You Are My Soft Spot - Bab 136 Aku Tidak Mau Tidur Denganmu (1)

Di tengah pandangannya yang berputar-putar karena merasa pusing, Tiffany Song ditindih rapat-rapat oleh Taylor Shen di atas ranjang. Wajah pria itu dekat sekali dengan wajahnya. Dengan wajah garang, Taylor Shen menyobek pakaiannya kuat-kuat.

Tiffany Song paham, ia sudah memancing kemarahan Taylor Shen.

Ia menatap Taylor Shen dengan sedih dan putus asa. Setiap kali bertengkar, pria itu selalu saja memilih jalan ini untuk memaksanya mengalah. Semakin sering Taylor Shen bertindak begini, Tiffany Song malah semakin merasa terlecehkan.

Tiffany Song melawan sekuat tenaga. Ia kali ini tidak ingin melakukan “itu” dengannya. Pemaksaan dua pasang tubuh yang tidak saling mencintai untuk disatukan hanya akan membuatnya frustrasi. Ia melepaskan tangannya dari tahanan pria itu, lalu menamparnya keras-keras hingga terdengar bunyi “plak” yang cukup kencang.

Kamar langsung hening beberapa detik.

Tanpa memberi tanggapan sepatah kata pun, Taylor Shen langsung mengikat kedua tangan Tiffany Song, yang sudah telanjang bulat, ke kepala ranjang dengan sobekan kain.

Tiffany Song panik dan putus asa. Ia menatap Taylor Shen datar dan memohon dengan suara serak: “Taylor Shen, jangan seperti ini. Lepaskan aku, kalau tidak aku benci kamu, aku sungguh-sungguh akan benci kamu!”

Taylor Shen menatapnya tidak senang. Pria itu memegangi dagu Tiffany Song, lalu menciumi bibirnya. Tiffany Song dengan susah payah berhasil memalingkan wajahnya ke sisi sebelah. Taylor Shen sudah kehilangan kesabaran. Ia langsung menahan kepala wanita itu dan menciuminya kencang-kencang.

Tiffany Song tidak bisa menghindar lagi. Merasa risih dengan keagresifan Taylor Shen yang semakin menjadi-jadi, ia menggigit bibir pria itu sampai berdarah. Taylor Shen berteriak kesakitan. Ia melepaskan wanita itu sambil mengelapi darah yang menetes dari bibirnya.

“Aku tidak mau, Taylor Shen. Aku mohon padamu!” Tiffany Song sungguh ketakutan. Ia sangat takut dengan pria yang super agresif dan tidak peduli sama sekali dengan perasaan pasangannya ini.

Taylor Shen menyindir dingin, “Benci aku ya? Tiffany Song, pergi dengan Karry Lian sekali saja kamu sudah sanggup mengatakan kamu benci padaku. Karry Lian itu sudah mencuci otakmu untuk meninggalkanku kan?”

Nada bicara Taylor Shen mengandung kemarahan yang luar biasa ganas. Tiffany Song hanya bisa diam ketakutan. Mau dijelaskan bagaimana pun tidak akan ada gunanya, sebab Taylor Shen sudah yakin sekali Karry Lian telah mencuci otaknya.

Meski Tiffany Song tidak berbicara lagi, keagresifan Taylor Shen belum juga berhenti. Pria itu menahan Tiffany Song di mana-mana dan ini membuat Tiffany Song tidak bisa melakukan perlawanan apa pun layaknya bayi yang baru lahir. Wanita itu hanya bisa menggeleng minta ampun, “Aku tidak mau, lepaskan aku.”

“Aku tidak akan melepaskanmu. Di kehidupan sekarang, di kehidupan berikutnya, dan di kehidupan selanjutnya lagi, aku tidak akan melepaskanmu. Di tubuhmu hanya boleh tertulis namaku, kamu harus setia padaku!” Ini kalimat terakhir Taylor Shen. Pria itu selanjutnya tidak berbicara lagi dan langsung melakukan yang dari tadi ia idamkan.

Sakit, lebih sakit dari yang semalam.

Tiffany Song menatap Taylor Shen dengan mata berkaca-kaca. Dulu dan sekarang, kenyataan dan mimpi, ia tidak bisa membedakan semuanya. Yang ada sekarang hanyalah rasa sakit dan keputusasaan.

Taylor Shen sedang menyakitinya, juga sedang menyakiti dirinya sendiri. Hubungan seks yang dipaksakan tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Keringat di dahi Taylor Shen menetes ke mata Tiffany Song yang terbelalak lebar, dan ini membuat wanita itu semakin lama merasa semakin putus asa.

Taylor Shen menutup wajah Tiffany Song dengan kedua tangannya. Mereka jelas-jelas selalu berdekatan, tetapi mengapa hati mereka semakin lama terasa semakin berjauhan?

Sepanjang hari, Tiffany Song tidak mengangkat teleponnya. Ini membuatnya merasa sangat geram. Omong-omong, soal keagresifannya, saat pertama kali melakukan “ini”, ia memang sangat kasar, tetapi setelah-setelahnya ia merasa sudah luar biasa lembut.

Sayangnya ia sudah menggoreskan luka di hati Tiffany Song. Luka itu permanen, tidak bisa diobati oleh kelembutan dan kasih yang ia coba tunjukkan.

Tiffany Song terbangun dan tertidur berulang-ulang. Melihat keagresifan Taylor Shen yang belum berakhir juga, ia merasa sangat frustrasi. Air matanya mengalir keluar. Tidak peduli dalam mimpi maupun kenyataan, semua penderitaan ini terus terngiang-ngiang di benaknya.

Di akhir-akhir, semua penderitaan ini terasa lenyap. Tiffany Song merasa tenggelam dalam kegelapan yang amat dalam.

Ketika Taylor Shen menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Tiffany Song sudah pingsan. Ia langsung mengamati wanita itu dekat-dekat. Melihat wajah Tiffany Song yang merahnya tidak normal, ia langsung ketakutan dan menepuk-nepuk pipinya, “Tiffany Song, Tiffany Song, bangun! Jangan bikin aku takut, cepat bangun!”

Tiffany Song, yang kehilangan kesadaran, tidak memberi respon apa-apa. Ketika menempelkan tangannya ke jidat wanita itu, Taylor Shen baru sadar jidat Tiffany Song panaas sekali. Ia buru-buru turun dari ranjang dan menelepon sebuah nomor, “Dokter Xu, cepat datang ke Sunshine City. Tiffany Song demam.”

Sekujur tubuh Tiffany Song penuh bekas luka hasil ulah Taylor Shen. Pria itu mengambilkan pakaian tidur dari lemari baju dan memasangkannya untuk wanita itu. Melihat Tiffany Song terbaring tanpa sadarkan diri di ranjang, akal sehatnya perlahan kembali.

Ya Tuhan, apa yang ia lakukan barusan?

Sudah terlambat untuk menyesal sekarang. Taylor Shen ikut mengenakan pakaian dan menyelimuti wanita itu erat-erat. Dokter Xu tidak lama kemudian datang. Begitu masuk kamar tidur mereka, Dokter Xu langsung bisa mencium aroma hormon pasangan yang habis berhubungan seks. Ia langsung paham apa yang kira-kira terjadi barusan.

Dokter Xu berjalan cepat sambil menenteng kotak medisnya. Sesampainya di sisi ranjang, ia membuka selimut yang dipakai Tiffany Song. Taylor Shen bertanya gusar: “Kamu mau apa?”

“Dia itu demam. Kalau kamu selimuti dengan selimut setebal ini, bagaimana demamnya bisa turun?” ujar Dokter Xu sedikit kesal. Mendengar penjelasan yang sangat masuk akal ini, Taylor Shen terdiam.

Barusan ia menyelimuti Tiffany Song rapat-rapat hingga yang terlihat hanya bagian pundak ke atas saja. Melihat bekas cupang warna unggu di leher Tiffany Song, dokter langsung geleng-geleng, “CEO Shen, selepas-lepasnya kendalimu, sadarlah dia sedang sakit. Tahan diri.”

Begitu dibalas dengan tatapan tidak senang, Dokter Xu langsung diam. Ia mengecek suhu tubuh Tiffany Song, hasilnya 39,5 derajat Celcius. Ia memperlihatkan hasil di thermometer pada Taylor Shen, “Demamnya sangat parah. Aku beri dia obat penurun panas dulu.”

“Bagaimana bisa ia demam?” Wajah Taylor Shen sangat muram. Sekali pun ia kehilangan akal sehatnya, ia selalu berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyakiti Tiffany Song.

Dokter menatapnya curiga. Ia awalnya ingin mengatakan karena ulah Taylor Shen sendiri, tertapi melihat wajah pria itu yang penuh rasa bersalah, ia menarik jawabannya. Ia mendeham dan menjawab: “Ia kena angin malam. Kamu monitor terus suhu tubuhnya. Kalau demamnya tidak turun juga, bawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut dan cek apa ini karena infeksi luka atau bagaimana.”

“Paham.” Taylor Shen duduk di sisi ranjang dengan kepala tertunduk. Melihat Tiffany Song jadi begini, ia merasa iba.

Dokter memberi plester kompres demam dan obat penurun panas pada Taylor Shen. Ketika menyerahkan keduanya, ia menatap pria itu dengan ragu-ragu, lalu membulatkan tekadnya untuk mengatakan sesuatu: “CEO Shen, hubungan seksualnya dikontrol dan diberi jeda waktu sedikit. Itu akan buat tubuh Nona Song jadi semakin prima ketika berhubungan seks.”

Taylor Shen mendongak. Dokter Xu sudah berbalik badan dan berjalan keluar sambil senyum-senyum sendiri.

Kamar kembali hening. Taylor Shen mengenggam tangna Tiffany Song. Di dalam mimpi pun wanita itu tetap bisa merasakan nafas agresif Taylor Shen, jadi sekujur tubuhnya gemeta. Taylor Shen merasa sangat lelah dengan semua kehebohan mala mini.

Bibi Lan mengantar air hangat ke atas. Hari ini, setelah balik ke kamar pagi-pagi, Taylor Shen tidak turun sama sekali lagi. Ia pikir mereka berdua tengah bertengkar diam-diaman. Tidak disangka, ternyata Tiffany Song malah di-“begitu”-kan sampai pingsan.

Begitu masuk kamar, melihat suasana kamar yang sangat acak-acakan, ia geleng-geleng sambil tetap berjalan dan membawa nampannya.

Sesampainya di sisi ranjang, ia menatap Tiffany Song yang terbaring di atas ranjang. Wajahnya merah, alisnya berkerut, lehernya ada bekas cupang keungu-unguan. Bagian yang kelihatan ini saja terlihat sangat tragis, apalagi bagian-bagian lain yang tidak terlihat.

“Tuan, ini airnya.” Bibi Lan sadar diri ia hanya pembantu. Tidak etis baginya untuk banyak bicara.

Taylor Shen mengangguk. Ia mendudukan Tiffany Song dan mendekatkan tubuh wanita itu ke dadanya, lalu memasukan sebuah tablet obat ke dalam mulutnya. Sayang, satu detik kemudian, kapsul itu langsung dilepeh olehnya.

Taylor Shen kembali mengambil satu tablet lagi dan memasukannya ke mulutnya sendiri. Ia menghancurkan tablet itu dengan gigi-giginya, lalu meminum air yang diserahkan Bibi Lan. Ia kemudian menempelkan bibirnya dengan bibir Tiffany Song dan memindahkan air bercampur larutan tablet yang ada di mulutnya ke mulut wanita itu.

Tiffany Song merasa ada yang pahit-pahit di mulutnya. Ia tidak ingin menelannya dan ingin memuntahkannya, tetapi Taylor Shen sudah menjepit hidungnya agar ia terpaksa menelannya. Setelah dijepit berulang-bulang, obat akhirnya tertelan juga. Tiffany Song pun tertidur tenang.

Taylor Shen menidurkannya kembali ke ranjang. Kegiatan meminumkan obat barusan sebenarnya simpel, tetapi karena yang diminumkan tidak sadarkan diri, ia jadi merasa sangat capek sampai berkeringat. Ia bangkit berdiri, merogoh ponselnya, lalu berjalan ke luar kamar. Ia menelepon Christian.

Setengah jam kemudian, di ruang tamu Sunshine City sudah berdiri dua orang pengawal pribadi yang tadi pagi ia usir. Melihat wajah Taylor Shen yang muram, mereka gemetar ketakutan.

Taylor Shen duduk di sofa dan mulai menginterogasi mereka, “Kemarin Tiffany Song pergi ke mana dan bertemu siapa?”

Keduanya bertatap-tatapan, lalu salah satu menjawab dengan suara gemetar: “Nona Song pergi ke Kota Kecil Jingfu. Di pintu keluar tol, ia bertemu Tuan Lian. Mobil Tuan Lian sepertinya mogok, jadi ia menumpang mobil Nona Song dan mereka pun pergi bersama-sama ke Kota Kecil Jingfu.”

“Sebentar. Jadi mereka bertemunya di pintu keluar tol, bukan dari awal bersama-sama pergi meninggalkan Kota Tong?” Taylor Shen bisa menghukum Tiffany Song segila ini karena ia pikir mereka sudah merencanakan kepergian ini matang-matang seperti sebelumnya.

“Betul. Nona Song sudah keluar dari kota terlebih dahulu.”

“Kemudian?” Taylor Shen mengernyitkan alis, ia sepertinya sudah salah paham dengan Tiffany Song.

“Mungkin karena khawatir Nona Song mengendarai mobil dengan kondisi terluka, Tuan Lian jadinya menemaninya sama-sama pergi ke desa. Mereka sempat berkunjung ke kompleks pemakaman, lalu malam harinya bermalam di rumah seorang tante bermarga Jiang. Pagi-pagi sekali hari ini, mereka balik ke kota. Mereka kelihatannya sih hanya teman saja.”

Kalimat ini entah mengapa langsung menusuk titik lemah Taylor Shen. Ia mendeham dingin: “Mereka teman atau bukan, itu urusanku. Sudah, pergi sana!”

Tanpa berani bersuara lagi, kedua pengawal pribadi langsung berbalik badan dan pergi.

Taylor Shen duduk di atas sofa sambil berpikir keras. Tiffany Song mungkin benar-benar menganggap Karry Lian hanya sebatas teman, tetapi yang jadi masalah adalah bagaimana Karry Lian menganggap Tiffany Song. Ia tidak akan pernah lupa kejadian waktu itu. Di depan Vanke City, mungkin karena melihat kehadirannya, Karry Lian mencium Tiffany Song.

Pria ini dari awal sekali sepertinya sangat membenci dirinya. Ia dari dulu tidak pernah berinteraksi dengannya, jadi kapan ia pernah melakukan hal yang tidak berkenan padanya coba? Karry Lian selalu muncul di tengah-tengah dirinya dan Tiffany Song, dan kerjanya hanya menimbulkan kesalahpahaman saja. Sebenarnya si Karry Lian itu maunya apa sih?

Taylor Shen sudah bergumul di dunia bisnis bertahun-tahun. Meski ia tidak pandai mengatur emosi dan selalu meledak-ledak tiap ada yang membuatnya tidak puas, tetapi setelah kejadian itu berlangsung ia pasti selalu introspeksi diri. Seseorang yang tidak pernah berinteraksi dengannya, kalau muncul terus menerus dalam hidupnya, kalau bukan teman ya pasti musuh.

Dilihat dari sikap Karry Lian belakangan ini, ia lebih condong ke yang kedua sih.

Musuh? Taylor Shen mengelus-elus dagu. Ia mendongak menatap lantai dua. Murni bermusuhan karena rebutan cinta, atau bermusuhan karena ada suatu masalah pribadi? Atau…… Ia kini menatap lantai tiga, atau semua ini ada hubungannya dengan Angelina Lian?

……

Begitu terbangun, panas Tiffany Song belum juga turun. Sekujur tubuhnya nyeri, khususnya bagian intinya yang terasa panas terbakar. Ia menatap langit-langit kamar. Gaya arsitekturnya ia sangat familiar. Ia masih di kamar tidur utama lantai dua.

Barusan ia pikir ia akan mati di bawah gencatan tubuh Taylor Shen, ternyata ia masih hidup.

Apa yang tertempel di kepalanya nih sampai terasa dingin-dingin begini? Ia mengelus-elus dahinya, ternyata itu kompres penurun demam. Mulutnya terasa sangat pahit. Ia jadi teringat momen ketika Taylor Shen memaksanya minum obat.

Ia terdiam sejenak, lalu air matanya perlahan mengalir keluar. Ia memang dicintai oleh Taylor Shen, tetapi ia juga banyak disakiti. Ia merasa sungguh lelah dengan hubungan ini. Mungkin karena terlalu saling mencintai, ia dan Taylor Shen sama-sama tidak mau mundur selangkah pun dari akhirnya malah saling menyakiti.

Tiffay Song melepas kompres penurun demamnya, lalu turun perlahan dari ranjang. Kakinya terasa lemas dan gemetar begitu menginjak lantai. Ia merasa lemah sekali, jadi ia mau tidak mau harus berjalan perlahan-lahan ke ruang pakaian.

Pakaian yang sudah ia lipat dan rapikan sudah tergantung kembali di tiang baju. Dengan nafas berat, ia kembali melipat pakaiannya dan memasukannya ke dalam koper.

Ia melipat pakaian-pakaiannya itu sambil menangis. Tatapannya kabur karena air mata. Ia mengelapnya dengan tangan, tetapi semakin dilap air matanya malah semakin banyak. Ia akhirnya berjongkok di lantai sambil menangis tersedu-sedu sampai kesulitan bernafas. Setelah selesai menangis, ia baru melanjutkan melipat pakaiannya.

Pakaian-pakaiannya, ketika pindah rumah kemari, sudah dibuang-buangi oleh Taylor Shen. Sebagian besar pakaian yang kini tergantung di lemari baju adalah pakaian pemberian Taylor Shen untuknya. Ia dulu sangat gembira melihat pakaian-pakaian ini, tetapi kini ia merasa asing dan tidak cocok dengan semuanya.

Novel Terkait

Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
5 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
5 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
4 tahun yang lalu