You Are My Soft Spot - Bab 168 Taylor Shen Cemburu (1)

Tiffany Song keluar dari gedung pengadilan dengan jiwa dan raga yang lelah. Melihat emosinya agak kurang beres, Christian bertanya khawatir: “CEO Song, tadi ada apa di dalam? Kok raut wajahmu tidak baik begini?”

“Mungkin karena aku lelah saja. Oh ya, nanti sore di kantor harusnya tidak ada apa-apa lagi kan? Aku sore ini tidak balik ke kantor lagi deh. Ini desain dekorasi aku titipkan ke kamu saja. Tolong berikan ke mereka dan suruh mereka revisi sesuai permintaan Tuan He.” Tiffany Song berdiri di sebelah mobil. Kepalanya pening seperti mau meledak, tetapi ia tetap berjuang sabar untuk menjelaskan revisi desain dekorasi sampai tuntas.

Christian mengangguk, “Baik, aku akan minta mereka lembur untuk merevisi. Besok pagi desain dekorasi hasil revisiannya aku jamin sudah siap di meja kerjamu.”

“Tidak perlu berikan ke aku. Kak Yan, proyek ini aku delegasikan penuh ke kamu,” geleng Tiffany Song. Sikap bermusuhan Nyonya He dengannya sangat jelas. Meski ia sendiri tidak merasa bersalah, tetapi kalau bisa menghindar ia sebaliknya menghindar saja. Ini untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman yang tidak penting suatu hari nanti.

Christian menatap Tiffany Song dengan bingung. Tadi sebelum ke kamar mandi dia baik-baik saja, kok pas keluar gini langsung berubah drastis? Jangan-jangan……

“Baik, aku akan rutin mengikuti perkembangan proyek ini. CEO Song, kalau kamu lelah, mari aku antar kamu pulang.”

“Tidak perlu, aku ingin keliling-keliling dulu sebentar. Cepatlah kamu balik ke kantor.” Tiffany Song berbalik badan dan berjalan ke arah yang melawan angin. Christian mengamati bayangan tubuh Tiffany Song. Sisi-sisi jaketnya tertiup angin dingin dan ia terlihat pasrah. Kedua bahunya juga terlihat seperti ditimpa beban berat yang setiap saat siap membuatnya jatuh.

Christian merasa aura Tiffany Song saat ini sungguh negatif. Ia belum pernah melihat yang separah ini sebelumnya.

Tiffany Song berjalan sangat jauh. Ia baru berhenti ketika betisnya sudah mulai pegal. Suasana kota terasa sangat muram di musim dingin. Ia kini berdiri di pinggir jalan besar yang cukup ramai oleh kendaraan, namun hatinya malah kesepian.

Yang ia lakukan tidak lebih dari mencintai seorang pria. Ia ingin bisa lebih bahagia sedikit saja, tetapi mengapa seluruh dunia malah menunjukkan sikap bermusuhan padanya? Baik orang yang ia kenal maupun tidak kenal, semuanya menyerang dia seolah ia seorang pendosa yang tidak layak dibaiarkan hidup. Ia merasa ditelantarkan oleh dunia.

Tiffany Song menaruh kepalanya di atas kedua tangan. Wajah jahat Angelina Lian, Angela He, Lindsey Song, dan Nyonya He tiba-tiba muncul bergantian di matanya. Ia mengibas-ibaskan tangan berusaha mengusir mereka sambil berteriak pelan: “Pergi, pergi, aku tidak mau melihat wajah kalian! Pergi!”

Tetapi di telinganya terdengar suara-suara yang dingin, “Tiffany Song, kamu sudah merebut suamiku. Tunggu saja pembalasan dariku.”

“Tiffany Song, kamu sudah merebut pria yang aku suka sekaligus menyakiti anak yng aku kandung. Seumur hidup aku tidak akan memaafkanmu. Aku jamin aku akan rebut Taylor Shen kembali darimu.”

“Tiffany Song, Kakak Keempat tidak cinta denganmu. Dia cintanya sama aku, cepat kembalikan dia ke aku.”

“Tiffany Song, aku tidak akan membiarkanmu merusak rumah tanggaku. Sekali lagi kamu berani muncul di hadapan James He dan Felix He, lihat saja reputasimu akan kuhancurkan.”

Suara-suara itu muncul bergantian berbarengan dengan wajah masing-masing pengucap. Tiffany Song berkeringat dingin. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan. Dengan suasana hati yang sedikit lagi hancur, ia berteriak pelan lagi, “Jangan bicara lagi, cepat pergi kalian!”

Ponsel Tiffany Song tiba-tiba bergetar dan bunyi. Seperti menemukan tali penyelamat yang terakhir, ia buru-buru mengangkat telepon yang masuk tanpa mengecek identitas si penelepon: “Halo, Taylor Shen. Tolong aku.”

Pria di seberang sana langsung terhenyak. Suara Tiffany Song sangat ketakutan, gundah, dan merefleksikan suasana hati yang hampir hancur. Ia buru-buru bertanya: “Tiffany Song, kamu di mana? Aku segera ke sana.”

Tiffany Song melihat ke sekeliling, tapi tetap tidak tahu ini di mana. Ia sontak menangis ketakutan, “Aku tidak tahu, aku tidak tahu aku di mana. Ada orang yang memakiku, ada juga orang yang mau membunuhku.”

“Baik, kamu tenang sedikit. Coba beritahu aku di sekitar sana ada bangunan atau tanda jalan apa.” Pria itu berusaha bersuara selembut mungkin supaya Tiffany Song tidak makin gelisah.

Tiffany Song berusaha keras menenangkan diri. Ia memberi tahu semua bangunan dan rambut jalan yang ia lihat pada si lawan bicara. Si pria mengangguk puas, “Tiffany Song, kamu tunggu di sana dan jangan bergerak sama sekali. Aku segera ke sana. Jangan matikan telepon ini, coba kamu ceritakan tadi siang kamu makan apa.”

“Tadi siang aku makan nasi ayam kari.”

“Bagaimana rasanya?”

“Lumayan. Daging ayamnya sangat lembut, porsinya juga pas.” Tiffany Song menceritakan panjang lebar makanannya tadi siang. Ia sepertinya paham maksud si pria. Pria itu ingin membuat dirinya teringat hal yang baik-baik dan perlahan bangun dari kesedihan.

“Wah aku jadi ngiler nih. Kalau supnya kamu makan apa?”

“Supnya aku makan sup ayam hitam, di dalamnya ada gingseng juga. Sup itu sedap sekali, rasanya mirip sup buatan nenek,” kenang Tiffany Song. Ia perlahan keluar dari suasana hatinya yang tidak baik.

“Kamu sangat kangen nenekmu ya?”

“Iya lah. Meski aku hanya sebentar tinggal dengan nenek, tetapi ia tetaplah nenek paling baik hati yang ada di dunia ini. Ia sungguh mengajari aku apa itu rumah dan keluarga yang sejati.” Mata Tiffany Song kini berbinar-binar dan tidak redup lagi.

Si pria tiba-tiba menyuruh, “Tiffany Song, balik badan sekarang juga. Aku ada di belakangmu.”

Tiffany Song balik badan sesuai perintah. Ia dari kejauhan benar-benar melihat sesosok pria yang sedang berdiri. Posisi berdiri pria itu melawan arah cahaya matahari, jadi tubuh tinggi besarnya samar-samar. Meski begitu, keberadaannya sungguh menenangkan hati.

Tiffany Song menyimpan kembali ponselnya ke tas dan berlari kencang menghampiri pria itu. Ia langsung menenggelamkan kepalanya di dada sang pria serta merangkul punggungnya. Ditabrak sekencang itu membuat si pria mundur beberapa langkah. Untung ia berhasil menahan diri agar tidak jatuh, meski jidatnya kini anehnya malah berkeringat dingin……

Si pria menunduk menatap wanita yang sedang dalam pelukannya. “Sambutan” Tiffany Song sungguh diluar dugaan. Wanita itu kini terlihat bak binatang kecil yang ditelantarkan seluruh dunia. Si pria mengangkat tangannya untuk mengelus bahu Tiffany Song, tetapi sebelum sampai di bahunya, wanita itu sudah terlebih dahulu buka suara: “Taylor Shen, aku sangat takut, takut kehilangan diriku sendiri.”

Barusan Tiffany Song merasa sungguh hampir gila.

Tangan si pria tertahan di udara. Dari bibirnya muncul senyum masam. Ia berdiri di tempat membiarkan Tiffany Song mememeluknya. Kalau memang ini satu-satunya cara untuk berpelukan dengan Tiffany Song, ya sudahlah tidak apa-apa ia dianggap sebagai orang lain juga.

Beberapa lama kemudian Tiffany Song akhirnya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Bau tubuh pria yang ia peluk tidak sama dengan yang ia cium biasanya, sensasi pelukannya juga beda. Tiffany Song melepaskan tangannya dan mendongak. Begitu melihat wajah si pria, ia sungguh kaget, “Karry Lian, kok tiba-tiba kamu yang kemari?”

“Sejak di telepon memang aku kok,” jawab Karry Lian tenang. Senyuman masamnya semakin lama semakin nampak.

Tiffany Song refleks mundur selangkah. Wajahnya pucat sekali saking canggungnya. Sambil memain-mainkan kancing jaket, ia meminta maaf: “Duh maaf, aku pikir kamu……”

“Tidak apa-apa.” Tidak mau mendengar nama yang akan disebut Tiffany Song, Karry Lian buru-buru memotong perkataannya. Ia tidak mau hatinya semakin sakit.

Suasana agak tegang. Tiffany Song menunduk menatap sepatunya. Ia tiba-tiba tidak tahu harus bicara apa lagi dengan Karry Lian.

Jam pulang kerja tiba. Pejalan kaki pun langsung bertambah banyak. Semuanya berlarian terburu-buru ke halte bus seolah ingin cepat pulang. Karry Lian berdiri sambil menaruh kedua tangannya di kantong. Melihat Tiffany Song diam saja, ia memutuskan bertanya: “Tiffany Song, belakangan kamu ada masalah apa? Bisa ceritakan ke aku?”

Tiffany Song menggeleng, “Aku tidak punya masalah apa-apa. Mungkin karena belakangan sibuk aku jadi suka halusinasi.”

“Ada hubungannya dengan insiden diculik waktu di Amerika ya pasti?” Karry Lian mengernyitkan alis. Ini sih namanya penyakit gangguan stres pascatrauma. Ada orang yang langsung mengalami ini selepas kejadian, ada pula yang mengalaminya cukup lama setelah kejadian berlalu.

Tiffany Song sempat diculik di Amerika, bahkan nyaris mati dibom. Ketakutan ini kalau terus eksis dalam jangka panjang bisa memicu munculnya gangguan jiwa.

Tiffany Song bertanya bingung, “Kok tahu?”

Sekembalinya dari luar negeri, meski beraktivitas di lingkungan yang familiar, ketakutan Tiffany Song tetap saja ada. Ia kadang tengah malam terbangun karena mimpi buruk. Ia merasa diculik, ditempelkan bom, dan dibuang di tengah kompleks makam lagi.

Meski sering ketakutan, Tiffany Song tidak berani cerita sama sekali ke Taylor Shen. Ia takut pria itu khawatir.

“Aku dulu kan pengacara, jadi aku sempat belajar soal psikologi. Tiffany Song, apa belakangan kamu suka kesulitan tidur dan banyak bermimpi? Kalau pun bisa tidur, apa kamu juga tetap terbangun oleh mimpi buruk?” tanya Karry Lian tanpa melepas pandangannya dari wajah Tiffany Song. Ia tidak mau melewatkan satu pun ekspresi wanita itu.

Si wanita agak gugup ditatap begini. Ia membuang muka dan menatap gedung tinggi di belakang Karry Lian. Ia lalu menjawab: “Iya, aku sering terbangun oleh mimpi buruk, belakangan juga suka berhalusinasi seperti gejala delusional disorder yang disebut-sebut di TV. Kemungkinan besar ini karena aku sangat sibuk kerja, sering tegang, dan kurang istirahat.”

Karry Lian menggeleng, “Tiffany Song, ini bukan delusional disorder. Yang kamu derita ini adalah penyakit stres pascatrauma. Kalau kamu tidak cepat-cepat konsultasi ke psikiater, kedepannya kondisimu akan terus memburuk. Aku kebetulan kenal satu psikiater. Coba ya aku telepon dia dan tanya apa dia sekarang ada di kantornya atau tidak. Kalau ada, kita ke sana sekarang.”

“Karry Lian……” Tiffany Song ingin menolak, namun Karry Lian sudah merogoh ponsel dan mulai menelepon. Ia tiba-tiba teringat kejadian pria ini menukar sampel tes DNA. Ia tidak pernah bisa memaafkan ini, tetapi begitu suasana hatinya mau hancur, yang muncul di hadapan dia malah si pelakunya.

Sebenarnya ini kebetulan belaka atau apa sih?

Karry Lian dengan cepat menyelesaikan penjadwalan sesi konsultasi. Pria itu lalu mematikan telepon dan menatap Tiffany Song lekat-lekat: “Tiffany Song, kantor temanku ada di sekitar sini, kita hanya perlu menyeberang sekali saja. Ayo kita berangkat sekarang.”

“Aku……” Tiffany Song ragu-ragu. Tadi pagi ia baru saja menyuruh Christian mencari psikiater untuk Angelina Lian, kok sekarang malah jadi ia yang diobati? Ia jadi merasa jiwanya senidri yang sakit. Angelina Lian tidak melakukan apa-apa kok, ia saja yang berpikir kelewat jauh.

Karry Lian tahu Tiffany Song sedang memikirkan apa. Ia menenangkan lembut: “Banyak orang berpikir pergi ke psikiater berarti mengaku diri sendiri sakit jiwa. Sebenarnya sama sekali tidak seperti itu kok. Psikiater akan memberi arahan yang disesuaikan dengan kondisi gangguan psikologis kita. Ia akan membantu kita keluar dari luka yang kita hadapi dan belajar menerima segala yang sudah terjadi. Itu akan membuat beban pikiran kita jadi jauh lebih ringan.”

“Aku……”

Karry Lian mendekat, memegang tangan Tiffany Song dengan hati-hati, dan menyemangati: “Tiffany Song, kamu dari dulu sudah berhasil menaklukkan banyak masalah, kali ini kamu pasti ini menang juga kan? Biarlah psikiater membantumu. Anggap saja sesi ini ngobrol-ngobrol biasa dengan teman baik. Kalau kamu tidak nyaman, kita langsung cabut dari situ, oke?”

Tiffany Song gigit-gigit bibir. Ia melepaskan tangannya dari Karry Lian, tetapi pada akhirnya tetap mengiyakan ajakannya.

……

Karry Lian membawa Tiffany Song ke Pusat Konsultasi Psikologi. Seorang wanita cantik berpakaian profesional sekaligus modis sudah menunggu di depan. Begitu menyadari kedatangan mereka, ia menyambut ramah: “Kakak Kelas, barusan saat kamu meneleponku, aku pikir aku salah dengar namamu. Kita sudah bertahun-tahun tidak berkontak, aku kira kamu sudah lupa denganku.”

“Kamu terkenal gini masa aku bisa lupa sih? Nih aku kenalkan temanku, namanya Tiffany Song. Tiffany Song, ini adik kelasku waktu di kampus, namanya Jelly Ji,” ujar Karry Lian.

Tiffany Song menyalami tangan Jelly Ji, “Dokter Ji, halo.”

“Nona Song, senang bertemu denganmu. Selamat datang,” balas Jelly Ji ramah. Ia terlihat semakin cantik ketika tersenyum.

Novel Terkait

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu