You Are My Soft Spot - Bab 166 Nanti Setelah Aku Kelar Mandi Baru Kamu Masuk (1)

Tiffany Song bergegas keluar kantor setelah jam pulang kerja tiba. Ia tiba-tiba teringat Taylor Shen malam ini mau ke rumah kediaman keluarga Shen. Ia tidak mau pulang secepat ini dan berduaan di Sunshine City dengan Angelina Lian. Tiffany Song pun memutuskan pergi ke sebuah toko sup paling terkenal di kota. Ia membeli sup ayam hitam dan sup iga, lalu pergi ke rumah sakit.

Audrey Feng tadi sore meneleponnya dan mengabarkan pemulihan Callista Dong berjalan cukup lancar. Ia kini sudah boleh makan. Sambil menenteng plastik sup, ia pergi ke Departemen Pasien. Dari luar jendela ruang pasien, Tiffany Song bisa melihat Benjamin Song duduk di dalam. Raut wajah mereka berdua tidak begitu bagus.

Tiffany Song agak ragu-ragu untuk masuk, tetapi akhirnya mengetuk pintu dan berjalan ke dalam.

Kedua orang langsung menengok. Ekspresi mereka langsung berubah secara tidak natural begitu menyadari Tiffany Song lah yang masuk. Benjamin Song bangkit berdiri dan pamit pada Callista Dong: “Istirahatlah yang cukup supaya pemulihanmu bisa lancar. Kalau ada yang ingin dibicarakan, nanti kita bicarakan setelah kamu sudah sepenuhnya pulih. Aku pamit dulu ya.”

Benjamin Song berbalik badan dan berjalan keluar. Ketika berpapasan dengan Tiffany Song langkah kakinya sempat terhenti sebentar, tetapi ia langsung melanjutkannya tanpa menyapanya sama sekali.

Tiffany Song berdiri diam sambil memegangi plastik supnya. Ia mengamati bayangan tubuh Benjamin Song yang menjauh. Begitu pria itu keluar dari ruang pasien, ia baru mengalihkan pandangannya ke Callista Dong. Wanita itu dengan susah payah tengah berusaha berbaring. Kelihatan jelas ia ingin menghindar.

Hati Tiffany Song jadi pilu. Ia menaruh plastik sup di kepala ranjang, lalu membantu Callista Dong berbaring. Tubuh Callista Dong langsung kaku, tetapi ia tidak melepaskan tangan Tiffany Song. Setelah berhasil berbaring, ia memejamkan mata dan berkata: “Aku lelah, ingin istirahat. Pergilah kamu.”

Tiffany Song mengambil kursi, menaruhnya di sisi ranjang, dan duduk: “Ya sudah, tidur saja tidak apa-apa. Aku sebentar lagi pergi.”

Callista Dong tidak menjawab lagi. Tiffany Song mengamati wajah pucat wanita itu. Saking pucatnya, ia bisa melihat urat dan pembuluh darah di bawah kulitnya. Ia terlihat sangat lemah. Ia tidak hanya habis terluka secara fisik, tetapi juga terluka secara emosional karena mengetahui anak kandungnya sudah mati.

Tiffany Song sedih. Ia sungguh tidak tahu bagaimana Callista Dong bisa tahu ia bukan anak kandungnya. Namun, apa yang dikatakan Taylor Shen benar. Rahasia ini tidak bisa selamanya disembunyikan darinya, cepat atau lambat ia pasti akan tahu.

Beberapa saat kemudian, nafas Callista Dong sudah stabil. Ia pasti sudah terlelap.

Tiffany Song menatapnya lekat-lekat dengan iba. Ia mengenggam tangannya dan berujar pelan: “Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kenyataan apa pun dari kamu. Begitu mengetahui soal ini, aku juga sangat sedih. Aku sudah berpikir baik-baik beberapa hari ini, dan kini aku siap untuk mengakui bahwa aku adalah anak sebatang kara yang tidak diinginkan siapa-siapa. Terima kasih pada nenek karena sudah mengadopsiku dari panti asuhan, terima kasih juga padamu karena sudah memberikanku segala yang baik-baik selama aku tumbuh besar. Aku sangat berharap aku anak kandungmu, tetapi begitu membaca laporan hasil tes DNA harapan terakhirku inin bahkan runtuh. Aku saja tidak bisa menerimanya, apalagi kamu. Aku takut kamu tidak kuat dengan semua kenyataan ini. Aku bahkan berpikir ingin merahasiakan ini sampai aku mati supaya kamu terus menganggapku anak kandung.”

Air mata Tiffany Song menetes. Tidak ada yang tahu seberapa kecewanya ia begitu tahu ia anak sebatang kara yang tidak punya ayah dan ibu. Mengapa mereka meninggalkannya? Ia saat itu masih sangat kecil, kok mereka setega itu?

“Tetapi pada akhirnya kamu juga tahu soal ini. Maaf, mungkin kita memang tidak ditakdirkan jadi ibu dan anak. Kalau kamu tidak mau bertemu denganku lagi, aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu. Terima kasih atas kasih sayangmu selama ini, aku tidak akan pernah melupakannya.” Tiffany Song menaruh kembali tangan Callista Dong di bawah selimut. Ia lalu bangkit berdiri, mengambil tasnya, dan berjalan keluar dari ruang pasien.

Air mata tidak berhenti mengalir keluar dari sepasang mata Tiffany Song. Callista Dong diam-diam membuka mata dan mengamati bayangan tubuh Tiffany Song yang menjauh. Ia perlahan-lahan mengepalkan tangannya, tetapi tidak meminta orang yang ia kira anak kandungnya itu berhenti.

Nafas Tiffany Song terengah-engah karena berjalan keluar dari Departemen Pasien dengan sangat cepat. Mulai hari ini, ia kembali jadi orang sebatang kara lagi.

Tatapannya buram karena air mata. Tidak sengaja ia menabrak seseorang. Orang itu ditabrak oleh Tiffany Song sampai kehilangan keseimbangan, lalu dipapah berdiri oleh seorang pria tua di sebelahnya. Si pria tua bertanya khawatir: “Tuan Muda, kamu tidak apa-apa kan?”

Karry Lian mendongak. Tubuhnya sakit sekali ditubruk sekencang itu sampai keluar keringat dingin. Melihat wanita yang sama-sama jatuh seperti dirinya barusan, ia bertanya bingung: “Tiffany Song, kok kamu ada di sini?”

Tiffany Song bangkit berdiri. Baru mau minta maaf, ia mendengar suara pria yang sangat familiar. Dari balik air matanya, ia bisa mengenali pria di hadapannya adalah Karry Lian. Tiffany Song buru-buru mengusap air mata, “Eh, Karry Lian ya.”

Karry Lian menegakkan punggung dan bahu. Ia tidak mau Tiffany Song melihat kenaehan dalam dirinya. Ia sekuat tenaga memasang wajah tersenyum dan menjawab halus: “Iya, aku lagi mau menjenguk seorang pasien. Kamu?”

“Aku juga kemari untuk jenguk orang. Barusan kita tabrakan tidak kenapa-napa kan kamu?” Tiffany Song entah mengapa merasa senyuman Karry Lian agak canggung. Sepertinya ada yang tidak beres dengan dirinya saat ini.

“Tidak kok. Kamu sendiri juga tidak apa-apa kan?” Karry Lian berusaha keras menahan nyeri yang menjalar dari punggungnya ke seluruh tubuh.

“Tidak apa-apa. Baiklah, aku tidak mau mengganggu waktumu lagi. Aku jalan dulu ya.”

“Baik.” Tatapan Karry Lian berubah datar. Ia ingin sekali memegang tangan Tiffany Song, tetapi ia tidak boleh membiarkan wanita itu melihat lukanya. Ia jadinya hanya bisa mengamati bayangan tubuh Tiffany Song yang berjalan keluar dari rumah sakit saja.

Paman Bai berdiri di sebelah Karry Lian. Melihat Tuan Muda-nya mengamati wanita barusan tanpa berkedip, ia bertanya: “Tuan Muda, itu wanita yang kakek jadikan alat untuk mengancammu kan? Aku lihat dia biasa-biasa saja kok, kamu suka yang model gitu memangnya?”

Karry Lian menarik pandangannya dan berpesan dingin, “Paman Bai, nanti pulang jangan cerita soal ini ke kakek.”

“Aku saja bukan wanita yang cerewet…… Yuk jalan, Tuan Muda, kalau tidak nanti lukamu infeksi bisa ribet urusannya.” Paman Bai memapah lengan Karry Lian. Melihat wajahnya yang pucat dan jidatnya yang berkeringat dingin, ia bisa membaca seberapa sakitnya tabrakan yang ia alami dengan Tiffany Song barusan. Hebat sekali dia bisa menahan sakitnya ini tanpa merintih sedikit pun.

Sepertinya semua pria, tidak peduli berapa usianya, akan selalu berusaha terlihat seperti pahlawan yang gagah berani di hadapan wanita yang disukainya. Mereka tidak mau sisi lemahnya terlihat sedikit pun.

“Yuk.” Karry Lian berjalan perlahan sambil dipapah Paman Bai.

……

Tiffany Song jalan-jalan di trotoar tanpa tujuan. Meski lapar sekali sampai perutnya bunyi, ia tidak nafsu sama sekali untuk makan. Tiffany Song tiba-tiba merasa ia sangat-sangat kesepian. Ia lalu merogoh ponsel dan membuka nomor Taylor Shen. Setelah ragu-ragu sejenak, ia memutuskan menyimpan kembali ponselnya ke kantong.

Taylor Shen sedang ada di rumah kediaman keluarga Shen. Kalau ia meneleponnya, itu sama saja dengan mengganggunya.

Tiffany Song menarik nafas panjang dan berjalan perlahan ke depan. Pemandangan malam sangat indah. Di pohon sepanjang trotoar digantung lampu-lampu menyerupai kristal saju. Melihat ini semua membuatnya merasa seperti berada di tengah dataran salju.

Tiffany Song menyimpan kedua tangannya di kantong. Temperatur udara semakin hari semakin dingin. Ia tiba-tiba bersin dan itu memunculkan uap udara dingin di depan matanya. Musim dingin benar-benar sudah tiba.

Tiffany Song berjalan melintasi jembatan penyeberangan orang. Ia tiba-tiba mendengar ada suara orang yang memanggilnya. Begitu menoleh ke arah sumber suara, ia melihat seorang pria berpakaian mantel panjang bermerek impor berjalan mendekat sambil menenteng tas kantor. Itu Felix He. Posturnya pada dasarnya sudah tinggi, dan mengenakan mantel panjang membuatnya terlihat semakin tinggi. Felix He terlihat lebih awet muda dengan pakaian begini. Tiffany Song refleks menyapa, “Tuan He, halo!”

Felix He tersenyum ramah: “Aku pikir aku salah lihat orang, ternyata memang benar kamu. Kok kamu sendirian jalan di luar begini?”

Tiffany Song melihat ke sekelilingnya. Mungkin orang yang berjalan-jalan sudah sedikit karena hari sudah cukup malam. Ia menjawab iseng: “Sumpek di ruang kerja, jadi ini keluar sebentar untuk keliling-keliling dan menghirup udara segar. Kamu sendiri, Hakim Besar?”

Senyum Felix He makin lebar. Mendengar Tiffany Song memanggilnya dengan sebutan “hakim besar”, ia entah mengapa teringat satu wajah. Ia menjawab, “Kota sekarang sangat berpolusi, udara segarnya sangat sedikit. Kalau mau udara segar cocoknya sih jalan-jalan di pinggir kota.”

Tiffany Song tertawa, “Ih, lawakanmu dingin sekali.”

“Habisnya aku lihat air mukamu kurang bagus, jadi aku melawak supaya bisa mencairkan suasana deh. Oh iya, kamu sudah makan malam? Kalau belum, tidak keberatan kan kalau aku traktir?” Felix He juga tidak tahu mengapa ia selalu ingin mendekat setiap kali melihat gadis muda ini.

Ada beberapa bagian dari fisik Tiffany Song yang mengingatkannya pada cinta pertama.

Mungkin orang usia empat puluhan macam dia memang tanpa sadar sering bernostalgia memori-memori indah.

“Tidak, tidak, sungkan aku. Kamu klien paling penting Tiffalor Desing Corp, seharusnya aku yang mentraktir kamu.” Tiffany Song tidak menolak ajakannya untuk makan bersama. Ia hanya membenarkan tentang siapa yang seharusnya mentraktir dan ditraktir.

“Yuk berangkat, di depan sana aku tahu sebuah restoran yang rasa makanannya cukup oke. Desain arsitekturnya juga minimalis, kalian orang-orang muda suka kan yang seperti itu.” Felix He menunjukkan gestur mempersilahkan. Tiffany Song tersenyum dan jalan di depan.

Tidak sampai tiga menit mereka sudah tiba di restoran. Jam makan malam sudah lewat, jadi tamu restoran ini sudah tidak banyak. Pelayan membawa mereka ke meja dekat jendela. Keduanya duduk lalu Felix He menyerahkan buku menu ke Tiffany Song, “Ingin makan apa pesan saja ya, jangan sungkan-sungkan.”

“Baik.” Tiffany Song menerima sodoran buku menu itu. Nama-nama makanan di dalam buku menu agak memusingkan macam “cocktail pink lady”. Ia tidak tahu sama sekali apa menu ini. Tiffany Song mengembalikan menu ke Felix He, “Tuan He, kamu saja deh yang pesankan.”

Felix He memesankan beberapa menu. Pelayan restoran mencatat semuanya dan memberikan list pemesanan mereka ke dapur. Tiffany Song menoleh ke jendela. Tower Howey dari sini tidak jauh. Ia bisa melihat cahaya si menara dengan sangat jelas dari tempat duduknya.

Tiffany Song mengalihkan pandangannya ke Felix He, “Tuan He, kamu agak berbeda dari hakim yang ada dalam bayanganku.”

“Apanya yang beda?” Felix He menuang teh dan menyeruputnya dengan hati-hati.

“Dalam bayanganku, hakim itu orang yang serius, tidak pernah senyum, dan sulit didekati orang seperti di televisi-televisi. Aku sungguh tidak menyangka setiap kali bertemu denganku aku merasa sangat dekat.”

“Hakim juga orang biasa kok, jadi kami sama dengan orang-orang lain.” Felix He menaruh gelas tehnya di meja, “Hakim-hakim yang ada di televisi itu sangat palsu dan dibuat-buat.”

“Iya sih, benar juga. Dengar-dengar kamu sudah pernah menjadi hakim kepala dalam banyak sekali kasus ya? Aku sangat kagum denganmu, itu keren sekali.” Dengan mata berbinar-binar, Tiffany Song melanjutkan kalimatnya, “Aku punya seorang teman yang berprofesi sebagai pengacara. Setiap kali aku melihat dia pergi ke pengadilan dengan pakaian formal, aku sungguh iri dengan dia. Sayang, aku tidak punya bakat sama sekali untuk jadi pengacara juga.”

“Tidak perlu iri ke orang lain. Pekerjaanmu juga bagus dan menarik. Kamu bisa membuat banyak orang jadi bahagia dengan desain-desain rumahmu.”

Tiffany Song merasa Felix He sangat bijak. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya sangat filosofis. Bayankan saja, pekerjaan dirinya yang biasa-biasa begini saja bisa dia anggap sebagai pekerjaan yang sangat sakral dan penting. Ini membuat Tiffany Song jadi semakin suka dan yakin dengan pekerjaan yang ia pilih.

Waktu sudah hampir pukul sepuluh malam begitu mereka kelar makan. Melihat langit sudah sangat gelap, Tuan He menawarkan diri untuk mengantar Tiffany Song pulang. Si wanita menolak dengan sopan, “Tidak perlu Tuan He, nanti supir kemari untuk jemput aku kok. Terima kasih atas hari ini.”

Ketika Tiffany Song pergi ke kasir, Tuan He ternyata sudah membayarkan makanan mereka saat pesan makanan tadi. Ia agak tidak enak hati.

“Ya sudah, aku temani kamu sampai supirmu tiba kalau begitu. Nanti setelah kamu sudah naik mobil baru aku jalan,” tawar Felix He.

“Tidak perlu, Tuan He, sungguh. Supirku sebentar lagi datang kok. Kamu jalan saja sekarang, aku sungguh tidak enak hati hari ini sudah menyita banyak sekali waktumu.”

Felix He memutuskan menyudahi pembicaraan, “Baiklah kalau begitu, aku pamit dulu ya.”

“Sampai jumpa, Tuan He.” Tiffany Song melambai-lambaikan tangan ke Felix He. Setelah pria itu pergi, ia membuang nafas lega.

Ponsel di tasnya tiba-tiba berdering. Tiffany Song mengecek layar, yang menelepon tidak lain dan tidak bukan ialah Taylor Shen. Pria itu bertanya ia ada di mana dan mengapa belum pulang juga.

Novel Terkait

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu