huffman mengingatkan: “Tuan Shen, tinggal satu menit.”

Taylor Shen memejamkan mata. Ia sadar ia tidak boleh menghabiskan waktu yang tersisa hanya untuk berdebat begini. Tatapannya terlihat penuh keyakinan begitu ia kembali membuka mata. Taylor Shen mengambil gunting yang dipegang Huffman, lalu berkata: “Huffman, silahkan kamu ajak orang-orangmu bergegas pergi. Masalah ini biar aku yang urus.”

“Tuan Shen!” Huffman sontak panik.

“Jangan bantah!” ujar Taylor Shen tanpa ekspresi.

Waktu sudah tidak mengizinkan Huffman untuk membujuk Taylor Shen lagi. Di satu sisi, ia pasti akan mendapat hukuman karena membiarkan orang yang dilindungi Kedutaan Besar Amerika Serikat berada dalam kondisi bahaya begini. Di sisi lain, melihat keyakinan dan kebulatan tekad yang terpancar dalam wajah Taylor Shen, ia paham bahwa cinta memang punya kekuatan untuk berkorban. Ia memilih menuruti yang kedua, kata hatinya bilang begitu.

Tanpa membujuk lebih lanjut lagi, Huffman mengangkat tangan dan mengibas-ibaskanya seolah menyuruh bawahan-bawahannya mundur.

Taylor Shen berjongkok di belakang Tiffany Song. Melihat tiga kabel pada timer bom, jidatnya berkeringat dingin. Tangannya yang memegang gunting juga gemetar. Ia kira-kira harus potong kabel yang mana? Tom kira-kira set kabel yang mana sebagai kabel aman?

“Tiffany Song, kamu ketakutan?” tanya Taylor Shen tiba-tiba.

Tiffany Song tidak bisa melihat waktu yang tersisa di timer, tetapi dari nada bicara Taylor Shen yang tegang, ia bisa tahu waktu yang tersisa untuknya tidak banyak lagi. Ia menjawab: “Ada kamu di sini, aku tidak takut.”

Ketika waktu tinggal tersisa tiga puluh detik, ponsel di sebelah Tiffany Song berdering. Taylor Shen mengangkat telepon itu dan dari seberang sana langsung terdengar suara seorang pria, “Taylor Shen, sudah kepikiran gunting yang mana? Hati-hati sekali loh, kalau kamu salah potong, tubuh Tiffany Song akan langsung terkoyak-koyak dan berhamburan ke sana kemari. Aku pernah dengar mitos Tiongkok, katanya kalau orang meninggal dalam keadaan tubuh yang hancur, jiwanya akan gentayangan dan ia tidak bisa terlahir di kehidupan berikutnya. Kalau itu terjadi, kalian berarti tidak punya kesempatan bertemu lagi selamanya. Hehehe, sedih sekali deh!”

Taylor Shen tidak menjawab. Di benaknya tiba-tiba muncul suatu ide. Menurut ilmu psikologi, semua orang punta “warna aman” masing-masing. Biasanya, warna aman ini adalah warna kesukaan orang tersebut. Dari kabel merah, kuning, dan hijau di timer bom, mana yang merupakan “warna aman” Tom?

Waktu terus berjalan. Dengan posisi dagu tertambat di bahu Tiffany Song, Taylor Shen bertanya lembut, “Tiffany Song, kamu percaya denganku kan?”

Air mata Tiffany Song keluar. Ia tahu waktunya sudah tidak banyak. Tiffany Song mengangguk, “Iya, aku percaya denganmu!”

Taylor Shen memotong salah satu kabel sekuat tenaga. Krek! Situasi di tempat itu tiba-tiba langsung sunyi seolah waktu membeku di momen ini. Setelah hening beberapa saat, dari seberang sana terdengar suara Tom yang tidak percaya, “Bagaimana bisa?”

Taylor Shen baru menyadari apa yang terjadi. Bom tidak meledak, ia sudah menggunting kabel yang tepat. Taylor Shen langsung bersandar lega di punggung wanitanya: “Tiffany Song, kita tidak apa-apa.”

Tiffany Song membuka mata dan mengangguk puas: “Iya, kita tidak apa-apa. Terima kasih langit.”

Melihat situasi bahaya sudah berakhir, Huffman langsung berlari menghampiri keduanya dengan anak-anak buahnya. Ahli penjinak bom kebetulan sudah tiba, jadi mereka membantu Tiffany Song melepaskan bom yang sudah mati dari tubuhnya. Mereka tidak apa-apa, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup.

Taylor Shen melempar ponsel yang tadi tergeletak di samping Tiffany Song ke nisan makam. Ia tidak memberitahukan pada Tom bagaimana ia bisa menggunting kabel yang betul. Ia kemudian memeluk Tiffany Song erat-erat seperti menemukan kembali kekasih yang sudah hilang bertahun-tahun. Tanpa peduli ada banyak orang di sekitar mereka, ia juga menciumi wanita itu dengan agresif.

Sekujur tubuh Tiffany Song lemas. Didekap Taylor Shen begini, ia sungguh merasa nyaman. Pengalaman berada di tengah-tengah hidup dan mati barusan sungguh membuatnya sadar untuk lebih menghargai semua yang ia miliki saat ini.

Sama seperti Taylor Shen, tanpa memedulikan polisi-polisi yang lalu-lalang, ia balik mencium pria itu.

Dari samping, melihat keduanya berciuman, Huffman mendeham meledek. Taylor Shen melepaskan bibir Tiffany Song, menatap matanya sekilas, lalu kembali menciumnya lagi. Tiffany Song malu dengan dehaman Huffman ini. Ia mendorong Taylor Shen untuk melepaskan diri darinya. Pria itu awalnya tidak senang, tetapi akhirnya memahami permintaannya.

“Tuan Shen, mohon kamu dan Nona Song ikut kami ke kantor polisi untuk buat laporan kasus.” Melihat tatapan tidak senang Taylor Shen, Huffman makin merasa canggung.

Taylor Shen menatap Tiffany Song yang nafasnya masih naik-turun dengan cepat. Beberapa menit sudah berlalu, tetapi wanita itu masih terbawa panik. Ia dalam hati bersumpah hal seperti ini hanya akan terjadi sekali. Tidak boleh ada yang ketiga kalinya!

Taylro Shen sungguh kasihan pada Tiffany Song. Ia menjawab dingin: “Istriku masih dalam keadaan sangat panik, kami harus ke rumah sakit. Laporan kasusnya kamu tidak usah pusingkan, ikut saja kami ke rumah sakit.”

“……”

Taylor Shen membopong Tiffany Song keluar dari kompleks makam. Ketika melewati makam Jason, jidatnya berkerut. Ia menurunkan Tiffany Song, lalu meminta ahli penjinak bom menyerahkan padanya bom yang barusan terpasang di tubuh Tiffany Song. Beberapa menit kemudian, bom itu sudah ia pasang di makam Jason. Ia terkekeh: “Bom akan meledak dalam dua menit. Kalau tidak mau mayatmu terkoyak-koyak oleh ledakan bom, cepat bangkit dari kubur dan selamatkan diri.”

Taylor Shen kemudian membopong Tiffany Song turun gunung dengan langkah cepat.

Novel Terkait

Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu