You Are My Soft Spot - Bab 212 Tanpa Kamu, Aku Hidup Segan Mati Tak Mau (1)

Makan satu porsi saja rasanya sangat tertekan. Meski ada Angela He yang berusaha mencairkan atmosfer, suasana tetap tidak bisa kembali rileks seperti dulu. Melihat si dia makannya sedikit, James He dalam hati memahami sesuatu. Dia kepribadiannya tidak santai, jadi pasti lagi berpikir macam-macam.

Selesai makan, Vero He langsung balik kamar. James He mengamati bayangan tubuhnya, lalu mendengar suara papanya, “James He, paling lama satu minggu, dia pasti akan meminta pindah.”

James He menarik pandangan. Yang dikatakan papa benar, kepulangan Nyonya He pasti akan disusul dengan keluarnya Vero He dari sini. Tetapi, di sisi lain, mereka juga tidak bisa mengusir Nyonya He hanya untuk membiarkan Vero He tetap betah.

“Pa, ini waktunya untuk bercerita yang sebenarnya.”

Felix He menggeleng, “Belum tiba waktunya, tunggu dulu lagi.”

“Tetapi, Pa……” balas James He cemas. Ia tidak kuasa melihat Vero He keluar dari sini. Ini rumahnya, ini dermaganya. Ditambah lagi, seiring kepulangan Taylor Shen dari luar negeri, Angelina Lian sudah mengingatkan akan terjadi banyak hal kedepannya. Kalau Vero He tidak berada di tempat yang bisa ia awasi, ia khawatir tidak bisa memberi pertolongan kalau terjadi sesuatu.

James He mengutarakan pertimbangannya, “Aku tahu suasana hatimu, tetapi ini belum saatnya. James He, tiga puluh tahun saja kamu bisa lalui kan? Aku tidak mau terlalu terburu-buru, nanti Vero He malah ketakutan dan pergi.”

“Mungkin kita yang berpikirnya terlalu negatif. Bukannya Vero He juga ingin mencari orangtua kandung dan keluarganya? Pa, kita mencoba saja belum. Kalau pun dia ketakutan dan pergi, aku sangat yakin aku bisa membawanya kembali.”

“James He, seumur hidup ini aku tidak pernah gegabah dalam melakukan apa pun. Setelah memikirkan sesuatu dengan matang, aku akan langsung ekskusi. Tetapi, khusus soal Vero He, aku terus ragu-ragu, terus maju mundur. Kamu pikir aku juga tidak ingin mengakuinya kembali? Aku juga mau, bahkan aku sering bermimpi ia memanggilku papa. Yang jadi masalah, tiga puluh dua tahun ini ia sudah mengalami banyak sekali kesulitan dan kepahitan. Itu semua karena kesalahanku. Aku merasa sangat bersalah pada mama kalian, aku tidak kuasa menjelaskan semuanya pada Vero He.” Tatapan Felix He penuh kepiluan. Masa lalu, masa lalu, yang tersisa sekarang hanya rasa sakit.

“Pa!” James He menatap ayahnya lekat. Tanpa disadari, ayah sudah mengalami penuaan yang drastis. Jidatnya sudah berkerut, rambutnya sudah jarang, bahkan bahunya yang kekar sudah agak bungkuk. Ia tahu ia tidak boleh memaksa lagi.

“Pergilah lihat dia.” Felix He bangkit berdiri dan pergi ke ruang buku entah untuk apa.

James He diam saja di sofa. Berselang beberapa saat, ia menelepon sebuah nomor dan memerintah datar: “Antar kotak perhiasan yang ada di laci pertama meja kerjaku kemari. Betul, sekarang, antar ke rumah kediaman keluarga He.”

Kalung yang ada di dalamnya sudah ia buat secara custom sejak lama. Dulu, ia pikir benda itu tidak akan berguna dan tidak akan dipakai. Sekarang, sekali pun Vero He tidak mau memakai, ia tetap ingin memberikan itu padanya.

Satu jam kemudian, asisten datang mengantarkan kotak perhiasan yang ia minta. James He membawa kotak itu naik. Saat tiba di depan kamar Vero He, lampu kamar itu masih menyala. Ia menunduk menatap kotak perhiasan, lalu mengetuk pintu.

Dari dalam terdengar suara wanita yang lembut, “Masuk.”

James He membuka pintu dan masuk. Pemandangan yang ia lihat adalah Vero He, yang memakai kacamata berbingkai hitam, tengah duduk di depan komputer yang menyala. Auranya baik-baik saja. Si wanita bertanya: “Kakak, kamu belum tidur?”

“Loh, harusnya aku yang bertanya padamu. Kamu jam segini masih sibuk urus pekerjaan?” James He berjalan menghampiri. Dengan setengah bersandar pada kursi, ia mengamati layar komputer. Pria itu mengernyitkan alis ketika melihat tulisan “Bright Asia Corp” di mesin pencari.

Vero He melepas kacamata dan meletakannya di meja. Ia mengangguk, “Iya. Ekonomi tahun ini sangat susah, ada beberapa mal yang sudah bangkrut. Aku harus menjadikan itu semua alarm biar bisa antisipasi dari awal.”

“Angka penjualan Parkway Plaza terus menunjukkan tren naik. Itu tandanya kerjamu sudah sangat baik, bahkan sejak dulu sudah melampaui ekspektasi kami,” tutur James He.

Vero He tersenyum tipis, “Aku masih ingin membuatnya lebih baik lagi. Oh iya, kami akhir tahun berencana membagikan kartu belanja pada karyawan. Kartu perusahaanmu alokasikan untuk kami boleh?”

James He mengamati mata sipit si wanita. Ia tidak tahan untuk tidak tertawa, “Jadi aku kemari untuk mengajakmu membicarakan bisnis?”

“Tidak, melainkan karena kakak lagi kangen padaku. Tetapi, mending kartu belanjanya kasih adik sendiri, ya kan?” Vero He bangkit berdiri. Ia merangkul lengan kakaknya, “Kakak, kakak, ayolah bilang iya. Nanti aku traktir kamu makan.”

James He terenyuh mendengar panggilan adiknya. Wanita ini sungguh pandai membujuk ya. Ia mengetuk-ngetuk jidat si adik, “Aku tidak mau membicarakan urusan bisnis di rumah. Nanti kamu datanglah ke kantorku.”

“Berarti ada harapan?” tanya Vero He bersemangat. Tidak ada urusan dengan jidat sakit, yang penting ia bisa mendapatkan kartu dari perusahaan-perusahan besar. Progam ini akan berperan besar dalam meningkatkan angka penjualan di tengah kondisi ekonomi yang kurang oke.

“Ada lah, sangat ada. Tetapi, kami dulu-dulu selalu membuatnya dalam bentuk kartu supermarket, misalnya para karyawan bisa menukarkannya dengan seplastik beras dan sebotol minyak untuk pakai sebulan. Ini kalau dalam bentuk kartu belanja, pakaian-pakaian di tempatmu kan mahal, nanti karyawan-karyawanku hanya bisa beli satu kemeja untuk Tahun Baru lagi?” ledek James He.

Vero He menatapnya lekat-lekat, “Parkway Plaza tidak hanya jual pakaian, tapi juga kosmetik dan lain-lain. Lagipula, He’s Corp itu kan perusahaan kelas atas. Para pekerjanya orang kerah putih, mana mungkin tidak bisa beli pakaian kami.”

James He terhibur dengan ledekannya. Melihat adiknya sangat lucu begini, tangannya gatal untuk mengelus-elus pipinya. Ia melakukan hal itu dengan selembut mungkin, “Pakai obat muka apa nih? Enak sekali sensasi mengelusnya.”

Vero He menyingkirkan tangannya dan mengusap pipinya sendiri yang merah. Ia berkeluh: “Wanita tua tiga puluh tahun, mau sebagus apa pun kulitnya, pasti masih akan kalah dengan Kakak Ipar Kecil…… Omong-omong soal dia, kamu mau sembunyikan sampai kapan? Waktu itu saat kita makan bareng aku kira aku bisa bertemu dengannya, ternyata tidak sama sekali.”

“Tunggu kamu menikah dulu. Nanti aku pasti akan memperkenalkannya padamu,” jawab sang kakak.

James He memang sudah menikah, namun pernikahannya bersifat tersembunyi. Para anggota keluarga bahkan tidak tahu siapa istrinya. Kalau lagi tidak di rumah ini, James He pasti sedang balik ke sana.

Vero He terus menebak kakaknya itu memperistri asistennya sendiri, Jessy Lan. Tetapi, ketika ia memerhatikan mereka berdua, ia tidak merasa ada kecanggungan apa-apa. Entah drama apa yang sedang dimainkan kakak……

“Jangan hanya beri harapan palsu ya kamu. Aku sangat menanti nih.”

James He tidak menanggapi. Ia mengamati setiap sudut kamar Vero He. Kamar ini ia siapkan sendiri berdasarkan kesukaan Vero He dulu, bahkan material-materialnya ia seleksi sendiri. Ketika baru kelar ditata, ia menyadari ada yang aneh. Untung, begitu Vero He masuk, kamar itu langsung berasa nyaman.

James He mengelus kantong plastik yang ditenteng. Ia baru ingat tujuan utamanya kemari. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak perhiasan pink dari dalam plastik, “Buka, suka atau tidak?”

Vero He tidak langsung mengambil dan hanya mengamati. Ia bertanya heran: “Hari ini memang hari apa? Kok tiba-tiba kasih hadiah?”

“Buka dan lihatlah isinya.” James He menarik tangan Vero He dan meletakkan barang pemberian di telapak tangannya. Vero He mendongak menatapnya dengan ragu. Wanita itu lalu membuka kotak dengan perlahan. Isinya adalah sebuah kalung liontin yang mutiaranya berkilauan. Ia menarik nafas panjang saking kagum.

Bagi orang lain, ini mungkin kalung liontin biasa. Tetapi, bagi seorang Vero He yang merupakan pengusaha mal fashion, ia tahu harga liontin ini angkanya banyak sekali. Ia menolak, “Kakak, hadiah ini mewah sekali. Kamu lebih baik berikan ke Kakak Ipar Kecil.”

“Ia tidak suka memakainya. Kamu suka kan?” James He tersenyum tipis. Adiknya sangat cocok memakai kalung liontin. Di mata orang biasa ini barang yang tidak spesial, tetapi di mata orang yang paham ini barang yang sangat berkelas.

Yang diberi hadiah mengangguk senang, “Iya, suka. Cantik sekali.”

“Sini aku pasangkan.” James He mengambil kalung itu dan menyuruh Vero He miring sedikit. Ia melingkarkan si kalung ke leher si wanita. Kalung agak dingin, jadi jari-jarinya juga ikut dingin.

Vero He diam saja. Setelah James He kelar memasangkan, ia menghadap James He lagi dan bertanya: “Cocok tidak?”

Si pria mengangguk, “Jelas cocok. Oh iya, kalung ini punya satu fitur rahasia.” James He mengambil liontin yang menempel di leher depan Vero He. Ia menyuruh: “Tekan ini.”

Vero He menatapnya dengan penuh tanda tanya. Wanita itu mengikuti apa yang ia suruh, lalu ponsel James He pun berdering. Matanya membelalak, “Unik sekali, ini fitur apa?”

James He merogol ponsel dari kantong. Di layar, muncul peta yang ada tanda merahnya seolah menunjukkan lokasi sesuatu. Ia menjelaskan: “Ini fitur GPS, fitur pelacak lokasi. Setiap kamu menekannya, sistem akan membuat laporan pada polisi dan padaku. Jadi, kalau kamu mengalami apa-apa, tidak peduli di mana, kami pasti akan bisa mencarimu.”

Vero He tercengang. Matanya lalu perlahan memerah, “Kakak……”

Si kakak tersenyum tipis dan meledek: “Dasar, kalau terharu sini beri aku pelukan.”

Tanpa berpikir panjang, si adik langsung memeluk kakaknya seerat mungkin. Ia menyandarkan kepalanya di dada si kakak. Ia tidak terlalu peduli dengan bau nafas James He yang ada aroma tobacco-nya. Vero He berucap penuh syukur, “Kakak, terima kasih atas hadiahmu. Aku sangat suka.”

James He menepuk-nepuk bahu wanita yang memeluknya. Orang ini, diberi perlakuan baik sedikit langsung terharu sampai begini rupa.

……

Angela He tiba di depan kamar mamanya. Ia membuka pintu pelan-pelan. Melihat sang anak datang, Nyonya He mendengus kesal dan memiringkan badan seolah tidak ingin melihatnya. Angela He berdiri saja di depan pintu, namun akhirnya tetap memutuskan melangkah masuk. Ia berjongkok di hadapan mama dan mendongak: “Mama, kamu ingat janjimu sebelum kita balik kemari?”

“Aku pokoknya tidak senang dengan dia. Kita pergi lima tahun, kamu lihat sendiri kan bagaimana kedudukan kita di rumah ini sekarang?” Nyonya He sangat kesal soal ini. Ia pikir kepergiannya akan membuat Felix He rindu dan meneleponnya biar balik. Ia sendiri bukan gadis yang kekanak-kanakan dan mudah ngambek dengan kekasih lagi. Kalau Felix He bisa membujuk baik-baik, ia tidak menutup kemungkinan untuk menerima Vero He.

Tetapi selama lima tahun ini, James He tidak menelepon barang sekali. Ia akhirnya berinisatif untuk balik sendiri. Sudah bersuami istri tiga puluh tahun, masa si pria tidak paham juga hatinya tetap lembut meski kata-katanya keras?

“Mama, papa merasa bersalah pada Kakak Vero He. Ia ingin mengompensasinya dengan segala cara. Ini harus kamu pahami dan toleransi. Saat kamu marah waktu itu, kamu mengucapkan banyak sekali kata kasar. Papa seorang pria, ia pasti merasa harga dirinya terluka. Sekarang, saat kita kembali, ia tidak mengusir kita sama sekali. Bukankah itu kode positif untukmu?” ujar Angela He menenangkan.

“Itu hanya tinggal tunggu waktu saja. Pembicaraan di meja makan tadi kamu dengar kan? Masa kamu anggap itu sebagai bicara baik-baik?” protes Nyonya He.

“Tidak peduli bagaimana, Kakak Vero He adalah putri kandung papa. Kalau mama mau berbaikan dengan papa, mama harus bisa menerima Kakak Vero He. Setelah kamu menunjukkan sikap baik pada Vero He, papa pasti akan memaafkanmu.” Angela He bangkit berdiri dan mengenggam tangannya: “Mama, Kakak James He saja bisa kamu terima dan anggap anak kandung, mengapa Kakak Vero He diperlakukan berbeda?”

Nyonya He gusar, “Kamu memang paham apa? Bukankah dia penyebab pernikahanmu yang gagal dan keguguranmu? Mama ini kasihan padamu, aku ingin mencari keadilan untukmu.”

Angela He menunduk. Ia membalas pelan, “Itu semua urusan masa lalu. Manusia harus belajar menatap ke depan, bukan terus menoleh ke belakang. Lagipula, waktu itu juga dia tidak salah. Akunya saja yang keras kepala.”

“Angela He, kamu itu terlalu baik hati jadi orang-orang pada menjahatimu. Aku pokoknya tidak senang dengan dia.” Nyonya He menatap si putri lekat-lekat. Tujuh tahun sudah berlalu, namun ia sendiri belum bisa melangkah dari masa lalu.

“Mama, Kakak Vero He tidak patut disalahkan atas itu semua. Itu semua bukan dia yang lakukan kok. Waktu itu, saat Taylor Shen tidak bersikap hangat dan ramah sedikit pun padaku, aku terus memaksakan diri untuk jadi istrinya. Sekarang, ketika memikirkan itu, aku saja merasa diriku terlalu bodoh dan keras kepala. Aku sudah mengartikan ketertarikanku pada pesonanya saat pandangan pertama sebagai cinta. Kalau kamu benar-benar kasihan padaku, baikanlah pada papa. Dengan begitu, beban pikiranku akan jadi jauh lebih ringan,” kata Angela He.

“Angela He, mengapa kamu begini? Kok kamu rela merendahkan diri untuk membela orang lain?” Nyonya He memeluk anaknya dengan iba.

Si anak menggeleng, “Aku tidak merendahkan diri. Mama, kamu tahu tidak, aku dari dulu selalu ingin punya kakak perempuan? Meski ada banyak kesalahpahaman dan luka antara aku dan Kakak Vero He, aku tetap merasa senang, senang bisa punya kakak perempuan seperti dia. Janji padaku, kamu tidak akan bertengkar soal Vero He pada papa lagi. Oke?”

Nyonya He memenjamkan mata. Ia memahami sikap baik hati anaknya. Anak ini sudah bisa melepas masa lalunya. Ia mengangguk kencang, “Baiklah. Mama janji akan bersikap baik pada Vero He.”

Angela He tersenyum lebar dan mengecum bibir mamanya penuh semangat: “Terima kasih mama, kamu mama paling hebat sedunia!”

Nyonya He tersenyum sambil mengelus rambut Angela He, “Kamu ya, memang pandai bikin aku senang.”

……

Keesokan hari, Vero He berjalan masuk ruang kerja dengan wajah gembira. Lantai tempat ruang kerjanya berada dikelilingi jendela-jendela, jadi cahaya matahari masuk dari segala sisi. Dengan modifikasi tertentu, cahaya yang ada di dalam ruangan cukup namun tetap tidak membuat silau. Apa ini yang dinamakan bangunan post-modern?

Melihat Vero He masuk ruang kerja, Erin berlepas ke sana sambil menenteng buku kerja. Dengan penuh senyum, si asisten menyambut: “Nona He, hari ini kamu beda sekali? Tidak berlebihan kalau aku bilang auramu bagai udara segar pagi hari.”

“Masa sebeda itu?” tanya Vero He heran.

“Sungguh.” Elin duduk dan menatapnya. Ia akhirnya sadar apa yang membuat bosnya terlihat beda. Di leher Vero He kini terpasang seuntai kalung. Ia ingat bosnya itu sebelumnya tidak pernah pakai kalung. Erin meledek dengan lidah terjulur: “Eh, ini siapa yang kasih? Kelihatannya mahal tuh.”

“Gila, matamu tajam sekali.” Vero He tidak tertarik bercanda lagi, “Sudah, jangan banyak bicara. Laporkan jadwal kerja hari ini.”

Novel Terkait

Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu