You Are My Soft Spot - Bab 216 Tunangan Dulu, Lalu Baru Pacaran

Christian membungkuk mengambil pakaian yang jatuh di lantai. Ia lalu melihat Taylor Shen berlari keluar kamar sambil mengenakan pakaian mandi. Bosnya itu menabrak dia sampai terjatuh dan pakaian pun kembali menyentuh lantai.

Si asisten melihat bayangan tubuh Taylor Shen yang lari kencang bak terbang sambil membuang nafas pasrah: “Usia kalian berdua kalau ditotal hitungannya kan sudah tua juga, tidak bisa kalem sedikit ya?”

Vero He berlari keluar hotel. Melihat ada lampu mobil yang sangat terang di depan, wanita itu refleks menutup mata. Mobil semakin lama semakin mengebut hingga dalam satu kedipan mata ada di depan Vero He. Ia tercengang ketakutan bak siap ditabrak. Untung, pinggangnya tiba-tiba ada tangan besar yang menahan pinggangnya. Ia tidak jadi tertabrak mobil dan hanya menubruk sebuah dada yang sangat bidang.

Pria pemilik tangan besar itu bertanya khawatir, “Vero He, kamu tidak apa-apa kan?”

Vero He mendongak menatapnya. Di bawah lampu yang berkilauan, tubuh pria itu terlihat bercahaya bagai malaikat. Ia mengedip-ngedip dan air mata perlahan menetes keluar. Ia ada apa-apa, sungguh apa-apa.

Fabio Jin menunduk menatap Vero He yang menangis sampai dandanannya luntur. Tangisan wanita itu sangat menyedihkan, matanya terlihat bagai keran yang bocor dan terus mengalirkan air. Ia dari dulu belum pernah melihat wanita menangis tanpa suara begini. Baginya, tangisan tanpa suara jauh lebih mengibakan daripadi tangisan yang meraung-raung.

Saat baru mengantar tamu-tamu berpamitan, ia melihat Vero He berlari keluar dari lift. Ia memanggil-manggil si wanita berulang kali, namun tidak dijawab. Saat itu, Vero He terlihat seperti seekor lalat. Lalat hanya peduli maju, maju, dan maju. Dia dan Taylor Shen……

Memikirkan ini membuat hatinya agak gusar. Fabio Jin menatap Vero He dari atas ke bawah. Rambutnya agak berantakan, pakaiannya masih bisa dikatakan komplit, bibirnya ada sedikit bercak darah. Ia menyipitkan mata, Taylor Shen menjahatinya? Tetapi Vero He tidak mirip orang yang dijahati. Ia lebih mirip anak hilang yang menangis mencari orangtuanya.

“Vero He, jangan menangis. Cerita padaku, apa yang terjadi?” Nada bicara Fabio Jin sangat lembut dan rendah. Tangisan tanpa suara Vero He sepertinya ikut membuat hatinya goyah.

Vero He hanya menangis tanpa bicara. Hatinya pilu memikirkan sikap Taylor Shen. Anna, Anna, Anna, keturunan kecilku yang malang…

Fabio Jin tidak terpikir cara lain untuk menenangkannya. Pria itu hanya bisa mengulurkan tangan, mendekap Vero He dalam pelukan, dan menepuk-nepuk punggungnya: “Sudah, sudah lewat. Sekarang ada aku, jangan takut.”

Pelukan Fabio Jin terasa memberi kekuatan, jadi Vero He tidak melepaskannya. Ia sangat putus asa sekarang, ia butuh pegangan benda apa pun biar tidak masuk jurang yang lebih dalam. Vero He bersandar tenang dalam pelukannya. Ketika emosi negatifnya sudah dilampiaskan semua, ia memikirkan betapa bodohnya dirinya sendiri. Jelas-jelas tahu dia orang yang bagaimana, tetapi masih saja terpengaruh dengan omogan-omongan sekutu dia.

Ia tidak ingin menangis lagi. Bagaimana ia harus meminta maaf pada Anna?

Hati Vero He sedetik demi sedetik mendingin. Ia tidak boleh terbujuk dia lagi, pokoknya tidak boleh!

Taylor Shen, yang biasanya sangat memedulikan penampilan, terus mengejar dengan hanya mengenakan pakaian mandi dan satu sendal. Ia tidak sadar satu sendalnya lagi tertinggal, sebab yang ia urusi sekarang hanya mengejar Vero He yang emosinya lagi tidak terkendali.

Tuduhan dia, kutukan dia, semuanya bisa ia terima. Tetapi, kalau Vero He sudah menangis, khususnya menangis karena dirinya, ia tidak bisa menerima. Pemandangan Vero He menangis hanya akan membuatnya merasa tidak berdaya dan gagal melindungi.

Ketika melihat dua orang berpelukan di depan pintu hotel, lari Taylor Shen seketika terhenti. Kalau ia sekarang tengah berlari di treadmill, maka terhentinya itu seperti mesin treadmill tiba-tiba mati dan tubuhnya agak terhempas ke depan karena tidak siap. Berdiri dengan satu kaki mengenakan sendal dan satu kaki telanjang, ia terlihat sangat menyedihkan.

Semenyedihkan apa pun, yang ia pedulikan sekarang hanya Vero He.

Pada momen ini, Taylor Shen terlihat seperti dikutuk orang jadi batu. Hatinya sangat ingin mendekat dan melepaskan Vero He dari pelukan si pria, tetapi fisiknya tidak bisa bergerak saking tercengangnya.

Ia berdiri diam hampir tiga puluh detik. Orang-orang yang lalu lalang di hotel memberi tatapan heran padanya, tetapi ia tidak menyadarinya sama sekali. Yang ada di mata dia saat ini hanya sepasang pria dan wanita yang berpelukan di depan.

Si pria terlihat seperti sedang menenangkan si wanita. Ketika mobil tiba, si pria membawa si wanita masuk kursi belakang mobil. Sebelum masuk dan menutup pintu, Fabio Jin menoleh sekilas ke Taylor Shen. Tatapan yang agak ganjil dari orang itu diikuti dengan pintu mobil yang tertutup. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, lalu hilang ditelan gelapnya langit malam.

Taylor Shen memejamkan mata. Dadanya semakin lama semakin nyeri hingga ia kesulitan bernafas. Pria itu menekan-nekan jantungnya yang terasa mau meledak. Dengan menahan rasa sakit, Taylor Shen berbalik badan untuk pergi ke lift. Baru berjalan satu langkah, pandangannya berubah hitam dan ia pun terbujur pingsan di lantai.

……

Di dalam mobil, Fabio Jin memberikan dua lembar tiasu pada Vero He. Ia berujar lembut: “Ayo lap air matamu. Kalau kamu pulang dalam keadaan begini, mereka pasti akan sangat khawatir.”

Si wanita menerima sodoran tisu dan mengeringkan air matnya. Mobil sangat tenang, cahaya lampu jatuh persis di tubuhnya. Vero He berkata: “Tuan He, sungguh maaf, tidak bikin kamu kecewa kan?”

Yang ditanya membuang nafas panjang. Vero He hari ini mengurusi dirinya sendiri saja gagal, kok bisa-bisanya masih mengurusi orang lain. Ia menjawab: “Tidak. Kita juga bukan orang yang pelit, ya kan? Apa sebenarnya yang terjadi padamu? Bisa cerita ke aku?”

Kedua tangan Vero He yang ditaruh di lutut perlahan mengepal. Ia menanggapi datar: “Aku hanya teringat masa lalu yang tidak baik.”

Fabio Jin tahu Vero He tengah menyembunyikan sesuatu. Ia memang begini orangnya, mengalami apa pun pasti ditelan sendiri dan tidak diceritakan. Ini jugalah yang membuat orang-orang jadi iba padanya, termasuk ia sendiri. Pria itu membalas, “Vero He, aku bisa memahami kalau kamu tidak mau mengungkitnya sekarang. Aku tidak mau memaksamu, tetapi kalau suatu hari nanti kamu mau cerita, ingat bahwa aku selalu ada di sisimu. Kapan pun dan di mana pun, aku siap mendengarkan.”

Vero He mendongak dan tersenyum penuh syukur, “Terima kasih!”

Mobil kembali hening. Vero He mengamati pemandangan luar dengan perasaan campur aduk. Lama-kelamaan, hatinya kembali tenang.

Fabio Jin mengantar Vero He sampai ke rumah kediaman keluarga He. Setelah wanita itu masuk, ia baru menyuruh supir menyetir liat. Sambil melihat spion belakang, supir menyampaikan pesan: “Tuan Muda Ketiga, setibanya kamu di rumah nanti, nyonya memintamu untuk datang ke kamarnya. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.”

“Baik.” Fabio Jin memijat-mijat jidat sambil menatap rumah kediaman keluarga He yang perlahan makin jauh. Tatapannya makin lama makin dalam.

Ketika memasuki ruang tamu, si wanita melihat Felix He dan James He ada di sana. Sang kakak langsung bangkit berdiri untuk menyambutnya. Si adik refleks menunduk dan bertanya bagai baik-baik saja: “Kalian belum istirahat? Aku agak lelah, duluan balik kamar ya.”

James He menghampiri Vero He, mengenggam tangannya, dan bertanya satu kalimat, “Kamu menangis?”

Si kakak bisa menebak ini karena mata adiknya terlihat bengkak dan merah. Vero He berusaha mengelak dengan membuang muka, “Tidak, mataku hanya kemasukan pasir saja.”

“Kamu mau menipu siapa, mata begitu masih mau bilang tidak menangis? Pasti Taylor Shen melakukan sesuatu padamu ya? Aku akan cari dia untuk buat perhitungan!” James He seketika marah bagai anak muda yang temperamental. Ia merapikan kerah bajunya untuk bersiap tarung dengan Taylor Shen.

“Kakak!” Vero He bergerak cepat menahan pakaian kakaknya sebelum ia terlanjut pergi. Wanita itu menarik nafas dan bilang: “Ini masalah personalku, tidak ada hubungannya dengan dia. Kamu seharian kerja kemudian ikut pesta memang tidak lelah?”

“Selelah apa pun juga siap menuntut keadilan untuk adikku,” jawab James He dingin. Ia sepertinya harus melarang Vero He pergi dengan Taylor Shen. Bayangkan saja, sejak bertemu Taylor Shen, memang pernah adiknya kembali ke rumah dengan gembira?

“Kakak!” Vero He memanggil lagi.

Felix He mendengar percakapan mereka daritadi. Ia memanggil si putri: “Vero He, kesini sebentar. Papa ingin diskusi sesuatu denganmu.”

Si wanita menengok dan mengiyakan, lalu kembali menatap kakaknya. Wajah James He terlihat sangat khawatir. Vero He paham dia takut dirinya disakiti. Ia memeluk sang kakak lembut, “Kak, kamu cepatlah naik dan istirahat.”

Vero He kemudian melepaskan pelukan itu, menghampiri papa, dan duduk di sebelahnya.

James He mengamati bayangan tubuh si adik. Jelas-jelas ada masalah, tetapi malah berpura-pura tidak ada. Mereka sendiri sebenarnya paham, sejak Taylor Shen kembali dari luar negeri, frekuensi insomnia dan jumlah kekhawatiran Vero He meningkat.

Si wanita masih belum menganggap mereka keluarga sendiri, sampai-sampai apa yang terjadi lima tahun lalu saja belum bersedia cerita. Mengapa bisa muncul di tengah salju? Mengapa sekujur tubuh penuh luka? Siapa nama yang dipanggil-panggil terus saat pingsan? Itu semua harus dijawab cepat atau lambat.

James He selama ini terus berusaha memancing Vero He untuk bicara, tetapi hasilnya nihil. Sementara itu bukti-bukti keberadaan adiknya ini juga sudah dilenyapkan dengan sangat bersih, jadi melakukan penelusuran pun tidak ada gunanya.

Vero He lenyap tanpa jejak, juga muncul tanpa pertanda. Ia terus merasa ada banyak hal di tengah kehilangan kelenyapan dan kemunculan ini. Kelihatannya, demi Vero He, ia dan Taylor Shen perlu menjajaki Kerjasama. Ia mau mengecek Vero He ada di mana selama dua tahun itu, juga mengalami siksaan yang bagaimana.

Felix He menatap mata Vero He yang bengkak. Di matanya ada bercak merah, mungkin itu bekas tadi menangis. Anaknya ini sudah mengalami banyak sekali masalah dan ia gagal melindunginya. Sungguh, rasanya ia orang tua paling gagal di dunia!

“Bibi Yun, bawakan batu es dan sapu tangan kemari,” perintah Felix He. Saat keluar dari pesta, James He mengabarkannya bahwa Vero He dibawa pergi oleh Taylor Shen. Soal Taylor Shen, dalam hal bisnis ia mengaguminya, dalam hal karakter mereka juga sama-sama tegas.

Kalau mau bilang Taylor Shen salah, itu belum tentu. Bisa saja ini hanya soal masalah cara mengekspresikan cinta saja,

Bibi Yun segera kembali dengan membawa batu es dan sapu tangan. Ia memberikan batu es itu ke Felix He, lalu si ayah pun menempelkannya dengan lembut ke mata si anak. Ia berkata: “Vero He, nih kompres matamu dengan batu es biar besok pagi tidak bengkak.”

Vero He mengambil alih batu es dengan handuk yang ia pegang. Es yang dingin membuat bengkaknya agak ngilu, tetapi ia tidak mau menolak maksud baik ayahnya. Wanita itu memulai: “Papa, silahkan katakan apa yang kamu mau diskusikan.”

“Kan kamu sudah bertemu Fabio Jin beberapa kali, menurutmu dia orangnya bagaimana?”

Melihat ekspresi ayahnya yang gugup, si wanita kurang lebih sudah tahu arah pembicaraan ini. Ia menunduk dan menjawab: “Papa, Fabio Jin adalah pria yang sangat baik. Ia layak mendapatkan wanita yang lebih jauh lebih baik. Aku tidak layak bersanding dengannya.”

“Layak atau tidak, itu bukan kamu yang menentukan. Malam ini, dua anggota senior dari keluarga Jin sangat puas denganmu. Papa sendiri juga senang dengan Fabio Jin. Baik dalam hal karakter mau pun kemampuan, menurut papa ia dua-duanya bagus dan cocok denganmu. Aku sudah tanya dia soal kamu, ia bilang ia suka kamu. Rencana aku adalah menyuruh kalian tunangan dulu, lalu baru pacaran. Bagaimana?” tawar Felix He hati-hati. Ia terus mengamati wajah anaknya supaya tidak melewatkan perubahan ekspresinya sedikit pun.

Novel Terkait

Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Love at First Sight

Love at First Sight

Laura Vanessa
Percintaan
4 tahun yang lalu
1001Malam bersama pramugari cantik

1001Malam bersama pramugari cantik

andrian wijaya
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu