You Are My Soft Spot - Bab 268 Cinta Adalah Pisau Bermata Dua (1)

Taylor Shen hanya melihat Vero He sekilas. Karena jarak agak jauh dan si pria membelakangi cahaya, Vero He tidak bisa melihat dengan jelas ekspreisnya. Taylor Shen dan Jordan Bo pun berbalik badan dan pergi ke ruang pesta. Sikap pria itu sangat dingin seperti tadi saat menolongnya di tangga.

Vero He berjalan ke jendela untuk melihat pemandangan luar. Cahaya malam yang berkelipan di luar penuh romantisme. Siapa pun yang melihatnya pasti bakal merasa tenang sekaligus terpesona.

“Erin, apa tujuh tahun lalu terjadi sesuatu yang aku tidak ketahui?” tanya Vero he. Nada bicaranya mengandung rasa penasaran yang mendalam.

Si asisten menggeleng dan menjawab jujur, “Aku juga kurang tahu. Aku baru balik Kota Tong dua tahun lalu, terus kan juga banyak hal yang dikunci rapat-rapat. Selain saksi kejadian, orang lain tidak bakal tahu soal hal-hal itu.”

Vero He membuang nafas panjang. Karena kata-kata Jordan Bo yang tidak selesai barusan, hatinya kini terasa seperti tertindih batu yang besar sekali. Ada sesuatu yang mengganjal di sana.

Si atasan pamit sebentar: “Aku ke toilet dulu.”

Erin menatap bayangan tubuh Vero He dengan khawatir. Ia lalu memutuskan untuk ikut masuk toilet.

Toilet dari dulu adalah tempat gosip beranak-pinak. Sayangnya, tempat itu sangat sulit dihindari karena buang air merupakan kebutuhan alamiah.

Baru Vero He masuk ke salah satu bilik, pintu ruang toilet dibuka dan masuklah dua orang wanita. Di depan cermin dandan, salah satu wanita mulai memancing gosip, “Eh, kamu lihat wanita yang barusan? Dia namanya Vero He. Gila pakaiannya, pesona Ketua Organisasi bahkan dimakan habis olehnya.”

“Tahu aku. Namanya juga Vero He, pemimpin mall fashion paling terkemuka di Kota Tong. Sejak dia menerima permintaan wawancara televisi, semua gadis Kota Tong jadi ikut-ikutan gayanya. Soal dia, aku pernah dengar dia anak angkat keluarga He loh. Dia anu, anu loh.”

“Dia anu maksudnya apa?” tanya wanita pertama dengan tidak paham. Wanita yang mengenakan gaun biru itu bertanya sambil memakai lipstick.

Wanita kedua menengok kesana-kemari, lalu menjawab pelan: “Kalau bilang anak angkat sepetinya tidak terlalu enak didengar. Dia wanita luar yang melayani yang tua, juga melayani yang muda. Ayah dan putra keluarga He sama-sama pakai satu wanita.”

“Hah, masak sih? Kelihatannya dia orang yang cukup lurus, kok bisa sekotor ini?” tanya wanita pertama dengan mulut ternganga akibat kaget.

“Pasti kamu tidak tahu asal-usulnya juga ya. Dengar-dengar, setelah Tuan Muda He membawanya tinggal bersama, Nyonya Besar He marah besar sampai langsung pindah ke Selandia Baru. Nyonya Besar He tidak balik lagi selama lima tahun. Coba kamu tarik benang merahnya sendiri, itu tandanya Vero He bukan wanita baik-baik kan sampai istri Tuan Besar He sendiri minggat?”

“Tidak mungkin ah ini, pasti hanya rumor jahat saja.”

“Pasti ada benarnya dan ada yang dilebih-lebihkan juga. Dia sangat dimanjakan di rumah kediaman keluarga He, lihat gaunnya kamu pasti paham apa yang aku maksud. Aku jadi ingin tanya dia, lebih enak dinaiki oleh yang tua apa yang muda?”

“Mungkin saja sih, soalnya gaunnya itu pasti mahal sekali. Jangan -jangan yang tua dan yang muda sama-sama naik bersama……”

Mendengar cemoohan yang sangat menyakitkan di luar, Vero He lama-lama tidak bisa menahan diri. Ketika ia mau buka pintu untuk menegur kedua wanita, ada orang lain yang sudah bergerak duluan darinya.

Erin mengangkat dua tong sampah penuh tisu toilet dan menuangnya di atas kepala kedua wanita. Kedua wanita itu awalnya tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas tatapan mereka langsung hitam semua. Ketika sadar baru dituangkan tong sampah toilet, keduanya langsung berteriak panik. Sambil melepaskan tong sampah itu, salah satu di antara mereka bertanya marah: “Apa yang kamu lakukan?

Erin mencuci tangan dengan elegan di depan wastafel. Melihat kedua wanita kaget sampai wajahnya memucat, ia menyindir: “Pantas saja sebau ini, ternyata kepalanya banyak sampah. Mulut kalian itu bisa dijaga sedikit tidak?”

Kedua wanita sangat marah, bahkan badan salah satunya sampai gemetar saking marahnya. Mereka menatap diri mereka di cermin sambil menciumi rambut yang bau karena kena tisu toilet bekas. Sambil menahan muntah, keduanya melepaskan tisu toilet yang masih menempel di area wajah dan rambut.

Salah satu wanita menegur Erin, “Eh wanita brengsek, kamu tahu tidak kamu siapa? Punya hak apa kamu menuang sampah ke kepala kami?”

Erin mengambil tisu dan mengelap air yang ada di tangannya. Si asisten Vero He itu menjawab: “Jadi kalian senang menuang sampah ke kepala orang, tetapi tidak senang kalau kepala kalian sendiri dituangkan sampah? Aku hari ini hanya mengajarkan kalian bahwa mulut harus dijaga. Kalau tidak, lain kali kalian bukan ditaruh sampah lagi, melainkan……”

Ancaman dalam tatapan Erin membuat kedua wanit arefleks mundur satu langkah. Mereka tidak berani kembali membalasnya, tetapi hati mereka sangat tidak senang. Rambut berantakan, dandanan berantakan, tubuh bau…… Salah satu di antara mereka memperingatkan, “Kamu sudah menabur dendam, kami akan ingat kamu selamanya.”

Vero He membuka pintu bilik dan berjalan keluar. Melihat penampilan acak-acakan kedua wanita, mereka menghampiri mereka bertiga: “Erin, kamu iseng sekali. Kedua wanita ini sangat terhormat, kok bisa-bisanya kamu menuangkan sampah ke mereka? Tubuh mereka sekarang jadi bau, bagaimana muka mereka nanti waktu bertemu orang-orang coba?”

Wajah kedua wanita langsung pucat pasi melihat kehadiran sosok Vero He. Kata-katanya barusan terkesan membela, tetapi diucapkan dengan senyum yang menyerupai senyum satir.

Vero He berjalan ke wastafel dan mencuci tangan dengan air hangat. Melihat kedua wanita berdiri diam seribu bahasa, ia bertanya dingin, “Apa? Masih diam di sini karena masih kurang sampahnya? Mau aku tambahkan lagi?”

Kedua wanita buru-buru buka pintu dan berlari kabur sekencang-kencangnya.

Vero He membuka tas dan memperbaiki dandanan. Erin mengamati di sebelah tanpa melihat perubahan ekspresi apa pun karena insiden barusan. Meski si bos baik-baik saja, ia tetap berusaha menenangkan, “Nona He, mereka hanya omong kosong saja. Jangan masukkan ke hati.”

“Kalau aku masukkan ke hati, dari dulu sudah marah sampai mati kali aku.” Vero He kembali menebalkan lipstik yang sudah agak pudar.

Waktu kerja, Vero He sudah pernah mendengar kata-kata yang lebih busuk lagi. Bagaimana driinya bisa melaluinya waktu itu, ia tidak mau mengingat-ingat lagi. Yang jelas, ia tidak terpengaruh oleh semua celaan itu dan berhasil menjadi sosok yang sukses.

Vero He pikir setelah sukses dengan Parkway Plaza tidak akan ada orang yang merendahkannya lagi. Ternyata, tidak peduli kapan pun dan di mana pun, ia selalu jadi sosok yang dianggap lemah. Ya sudah lah terserah, katakan saja apa pun yang kalian semua ingin katakan……

Erin memberi nasehat: “Tidak usah pedulikan apa yang orang lain katakan. Terus jadilah dirimu sendiri.”

Vero He tersenyum, “Yuk keluar dari sini, balik ke ruang pesta.”

Mereka berdua pun melangkah masuk ruang pesta yang mewah lagi. Wajah para hadirin semuanya menampilkan senyum ke lawan bicara masing-masing. Sebenarnya, bila ditelisik lebih jauh, senyuman-senyuman mereka sedikit banyak mengandung kepalsuan dan paksaan.

Vero He mengambil segelas cocktail, lalu berdiri di pojokan sambil mengamati ruang pesta secara keseluruhan. Sementara itu, Erin berdiri di sebelah Vero He untuk menjaga keamanannya tanpa banyak bicara.

Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Nancy Xu dan Kepala Organisasi tengah berbincang lagi. Pesona wanita yang disebut “nyonya” itu sangat kuat, bahkan pandangan orang yang berdiri tenang-tenang di pojokan juga terserap olehnya. Kepala Organisasi berbisik pelan di telinganya, lalu Nancy Xu tertawa renyah dan lembut. Wajahnya terlihat sangat bersahabat pada semua orang.

Yang mereka bicarakan kebetulan adalah Vero He. Kepala Organisasi menyampaikan pengamatannya daritadi, “Ini aneh tapi aku tidak merasa keliru, Nona He dan kamu agak mirip.”

“Benar, aku juga merasa agak mirip. Tadi kamu bilang dia anak angkat keluarga He ya?” Nancy Xu menyapukan pandangan ke kiri dan kanan ruang pesta seolah tengah mencari sesuatu. Ketika menyadari sosok Vero He yang berdiri di pojokan sambil memegang cocktail, ia mengayunkan gelasnya ssendiri seperti tengah memanggil.

Yang dipanggil ikut mengayunkan gelas tanda menyadari panggilan.

Kepala Organisasi mengarahkan pandangan mengikuti pandangan Nancy Xu. Ia menyadari ada sosok Vero He, lalu kembali mengalihkan pandangan ke temannya itu dan menjawab: “Dengar-dengar sih begitu, tetapi ada juga rumor lainnya. Jangan mudah percaya begitu saja deh pokoknya.”

“Apa tuh rumor lainnya?” telisik Nancy Xu.

“Identitas Vero He tidak bisa ditelusuri, dengar-dengar dia luar biasa mirip dengan istri CEO Shen’s Corp tujuh tahun lalu. Nyonya Shen ini sosok yang legendaris dan misterius. Sudah menikah dua kali, pernikahannya selalu gagal. Yang pertama berakhir dengan perceraian, sementara yang kedua dia mati di penjara akibat ledakan. Kasihan sekali ya.” Kepala Organisasi sangat jarang membicarakan orang di belakang begini. Ia kali ini bisa bicara banyak karena menyadari ketertarikan Nancy Xu pada Vero He.

Ini bukan ketertarikan yang bersifat basa-basi. Ini rasa penasaran yang memang tulus dan mendalam.

Nancy Xu gigit-gigit bibir. Hatinya entah mengapa terasa tidak enak.

Kepala Organisasi menyadari perubahan raut wajah si wanita. Ia kembali mengungkit yang baik-baik biar suasana pembicaraan kembali positif, “Nona Vero He ini sebaliknya malah sangat berbakat. Parkway Plaza yang kita kunjungi kemarin itu dia yang pimpin. Bisnisnya sangat sukses dan populer. Si anu di keluarga kami sih tiap dengar nama dia bakal minder.”

Nancy Xu kembali menatap Vero He. Yang ditatap sudah berbalik badan dan tengah berinteraksi dengan seorang tamu wanita. Dalam hatinya, ia merasa sangat iba dengan anak ini.

Waktu hampir menunjukkan puluh sepuluh malam waktu pesta kelar. Ketika berpamitan dengan Kepala Organisasi, Vero He tidak melihat Nancy Xu lagi. Tanpa memikirkannya lebih lanjut, ia bergegas pergi dengan Erin.

Supir keluarga He parkir agak ke depan. Ketika Vero He dan Erin berjalan ke mobil, mereka menjumpai Taylor Shen lagi bersandar di salah satu tiang gedung bak lagi menunggu mereka.

Langkah kaki Vero He terhenti. Semalaman pura-pura tidak kenal, sekarang kok malah menunggui dirinya? Mengapa sikap orang ini sangat plin-plan dan bisa berubah dengan cepat? Ia memutuskan menghampirinya, berdiri di depannya, dan mendongak menatap wajahnya.

Pemandangan belakang Taylor Shen penuh lampu gedung dan lampu jalana. Pria itu berujar datar: “Kalau kamu kasihan dengan Evelyn, bujuklah Stella Han biar tidak menceraikan Jordan Bo. Kalau tidak, per hari di mana masing-masing dari mereka dapat buku cerai, hubungan ibu-anak dia dengan Evelyn akan berakhir selamanya.”

Vero He terkejut dan refleks memegangi tali tasnya dengan lebih erat: “Apa maksudmu? Apa yang dimaksud dengan hubungan ibu-anak berakhir selamanya? Jordan Bo sebenarnya ingin melakukan apa?”

“Dia ingin melakukan apa, kita berdua tidak bakal bisa mencegah. Sampai di sini dulu deh bicaranya, sampai jumpa!” Taylor Shen menegakkan posisi berdiri, memasukkan kedua tangan ke kantong, dan berjalan pergi.

Hati Vero He langsung gelisah. Ia buru-buru menyusulnya dan menghalangi langkahnya dengan tangan, “Taylor Shen, jelaskan dulu kata-katamu. Atas dasar apa Jordan Bo mau bertindak begini?”

“Atas dasar Stella Han ingin merelakan hak asuhnya. Bagi seorang anak yang hak asuhnya direlakan begitu saja, si ibu tidak layak disebut ibu yang baik lagi. Ia jadinya tidak punya hak untuk kembali berjumpa dengan si anak!” jawab Taylro Shen tegas dan dingin.

Sekujur tubuh Vero He kaku. Ia menatap pria di hadapannya dengan setengah tidak percaya. Bagaimana bisa kata-kata setega ini keluar dari mulutnya? Ia pun bertanya: “Stella Han sebenarnya salah apa? Waktu itu Jordan Bo sendiri yang memaksanya menikah, tetapi sekarang mengapa Stella Han malah diperlakukan dengan sangat egois? Mengapa sahabatmu itu tidak berniat bicara baik-baik dengan Stella Han dan malah menggunakan anak sebagai senjata untuk melukainya?”

Taylor Shen menjawab: “Karena itu pion terakhirnya. Kalau dengan pion ini Stella Han tetap lepas juga, maka……”

Vero He memotong kalimatnya sembari menggeleng, “Jordan Bo sangat salah. Dia pasti akan menyesal!”

Si pria menatap si wanita lekat-lekat. Pria itu lalu menurunkan tangan Vero He yang menghalangi jalannya dan terus berjalan pergi.

Vero He mengamati bayangan tubuh Taylor Shen yang menjauh sambil mundur-mundur. Erin segera memapah bosnya itu biar tidak jauh. Mata si wanita penuh dengan air mata. Dalam hati, Vero He bertanya pada dirinya sendiri mengapa Taylor Shen dan Jordan Bo tega begini.

“Erin, apa aku salah?” tanya Vero He pada si asisten.

Erik menatap wajah Vero He yang penuh kekecewaan tanpa memahami maksud pertanyaannya. Apanya yang salah?

Beberapa detik kemudian, Vero He menggeleng tanpa bicara lagi. Mereka berdua lalu masuk mobil dalam diam. Sebenarnya apa itu cinta? Bukannya cinta itu adalah senang melihat pasangan bahagia? Kalau jawabanya iya, lantas mengapa Jordan Bo menyiksa Stella Han sampai begini rupa?

Sebenarnya sahabatnya itu dianggap apa sih oleh suaminya sendiri? Dianggap sebagai seorang wanita yang patut dicintai atau hanya seekor anjing? Karena Stella Han ingin bercerai, Jordan Bo jadi merasa pantas untuk mengancamnya dengan sesuatu yang paling ia kasihi?

Pernikahan yang tidak bisa dilanjutkan lagi ini bukan salah Stella Han seorang. Jordan Bo pasti juga punya kontribusi kekeliruan. Lihat saja dari ancaman-ancamannya itu.

……

Mobil mulai menjauh meninggalkan hotel. Vero He duduk di belakang sambil mengamati pemandangan luar, sementara Erin duduk di kursi depan. Asisten itu ingin menenangkan bosnya yang kelihatannya sangat tersakiti, namun tidak tahu harus berujar apa.

Tiba-tiba, Vero He meluruskan posisi duduk dengan mata yang mengikuti sesuatu di luar jendela, “Erin, lihat, itu yang berdiri di sebelah mobil Nyonya Xu bukan sih?”

Erin buru-buru mengikuti arah pandagnannya. Karena sudah agak jauh, ia hanya bisa melihat seorang wanita dengan pakaian tradisional China secara samar-samar. Ia menjawab: “Iya sepertinya.”

“Paman Toni, hentikan mobil sebentar!”

“Baik, Nona He!” Paman Toni segera menepikan mobil ke pinggir jalan. Beruntung jalanan sepi malam-malam begini, jadi mobil bisa menepi tanpa kesulitan sama sekali.

Vero He turun dari mobil dan menghampiri sosok yang ia sebut Nancy Xu itu. Ketika jarak mereka sudah lebih dekat, ia sadar ia tidak salah mengenali wanita itu. Aneh sekali, baru pertama kali bertemu malam ini, ia sudah bisa mengenali sosoknya hanya dengan satu tatapan. Vero He berlari kecil ke mobil Lincoln yang sudah makin dekat. Kap depan mobil itu terbuka. Seorang supir yang mengenakan jas tengah mengutak-atik isi kapnya.

Novel Terkait

Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu