You Are My Soft Spot - Bab 225 Menyindir Aku Sudah Tua Ya? (2)

“Kamu kelelahan ya? Mau istirahat sebentar tidak?” Taylor Shen melepaskan tangannya dari jidat Vero He. Ia bisa melihat wajah si wanita sangat gelisah, namun tidak tahu apa yang digelisahkannya.

Vero He mundur dan kembali duduk di kursi. Untuk kesekian kalinya, ia melihat lagi rencana acara yang terpampang di meja. Rencana itu sangat lengkap, bahkan gambar desain panggungnya pun ada. Dua hari ini ia sudah pergi beberapa kali ke tempat acara dan tidak menemukan apa-apa yang tidak beres. Ia sadar ia sudah berpikir terlalu banyak, namun tetap saja hatinya tidak bisa tenang. Semakin dekat ia dengan waktu acara dimulai, maka ia makin tidak bisa berpikir rileks.

Omong-omong, tadi pagi pun ia terbangun karena mimpi buruk. Kala terbangun itu, tanpa mengecek jam, ia langsung memanggil Erin dan menyuruh asistennya itu menyuruh orang-orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pesta mengecek lokasi acara sekali lagi.

“Aku tidak apa-apa. Hari ini aku tidak bisa menemanimu sarapan, kamu makan sendiri saja. Seusai makan, langsung berangkat kerja sana.” Vero He memijat-mijat pelipis. Karena kurang tidur, wajah si wanita pucat dan kantong matanya tebal.

Melihat gerak-gerik Vero He yang begini, mana bisa Taylor Shen makan dan pergi kerja dengan tenang? Ia berjalan ke belakang meja kerja Vero He dan menggantikan tangan si wanita dengan tangannya. Ia memijit pelan pelipis wanita itu.

Vero He memejamkan mata. Kekuatan pijitan Taylor Shen sangat pas, tidak kencang namun juga tidak pelan. Semakin dipijat, ia semakin merasa tenang. Di bawah pijiatan Taylor Shen, wanita itu tanpa disangka-sangka tertidur.

Mendengar suara nafas si wanita yang stabil. Taylor Shen menunduk dan menyadari Vero He sudah tidur. Ia pun kaget, mudah sekali ya dipijit begini langsung tidur? Ia mengamati bulu mata Vero He yang panjang. Dua pasang bulu mata itu panjang, namun tetap tidak cukup panjang untuk menutupi kantong matanya yang hitam. Beberapa hari ini perilaku Vero He agak ganjil, makin ke sini dia makin gelisah. Dengan kondisi gelisah begini, kualitas tidurnya sangat patut dipertanyakan.

Taylor Shen terus memijat Vero He hingga beberapa menit lagi. Ketika si wanita sudah lebih pulas lagi, ia berjalan ke sisi kursi kerjanya dan membopong tubuh wanita itu.

Tiba-tiba tubuhnya digerakkan, Vero He agak kaget. Taylor Shen diam tanpa bergerak biar wanita itu tidak terbangun. Berselang beberapa saat, ketika nafas Vero He sudah kembali lelap, ia membuang nafas lega dan membawanya ke kursi rebah. Si pria membaringkan si wanita di sana.

Vero He bergerak-gerak sedikit lagi, lalu kembali tenang.

Taylor Shen memasangkan selimut tipis di tubuh Vero He, lalu duduk di sofa dan mengamatinya lekat-lekat. Wajah Vero He kurus sekali, bahkan level ketirusannya agak berlebihan dari yang normal. Tekanan yang dihadapi wanita ini sangat besar, sayang sekali ia sendiri tidak tahu bagaimana harus membantunya.

Beberapa menit kemudian, Taylor Shen bangkit berdiri dan bergegas ke meja kerja si wanita. Ia melepas kabel telepon dan mematikan ponselnya, ini jelas biar tidurnya tidak terganggu bebunyian apa pun. Taylor Shen lalu mengambil kertas memo, menuliskan dua kalimat, dan menaruhnya di bawah kotak makan.

Sebelum pergi, Taylor Shen menghampiri kursi rebah lagi dan menatap Vero He yang tengah tidur lelap. Dalam hatinya tiba-tiba muncul sebuah dorongan. Ia berjongkok dan mendekatnya wajahnya ke wajah si wanita.

Bibir Taylor Shen menyentuh bibir Vero He. Ia membasahi kecupan singkatnya dengan sedikit air liur. Ciuman singkat ini jelas tidak bisa memenuhi dorongan yang barusan muncul, tetapi kalau ia cium dengan agresif nanti wanita itu malah bangun……

Taylor Shen bangkit berdiri lagi dan berjalan keluar. Ketika melintas ruang asisten, ia memerintah: “CEO He sedang tidur, kalau tidak ada urusan mendadak jangan ganggu dia.”

“Baik, CEO Shen.” Ada dua asisten yang berjaga di sana. Satu asisten pria, satu lagi asisten wanita. Saat ini yang ada di sana hanya asisten pria. Bawahan itu mengamati bayangan tubuh Taylor Shen yang menjauh, lalu menoleh ke pintu ruang kerja bosnya yang tertutup rapat. CEO He sedang tidur, barusan apa yang mereka lakukan ya di dalam? Ah, CEO He sungguh beruntung bisa punya kekasih yang perhatian.

Vero He baru bangun dua jam kemudian. Ketika mendudukkan diri dan sadar ia masih di ruang kerjanya sendiri, ia membuang nafas lega. Wanita itu bangkit berdiri dan turun dari kursi. Pelipisnya yang daritadi pegal sekarang sudah tidak pegali lagi, untunglah.

Vero He mengenakan sepatu dan berjalan ke meja kerja. Ia melihat ada bungkus makanan di sana dengan sebuah kertas memo di bawahnya. Si wanita membuka kertas memo dan melihat tulisan yang tembus sampai ke belakang, “Setelah bangun habiskan sarapan ya! Aku ke kantor dulu, sampai jumpa!”

Melihat bungkus makanan terpampang di depan, Vero He yang sebenarnya tidak begitu nafsu makan jadi ingin makan. Ia berjalan ke meja kaca dan membuka kotak makan itu. Bau harum langung menyeruak dari dalam sampai perut si wanita berbunyi. Ia mencapit sepotong pangsit udang dan mengunyahnya. Kulit pangsit itu sangat lembut, rasa saus lemon di dalamnya pun sangat cocok disandingkan dengan udang.

Sekotak pangsit udang dengan cepat habis tanpa sisa, Vero He bahkan sampai menjilat-jilat sumpitnya yang masih ada bekas saus lemonnya. Omong-omong, rasa pangsit udang hari ini agak beda dari yang dibuat Bibi Lan ya?

Vero He tidak berpikir panjang lagi, mungkin rumah Taylor Shen ganti koki. Kebetulan, saat sarapan kemarin, ia memang baru bilang ke si pria ingin makan pangsit udang.

Si wanita merapikan meja seperti sedia kala, lalu kembali ke meja kerja. Saat mengambil ponsel dari sana, ia baru sadar ponselnya dalam keadaan mati. Sudut matanya juga dapat menangkap kabel telepon yang dicopot, pantas saja saat tidur tadi tidak ada gangguan apa-apa.

Vero He memasang kembali kabel telepon, lalu menyalakan ponsel. Ia membalas beberapa panggilan dan pesan tidak terjawab, kemudian kembali sibuk bekerja. Entah karena tadi tidur atau habis makan sesuatu yang diidamkan, Vero He kini penuh semangat. Rasa lelah karena semalam kurang tidur dan terbangun oleh mimpi buruk sudah lenyap sepenuhnya.

Pukul lima sore, ponsel dia berdering. Melihat nama penelepon, ia teringat tadi pagi Taylor Shen baru saja datang ke ruang kerjanya. Ia sekarang berada di tengah dua kapal dengan dua pria berbeda, haduh……

Vero He mengacak-acak rambutnya sendiri, lalu menekan tombol angkat, “Halo?”

“Tuan putri yang terhormat, aku mendapat perintah dari atasan untuk menemanimu ganti pakaian. Aku sudah tiba di bawah.” Dari seberang terdengar suara meledek seorang pria. Beberpapa hari ini Fabio Jin tugas dinas ke luar kota, hari ini ia sengaja balik buat ikut pesta kostum.

Pesta itu adalah momen untuk membuktikan kerja keras Vero He dua tahun ini. Tidak peduli bagaimana, ia harus hadir di sisinya.

Vero He tersenyum tipis. Ia mengambil pulpen untuk menandatangi berrkas, lalu menutupnya. Ia lalu berujar: “Aku segera turun.”

Sambil membawa tas, Vero He berjalan keluar ruang kerja dengan langkah gembira. Ia pergi ke parkiran bawah tanah dengan lift. Jelas sekali sosok yang menungguinya persis di depan lift adalah Fabio He. Pria itu mengenakan kemeja, celana panjang, dan sebuah mantel coklat. Kelihatannya sangat biasa, tetapi ketika mendarat di tubuhnya ada sensasi berbeda yang dirasakan semua yang melihat. Rasanya itu nyaman dan sangat merilekskan mata.

Fabio Jin menghampir Vero He dan membawanya ke mobil. Ia membukakan pintu sambil memberikan gestur hormat, “Tuan putri yang terhormat, silahkan masuk mobil!”

Vero He masuk mobil sambil tersenyum. Pintu mobil perlahan duitutup, lalu Fabio Jin memutari mobil dan masuk ke kursi supir. Vero He mengenakan sabuk pengaman. Ia sebenarnya menganggap pria ini sebagai teman baik, bukan sebagai pria yang mendekatinya. Meski begtu, ia dalam hati sadar Fabio Jin mendekatinya jelas bukan untuk jadi teman saja.

Semakin dewasanya umur, setiap orang pasti sadar ada hal-hal yang memang ditafsirkan berbeda oleh dua orang. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya bersikap baik pada Fabio Jin sambil tetap jaga jarak.

Mobil dengan cepat melaju keluar parkiran bawah tanah. Fabio Jin menoleh ke Vero He, kelihatannya suasana dia hari ini cukup baik. Ia bertanya perhatian, “Sedang memikirkan apa?”

Vero He membalas tatapannya dan meledek: “Apa pun yang aku pikirkan, aku tidak akan cerita padamu.”

Ketika seorang pria menanyakan apa yang sedang seorang wanita pikirkan, pria itu sebenarnya tengah menunjukkan bahwa ia ingin mengenali si wanita dengan mendalam. Sayang, Vero He tidak membalasnya dengan baik dan malah menutup diri.

Dengan cemberut, Fabio Jin bertanya, “Takut sekali kalau aku tahu kamu sedang memikirkan apa?”

“Menyetirlah baik-baik, aku tidak ingin masuk surga saat ini juga,” ledek Vero He untuk kedua kalinya. Ini cara dia buat mengalihkan pembicaraan.

Fabio Jin menyetir mobil dengan satu tangan, sementara satu tangannya lagi merogoh kantong mantel. Ia mengeluarkan sebuah kotak bagus dan menyodorkannya pada si wanita, “Kado, bukalah.”

Vero He menatap kotak merah bir yang disodorkan padanya. Ia bertanya ragu tanpa mengulurkan tangan, “Mengapa tiba-tiba kasih aku kado?”

“Hari ini hari spesial. Berhubung spesial, maka harus dirayakan. Demi merayakan, aku berikan kamu kado. Cepat ambil, pegal nih tanganku,” desak Fabio Jin.

Vero He menerimanya sambil mengantisipasi: “Bukan cincin dan kalung kan? Kalau dua itu, aku tidak mau terima.”

“Kamu berpikirnya ketinggian. Cepat buka dan lihat isinya,” bujuk Fabio Jin.

Dengan ragu-ragu, Vero He membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah jam tangan merek terkenal. Pada bagian tengah jam, ada beberapa permata pink yang berkilauan.

“Mewah sekali, aku tidak bersedia terima!” Si wanita buru-buru menutup kotak itu dan mengembalikannya pada si pria.

Fabio Jin membujuk: “Vero He, terimalah. Aku dari dulu tidak pernah membelikan kado sendiri untuk orang. Waktu beli kadonya, aku bertanya pada sekretarisku wanita suka apa. Ia bilang wanita suka perhiasan, jadi ia menyarankanku belikan itu. Aku entah mengapa merasa cincin dan gelang tidak cocok, jadi aku pada akhirnya memilih jam.”

Vero He gigit-gigit bibir. Sebenarnya kado jam ada maksud implisitnya, yakni memberikan seluruh waktu si pemberi kado pada si penerima. Entah apakah Fabio Jin juga punya maksud ini. Ia menolak lagi: “Jam aku tidak bisa terima. Aku suka kotak warna merah bir ini, aku terima kotaknya ya.”

Si wanita akhirnya membuka kotak, mengambil jamnya, dan memasukkan jam itu ke kantong mantel si pria. Yang ada di tangan si penerima kado kini hanya kotak saja.

Fabio Jin menatap Vero He dengan kecewa. Sepanjang ia memberikan kado pada orang lain, ia belum pernah menemui orang yang hanya terima kotak kadonya saja. Ia protes, “Vero He, kamu harus mempertimbangkan kehormatanku sebagai pria loh.”

Vero He membuka tas, lalu memasukkan kotak itu ke dalam. Ia tersenyum tipis: “Kado melambangkan perhatian. Aku tidak mengembalikan sepenuhnya padamu kok, buktinya ini kotaknya aku ambil.”

Si pria membuang nafas panjang. Sepertinya ia lain kali tidak boleh memberi kado mewah lagi……

Mobil berhenti di depan sebuah klub privat. Baru turun dari mobil, Vero He langsung melihat seseorang dengan pakaian aneh berjalan keluar. Ini memang pusat dandan cosplay paling terkenal di Kota Tong.

Fabio Jin dan Vero He masuk bareng-bareng. Mereka segera disambut seorang pria berambut ungu. Pria itu memeluk Fabio Jin dengan sangat akrab, “Fabio Jin, sudah lama tidak berjumpa. Ini kekasihmu?”

Si wanita baru ingin membantah, si pria sudah menahan tangannya. Fabio Jin mengedip sebelah mata pada wanita di sebelahnya, lalu menjawab: “Bisa dibilang begitu. Vero He, ini temanku Joe.”

Keduanya pun saling berkenalan. Fabio Jin lalu bertanya: “Pakaian yang aku pesan setengah bulan lalu sudah datang kan?”

“Sudah kok, sudah. Aku mana berani terlambat sih kalau kamu yang minta? Pakaian itu dua hari lalu dikirimkan kemari.” Joe mengajak mereka berdua berjalan ke sebuah ruangan. Ini ruang kerja Joe, di mejanya ada sebuah kotak penuh hiasan. Fabio Jin melepaskan tangan Vero He, menghampiri kotak, dan membukanya. Di dalamnya ada sebuah gaun putih yang sangat indah.

Pria itu memberikan kotak barusan ke asisten Joe, lalu menyuruh: “Bantu dia pakai.”

Seperti seorang anak yang diatur orangtuanya, Vero He hanya bisa ikut asisten ke ruang ganti. Sementara itu, Fabio Jin dan Joe berbincang di depan. Joe meledek: “Belum diputuskan?”

Fabio Jin hanya tersenyum kecut.

Joe memahami maksud senyum kecut temannya, “Tidak disangka ada wanita yang sulit direbut hatinya oleh kamu. Sepertinya mendapatkan dia tidak semudah yang aku bayangkan ya. Dia cantik sih memang, semangat ya kamu!”

Fabio Jin hanya tersenyum tanpa bicara apa-apa. Beberapa menit kemudian, Vero He keluar dari ruang ganti dengan sudah mengenakan gaun putih. Di bagian bawah gaun, ada garis-garis hiasan yang menarik perhatian mata. Wanita itu berdiri diam dengan anggun, nafas Fabio Jin tertahan karena dia......

Novel Terkait

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
My Japanese Girlfriend

My Japanese Girlfriend

Keira
Percintaan
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu