You Are My Soft Spot - Bab 298 Tiffany Song Ke Mana? (2)

Vero He menggeretakkan gigi sembari menengok sekilas ke Erin. Ia menjawab sebal: “Tadi kamu bilang.”

Taylor Shen mengedipkan sebelah mata dan menanggapi datar: “Aku tadi cuma bilang aku bakal persilahkan kamu pergi. Aku tidak bilang aku tidak bakal ikut kamu.”

“……” Vero He baru sadar dirinya sudah dipermainkan kata-kata. Rugi sekali dirinya sudah memberikan tubuh untuk disetubuhi, dasar licik! Ia menegur, “Taylor Shen, omonganmu tidak bisa dipegang.”

Si pria memelototkan mata dan menatap si wanita lekat-lekat. Merinding karena ditatap seperti itu, Vero He membuang muka ke luar jendela. Ketika dia bersumpah serapah dalam hati, telinganya mendengar suara lembut Taylor Shen, “Sudah sibuk sepanjang pagi, kamu sekarang lapar tidak?”

Vero He kebetulan memang sungguh lapar. Tadi pagi dirinya sibuk mengurusi banyak sekali hal, lalu masih “disiksa” oleh Taylor Shen pada tengah hari. Si wanita menengok jam tangan. Sidang baru mulai jam dua, sekarang agak mepet sih kalau mampir beli makanan dulu……

Taylor Shen menyipitkan mata, lalu menyuruh Erin meminggirkan mobil ke tepi jalan. Pria itu kemudian menyuruh Erin turun dan membeli dua porsi sandwich. Si asisten Vero He pun bergegas pergi dengan patuh dan meninggalkan mereka berdua di mobil. Saat menunggu Erin kembali, Vero He bertanya tidak puas: “Kok bukan kamu yang turun?”

Taylor Shen mengangkat alis, masih kurang jelas apa coba maksud pertanyaannya ini? Ia merespon blak-blakan: “Aku yakin, sekalinya aku turun, kamu pasti bakal langsung menyuruh Erin gas mobil.”

“……” Vero He menarik nafas dalam-dalam. Bisa membaca isi pikirannya begini, Taylor Shen sepertinya kerjasama dengan cacing yang ada di dalam perutnya deh!

Si pria mengelus-elus rambut si wanita. Ia bisa memahami kekesalan Vero He karena sudah ditipu setelah mengorbankan diri untuk disetubuhi. Biasa lah ini, begitu pikirnya.

Beberapa menit berselang, Erin akhirnya kembali. Ia menyerahkan dua porsi sandwich ke Taylor Shen, lalu kembali melajutkan mobil.

Vero He memakan sandwich-nya dengan lahap. Selain makan sandwich, dia juga menyantap segelas jus jagung. Akhirnya kenyang juga, rasnaya puas sekali! Vero He mengelap bekas makanan di mulutnya dan menoleh melihat Taylor Shen yang tengah makan dengan elegan.

Ia merasa Taylor Shen ini memang “berbakat” jadi orang kelas atas. Makan makanan pinggir jalan, gayanya sudah seperti lagi makan menu mahal di hotel bintang lima. Melihatnya makan, siapa pun pasti bakal menikmati pemandangan yang tersuguhkan.

Menyadari dirinya ditatap Vero He, si pria bertanya dengan alis terangkat: “Masih mau makan?”

Vero He membuang muka dan menggeleng: “Aku sudah kenyang, buat kamu saja.”

Dalam dua puluh menit, mobil berhenti di depan gedung pengadilan. Di pelataran gedung, puluhan wartawan sudah berkumpul untuk menantikan kabar vonis mantan kepala penjaga kantor polisi. Yang kabarnya ditunggu-tunggu sendiri sebelumnya sudah dibawa masuk ke gedung pengadilan.

Taylor Shen dan Vero He turun dari mobil. Para wartawan mengenali mereka, jadi langsung mengelilingi keduanya untuk wawancara. Mayoritas dari mereka bertanya mengapa mereka datang ke pengadilan, ada pula yang bertanya hal lain.

Si pria menjawab ini dan itu, lalu menggandeng Vero He berjalan memasuki gedung pengadilan. Sahabat Vero He, siapa lagi kalau bukan Stella Han, sudah menunggu di dalam sana. Ia tidak menyangka Vero He datang bersama Taylor Shen.

Namun, ia tidak punya waktu untuk bertanya soal ini. Sidang vonis akan segera dimulai, jadi mereka wajib buru-buru masuk ruangannya.

Taylor Shen, Vero He, Erin, dan Stella Han memasuki ruang sidang yang suasananya sangat menegangkan. Karena sudah ramai, mereka hanay bisa duduk di kursi baris paling belakang. Taylor Shen berbisik pelan di telinga Vero He: “Jadi kamu keluar karena ingin melihat orang dihakimi di pengadilan?”

Vero He menarik nafas panjang, masak dia se-kurang kerjaan ini sih? Ia membalas dengan berbisik juga: “Tadi pagi waktu menonton berita, aku melihat mulutnya berucap beberapa kata ke lensa kamera wartawan. Kata-kata yang diucapkannya itu berkaitan dengan insiden ledakan kantor polisi tujuh tahun lalu. Aku yakin sekali, kalau aku melewatkan momen ini, aku pasti tidak bakal bisa mengetahui fakta insiden itu selamanya.”

Taylor Shen mengernyitkan alis. Kalau dia hari ini tidak memaksakan diri untuk Vero He, mungkinkah wanitanya itu bakal cerita ini pada dirinya? Ah, menyebalkan, jawabannya jelas tidak.

Sidang pun dimulai. Jaksa menyebutkan tuntutan-tuntutan yang diarahkan pada Javier Liao, sementara pengacara yang membelanya menyampaikan argumen. Sudah hampir dipastikan pria itu bakal masuk penjara, jadi sekarang yang menarik dilihat adalah tepatnya berapa tahun vonis penjara yang dia terima.

Jaksa dan pengacara Javier Liao berdebat sampai nyaris satu jam. Tuntutan-tuntutan yang diarahkan pada si pria mereka kupas tuntas dari sisi pro dan sisi kontra. Pada akhirnya, jaksa menanyakan apa Javier Liao punya keterangan tambahan.

Si mantan kepala penjaga kantor polisi mengenakan rompi tahanan warna oranye. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dibanding sebelum masuk penjara. Pria itu menoleh ke arah hadirin. Bukannya menoleh ke istrinya sendiri, dia malah menoleh ke Vero He yang ada di deret paling belakang. Para hadirin sontak mengikuti arah pandangannya. Begitu menyadari yang ditatap Javier Liao adalah Vero He, mereka semua dalam hati merasa kaget sekaligus heran.

Vero He mengepalkan kedua tangan erat-erat, sementara Taylor Shen menegakkan posisi duduk dan menatap si pria paruh baya dengan lekat. Entah apa yang bakal dikatakannya setelah ini.

Javier Liao terus menatap Vero He sampai hakim mengetukkan palu. Mendengar ketukan itu, ia kembali menatap ke depan dan menjawab: “Sudah cukup, tidak ada yang mau kukatakan lagi.”

Istri si pria langsung kehilangan kendali diri dan menangis kencang. Ia berteriak kencang di hadapan semua orang, “Javier Liao, kamu sudah janji untuk memperjuangkan hukuman yang ringan. Jelas-jelas kamu bilang begini padaku waktu itu! Mengapa sekarang kamu tidak mau bicara? Ayo bicara, jangan jadi pengecut!”

Hakim mengetukkan palu beberapa kali, “Diam, diam!”

Istri Javier Liao masih terus menangis dan menyampaikan sumpah serapah. Pada akhirnhya, dia diseret keluar oleh petugas keamanan. Momen yang ditunggu-tunggu tiba, Javier Liao dinyatakan melakukan kejahatan yang sangat serius dan dituntut vonis tanpa batas waktu! Tidak hanya itu, ia juga kehilangan hak politik seumur hidup.

Pukul lima sore, hakim mengumumkan sidang berakhir. Taylor Shen, Vero He, Erin, dan Stella Han bergegas keluar gedung pengadilan. Vero He dalam hati bertanya terus, Javier Liao tadi terlihat jelas mau buka mulut ketika menatapnya, namun mengapa niat itu akhirnya dikurungkan? Istrinya tadi bahkan juga kaget kan?

Stella Han berdiri di sebelah si sahabat. Ia berkomentar: “Kasus Javier Liao ini dulu pernah aku bicarakan dengan teman-teman. Vonis tanpa batas waktu tidak berlebihan buatnya.”

Vero He menoleh ke Taylor Shen dengan tatapan yang mirip tatapan orang yang tengah berpikir keras. Si pria merasa agak tidak nyaman, “Mengapa melihatku?”

Yang ditegur menarik pandangannya dan menggeleng: “Tidak apa-apa sih. Aku hanya merasa tuduhan yang diarahkan pada Javier Liao kurang satu.”

Vero He kelar berbicara, tiga orang lainnya langsung menoleh pada dia. Erin dalam hati paham apa yang bosnya maksud dengan “kurang satu”, pantas saja pertanyaan barusan diungkapkan sambil menatap Taylor Shen. Jadi, waktu mereka masuk kantor polisi dulu, mantan kepala penjaga kantor polisi tadi menyingkirkan semua tuduhan ke Taylor Shen.

“Kasus ledakan kantor polisi yang menewaskan banyak orang tujuh tahun lalu kok tidak diungkit ya? Apa jangan-jangan kasus ini tidak ada hubungannya dengan dia?” tanya Vero He tidak paham.

Stella Han merasa suasana percakapan jadi agak aneh. Ia terus menetap di Kota Tong dari dulu dan sering bolak-balik pengadilan, jadi ia lumayan paham soal kejadian waktu itu, “Javier Liao baru menduduki jabatan kepala penjaga kantor polisi setelah tragedi tersebut. Yang perlu bertanggung jawab adalah kepala penjaga kantor polisi sebelum dia.”

“Tetapi, dia tadi pagi jelas-jelas bilang ke kamera bahwa dia mau membongkar realitas ledakan waktu itu. Dia berharap bisa dihukum dengan lebih ringan. Barusan istrinya juga bilang, dia sebenarnya masih punya sesuatu yang mau dikatakan. Mengapa akhirnya dia tidak bicara ya?” tanya Vero He dengan alis terangkat. Apa dia tidak berani bicara karena lihat Taylor Shen datang?

Taylor Shen agak gusar. Mondar-mandir ke sana kemari, akhir-akhirnya yang disalahkan dia. Ia bertanya tidak senang: “Tiffany Song, kamu berpikir apa? Kamu menuduh aku mengancamnya biar tidak bicara?”

“Bukan begitu,” jawab Vero He sembari gigit-gigit bibir.

Stella Han kebingungan, “Kalian membicarakan apa sih? Aku tidak paham.”

Taylor Shen makin kesal. Ia menggeretakkan gigi: “Kamu tanya sendiri tuh ke sahabatmu. Dia curiga aku otak di balik tragedi ledakan itu.”

“Bagaimana mungkin?” tanya Stella Han dengan nada meninggi saking terkejutnya. Meski ia benci dengan sikap diam Taylor Shen waktu itu, ia tahu betul Taylor Shen sungguh-sungguh mencintai Vero He dan tidak bakal menjebak sahabatnya itu. Ia menceramahi, “Tiffany Song, semua orang di dunia ini berkemungkinan menyakitimu, hanya Taylor Shen seorang yang tidak. Kamu tidak tahu kan dia nyaris mati gara-gara kamu?”

Setelah Taylor Shen punya hubungan darah dengan dirinya, meski agak tidak bisa menerima kenyataan tersebut, Stella Han kali ini tetap membela si pria. Ia tidak tahan untuk diam melihat kesalahpahaman ini.

“Nyaris mati apa?” tanya Vero He bingung pada Stella Han.

“Jadi ceritanya……”

“Stella Han!” potong Taylor Shen buru-buru. Ia memberi tatapan mata yang mengancam, lalu Stella Han pun terpaksa tutup mulut. Ia ini mau membela Taylor Shen, kok malah dimarahi oleh yang dibela sih? Menyebalkan!

Vero He mendongak menatap Taylor Shen. Ekspresi si pria penuh kecanggungan. Pria itu lalu mengalihkan topik: “Yuk jalan, bukannya nanti malam mau kutemani menonton opera? Kita makan dulu, kelar makan baru nonton.”

Taylor Shen merangkul Vero He dan membawanya berjalan turun tangga. Sembari berjalan, si wanita menoleh dan bertanya: “Taylor Shen, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”

“Tidak ada. Jangan pikir macam-macam, jalanlah dengan hati-hati.” Si pria meluruskan kembali kepala wanitanya ke depan. Sungguh, Taylor Shen tidak kuasa bercerita bahwa dirinya pernah melakukan percobaan bunuh diri di depan makam Vero He!

Waktu itu, mengapa dirinya selemah ini dan mau ikut Vero He wafat? Jawabannya adalah karena dia merasa tidak ada yang ingin dia perjuangkan lagi di dunia ini kalau tidak ada wainita itu.

Semakin Taylor Shen mengelak begini, Vero He makin yakin ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Yang jadi pertanyaan, apakah sesuatu itu sebenarnya? Stella Han tahu, Erin tahu, Jordan Bo juga pasti tahu. Setiap kali mereka mau bicara, Taylor Shen pasti bakal memotong dengan tidak senang.

“Taylor Shen……”

“Sudah tidak mencurigai aku lagi kan?” potong si pria lagi. Hati Taylor Shen sakit tiap kali Vero He mencurigai dirinya, tetapi bagaimana pun kesakitan ini dia sendiri yang inginkan. Terkadang, ia sungguh ingin membuka kepala Vero He dan mengecek apa yang sebenarnya terpasang di dalamnya.

Masak dirinya punya kepentingan untuk menyebabkan ledakan tujuh tahun lalu sih? Masak dirinya punya kepentingan untuk menculik Vero He diam-diam sih? Masak dirinya punya kepentingan untuk menyekap Vero He sih? Semua kecurigaan ini sangat tidak berdasar dan tidak logis, namun Vero He masih tetap menurutinya. Entahlah sebenarnya bagaimana jalan pikiran wanita ini!

Vero He menunduk dan berujar lirih: “Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku tidak ingin mencurigaimu, tetapi kecurigaan itu selalu muncul tanpa bisa dikendalikan……”

Si wanita merasa seperti ada satu saraf di otaknya yang berbeda dari saraf-saraf lainnya. Sejak balikan dengan Taylor Shen, Vero He sebenarnya paham betul Taylor Shen adalah orang yang bagiamana. Meski mendiamkannya tujuh tahun lalu, namun pria ini tidak mungkin menjadi dalang ledakan dan menyembunyikan fakta soal penyekapannya.

Masalahnya, Vero He tetap saja tidak bisa menahan kecurigaannya. Kecurigaan itu selalu muncul secara otomatis dan tiba-tiba.

Taylor Shen menghentikan langkah kaki dan menatap Vero He lekat-lekat. Teringat kata-kata yang pernah diucapkan Devina Qin, hatinya berdesir. Dia memeluk Vero He dengan erat tanpa peduli mereka lagi ada di tempat umum: “Tiffany Song, tidak peduli apa yang kamu curigai dariku, katakan saja dengan jujur. Jangan takut aku marah.”

Kenyataan bahwa Vero He bersedia jujur bahwa dia curiga pada Taylor Shen bisa diartikan bahwa Vero He bukan sepenuhnya tidak percaya pada si pria. Kebingungan yang dialami wanita ini disebabkan karena otaknya mencampuradukkan yang benar dan yang salah.

Taylor Shen bisa menerima kelakuannya ini. Ini kelakuan wanita yang sangat ia cintai.

Vero He merasa tersentuh dengan kedewasaan Taylor Shen. Ia mengulurkan tangan dan menarik mantel bulu kambing si pria, “Taylor Shen, maaf. Curigaku ini sungguh tidak sengaja.”

“Aku paham, aku tidak menyalahkanmu!” Bagaimana bisa Taylor Shen menyalahkan Vero He? Semua yang Vero He alami disebabkan oleh dirinya.

Stella Han dan Erin berdiri di belakang. Melihat mereka berpelukan, keduanya saling bertatapan satu sama lain. Barusan terlihat seperti mau ribut besar, kok sekarang langsung mesra lagi? Sungguh, siapa pun yang menyaksikannya pasti bakal melongo tidak percaya.

Mobil polisi keluar dari gedung pengadilan dengan kaca belakang setengah diturunkan. Javier Liao duduk di kursi dekat jendela itu, tangannya diborgol di belakang. Melihat sepasang pria dan wanita yang berdiri di depan gedung pengadilan, wajahnya muram semuram-muramnya.

Novel Terkait

Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
5 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
5 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu