You Are My Soft Spot - Bab 296 Kan Sudah Pernah Lihat, Buat Apa Masih Ditutupi?

Sudah bermain seharian, Jacob Shen tertidur kelelahan di sofa habis makan malam. Ia tertidur dengan posisi kelinci belandanya tertidur di bahu. Vero He duduk di sebelahnya. Ia awalnya ingin membangunkan anak itu untuk menyuruhnya cucian dulu, namun akhirnya tidak tega.

Khawatir Jacob Shen bakal tidak nyaman tidur di sofa, Vero He berusaha menggendongnya dengan perlahan. Meski gerakannya perlahan, namun anak itu tetap bergerak-gerak tidak nyaman karena terganggu. Vero He menaruhnya kembali ke sofa, lalu anak itu tidur dengan menghadap ke arah yang berbeda. Karena tidak sengaja tersentuh kaki Jacob Shen, si kelinci belanda terbangun dengan kaget dan melompat. Kelinci itu mengamati sofa dengan bingung seolah tidak paham mengapa arah tidur tuannya seketika berubah.

Vero He tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Saat dia mau berusaha mengangkat si anak sekali lagi, telinganya mendengar suara seorang pria, “Biar aku yang gendong.”

Vero He mendongak dan melihat Taylor Shen tengah menuruni tangga. Ia pun mundur selangkah untuk memberi ruang bagi si pria. Taylor Shen mengulurkan kedua tangan dan mulai membopong Jacob Shen dengan hati-hati.

Bukan sebatas gerak-gerak karena tidak nyaman seperti tadi, kali ini si anak terbangun kaget. Ketika membuka mata dan melihat sosok ayahnya, ia memanggil “papa” sekali dan kembali melanjutkan tidur. Vero He berjalan di belakang sepasang ayah dan anak itu. Ia terkadang merasa bentuk interaksi Taylor Shen dan Jacob Shen sangat aneh. Si ayah kelihatannya sangat dingin pada anaknya, tetapi tidak jarang pula memperlihatkan sikap hangat.

Contoh sikap hangatnya ya seperti sekarang ini, yakni menggendong Jacob Shen dan memindahkannya ke kamar. Taylor Shen menaruh si anak di atas ranjang, lalu berbalik badan dan keluar. Melihat pria itu tidak memasangkan selimut, ia dalam hati komplain. Kalau Jacob Shen besok flu bagaimana coba?

Ketika dia komplain pada dirinya sendiri begini, Taylor Shen kembali masuk kamar Jacob Shen sembari membawa baskom berisi air hangat. Lengan kemejanya digulung dan memperlihatkan lengan atas yang berisi. Berhubung jam tangannya sudah dilepas, bekas luka di tangan Taylor Shen jadi kelihatan.

Si pria memeras handuk yang dibasahi air baskom, lalu dengan lembut membasuhkannya ke wajah dan tangan Jacob Shen. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang sampai seluruh bagian kedua area tubuh itu terbasuh.

Vero He terhenyak menatap bekas luka di pergelangan tangan kanan Taylor Shen. Setiap kali melihat luka ini, ia selalu merasakan perasaan yang aneh. Ia sungguh ingin tahu sejarah luka ini. Mengapa bisa ada luka sedekat urat nadi begitu ya?

Taylor Shen menyadari mata Vero He tertambat di luka tangannya. Pria itu refleks mengulurkan kembali lengan kemeja, lalu mengajak: “Yuk keluar.”

Si pria berjalan di depan sembari membawa baskom, lalu si wanita mengikuti jalan di belakang. Taylor Shen kemudian pergi ke kamar mandi bersama, sementara Vero He balik kamar. Yang kedua ini sangat ingin tidur karena sudah melihat ranjang, tetapi ingat dirinya perlu mandi dulu.

Berhubung demikian, Vero He pun mengambil baju baru dan membawanya ke kamar mandi. Baru melepas pakaian dan menyalakan shower, pintu kamar mandi dibuka seseorang. Krek! Taylor Shen berdiri di depan pintu sembari menatapi dirinya lekat-lekat.

Kaget dengan kehadirannya, Vero He buru-buru menutupi sekujur tubuhnya yang tidak tertutup apa-apa dengan tangan. Jelas sekali, ia hanya bisa menutupi yang atas dan mau tidak mau membiarkan yang bawah terbuka. Wajahnya merah semerah-merahnya karena malu.

Taylor Shen melangkah masuk dan menutup pintu. Setelah itu, dia membuka satu per satu kancing kemeja dengan elegan. Melihat raut gelisah di wajah Vero He, ia bertanya sembari tersenyum, “Kan sudah pernah lihat, buat apa masih ditutupi?”

Vero He gigit-gigit bibir. Melihat dada bidang sekaligus tangan prianya yang tengah membuka ikat pinggang, ia langsung berbalik badan. Ia pikir, lebih mending yang belakang kelihatan daripada yang depan. Wanita itu kemudian menyuruh: “Taylor Shen, cepat keluar.”

“Tidak mau!” jawab Taylor Shen tegas. Pria itu melangkah menghampiri Vero He, jadi kini di bawah shower ada dua orang yang berdiri berdampingan. Dengan lembut, Taylor Shen memegang pinggang si wanita. Merasakan tubuh wanitanya sedikit bergetar, si pria menahan diri untuk tidak melakukan hal selanjutnya. Lain kali saja deh, begitu pikirnya.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Vero He merasa sangat lega. Dengan kondisi sudah sama-sama memakai piyama, si wanita dibopong Taylor Shen ke ranjang. Setelah itu, Taylor Shen pergi mengambil satu handuk kecil dan kembali dengan cepat. Handuk kecil itu mau dia gunakan untuk mengeringkan rambut Vero He.

Vero He menundukkan kepala dengan canggung. Di kamar mandi tadi, Taylor Shen janji untuk tidak melakukan yang macam-macam. Memang dia tidak macam-macam sih, namun dirinya tetap saja merasa terintimidasi dengan tatapan Taylor Shen yang terus mengarah ke tubuhnya. Benar-benar deh pria yang satu ini, ada saja caranya buat mengganggu dia!

Setelah rambut Vero He sudah setengah kering, Taylor Shen mengambil alat pengering rambut buat melanjutkan proses pengeringan. Vero He berbaring di bahu Taylor Shen, yang duduk di ranjang, seperti sebuah boneka yang dimainkan oleh pemiliknya. Tangan Taylor Shen bergerak-gerak dengan lincah di sela-sela rambutnya.

Berhubung proses pengeringan tidak sebentar dan dirinya sudah mengantuk, Vero He tanpa sadar terlelap.

Kelar mengeringkan rambut si wanita, si pria baru menyadari sepasang matanya sudah tertutup. Sudut bibir pria itu terangkat, lalu bibir itu bergerak menyasar bibir Vero He untuk memberi sebuah kecupan singkat. Setelah itu, si pria membaringkan Vero He di ranjang dan ikut berbaring di sebelahnya dalam posisi memeluk.

Hari-hari berlalu seperti semilir angin yang bertiup kencang. Kalender dalam satu kedipan mata sudah menunjukkan tanggal tujuh belas. Ini artinya besok adalah hari pertunjukkan “Kembalinya Hantu the Phantom of the Opera”. Vero He sudah membeli tiketnya dari awal sekali. Ia sudah sempat membaca naskahnya dan tidak menemukan keanehan apa pun.

Pada malam itu, Taylor Shen ada perjamuan bisnis, sementara Vero He pergi ke rumah kediaman keluarga He. Ia mendapat kabar bahwa Felix He sakit. Kata orang, ayahnya itu sudah berbaring di ranjang selama seminggu dan belum pulih juga, bahkan kondisinya makin lama makin memburuk.

Ketika menjumpai sosok si ayah, Vero He menyadari betul berat badannya berkurang drastis dan tatapannya jauh melemas. Saking mengurusnya, kini bentuk tulang di pipi si pria paruh baya bahkan bisa terlihat jelas. Vero He tidak menyangka kondisi papanya tiba-tiba setragis ini. Matanya langsung berkaca-kaca.

Felix He sendiri baru saja bangun dari tidur. Melihat mata anaknya berair, ia menggoyangkan tangan tanda memanggil, “Vero He, duduklah kemari.”

Vero He mendekat dengan patuh dan menggenggam tangan kurus papanya. Dengan terisak, ia bertanya: “Papa, kamu sakit separah ini, mengapa tidak membiarkan orang mengabariku?”

“Akhir tahun pasti urusanmu banyak, jadi papa tidak mau memecah fokusmu,” jawab Felix He dengan diikuti batuk. Batuk itu berlangsung berkali-kali hingga wajahnya jadi agak merah. Melihat ini, Vero He buru-buru menuangkan segelas air hangat dan membantunya minum.

Si putri protes: “Mana ada urusan yang lebih penting dari papa? Kamu seharusnya tidak menyuruh kakak dan orang-orang lain menyembunyikan ini dariku.”

Mengamati wajah putrinya, dalam benak si ayah muncul sebuah wajah lain. Wajah Felix He jadi semakin lemah setelah teringat wajah ini. Ia menggenggam tangan anaknya dan menunjukkan senyum yang dipaksakan: “Papa pikir, setelah punya kekasih, kamu sudah lupa dengan keberadaan papa.”

Wajah Vero He memerah. Taylor Shen memang sangat protektif padanya soal tempat tinggal. Tiap kali dia bilang mau pergi ke rumah kediaman keluarga He, pria itu suka tidak mengizinkannya. Si wanita menunduk dan menjawab dengan rasa bersalah: “Maafkan aku, Papa. Tidak peduli di mana pun aku berada, kamu akan selalu jadi orang yang sangat penting buatku.”

Hati Vero He terenyuh mendengar ini, “Kamu adalah anak yang baik.”

Sembari menatap lekat-lekat wajah papanya yang pucat, Vero He bertanya: “Papa, kamu sakit apa? Bagaimana kalau aku bawa ke rumah sakit untuk menjalani cek kesehatan seluruh tubuh?”

Felix He menggeleng. Ia tahu penyakitnya ini lebih ke hati daripada fisik. Sejak pulang dari Manor, dia langsung jadi begini. Kondisinya tidak juga membaik meski sudah diberi obat oleh dokter, bahkan malah memburuk.

Penyakit hatinya ini diperparah dengan pertengkaran antara dirinya dan Claire yang baru terjadi belakangan. Lengkaplah sudah, penyakitnya jadi semakin parah.

“Kemasukan udara dingin saja kok. Tidak perlu ke rumah sakit, minum obat beberapa hari juga bakal baikan,” jawab Felix He ringan. Entahlah ini biar Vero He tenang atau dirinya memang merasa bakal baik-baik saja.

Si wanita berusaha memberikan semangat, “Papa harus cepat sembuh ya! Aku sedih kalau papa sakit!”

Felix He menepuk-nepuk punggung tangan putrinya, “Orang yang sudah tua memang sudah sewajarnya mudah sakit. Kamu jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Vero He, aku sempat dengar sesuatu tentangmu.”

Konsentrasi Vero He teralihkan dengan kata “sesuatu”. Wanita itu bertanya: “Apa?”

“Dengar-dengar belakangan ada seorang nyonya paruh baya bermarga Xu sering mencarimu. Cerita sedikit dong soal dia,” pinta si ayah. Sejak pergi dari Manor, Felix He tidak mau datang ke sana lagi meski ingin tahu alasan si wanita memilih berpisah dengannya dan pergi dari rumah dulu. Sekuat-kuatnya keingintahuan ini, dia terus menahannya.

Felix He merasa dirinya sudah tua. Sudah lah, masa lalu biarkan tetap jadi masa lalu.

Seberkas kebingungan melintas mata Vero He. Ia tidak menyangka ayahnya tahu soal Nancy Xu, bahkan memintanya bercerita soal sosok itu. Ia bertanya: “Papa, kamu kenal dengan nyonya bermarga Xu ini?”

“Tidak, maka itu aku ingin mengenal sosoknya melalui ceritamu. Kalau kamu tidak bersedia, tidak apa-apa juga sih,” balas Felix He sembari menggeleng.

Meski bingung dengan maksud pertanyaan Felix He, Vero He tetap menceritakan acara makan bersama mereka sekaligus kunjungan dirinya ke Manor. Si ayah agak gelisah mendengar ini, namun tetap berusaha terlihat tenang. Di akhir cerita, pria itu bertanya: “Vero He, menurutmu dia orangnya bagaimana?”

“Hmm…… Ramah, lembut, dan baik hati. Aku yakin dia pasti sudah sangat mempesona dari muda. Kalau melihat sosoknya, aku merasa seperti melihat sosok wanita sempurna yang biasanya hanya ada dalam lukisan.” Vero He sudah banyak bertemu wanita cantik, namun yang anggun dan sempurna seperti Nancy Xu sangat sedikit jumlahnya.

Felix He menatap ke kejauhan, “Kalau ada kesempatan, aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin melihat sebenarnya orang macam apa sih yang bisa kamu nilai sampai setinggi ini.”

“Maka itu, papa harus cepat-cepat sembuh. Setelah sembuh, aku bakal bawa papa ke Manor untuk berkenalan dengannya,” ujar si wanita dengan senang sembari membayangkan pertemuan itu. Ayahnya bakal bertemu dengan wanita yang sangat ia kagumi, wah!

Felix He mengamati Vero He dengan pikiran campur aduk. Kalau Vero He tahu Nyonya Xu adalah ibu kandungnya, apakah dia masih akan gembira begini? James He sudah membawa Vero He menetap di sini selama lima tahun. Selama periode waktu itu ia hampir tiap hari berjumpa dengannya, namun tidak juga menceritakan identitas dia yang sebenarnya. Ia mau cerita, tetapi di sisi lain takut dengan perubahan drastis yang pasti bakal terjadi dalam hubungan mereka.

Mungkin inilah hukuman lagi pada dirinya, hukuman atas kelemahan dirinya waktu dulu.

“Vero He, setelah sembuh nanti, ada sesuatu yang ingin aku beritahukan padamu.” Felix He membulatkan tekad untuk jujur ke Vero He bahwa dia merupakan ayah kandungnya begitu sembuh. Ia sudah melewatkan tiga puluh dua tahun untuk bicara ini. Sekarang, ia tidak mau menunda lagi.

Si anak bertanya tidak paham, “Papa ingin memberitahu apa?”

“Tunggulah nanti,” kata Felix He.

“Baik,” angguk si wanita tanpa bertanya lagi. Mereka berdua membincangkan beberapa topik lain, lalu Felix He menyudahi pembicaraan karen merasa makin lama makin lemas dan mengantuk. Vero He menyelimuti ayahnya, lalu bergegas keluar.

Ketika memasuki ruang tamu, Vero He tanpa sengaja bertatap-tatapan dengan Claire. Bertahun-tahun ini, nyonya di keluarganya ini selalu saja tidak pernah suka dengan dia. Tatapan yang Claire berikan padanya kali ini adalah tatapan kebencian yang merasuk hingga ke tulang-tulang.

Vero He mengernyitkan alis. Ketika mereka bersinggungan bahu, Claire berujar dengan sangat gusar: “Tiffany Song, ini rumahku. Jangan berani-beraninya kamu menghancurkan keluargaku, kalau tidak aku akan membuatmu mati segan hidup tidak mau!”

Novel Terkait

Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
5 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu