You Are My Soft Spot - Bab 415 Kamu Menang, Aku Akan Putus Dengannya (1)

Di Amerika, insiden pembunuhan bukanlah main-main. Semalam dia takut Erin akan cemas, makanya dia tidak mengungkapkannya. Dia pun membuatnya melakukan banyak hal, karena dia ingin membuatnya lelah agar tidak memiliki tenaga untuk berpikir sembarangan.

James He, yang sedang berdiri di depan jendela, sedang memandangi bangunan-bangunan tinggi yang berada di luar jendela. Pandangan matanya tampak sedih dan kesepian. Orang-orang itu yang datang ke Amerika pasti akan sulit untuk dihadapi. Semalam mereka beruntung dapat melarikan diri. Maka dalam beberapa hari ke depan, mereka harus maju secara bertahap. Kalau tidak, mereka mungkin akan tertembak mati kapan saja.

Dia meletakkan satu tangan di pinggang, dengan raut serius berbicara dengan orang lain. "Semalam kami diserang di Jalan X, dan tubuh orang matinya memiliki tato Geng Qing. Sekarang mereka sterus mengejar. Aku tidak bisa duduk disini, menunggu kematianku. Dari awal, aku berjanji kepadamu bahwa aku akan kembali ke Biro Intelijen Pasukan Khusus, persyaratannya pun sudah kukatakan. Jika kamu tidak bisa melindungi keselamatanku dan Little Seven, jangan salahkan aku karena telah melanggar perkataanku.”

Orang di ujung sana berulang kali meminta maaf. Asalkan kalian tahu, begitu James He bertindak, maka tidak ada apapun yang tidak bisa dilakukannya. Dalam dua tahun ini, dia telah memecahkan beberapa kali kasus, dimana membuatnya lebih cemerlang di hadapan para pemimpin atas. Orang yang cakap seperti dia ini, akan melakukan segala hal untuk bertahan demi melayani dirinya sendiri.

James He mematikan teleponnya dan menghubungi Little A. Kadang-kadang lebih baik mengandalkan diri sendiri daripada orang lain. Dia pun menyuruh Little A untuk melakukan dua hal. Dia menurunkan lengannya, mengerutkan alisnya, dimana menunjukkan kebenciannya. Jika tidak ada yang mencari masalah denganku, aku juga tidak mencari masalah dengannya. Karena mereka tidak sabar untuk mati, dia tentu tidak mengecewakan niat baik mereka.

Terdengar sebuah suara kecil dari belakangnya. James He memutar badannya, mendapatkan Erin sedang berdiri di pintu kamarnya. Wajahnya dipenuhi dengan ketakutan, dimana sebagian besar karena dia tidak melihat James He ketika terbangun, hatinya pun menjadi sangat gelisah.

James He menunduk kepalanya, mendapatkan dia bahkan tidak memakai sandalny. Dapat dilihat betapa cemasnya Erin barusan. Dia mengerutkan bibirnya, perlahan berjalan ke arahnya, mengulurkan tangan, menggendong Erin. Tetapi Erin malah menghentikannya. "Jangan. Kamu masih terluka. Aku akan pergi sendiri."

Jika dia tidak mengatakannya, James He benaran akan lupa bahwa dia sekarang terluka. Namun, dia masih bersikeras mengangkatnya, lalu berjalan menuju ke kamar. “Luka kecil ini tidak penting."

Kemudian dia meletakkan Erin ke ranjang. Dia pun mengambil sandal, memakaikannya ke kaki Erin. "Lain kali kalau mau turun, jangan bertelanjang kaki. Udaranya dingin, kamu bisa kedinginan."

Erin pun menjadi malu. Sebenarnya di dalam kamar terdapat pemanas dan juga karpet di lantai, jadi dia sama sekali tidak akan kedinginan. Tapi James He yang penuh perhatian ini membuatnya terharu. Dia pun mengangguk kepalanya dan menatapnya lurus James He. "Barusan kamu bertelepon dengan siapa?"

Pandangan James He sekilas menjadi gelap, lalu menahankan emosinya. Dia pun mengangkat kepalanya dan mengisenginya dengan berkata, "Kenapa? Kamu takut aku memiliki kekasih lain di luar?"

"Aku tidak bermaksud begitu." Melihat dirinya telah salah paham pada James He, Erin pun segera ingin menjelaskannya

James He pun berdiri dan duduk di sampingnya, memeluknya. Dia menggigit telinganya dan berkata, "Itu bukan kekasih lain. Hanya kamu satu-satunya wanita dalam hidupku."

Hatinya Erin terasa manis. Dia menyandarkan tubuh lembutnya ke dada James He, memainkan ujung piyamanya sambil bertanya, "Apakah luka di pundakmu masih sakit?"

"Jika sakit, apakah ada hadiahnya?" Tanpa sungkan, pria itu mengucapkan kata yang terdengar memalukan.

"…" Erin pun berpikir bahwa pria sebesar ini, tidak disangka akan bersikap manja di hadapannya. Dia pun mencoba mengabaikan, menghindari terjadinya kejadian semalam, dimana dirinya telah jatuh ke perangkapnya dan dimanfaatkan olehnya.

James He pastinya tidak akan melepaskan topik yang dapat membuat Erin malu. Wajah tampannya mendekati wajah Erin, lalu dia mengedipkan matanya dan bertanya, "Benaran sakit. Ini tidak akan sakit jika kamu mencium aku sejenak."

Erin mengulurkan tangannya, mendorong wajah tampannya. Beberapa saat kemudian, James He kembali mendekatkan wajahnya, dan masih dalam penampilan yang sama. "Cium aku sebentar saja, ya?"

Erin pun menjadi malu, dan dia dibuat pasrah oleh kebrisikannya. Lalu dia mengulurkan tangannya, memegang wajah tampannya, menekan bibirnya, dimana terlihat seperti mulut ayam, kemudian menciumnya. “Cup” Suaranya terdengar keras. Wajahnya seketika memerah dan dia ingin melepaskannya, tetapi dia malah ditahan oleh tangan James He, mendapatkan sebuah bibir tipis menekan bibirnya.

"Jangan. Aku belum gosok gigiku." Erin memalingkan wajahnya, James He pastinya tidak akan mengikuti keinginannya. Dia tersenyum menyeringai dan berkata, “Aku tidak keberatan."

“……”

Pada akhir hari, Erin terengah-engah di dadanya. Wajah cantiknya pun memerah. James He membelai pundaknya, pelan-pelan menenangkan ereksi yang dirasakan di pagi hari. Dia tidak menyangka, jelas-jelas hanyalah sebuah ciuman, tetapi membuatnya untuk tidak dapat menghentikannya.

Wanita ini seperti racun yang mematikan, dimana setetes saja sudah dibuat kecanduan. Jika dalam hidup ini tidak bisa hidup bersamanya…, James He pun memejamkan matanya, membiarkan dirinya diselimuti kegelapan. Setelah kembali nanti, dia harus terus-menerus membujuk Bibi Yun.

Beberapa hari berikutnya terasa tenang dan damai. Erin setiap hari akan menghubungi Vero He. Dari nada bicaranya, suasana hatinya sangat baik, dimana terdapat sebuah kegembiraan menjadi seorang ibu lagi.

Setelah memastikan kondisinya telah stabil, dia dan James He tidak lagi merasa begitu cemas. Dalam dua hari ini, James He akan membawanya ke berbagai tempat terkenal dengan pemandangan indah di Amerika ketika dia memiliki waktu luang. Pada hari ini, dia membawanya ke universitas paling terkenal di New York. Jika waktu itu dia tidak masuk Sekolah Militer, maka sekolah ini yang akan menjadi tujuannya.

Mereka berjalan bersama sambil bergandengan tangan di kampus. Di sini merupakan tempat sejumlah besar siswa dari seluruh dunia berkumpul. Mereka berkeliling di sekitar kampus dengan membawakan buku di tangan mereka, dan banyak juga dari mereka yang duduk di rumput sambil membaca dan berjemur di bawah sinar matahari, dimana membuat mereka melewati kehidupan kampus dengan nyaman dan bahagia.

Erin tampak sangat kagum. Dia pun berkata, "Aku iri sekali. Jika aku sepuluh tahun lebih muda, aku juga mau datang belajar kemari."

James He menoleh dan melihat penyesalan yang tertera pada wajahnya. Dia pun berkata, "Kenapa kamu dari awal memilih Sekolah Militer?"

Erin seketika tertegun. Dia pun memalingkan wajahnya, melihat dari kejauhan bangunan pengajaran yang megah. Kampus ini memiliki sejarah selama ratusan tahun. Bangunan pengajarannya merupakan bangunan dengan nuansa Eropa. Erin berkata, "Aku tidak ingat."

Waktu itu, dia sebenarnya telah menerima dua surat penerimaan, yang satunya dari Sekolah Militer dan yang satunya lagi dari Universitas A di Kota Tong. Setelah mengalami kejadian itu, dia pun tanpa ragu-ragu memilih Sekolah Militer.

Pada saat itu, Erin berpikir bahwa selama dia dapat pergi jauh dari Kota Tong, dia akan dapat memutuskan perasaannya. Namun, tidak disangka bahwa seberapa jauh dia pergi, dia sudah tidak bisa membebaskan dirinya dari perasaan mendalam ini.

James He dalam sekejap menatapnya. Dia dapat melihat ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. Dia pun tersenyum berkata, "Apakah itu karena aku?"

"Ya?" Erin mendongak kepalnya, menatap mata James He yang terlihat serius sekaligus mencemoohnya.

James He melihat Erin yang terbengong dan berkata, "Waktu itu kamu mencintaiku, bukan. Makanya kamu baru memilih Sekolah Militer biar bisa mengagumi penampilan eleganku."

Erin dibuat terhibur oleh nada narsisnya. Dia pun menggelengkan kepalanya. Bisakah orang ini tak merasa kepedean? Tetapi demi memuaskan harga diri prianya, Erin pun mengangguk kepalanya, dengan setengah jujur dan setengah bohong berkata, "Iya. Aku waktu itu sangat mencintaimu sampai, dan juga menderita karena tidak bisa menyatakan cintaku padamu. Makanya aku mengikuti langkahmu, tetapi malah mengalami perjalanan yang kamu mengalami waktu itu."

James He tertawa. Tidak peduli apakah perkataannya itu jujur atau tidak, dia pun dibuat senang olehnya. Kemudian, dia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Erin dan berkata, "Ayok. Aku akan membawamu ke suatu tempat."

Erin tanpa tahu apa-apa, dibawa ke gedung pengajaran. Mereka berdua tiba di luar ruang kelas terbuka. James He mendorong pelan pintu belakang, menarik Erin masuk ke dalam. Erin pun terkejut melihatnya. Ketika ingin menariknya kembali, dia sudah diseret James He duduk di barisan kursi terbelakang.

Erin takut mereka akan ditangkap oleh profesor di panggung, kemudian diusir keluar. Dia pun menarik lengan baju James He, mengisyaratkan mereka untuk keluar dan jangan membuat masalah. James He dengan tenang menggelengkan kepalanya, dengan suara rendah berbisik di sebelah telinga, "Alami saja pengajaran sekolah terkenal ini. Kesempatan jarang didapatkan, loh."

"..." Erin menjadi gugup dan takut, tapi perasaan itu pelan-pelan menghilang begitu melihat pengajaran profesor di atas panggung. Meskipun dia tidak bisa memahaminya, dia tetap mendengarkan dengan penuh minat, seolah-olah dirinya telah kembali ke usia delapan belas dan telah bepergian ribuan mil untuk belajar di luar negeri.

James He sama sekali tidak melihat panggungnya, melainkan menatap sejenak Erin. Wanitanya benaran cantik ketika sedang serius, saking cantiknya membuat dia tidak bisa memalingkan pandangannya

Sejak keluar dari ruang kelas terbuka, wajah Erin penuh dengan senyum. Sangat jelas terlihat bahwa dia sangat senang. James He menggenggam tangannya. Begitu melihat mulutnya yang tidak berhenti melengkung ke atas, dia pun dengan masam berkata, "Apakah perlu sesenang itu, ditanya oleh bocah Amerika yang bodoh itu?"

James He bukanlah satu-satunya orang yang menyadari kecantikan Erin. Seorang pria asing yang duduk di barisan terbelakang juga dibuat tertegun oleh kecantikan Erin. Setelah kelas berakhir, tidak peduli apakah Erin memiliki pria posesif atau tidak disisinya, pria itu pun mengumpulkan keberanian untuk menyerahkan nomor teleponnya kepada Erin.

Kertas itu diambil oleh James He. Erin bahkan tidak sempat untuk melihatnya dan langsung ditarik James He keluar dari kelas, meninggalkan pria asing yang sedang menggaruk kepala dan tampak bingung itu sendirian.

Setelah keluar dari gedung pengajaran, James He langsung melemparkan kertas itu ke dalam tempat sampah. Kemudian dia memandang wanita cantik yang disentuhnya ini. Dia sangat ingin membungkusnya dengan selimut agar tidak membiarkan siapapun mendambakan wanitanya.

“Aku bukannya senang karena itu. Hanya saja setelah mendengarkan kelas profesornya, aku merasa seakan impianku akhirnya telah tercapai." Erin juga menyadarinya. Berdasarkan pengalaman hidupnya, bahkan jika dia memiliki kemampuan untuk memasuki sekolah terkenal di luar negeri, dia mungkin tidak bisa datang kemari untuk belajar.

Hari ini, dia ditarik James He ke ruang kelas terbuka, dimana juga termasuk sebagai impian bertahun-tahun yang berhasil diwujudkan.

James He menatap senyum di wajahnya, matanya pun tiba-tiba terasa sakit. Jika Erin dilahirkan di keluarga kaya, dia pasti akan sama seperti Angela, sangat disayangi keluarganya. Bagaimana bisa dia berkeliaran di antara hidup dan mati, bukan?

James He tiba-tiba meraih tangannya, memeluknya. Dia pun tidak peduli pada orang-orang yang datang dan pergi di depan pintu masuk gedung pengajaran. Erin pun malu dan ingin segera lepas dari pelukannya.

Untungnya orang luar negeri memiliki pemikiran yang lebih terbuka. Siapapun juga tidak memperhatikan mereka.

"Erin, aku pasti akan membuatmu bahagia." James He tiba-tiba menyatakan perasaannya.

Erin tertegun. Bibirnya segera pelan-pelan melengkung ke atas. Dia sudah mencintainya, kah? Sebenarnya Erin tidak merasa dirugikan, sebaliknya senang. Dia senang bahwa dirinya adalah putri asisten rumah. Dengan begitu, mereka baru bisa saling memiliki perasaan.

Setelah meninggalkan universitas, mereka berdua kembali ke hotel. Asisten profesor psikologi itu menelepon mereka, mengatakan kepada mereka bahwa profesornya akan kembali sore ini. Mereka berdua pun sangat senang begitu mendapatkan berita bagus ini.

James He memberitahu asistennya bahwa dia akan mengunjunginya besok, kemudian dia mematikan ponselnya. Ponsel Erin berdering. Dia mengambil ponselnya dan tertegun begitu melihat nomor peneleponnya. Kemudian dia berjalan kembali ke kamar untuk menjawab teleponnya.

"Apa kabar, ini dari Rumah Sakit XX. Mohon maaf, apakah ini Nona Erin?" Terdengar suara wanita yang berbicara dengan sopan di ujung sana.

"Iya. Itu aku. Ibuku..." Erin tidak menyangka bahwa orang yang menelepon itu bukan ibunya. Dia seketika memiliki firasat buruk.

"Nona Erin, ibumu ditemukan pingsan di rumah oleh para tetangga. Diharapkan Anda dapat segera datang ke rumah sakit."

"Brak" Ponsel Erin terjatuh ke lantai. Dia pun berdiri terbengong di sana. Tiba-tiba tanpa memikirkan apapun, dia segera berbalik badan, berlari keluar dari kamarnya.

James He baru saja menutup ponselnya begitu melihat Erin, yang tampak panik, telah bergegas keluar dari kamarnya. Dia pun mengejar beberapa langkah, lalu menggenggam lengannya. Dia melihatnya seakan seperti anak kecil yang tidak dapat menemukan rumah, saking cemasnya air mata mengalir keluar, dimana membuat hatinya terasa sakit. "Erin, apa yang terjadi?"

"James He, ibuku masuk ke rumah sakit. Aku ingin pulang." Saking cemasnya, suara Erin terdengar bergetar. Kesehatan ibunya masih baik, dia bahkan telah menjalani pemeriksaan pada akhir tahun lalu. Dokter juga mengatakan bahwa fisiknya lebih baik daripada orang muda. Bagaimana bisa langsung begitu saja masuk rumah sakit.

Melihat Erin yang tampak gelisah, James He pun segera berkata, "Erin, kamu jangan khawatir. Aku akan meminta orang membeli tiketnya. Aku akan pulang bersamamu."

Erin menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak. Kamu tidak bisa pulang bersamaku. Profesornya sudah kembali dan Nona Vero masih menunggu sang profesor. Kondisinya saat ini tidak stabil dan perlu lebih awal mengendalikan kondisinya. Aku akan pulang sendirian."

Setelah Erin merasa khawatir, dia pun segera menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa Vero He berada dalam masa kritis, jadi dia tidak bisa membiarkan James He pulang bersamanya.

"Pada saat seperti ini, bagaimana bisa aku dapat tenang membiarkanmu pulang sendirian, bukan?" kata James He sambil mengerutkan keningnya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkannya pulang sendirian, tetapi situasi Vero He juga tidak bisa ditunda lagi. Hatinya pun menjadi dilema.

"James He, kamu menetap di sini dan menunggu profesornya. Aku akan pulang. Jangan khawatir, aku akan menghubungimu." Erin bukanlah orang yang tidak memahami situasinya. Ibunya penting dan Vero He juga penting. Pada saat ini, bahkan jika dia James He ingin pulang bersamanya, dia pun juga akan menolaknya.

James He mengatup erat bibir tipisnya, membentuk garis lurus. Tidak tahu mengapa, pada saat ini dia memiliki perasaan bahwa jika dia membiarkan Erin pulang sendirian, maka mungkin saja mereka akan berpisah.

Tetapi begitu mengingat Vero He yang menderita oleh penyakitnya, dia pun masih melepaskan tangannya, menelepon orang untuk memesan tiket, kemudian mengantar Erin ke bandara. Sepanjang perjalanan, hati Erin terus merasa gelisah. Sang perawat tidak banyak berbicara mengenai kondisi ibunya dan hanya mengatakan bahwa dia berada di Unit Perawatan Intensif.

Penyakit apa yang sampai membuatnya dirawat di Unit Perawatan Intensif?

Erin pun menjadi khawatir begitu memikirkannya. James He sambil mengemudi sambil memandangnya. Melihat Erin mengerutkan alisnya, dia pun mengulurkan tangannya, menggenggam tangan kecil Erin yang dingin dan berkata, "Tenang saja. Bibi Yun akan baik-baik saja."

Erin menoleh kepalanya, memandang James He. Melihat wajahnya penuh kekhawatiran, Erin pun mengangguk kepalanya, perlahan menggenggam erat tangannya.

Novel Terkait

My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu