You Are My Soft Spot - Bab 391 Mengapa Para Wanita Hobi Bilang Terserah Sih? (2)

James He berdiri tenang di depan Erin. Ia mengenakan kemeja abu-abu muda dengan tiga kancing paling atas dilepas. Lengan panjang tangan kiri si pria digulung dan memperlihatkan sebuah jam tangan mewah. Ia bersandar pada tembok dengan kedua tangan dilipatkan di depan dada.

Jantung Erin berdebar kencang. Ia tanpa sadar memegang kencang halaman buku yang lagi terbuka.

James He menatap Erin dari atas ke bawah. Mungkin karena tadi sendirian di apartemen, kancing paling atas kemeja yang lagi dipakai si wanita tidak dikancingkan dan memperlihatkan kulitnya yang putih. Ia sekilas bisa melihat garis belahan dada pada celah itu. Dengan hati yang mulai membara, si pria bertanya pelan: “Baca apa sampai sefokus ini?”

James He sepertinya sudah tidak ingat tiga hari lalu mereka ribut sampai dia pergi……

Erin menunduk karena tidak berani menatap James He. Udara yang dihirupnya lama-kelamaan penuh dengan bau maskulin pria. Ia menjawab: “Baca “Lalu Bersama Angin”.”

“Kamu suka bacanya?” Si pria tahu betul si wanita bukan orang yang suka sastra, seni, dan hal-hal macam itu. Erin adalah gadis yang sepenuhnya tidak mewarisi bakat ayahnya. Sejak kecil, si wanita bahkan suka cari masalah dengan teman-temannya. Yang paling dia ingat, Erin pernah meninju mulut salah satu kakak kelas pria sampai dua gigi depannya lepas. Gila kan!

Tiap kali para orangtua murid diudang ke sekolah, Erin tidak pernah berani cerita soal kelakuannya pada Bibi Yun. Ia takut mamanya marah, lebih-lebih takut dia kecewa. Sementara itu, tiap Erin macam-macam, James He selalu membantunya menyelesaikan masalah dan menegurnya tiap balik ke rumah.

Pada waktu itu, tiap dinasehati, Erin selalu mendengarkan dengan patuh. Tetapi, ya dia bakal berulah lagi tidak lama kemudian……

Ketika beranjak dewasa, Erin masuk ke sekolah militer. Ketika berusia dua puluh empat tahun, James He izin cuti dari pasukan untuk beristirahat sejenak. Pada hari kepulangannya, ia melihat Erin yang sebelumnya berandal sekarang sudah jadi seorang wanita anggun yang cantik.

“Aku bosan, jadi baca ini buat menghabiskan waktu. Sayang, sudah berusaha membaca setengah hari, aku tidak juga paham apa isinya,” gerutu Erin. Nostalgia James He pun terputus, lalu pria itu mengangguk: “Nah, yang bodoh itu baru kamu yang asli. Waktu kecil, kamu tidak pernah bisa duduk diam dan baca begini.”

Teringat masa kecilnya, Erin menunduk dengan canggung. Jujur, semua kenakananya waktu itu ditujukan untuk menarik perhatian James He. Tiap kali melihat si pria membantunya menyelesaikan masalah dan menegurnya di rumah, ia dalam hati merasa sangat gembira.

Saat itu, Erin belum paham keberandalannya adalah bentuk dari cintanya pada James He yang mendalam……

“Betul tuh, aku ingat kok. Kalau kamu tidak bantu aku menyelesaikan masalah-masalah, tangan dan kakiku pasti sudah dibuat patah oleh mama,” kenang Erin dengan wajah berseri.

Asyik membicarakan masa lalu, suasana di antara James He dan Erin jadi tidak setegang sebelumnya. Si pria benar-benar suka suasana yang sekarang. Ia bertanya perhatian: “Lukamu masih perih tidak?”

“Sudah tidak,” geleng Erin. Tubuh Erin sangat kuat, rasa sakit sedikit mah tidak bakal dianggap.

Kelar dia berbicara, mereka berdua kembali hening. James He mengamati Erin yang duduk tenang dan patuh. Ia buka suara lagi: “Aku habis beli bahan makanan. Malam ini kamu mau makan apa? Biar aku masakkan.”

“Terserah.” Erin tidak bawel soal makanan. Waktu mengikuti pelatihan tentara di alam bebas, daun saja sudah pernah dia makan.

Wajah si penanya memuram, “Duh, mengapa para wanita hobi bilang terserah sih?”

“……”

Erin berasumsi suasana hati James He untuk memasak jadi rusak akibat jawabannya barusan. Ia bangkit berdiri, namun buru-buru duduk lagi karena selangkangannya tersibak waktu bergerak. Ia menawarkan diri dengan wajah merah: “Biar aku saja deh yang masak. Kamu mau makan apa?”

Pada momen yang sangat singkat tadi, James He kebetulan melihat yang Erin terus tutupi. Seberkas sinar melintas di matanya, mulutnya pun terasa haus. Ia memalingkan kepala dan menjawab asal, “Terserah.”

Nada bicara James He agak serah. Erin merapikan rambutnya yang agak berantakan di belakang telinga, kemudian tidak tahan untuk tidak tertawa, “Kamu sendiri saja bilang terserah, kok tadi malah menegurku sih!”

James He berbalik badan dan berujar sambil melangkah ke pintu: “Aku saja deh yang masak, nanti aku dikira memperbudak orang yang sedang sakit lagi.”

Erin mengamati bayangan tubuh James He lenyap di balik pintu. Rasa tegang yang daritadi menyelimuti ruangan seketika hilang, ia pun membuang nafas lega. Sungguh deh, tiap kali didekati James He dia bakal selalu gelisah.

Si pria dengan segera memasakkan tiga jenis menu dan satu jenis sup. Dari ruang tamu, ia berteriak ke arah kamar tidur kedua: “Makanan sudah siap. Sana cuci tangan dulu sebelum kemari.”

Erin menunduk melihat pakaiannya. Tinggi badannya satu meter tujuh puluh, sementara tinggi badan James He satu meter delapan puluh enam. Saat memakai kemeja sip ria, ia sebenarnya sama sekali tidak terlihat sepeti anak kecil yang mengenakan pakaian orang dewasa. Kemeja itu pas menutupi pahanya, namun ia harus hati-hati sekali saat bergerak biar benda yang ditutupinya tidak tersibak.

Pada saat ini, Erin menggulung kedua lengan kemeja dan memperlihatkan sepasang lengannya. Warna kulitnya sangat sehat, bentuk lengannya juga kurus-kurus seksi. Erin tidak paham, penampilan menggulung lengannya ini terlihat seberapa menarik di mata pria.

Erin pergi ke kamar mandi dan mencuci tangan. Ia lalu pergi ke ruang makan dengan melangkah kecil-kecil sambil terus menarik ujung kemeja ke bawah. Gerakannya terlihat ganjil dan aneh sekali.

Ketika Erin masuk ruang makan, James He lagi menata nasi di dapur. Ia awalnya mau membantunya melakukan itu, namun teringat pakaiannya sekarang, ia memilih langsung duduk di kursi makan. Sudahlah, daripada nanti malah jadi canggung……

James He keluar dengan membawa mangkuk berisi nasi, lalu menaruhnya di hadapan Erin. Si pria duduk di hadapan si wanita, mengambil sumpit, dan mengajak: “Makanlah.”

Saat Erin masih menyendok nasi, James He sudah mulai menyantap makanan. Si wanita awalnya merasa agak canggung, namun melihat si pria tidak memerhatikannya sama sekali, ia lama-kelamaan jadi jauh lebih rileks.

Sudah setengah menyantap makanan, James He tiba-tiba mendongak dan bertanya, “Habis ini, kamu punya rencana apa?”

Erin segera menelan makanan yang ada di mulutnya. Seperti seorang bawahan menjawab pertanyaan atasan, ia menjawab detil: “Tunggu lukaku sembuh, aku mau mengontak ketua tim. Aku ingin tanya padanya kapan aku bisa kembali ke pasukan.”

Si penanya melipat dahi, “Se-ngebet ini ingin masuk? Tunggu kamu tidak bernyawa lagi, kamu baru mau berhenti ya?”

“Aku……” Menyadari raut tidak senang pada wajah tampan James He, Erin menunduk dan melanjutkan bicara: “Aku seorang tentara, harus menuruti semua arahan dan perintah atasan.”

Barusan merasa Erin terlihat sangat patuh, James He sekarang malah merasa si wanita sangat menyebalkan. Ia mengingatkan: “Kata-kataku sebelumnya bukan candaan, kamu sekarang ada dalam kendaliku. Berhubung kamu berkomitmen mengikuti semua arahan dan perintah atasan, kamu kutugaskan melindungi Vero He.”

Erin mendongak menatap James He. Ia tahu siapa Vero He, mama pernah memberitahunya di telepon bahwa wanita itu adalah putri angkat keluarga He. Saking dilindungi dengan ketat oleh keluarganya, dulu tidak pernah ada orang yang bisa memotretnya.

“Mengapa aku harus……” Erin sungguh tidak ingin ditugaskan melindungi Vero He. Alasannya, tugas itu akan membuatnya sering berjumpa James He.

Si pria mengernyitkan alis, “Bukankah kamu bilang kamu akan selalu patuh pada atasan?”

“Tetapi kamu bukan atasanku!” balas Erin.

James He menaruh sumpitnya, bangkit berdiri, dan bergegas ke ruang tamu. Dengan sebuah ponsel hitam yang diambil dari salah satu kantong kemeja, ia kembali ke ruang makan. Si pria melempar ponselnya ke depan meja Erin, “Nih, telepon ketua tim.”

Erin menatap James He dengan waspada. Ia setiap saat selalu ingat dengan komitmen timnya. Komitmen itu berbunyi: “Jangan percayai siapa pun, lebih-lebih jangan bongkar nomor para anggota tim pada siapa pun”. James He tahu mengapa Erin menatapnya begitu. Ia lantas bertanya dingin, “Takut aku tahu nomor ponsel ketua tim ya?”

“Tidak kok,” jawab Erin sambil menunduk. Si wanita sudah mencari cara untuk menghubungi ketua tim selama tiga hari, namun tidak ada alat telekomunikasi apa pun di apartemen ini. Internet tidak ada, telepon rumah juga tidak ada. Kalau pun ia mau pergi ke luar, pintu apartemen sudah dikunci dari depan.

James He pernah jadi letnan satu terbaik dalam pasukan tentara khusus. Ia dari awal sudah memikirkan segala cara yang bisa dilakukan Erin untuk kabur dan mengantisipasinya. Selain dengan memanjat jendela, si wanita sudah dia buat tidak bisa kabur. Selain itu, kalau pun Erin mau melakukan cara satu-satunya itu, depan jendela penuh dengan kabel listrik. Erin pasti tidak mau mati dengan cara terpanggang kan?

Sungguh, apartemen ini seperti galon air yang sangat kokoh. Selain melalui lubang atasnya, yang masuk ke dalam tidak bakal bisa keluar.

Erin gigit-gigit bibir, lalu membawa ponsel yang dipinjamkan James He ke ruang tidur kedua. Si pria mengamati bayangan tubuhnya dengan hati yang senang sekaligus kesal. Ia senang karena Erin benar-benar mengamalkan komitmen tim ini tanpa pengecualian apa pun. Di sisi lain, ia kesal karena yang Erin hindari adalah dirinya!

Tidak lama kemduain, Erin keluar dengan raut wajah yang tidak begitu baik. Ia menaruh ponsel James He di meja makan dan berujar terpaksa: “Baik, aku siap melindungi Nona He.”

Pria di hadapannya kesal dengan ekspresinya itu. Sudah diselamatkan susah payah dari situasi yang berbahaya dan mematikan, Erin kok tidak tahu balas budi sih!

“Vero He tidak begitu percaya orang lain, begitu pun aku. Melindungi dia adalah tugas utamamu, jadi semua keputusan yang kamu buat harus didasari untuk mendukung tugas ini. Jangan buat dia berada dalam bahaya,” tutur si pria.

Erin mendongak menatap James He. Ketika berbicara soal Vero He, raut wajah pria ini terlihat sangat lembut. Ia entah mengapa merasakan perasaan yang sulit dijelaskan, bahkan perasaan itu juga membuat pemikiran dan kata-kata yang mau dia utarakan tertahan. Ia berselang beberapa saat bertanya, “Kamu seperhatian ini pada dia, istrimu tahu tidak?”

James He menatap mata Erin lekat-lekat seperti mau melepas bola matanya saja. Ia tersenyum tipis: “Istriku tahu atau pun tidak tau tidak ada urusan, yang penting kamu tahu.”

Erin mengernyitkan alis, “Aku bukan istrimu.”

“Memang siapa yang bilang kamu istriku?” Terhibur dengan kata-kata Erin barusan, suasana hati James He jadi baik lagi. Ia kembali memegang sumpit dan lanjut makan. Erin sadar, pertanyaan si pria barusan berkonotasi ledekan. Meski menggerutu dalam hati, Erin tetap merasa agak tersipu.

Dulu, Erin pernah berpikir ingin jadi istri James He. Sayang, kehadiran anak yang tidak diduga-duga itu membuat impiannya pecah berkeping-keping.

Prak! Erin terbangun dari lamunan. Ia melihat James He menepuk meja dengan pelan sambil tertawa. Pria itu bertanya: “Ngapain termenung di tengah makan begitu? Nanti makananmu dingin.”

Si wanita pun menunduk dan lanjut makan.

Kurang dari sepuluh menit kemudian, James He menaruh kedua sumpitnya di atas mangkok dengan rapih. Ia berujar pada wanita di depannya: “Aku sudah masak, jadi tugas cuci piring kamu yang lakukan. Aku pergi mandi dulu.”

Erin hanya mendengar kalimat terakhir. Ia segera bertanya: “Kamu mau tinggal di sini?”

“Ini apartemenku, masak aku tidak boleh tinggal di sini?” tanya James He santai.

“Bukan begitu. Maksudku, kamu memang tidak mau pulang?” Ada James He di sini, Erin merasa tidak nyaman dan sulit bernafas……

“Aku terlalu lelah, jadi malam ini tidak pulang.” Kelar berucap begini, James He melangkah ke ruang tidur utama.

Erun menatap bayangan tubuh James He dengan termenung. Ia merasa situasinya sekarang agak tidak benar. Ia tinggal di sini, James He juga tinggal di sini, ini apartemen James He…… Bukankah dia sudah seperti wanita simpanan si pria di tempat tinggal cadangan?

Ah, Erin langsung geleng-geleng. Jangan pikir aneh-aneh ah!

Tidak lama kemudian, James He keluar dari kamar tidur utama. Di tangannya ada sesuatu yang diputar-putarkan, entah apa itu. Ia bersandar di tembok sambil menatap Erin yang lagi menata alat makan bekas di ruang makan. Pria itu bertanya: “Kamu membuka laciku?”

Kaget parah, alat-alat makan yang sudah ada di tangan Erin terlepas semua. Untung reaksi si wanita cepat, jadi dia berhasil menahan dua alat makan masing-masing dengan satu tangan. Selain itu, ia juga menahan sebuah piring yang mau menghantam lantai dengan kakinya. Hap! Piring tertahan di lekukan kaki si wanita tanpa pecah.

Erin membuang nafas lega. Ketika ia berjongkok untuk mengambil piring yang ditahan di kaki, ia mendengar James He bertepuk tangan. Apresiasi itu kemudian diikuti dengan pujian, “Usaha yang keren, tapi……”

Erin menoleh dan melihat James He lagi menatap selangkangannya. Si pria melontarkan dua kata lanjutan, “Sudah terintip.”

“Aaahhh!”

Prang!

Suara piring pecah memenuhi seluruh sudut apartemen. Erin tadi hanya peduli untuk mencegah piring yang mau jatuh pecah, lalu sepenuhnya lupa dia hanya mengenakan sebuah kemeja hitam. Hanya karena satu gerakan…… ia kini sangat malu sampai ingin gali lubang dan sembunyi.

Wajah Erin memerah. Ketika ia menoleh ke belakang, sosok James He sudah tidak ada lagi. Ia kemudian mendengar suara pancuran air dari kamar mandi dengan diikuti tawa pria.

Erin meremas ujung kemejanya dengan wajah yang makin lama makin merah. Tidak bisa, ia tidak bisa begini terus. Ia harus menyuruh James He memberikannya pakaian lengkap biar tidak terintip lagi.

Di bawah pancuran air, tawa James He makin lama makin keras. Suasana hatinya sangat baik sekali. Dalam benak, James He terus membayangkan pemandangan barusan berulang-ulang. Fleksibilitas kaki Erin luar biasa, jangan-jangan……

Memikirkan ini, James He merasa hidungnya menghangat. Ketika ia memegangi ujung hidung, jarinya terkena aliran darah yang keluar dari sana. Ia buru-buru menengadahkan kepala ke atas. Si pria dalam hati menyumpah sialan, tentu sambil tetap membayangkan adegan barusan.

James He keluar dari kamar mandi dengan mengenakan sebuah handuk putih. Ketika ia melewati dapur, semua sisi dapur sudah bersih tanpa kecuali. Ia tidak melihat Erin di sana……

Terbayang wajah merah Erin barusan, tubuhnya terasa menghangat. Ia buru-buru bergegas ke dapur dan mengambil sebuah air mineral. Setelah menegaknya, si pria baru merasa gelora dalam dirinya melandai.

Novel Terkait

Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu