You Are My Soft Spot - Bab 221 Jacob Shen Datang (1)

Ruang tamu seketika hening, tidak ada yang berani bicara. Melihat wajah serius Fabio Jin, Vero He tidak tahan tertawa, “Tuan Jin, kamu bercanda ya? Kita baru kenal sebentar sekali.”

Si pria mengernyitkan alis. Ia menegaskan keseriusannya, “Vero He, aku tidak bercanda sama sekali. Aku suka denganmu, bahkan langsung tertarik pada pandangan pertama waktu kita ketemu pertama kali. Cinta memang bukan sesuatu yang harus ada alasannya, kan?”

“Tetapi aku sangat rasional,” geleng Vero He. Ia bisa melihat ketulusan Fabio Jin, namun kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuk menerima pria baru ke dalam hati.

“Vero He……”

Si wanita melambai-lambaikan tangan untuk memotong kata-kata Fabio Jin. Ia menyudahi: “Aku sangat lelah, balik kamar dan istirahat dulu ya. Tuan Jin, aku beruntung bisa punya teman sepertimu. Terima kasih sudah mengantarku.”

Si pria hanya bisa melihat wanita yang ia ingin seriusi naik ke atas. Di wajahnya terpampang jelas kekecewaan. Ia tahu tindakannya hari ini terlalu terburu-buru dan impulsif, namun ia benar-benar ingin mendampingi dan melindunginya.

James He bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pundak dia. Kakak Vero He itu berujar pelan: “Fabio Jin, Vero He masih butuh waktu untuk berdamai dengan masa lalu. Jangan berkecil hati, lanjutkan usahamu.”

Fabio Jin melirik James he sekilas. Kata-kata James He hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, ia terlalu kecewa. Felix He menyuruhnya duduk lagi dan menenangkan: “Fabio Jin, sabarlah dan jangan buru-buru. Kemarin mamamu sudah bilang padaku, ia suka Vero He. Putriku ini masa lalunya sangat menyedihkan, jadi untuk sementara belum bisa menerima cinta baru. Kamu harus beri dia waktu lebih panjang lagi.”

“Paman, maaf aku hari ini terburu-buru dan tidak mempertimbangkan perasaannya. Aku janji akan lebih sabar kedepannya.” Fabio Jin kembali melihat bordes tangga lantai dua. Di sana, sudah tidak ada bayangan tubuh Vero He lagi.

“Aku tahu kamu sejak kamu kecil, jadi aku percaya betul dengan karaktermu yang positif. Kalau Tiffany Song diserahkan padamu, aku pasti akan tenang,” angguk Felix He penuh keyakinan. Ia ingin anaknya tidak bahagia, tidak peduli siapa yang memberikan kebahagiaan itu.

“Terima kasih atas kepercayaan Paman.”

James He mengantar Fabio Jin masuk mobil. Ketika si tamu sudah masuk mobil, si tuan rumah masih berdiri saja di sebelah mobil tanpa pergi. Melihat perilakunya begini, Fabio Jin langsung paham ada kata-kata yang ingin disampaikan olehnya. Ia membuka kaca jendela dan meledek: “Ada yang mau dibicarakan denganku? Sejak kapan kamu berubah jadi seperti wanita yang plin-plan begini?

James He mengenakan pakaian santai. Dengan kedua tangan dimasukkan ke kantong, ia memulai: “Sebenarnya, aku senang melihat kamu diolak. Vero He bukan wanita biasa. Saking kuatnya pertahanan hati dia, ia menolak satu orang baru pun untuk masuk ke hatinya.”

“Eh, James He, kok aku dengarnya seperti kamu bahagia di atas kesialanku ya?” tanya Fabio Jin dengan sedikit emosi. Kok bisa-bisanya ada orang terang-terangan senang di atas penderitaan orang lain begini?

“Dengar dulu sampai habis. Kamu harus tahu, Tiffany Song tidak bersedia menangis di hadapan semua orang. Kalau ia menangis berulang-ulang di hadapanmu begini, itu artinya ia setidaknya sudah menganggapmu teman. James He, aku kenal kamu sejak kita masih pakai celana bayi. Aku titipkan adik perempuanku ini padamu, semoga kalian bisa bahagia,” lanjut James He sungguh-sungguh.

Fabio Jin terdiam. Ternyata James He bukan ingin mengejeknya, tetapi bersimpati. Ia menjawab penuh kesungguhan, “James He, berhubung aku cinta dengannya, aku tidak akan membuatnya bersedih.”

James He menunduk dan membuang nafas berat. Ia membenarkan, “Aku sebenarnya tidak khawatir ia bersedih, yang aku khawatirkan itu malah kamu. Janji satu hal padaku, kalau Vero He tidak punya perasaan padamu, lepaskanlah.”

Fabio Jin tersenyum kecut. Kata-kata ini keras, tetapi memang mengandung kebenaran dan kepedulian seorang kakak. Ia pun mengangguk, “Siap, aku janji pada kalian berdua.”

“Dunia cinta memang begitu, yang cinta duluan seringkali kalah duluan. Aku pegang janjimu,” tutup James He. Ia lalu kembali ke vila dengan langkah cepat.

Fabio Jin mengamati kepergiannya, lalu mendongak ke salah satu jendela lantai dua. Hatinya sedikit kecewa dan sedih.

……

Ruang pasien.

Setelah Vero He pergi, Taylor Shen terus terduduk di lantai bagai jadi patuh. Saat ponselnya berdering, ia baru bangun dari lamunan soal anaknya yang sudah meninggal itu.

Si pria bangkit berdiri dengan sepasang kaki yang kesemutan. Ia menendang-nendangkan kakinya sejenak untuk meredakan rasa kesemutan ini, lalu berjalan ke ranjang dan mengambil telepon. Si penelepon menggunakan nomor tidak dikenal.

Ketika mau menekan tombol “tolak”, ia teringat kata-kata Vero He barusan dan jarinya malah jadi meleset ke tombol “angkat”. Di seberang segera terdengar suara anak laki-laki, “Papa, ini Jacob Shen. Aku sekarang di bandara, bisa jemput aku?”

Otak Taylor Shen sedikit tidak nyambung. Bandara? Ia mengernyitkan alis, “Heh? Di bandara mana kamu?”

“Bandara Kota Tong,” jawab Jacob Shen hati-hati. Ia bisa merasakan ketidaksenangan dalam respon papa.

Pelipis Taylor Shen langsung terasa pening, wajahnya juga memuram. Ia bertanya sebal, “Kok kamu tiba-tiba bisa di Bandara Kota Tong? Jangan bilang kamu terbang sendirian dari Prancis. Sudahlah, jangan bicara lagi. Tunggu aku dan jangan kemana-mana, aku segera ke sana.”

Jacob Shen gigit-gigit bibir. Ia mau bilang ia sempat mengirim pesan soal kedatangannya kemari, tetapi telepon sudah dimatikan. Anak itu pun duduk sambil menggendong rasel dan memeluk boneka Baymax di salah satu kursi bandara.

Tingkat keamanan bandara cukup baik. Saat mengantar Jacob Shen masuk pesawat, asisten rumah asal Filipina agak tidak tenang. Sesudah duduk, si anak langsung duduk dan tidur lelap hingga pesawat mendarat di Kota Tong. Sekeluarnya dari bandara Kota Tong, melihat pemandangan jalan yang tidak familiar dan penuh orang-orang kulit kuning, ia baru merasa ketakutan.

Ketika tiba-tiba ditawari naik taksi, Jacob Shen teringat pesan asisten rumah untuk tidak asal naik mobil orang atau pun jalan dengan orang tidak dikenal. Setelah mencari kesana-kemari, si anak akhirnya menemukan telepon umum dan menelepon papa. Sayang, papa masih tetap galak dan tidak merasa sumringah sama sekali dengan kedatangannya.

Ia memeluk Bayman erat-erat dengan hati yang makin lama makin cemas. Sebentar lagi papa tiba, mungkinkah ia akan langsung diusir dan dibelikan tiket balik Prancis? Papa sangat galak padanya, saat bicara juga suka tidak sabaran. Ia tahu semakin sering papa marah maka semakin sedikit lah cinta papa padanya, jadi ia berusaha keras untuk tidak memicu emosinya.

Tetapi, kali ini, ia sangat takut ditinggal selama-lamanya karena papa pergi cukup lama. Membayangkan papa akan marah besar dengan kedatangannya, Jacob Shen menangis kencang.

Orang-orang yang mondar mandir melihatnya dengan bingung. Salah satu tamu menghampiri dan bertanya apakah ia kehilangan papa dan mamanya. Anak itu hanya menggeleng tanpa bercerita alasan menangisnya.

Si tamu pun berpikir untuk membawanya ke kantor polisi bandara. Jacob Shen meraung-raung tidak mau dan berpegangan pada kursi sekuat mungkin biar tidak dituntun.

Inilah pemandangan yang dijumpai Taylor Shen setibanya di bandara. Ia buru-buru ke sana dan melihat tangan Jacob Shen akhirnya dilepaskan si tamu. Ia bertanya pada pemilik tangan itu, “Ada apa ini?

“Tuan, ini anakmu? Kok kamu membiarkan dia seorang diri berada di tempat bahaya dan riskan begini? Misal-misal ia diculik bagaimana?” Volume suara si tamu makin lama makin kecil karena gentar melihat wajah dingin Taylor Shen.

Taylor Shen menggandeng Jacob Shen bangkit berdiri. Melihat si tamu bukan orang jahat, ia mengucapkan terima kasih padanya, lalu mengajak si anak masuk mobil yang diparkir di pinggir jalan. Jacob Shen cemas melihat wajah ayahnya yang muram, bahkan sampai tidak berani menangis.

Christian juga tegang melihat wajah bosnya yang begini. Sepanjang jalan barusan, Taylor Shen menerobos beberapa lampu merah sampai kecepatan mobil mencapai seratus delapan puluh kilometer per jam. Sekarang jantungnya masih agak deg-degan.

Ia memperhatikan Jacob Shen yang keberaniannya lagi ciut. Anak ini baru enam tahun, tapi sudah nekat naik pesawat sendiri ke luar negeri. Ia menggumamkan satu dua kalimat, namun langsung menghentikannya ketika melihat lagi wajah bos yang muram.

Christian membukakan pintu belakang dan melihat Taylor Shen menyuruh Jacob Shen masuk mobil dengan kasar. Sambil memegangi Baymax, anak itu naik dengan nurut. Taylor Shen ikut masuk, lalu membanting pintu dengan kasar.

Hati si asisten khawatir dengan Jacob Shen. Lagi pula anak ini sih berani-beraninya datang tanpa pemberitahuan apa pun……

Jacob Shen agak terpeleset saat naik ke kursi mobil. Ia dengan segera memperbaiki posisi duduknya tanpa berani menangis. Baymax-nya yang jatuh di lantai mobil saja tidak berani ia ambil.

Taylor Shen duduk diam, ini belum saatnya buat perhitungan dengan Jacob Shen. Yang ia lakukan pertama adalah mengeluarkan ponsel. Saat merogoh ponsel, ia baru sadar tangannya terus gemetar. Ia pun berusaha keras menenangkan diri. Meski begitu, sekalinya teringat lagi Jacob Shen naik pesawat sendirian dari Prancis ke Tiongkok, api kemarahannya kembali menghebat.

Setelah merogoh ponsel, Taylor Shen menelepon nomor rumah Prancis. Dengan bahasa Prancis yang lancar, ia menegur keras pembantu rumah asal Filipina. Christian, yang duduk di depan, mendengarkan suara teguran bosnya yang makin lama makin keras dengan seksama. Ia bisa memahami kekhawatiran si bos.

Enam tahun lalu, saat Taylor Shen sakit parah, Bibi Lan “memungut” Jacob Shen dan memberikannya ke Taylor Shen untuk diadopsi. Anak ini menjadi satu-satunya semangat hidup si pria. Dengan setia, Jacob Shen menemani ayahnya melewati hari-hari paling sulit dalam hidup.

Sayang, lama-kelamaan sikap Taylor Shen makin dingin sampai anaknya takut mendekat. Ini bukan berarti Taylor Shen tidak sayang dengan anaknya. Terkadang, iaa hanya tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan rasa cinta pada si anak.

Mendapat telepon dari Jacob Shen barusan, rasa dingin yang sudah ia pertahankan dari lama seketika berubah jadi gelisah bercampur marah. Jadi, merupakan hal wajar kalau dia marah saat ini.

Jacob Shen duduk di kursi sambil sesekali mencuri pandang ke si ayah. Ayahnya ini terlihat bagai bola api yang lagi berkobar-kobar dan siap membakarnya kalau ia semakin macam-macam. Ia mulai menyesal, seharusnya ia tidak naik pesawat sendirian.

Taylor Shen mematikan telepon setelah kelar memarahi asisten rumah. Sesaat kemudian, telinganya mendengar suara isakan seorang anak di sebelah.

Denyut di pelipis Taylor Shen makin kencang. Ia menoleh ke Jacob Shen dan berteriak tidak sabaran, “Mau menangis kamu? Berhenti, tidak boleh!”

Jacob Shen berusaha keras mencegah isakannya jadi tangisan sungguhan. Ia menutup mulut dengan mata berkaca-kaca. Air mataku tidak boleh menetes, air mataku tidak boleh menetes……

Taylor Shen paling tidak tahan melihatnya seperti ini. Setiap kali melihat mata Jacob Shen berkaca-kaca, ia pasti teringat seorang perempuan yang menghilang dari hidupnya. Hatinya sakit setiap teringat ini.

Itulah mengapa di saat begini Taylor Shen tidak ingin dekat-dekat dengan Jacob Shen, juga tidak mau didekati olehnya. Hanya melihat saja langsung sakit, apalagi kalau anak itu menangis di bahunya?

Taylor Shen untuk kedua kalinya teringat lagi wajah si wanita. Mata hitamnya yang penuh kebencian membuatnya tidak tahan dan akhirnya mengalihkan mata ke luar jendela. Sambil menggeretakkan gigi, ia membuat keputusan: “Christian, beli tiket penerbangan paling pagi ke Prancis besok. Beli dua lembar, kamu antarkan dia sekalian.”

Jacob Shen akhirnya menangis sejadi-jadinya karena kekhawatirannya terbukti. Ia memeluk paha ayahnya dan terisak sambil memohon: “Papa, aku tahu aku salah. Aku tidak berani begitu lagi, mohon jangan kirim aku pulang.”

Dari spion belakang, Christian bisa melihat si anak memeluk paha ayahnya erat-erat, namun wajah si ayah tetap tidak bergeming. Si asisten mencoba meredakan ketegangan: “Tuan Shen, Tuan Muda Jacob Shen baru saja tiba di sini. Ia pasti rindu denganmu, biarlah ia tinggal di Kota Tong beberapa hari dulu.”

Taylor Shen menatap balik Christian melalui kaca spion depan yang sama. Ia membentak marah, “Sejak kapan kata-kataku kamu jadikan angin lalu?”

Novel Terkait

Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
3 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
3 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
4 tahun yang lalu