You Are My Soft Spot - Bab 2 Apa Kau Merasa Sangat Kesepian

Tiffany sungguh terkejut sampai-sampai nafasnya terhenti, melihat bibirnya sendiri yang semakin lama semakin dekat dengan bibir tipis itu, ia tak bisa berpikir apa-apa, saat ia tersadar dan mencoba menghindar, jarak antara bibir mereka berdua hanya tersisa satu senti saja, ia bahkan bisa mencium aroma alkohol yang sangat pekat dari nafas Taylor.

Segar, wangi, aroma yang sungguh menggoda, Tiffany menatapnya dengan penuh kebingungan, sampai-sampai dirinya lupa kalau seharusnya ia mengerahkan semua tenaganya untuk menghindar.

Tepat saat kedua bibir itu hampir menempel, tiba-tiba Taylor menegakkan tubuhnya, sehingga bibir Tiffany pun menempel pada jakunnya.

"Gluk......" tak tahu siapa yang sedang menelan air liurnya, situasi di sana pun menjadi sangat tegang namun romantis.

Tiffany pun segera tersadar dan menghindar, dengan wajah merahnya ia berkata, "Paman keempat, kakak ipar, maaf, aku tidak sengaja."

"Kalau kau sengaja pun juga tidak apa." kata Taylor sambil tersenyum dan menatapnya dalam-dalam.

"Eh?" Tiffany menatapnya dengan bingung, isi kepalanya kosong, tak bisa berpikir apa-apa, sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

Sepertinya Taylor cukup senang melihat reaksi Tiffany yang lucu itu, bibirnya terangkat ke atas, kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong celananya, lalu berbalik dan berjalan ke arah Maybach yang parkir di pinggir jalan itu. Tak lama, setelah menyadari Tiffany tidak mengikutinya, ia pun membalikkan kepalanya dan melihat pada Tiffany, "Tidak pergi?"

"Pergi, mau pergi kok." Tiffany pun segera mengambil tasnya yang terjatuh di lantai, saat ia menunduk dan mengambil tasnya, tiba-tiba ia pun menyadari, apa tadi Taylor sedang menggodanya?

Tidak, tidak, tidak, pria baik hati seperti kakak ipar tidak mungkin sama seperti William brengsek itu, menebar cinta sembarangan, ia pasti salah.

Taylor berdiri diam di tempat, melihat Tiffany yang menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, sungguh benar-benar menggemaskan, tak heran kalau William......

Tiffany mengambil tasnya, menepuk-nepuk debu yang menempel di atasnya, lalu berjalan ke arah Taylor sambil tersenyum, "Paman keempat kakak ipar, tolong antar aku pulang."

"Paman keempat kakak ipar? Kau suka memanggilku seperti itu?" tanya Taylor.

Tiffany pun menjawabnya dengan panik, "Anda kan paman keempat William, kau juga suami dari kakakku, jadi......"

Taylor pun mengerti, kelihatannya hubungan mereka terlalu rumit, makanya Tiffany selalu tampak bingung bagaimana memanggilnya, Taylor pun berkata, "Tak usah bingung, panggil aku kakak keempat saja."

"Hah...... Rasanya tidak pantas deh?" seru Tiffany, dengan hubungan mereka yang seperti sekarang ini rasanya sangat tidak pantas memanggilnya langsung dengan sebutan kakak keempat.

Taylor melihatnya sejenak, lalu membuka pintu dan memberi isyarat padanya untuk naik ke atas mobil.

Tiffany terkejut melihat sikap Taylor itu, ia pun segera masuk ke dalam mobil, Taylor Shen membukakan pintu mobil untuknya, rasanya membanggakan sekali.

Tak ada orang yang tak mengenal Taylor Shen di Kota Tong, ia berasal dari keluarga kaya raya, ia menguasai semua perekonomian di seluruh Kota Tong, ia punya takhta dan kekuasaan yang besar di Kota Tong. Wajahnya tampan, bentuk tubuhnya sempurna bak model internasional, hidupnya bersih tanpa noda, sama sekali tidak tergoda oleh wanita, tak pernah ada gosip miring sekali pun, ia adalah contoh suami idaman yang benar-benar nyata.

Namun, sebenarnya gosip-gosip itu tak seutuhnya benar, Taylor bukannya sama sekali tidak tergoda oleh wanita, melainkan "tidak bisa" menggoda wanita!

Tiffany kembali teringat pada perkataan Lindsey tadi, ia sungguh merasa kasihan padanya, pria ini punya uang, punya takhta, punya wajah yang tampan, punya badan yang sempurna, tapi kenapa tidak bisa "berdiri"?

Sayang sekali!

Taylor yang sedang menyetir mobil merasa dilihati dengan aneh oleh seseorang, melihat ekspresi wajah Tiffany yang menunjukkan rasa belas kasihan, ia pun penasaran, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Tiffany sekarang.

"Semalam ini, untuk apa kau ke kantor polisi? Apa William membuat masalah lagi?"

Mendengar nama William, rasa senang dalam hati Tiffany itu pun menghilang, ia menatap Taylor yang sepertinya masih tidak tahu apa-apa, dan seketika ia pun merasa bahwa mereka berdua adalah dua orang yang paling mengenaskan di dunia ini, ia bertanya balik, "Kau sendiri kenapa ada di sini?"

"Aku baru saja selesai berbincang-bincang dengan klien, lalu lewat sini." Taylor menatap ke arah jalanan di depan, matanya terlihat sangat dingin.

"Oh." Tiffany membalikkan kepalanya, ternyata ia benar-benar tidak tahu apa-apa, lebih baik begitu, tahu akan hal ini hanya akan menambah kemarahan dan rasa sakit saja, lebih baik tidak tahu apa-apa, setidaknya bisa tetap merasa bahagia.

Taylor meliriknya sejenak, lalu berbicara padanya dengan sabar seperti orang tua, "William itu terlalu dimanja oleh kakak pertamaku, kalau dia membuatmu tidak senang, kau harus membuka hatimu sedikit, sebenarnya ia tidak jahat."

Tiffany menggigit bibirnya dan tak berkata apa-apa, kalau memang William tidak jahat, apa ia akan tidur dengan Lindsey? Lindsey tidak hanya kakak dari istrinya, ia adalah bibi keempatnya juga. Tapi ia tak bisa mengatakannya, ia tak boleh melukai harga diri orang yang tidak bersalah.

Mungkin karena dirinya sendiri sudah merasakan rasanya dikhianati, ia sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh orang yang paling ia sayangi, oleh karena itu ia ingin melindungi Taylor. Taylor tidak bersalah, tak seharusnya ia terluka.

Setengah jam kemudian, mobil itu pun berhenti di depan Hillcrest Park, Tiffany menatap ke arah perumahan mewah yang terang benderang itu, ini adalah rumah pernikahan dirinya dengan William. Sejak William membawa wanita pulang ke rumah ini, ia sama sekali tak pernah pulang ke tempat ini lagi.

Namun malam ini, Taylor malah mengantarnya sampai ke sini.

Ia terdiam sejenak, lalu membuka pintu mobil dan turun ke bawah. Ia berdiri di pinggir jalan, lalu membungkukkan punggungnya sedikit, dan berkata pada Taylor yang masih duduk di dalam mobil, "Paman keempat kakak ipar, terima kasih sudah mengantarku pulang, hati-hati di jalan."

Taylor menggeleng-gelengkan kepala, dasar anak aneh, "Kau masuk dulu baru aku pergi."

Awalnya, Tiffany berpikir ia akan langsung kembali ke apartemen kecilnya setelah Taylor pergi. Tapi sekarang, sepertinya ia hanya bisa memilih untuk masuk ke dalam perumahan itu dengan terpaksa.

Setelah melihat bayangan Tiffany yang menghilang di Forest Road yang ada di dalam perumahan itu, Taylor pun menyimpan pandangannya, matanya tersirat sebuah perasaan yang sangat amat dalam, lalu ia pun menurukan rem tangannya dan pergi dari sana.

----------------------------

"Krek......" Tiffany menyimpan kembali kuncinya, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam.

Apartemen itu sangat gelap, Tiffany berhenti di belakang pintu, beberapa saat kemudian, barulah ia terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan itu. Ia masuk perlahan-lahan, semua dekorasi rumah dan perabotan yang ada di sana adalah desainnya sendiri.

Ia masih ingat, saat rumah baru ini selesai direnovasi, William memeluknya dengan hangat, dan berbisik di telinganya, "Tiffany, mulai saat ini tempat ini adalah sarang cinta kita, setelah kita menikah nanti, kita akan melahirkan seorang putra dan seorang putri, kita akan bersama-sama terus selamanya."

"Tiffany, aku mencintaimu sehidup semati."

Tiffany berdiri di depan pintu masuk ruang tamu, ia menatap sofa ungu yang ada di sana, sofa itu adalah sofa pilihannya sendiri, namun sofa itu malah menjadi tempat di mana William bercinta dengan wanita lain. Mengingat hal itu, Tiffany pun merasa jijik dan ingin segera pergi dari sana.

Ia membalikkan badannya, namun tiba-tiba, lampu di ruang tamu menyala. Silaunya cahaya lampu itu membuat matanya tidak bisa terbuka lebar, ia menyipitkan matanya, melihat ke arah pintu, siapa lagi yang datang kalau bukan William?

William berdiri di depan pintu, melihat Tiffany tanpa berkata apa-apa, sepertinya ia sama sekali tidak kaget Tiffany muncul di sini. Ia mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang yang sederhana, tiga kancing atas kemejanya terbuka, memperlihatkan dadanya yang putih dan gagah, yang dipenuhi dengan bekas cakaran-cakaran mesra.

Tiffany memegang tas kulitnya dengan erat, bekas cakaran-cakaran yang terlihat sangat jelas itu langsung menusuk ke dalam hatinya seperti sebuah bilah pisau yang tajam. Meskipun ia selalu hidup seperti ini selama lima tahun, hatinya tetap saja tidak bisa sekuat baja.

Sesakit apapun luka yang William goreskan padanya, Tiffany selalu berharap, mengira William tidak akan menceraikannya, setelah William selesai membalaskan dendamnya, setelah William bosan dengan gemerlap-gemerlap dunia luar, ia pasti akan kembali ke sisinya.

Namun kali ini, sudah tidak sama lagi.

Ia sudah menunggunya selama lima tahun, dari usia 20 sampai 25 tahun, ia sudah menghabiskan semua masa-masa mudanya, semua ini sudah cukup.

"William, aku capek, aku tidak ingin begini terus denganmu, kita cerai saja." Lima tahun ini, tiap kali TIffany membanyangkan kata "cerai", rasanya sungguh menyakitkan. William itu sudah sama seperti belahan jiwanya, melepaskannya pasti lebih menyakitkan daripada mempertahankannya.

Namun kali ini, ia ingin mencoba, apa ia bisa tetap hidup tanpa William.

Mata William menggelap, ia melangkah ke depan, berjalan ke arah Tiffany, ia mengangkat dan menekan dagu Tiffany keras-keras, memaksanya untuk menatap ke matanya sendiri, "Cerai? Tiffany Song, apa kau pantas untuk menyebut kata 'cerai‘?’"

Tiffany menutup mulutnya tak bersuara.

William tersenyum sambil mengelus-elus dagu Tiffany dengan jarinya itu, "Tiffany, kita sudah menikah lima tahun kan, lima tahun ini kau sama sekali tidak kusentuh, apa kau merasa sangat kesepian?", katanya dengan lembut.

Tiffany membalikkan kepalanya, perkataan William itu membuat air matanya mengalir keluar.

Tanpa rasa kasihan, William membalikkan kepala Tiffany lagi dengan tangannya, melihat matanya yang penuh dengan air mata, hatinya sama sekali tidak luluh, ia terus berkata, "Kalau kau mau, bilang saja padaku langsung, untuk apa berpura-pura polos, memuaskan istri adalah kewajiban seorang suami, aku akan membantumu dengan senang hati."

Tiffany tidak bisa menahannya lagi, ia melepaskan dan membanting tangan William yang menekannya itu, "William, jangan hina aku, juga jangan hina dirimu sendiri."

"Haha!" William tertawa dingin, "Apa kau pantas mengucapkan kata 'hina'?"

"Kau!" Tiffany melihat pria di hadapannya yang tersenyum kejam itu, wajah kejam itu perlahan-lahan menghapus wajah tampan William yang terukir dalam hatinya sejak dulu, wajah itu sungguh terlihat sangat asing. Hatinya sungguh terasa sakit, sampai akhirnya ia merasa sulit untuk bernafas, pandangan matanya juga semakin buram.

Sejak kapan hubungan mereka berubah menjadi seperti ini?

"Tiffany, jadilah Nyonya Tang yang baik, kalau aku tidak mengucapkan kata 'cerai', kau juga jangan pernah memikirkannya. Sampai mati pun, aku juga akan menyeretmu bersamaku ke neraka." Setelah William mengatakan itu, ia pun membanting pintu dan pergi dari situ.

Tiffany berdiri diam di tempat, suara langkah kaki William terdengar semakin jauh, air mata yang ia tahan sejak lama pun kini sudah tak terkendali lagi, keluar setetes demi setetes.

------------------------------

Keesokan harinya, saat Tiffany terbangun, sudah hampir pukul 11 siang, asisten di kantor meneleponnya, mengingatkannya jangan lupa untuk bertemu dengan klien nanti sore. Setelah itu ia pun mematikan teleponnya, kepalanya terasa mau pecah.

Kemarin malam, setelah William pergi, ia tidak pergi dari sana. Ia mengeluarkan semua peralatan bersih-bersih yang ada di rumahnya, membersihkan setiap sisi rumah itu. Tapi sebersih apapun ia membersihkannya, ia tetap merasa kotor, sangat kotor, kotor seperti rasa cintanya.

Ia memijat-mijat kepalanya yang sakit, lalu berdiri hendak mencuci mukanya agar terasa lebih segar. Kalau ia bertemu dengan klien dengan wajah yang seperti ini, rasanya sungguh tidak sopan.

Baru saja ia berdiri, terdengar suara pintu rumah terbuka. Ia mengangkat kepalanya melihat ke arah pintu, ternyata William yang datang, ia masuk ke dalam rumah itu sambil menggandeng tangan Lindsey.

Novel Terkait

Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
4 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu