You Are My Soft Spot - Bab 278 Apa Kamu Bakal Selingkuh? (1)

Di dalam mobil, Vero He mengamati perawakan Erin yang gelisah. Ia kembali berusaha memastikan niat si asisten, “Erin, kalau kamu sungguh tidak mau, kita bisa putar balik sekarang.”

Erin refleks mengencangkan pegangan tangan di setir dan menggeleng, “Peluru yang sudah ditembakkan tidak boleh balik ke pistol lagi. Kamu jangan khawatir, aku pasti bisa mengontrol keadaan.”

Vero He tidak bertanya lagi. Mobil bergerak memasuki Golden Imperial Hotel. Keduanya turun dari mobil, kemudian menyerahkan kunci mobil ke petugas parkir. Ketika mereka melangkah masuk lobi, seorang staf hotel segera menemani mereka ke sebuah ruang privat.

Mendengar suara pintu dibuka, pria di dalam ruang privat yang lagi menatap jendela refleks menengok. Begitu matanya menangkap sosok Vero He dan Erin yang berjalan masuk, ia menyapa dengan ceria, “Nona He, lama tidak bertemu!”

Vero He menatap Fabio Jin sambil terus berjalan. Waktu kakak masuk penjara lalu, pria itu buru-buru balik dari Amerika. Meski setelahnya terus menetap di Kota Tong, mereka tidak pernah bertemu lagi, setidaknya jarang.

Ketika sudah berhadap-hadapan, si wanita menyalami tangan si pria dan menunjuk Erin yang berdiri di sebelah: “Ini Erin. Kalian pernah berjumpa.”

Sebelum menjadwalkan pertemuan ini, Vero He sudah berpikir dengan matang. Pria tampan dan berbakat yang ia kenal tidak banyak, apalagi yang ia ketahui juga kepribadiannya. Setelah ragu-ragu cukup lama, ia akhirnya memutuskan memilih Fabio Jin untuk dikenalkan pada Erin. Pria itu berkepribadian lurus dan baik hati. Yang paling penting, dia juga tidak punya penyakit songong dan sok yang banyak diderita oleh para pria dari keluarga kaya-raya lain. Semoga Fabio Jin cocok dengan Erin deh!

Setelah membuat keputusan ini, Vero He menelepon Fabio Jin dan menjelaskan rencananya. Si pria merasa agak canggung, namun tetap mengiyakan. Ia sama sekali tidak menyangka yang bakal dikenalkan padanya adalah si Erin!

Ia pernah berjumpa dengan wanita itu beberapa kali. Pada kesempatan ini, pria itu mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah: “Nona Erin, halo.”

Situasi Erin kurang lebih sama dengan Fabio Jin. Ia tidak menyangka pria yang dikenalkan padanya adalah pria itu. Fabio Jin dan James He berhubungan akrab. Kalau sampai James He tahu soal ini, mungkinkah pria itu mengira dia memanfaatkan dirinya untuk mendekati Fabio Jin?

Erin menyambut uluran tangan Fabio Jin dan menyalami: “Tuan Jin, halo!”

“Duduklah,” ujar si pria pada kedua wanita.

Vero He tidak ingin dinilai bertindak terlalu cepat, jadi tidak menyuruh Erin duduk disebelah Fabio Jin. Jadi, ia duduk sebaris dengan Erin dan Fabio Jin duduk di sisi berlawanan. Pelayan mendekati meja dan menaruh buku menu. Si pria langsung menyerahkan buku menu pada Vero He, “Nona He, lihat-lihatlah kamu mau makan apa.”

Si bos melirik asistennnya dengan canggung. Ia lalu memindahkan buku menu ke hadapan si asisten dan mendelegasikan tugas barusan: “Erin, kamu saja yang pesan.”

Meksi pasif dalam urusan cinta-cintaan, Erin bukan orang yang tidak punya sensitifitas sama sekali pada hal macam ini. Dari bahasa tubuh Fabio Jin, ia bisa melihat pria itu punya perasaan pada Nona He.

Si asisten menerima sodoran buku menu. Semua makanan yang ia pesankan adalah makanan yang disukai Vero He. Selalu menempel di sisinya selama ini, jelas ia tahu betul bagaimana seleranya.

Fabio Jin bersandar di sofa dengan pandangan yang bertahan lama di sosok Vero He. Lama tidak berjumpa, air muka si wanita jauh lebih baik. Pipinya jauh lebih berwarna, matanya juga lebih segar. Hatinya terasa kecut. Kelihatannya, kembali ke sisi Taylor Shen memang pilihan terbaik bagi si wanita!

“Belakangan sibuk apa kamu? Sejak kamu balik dari luar negeri, kita nyaris tidak pernah ketemu,” tanya Vero He sambil mengambil gelas. Isi gelas itu adalah teh merah yang cocok untuk menghangatkan perut. Rasanya cukup oke.

Fabio Jin akhirnya mengalihkan pandangan, “Membantu James He menjalankan perusahaan, kadang juga memancing untuk mengisi waktu luang. Kamu?”

“Aku mana bisa sesantai kamu. Tiap hari, aku pusing tujuh keliling mengurusi urusan kantor. Nilai transaksi tahun ini jatuh beberapa digit dibanding tahun lalu. Pada rapat akhir tahun, aku pasti bakal dikritik habis-habisan oleh para pemegang saham dan anggota dewan direksi,” keluh si wanita. Mereka dari awal memang sudah sering mengkritiknya. Ketidaksukaan mereka makin bertambah karena dia ingin merevolusi perusahaan dan meninggalkan cara-cara pemasaran yang lama. Dari sekarang, Vero He sudah bisa membayangkan seberapa pedas kritik-kritik yang akan masuk ke telinganya pada akhir tahun. Ia pasti “dihabisi”.

Si pria tersenyum tipis, “Tenang saja. Sekali pun semua semuanya mengkritikmu, kamu masih punya aku dan James He yang mendukungmu.”

“Wah, terima kasih atas dukungan ini,” balas Vero He dengan agak lega.

Sehabis memesan menu, Erin diam seribu kata. Melihat asistennya itu tidak berinisiatif untuk ikut bicara, ia dalam hati mengeluh. Sekarang ia paham tidak semua orang bisa jadi penjodoh. Dirinya masuk dalam kelompok orang yang tidak bisa itu!

Demi memicu percakapan antara Fabio Jin dan Erin, ia bangkit berdiri dan undur diri sejenak: “Aku ke toilet dulu.”

Erin refleks ikut berdiri, “Aku ikut.”

Si bos menahan bahu si asisten dan menyuruhnya kembali duduk, “Kamu ngobrol lah dengan Fabio Jin. Aku hanya pergi sebentar kok.”

Melihat kode mata dari Vero He, Erin patuh saja tanpa bicara lagi. Di dalam ruang privat sebenarnya ada toilet, jadi Nona He ini sengaja sekali mencari toilet di luar hanya untuk meninggalkan mereka berduaan!

Suasana ruang privat sangat intens setelah ditinggal Vero He. Fabio Jin mengisi kembali gelas teh Erin dan berusaha memulai percakapan: “James He tahu kamu lagi cari jodoh?”

Yang ditanya menatap lawan bicaranya dengan gugup. Sambil gigit-gigit bibir, ia menjawab: “Entahlah. Aku bahkan tidak tahu bahwa pria yang dijadwalkan bertemu denganku adalah kamu.”

“Meski kita pernah berjumpa beberapa kali, namun James He lah yang pertama kali menceritakan sosokmu padaku. Buat dia, kamu adalah seseorang yang spesial.”

Erin membuang pandangan ke luar jendela. Ternyata Fabio Jin tahu soal apa yang terjadi antara dirinya dan James He! Ia curhat: “Aku dan dia tidak punya masa depan. Daripada menderita nanti, lebih baik kami saling menjauh sekarang meski buatku rasanya sakit.”

Fabio Jin melihat pintu ruang privat di belakang Erin yang terbuka. Ada sesosok pria muncul di depan sana. Ia bertanya sambil senyum-senyum, “Yakin sekali kalian tidak punya masa depan?”

“Yakin, aku sangat tidak optimis.” Fokus Erin sepenuhnya tertuju pada pemandangan luar jendela. Ia tidak menyadari ada “bahaya” yang lagi mendekat.

James He memasukkan kedua tangan ke kantong celana. Dengan tatapan dingin, ia perlahan berjalan mendekati punggung Erin. Sesudah berhenti jalan, ia buka suara: “Coba saja, nanti kita sama-sama lihat apa kamu bisa kabur dari genggamanku.”

Mendengar suara pria yang sangat familiar, Erin refleks bangkit berdiri dengan kencang sampai kursinya miring dan jatuh ke lantai. Ia terhenyak menatap pria di belakangnya yang tiba-tiba datang seperti turun dari khayangan. Ketika wanita itu mau melanglah mundur, kedua tangannya sudah terlanjur ditahan si pria.

“Kamu…… Kamu kok bisa-bisanya kemari?” tanya Erin. James He ini roh atau apa sih, kok bisa tiba-tiba muncul di suatu tempat!

Si pria menyipitkan mata. Dengan raut tidak senang, ia mengajak lantang, “Ikut aku keluar!”

Si asisten berusaha melepaskan tangan sambil menggeleng: “Tidak, tidak mau ikut kamu!”

Mendengar penolakan ini, wajah James He jadi makin muram. Ia menggeretakkan gigi: “Aku perintahkan sekali lagi, ikut aku!”

Fabio Jin diam saja melihat adegan tarik-tarikan mereka berdua. Ia tahu ia tidak berhak ikut campur, termasuk tidak berhak menghalangi James He membawa Erin pergi.

Si wanita gentar dengan suara James He yang keras, namun ia benar-benar ingin menjaga jarak dengan si pria mulai sekarang. Ia menegaskan pendiriannya, “Aku bilang aku tidak mau ikut denganmu. Silahkan kamu keluar, jangan ganggu perkenalanku dengan Fabio Jin.”

Sekujur tubuh James He dipenuhi kemurkaan. Ia menatap Erin lekat-lekat dalam tiga detik, lalu mengangkat tubuhnya dan membopongnya keluar ruang privat.

Sekembalinya Vero He dari kamar mandi, hanya Fabio Jin seorang yang ada di ruang privat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan sembari bertanya bingung: “Erin mana?”

“Dibawa pergi kakakmu,” jawab Fabio Jin tanpa menutupi apa pun.

“Apa?!” tanya si wanita dengan penuh kekagetan. Ia buru-buru berbalik badan untuk mengejar. Baru melangkah dua langkah, bahunya ditahan oleh Fabio Jin yang mengejar dari belakang, “Vero He, ini urusan pribadi mereka berdua. Kamu jangan ikut campur.”

“Tetapi hubungan mereka ini tidak benar. Kakak belum bercerai, dia tidak boleh punya hubungan gelap dengan Erin,” respon Vero He. Ia tahu ia tidak boleh membatas-batasi kakak, namun ia benar-benar tidak mau melihat hubungan tidak normal antara dua orang yang ia sangat pedulikan ini terus lanjut.

Ini tidak adil buat Erin, juga tidak adil buat kakak ipar.

Fabio Jin tidak begitu paham soal urusan pribadi James He, namun melihat kekerasan hatinya untuk membopong Erin keluar tadi, ia tahu pria itu merasa wajib mendapatkan Erin. Ia menahan bahu si wanita dan membujuk: “Vero He, biarkan mereka selesaikan masalah mereka sendiri, oke?”

Vero He melangkah mundur dua langkah. Wajahnya memucat. Mereka jelas-jelas tahu hubungan kakak dan Erin abnormal, namun mereka memilih membiarkannya saja. Sebenarnya dia yang salah atau orang-orang sekitarnya?

Di mata si wanita, James He adalah orang yang selalu lurus dan setia. Ia tidak menyangka suatu hari nanti kakaknya bakal selingkuh. Erin pun dia kenal sebagai wanita yang baik hati. Jadi, ia juga tidak menyangka suatu hari nanti dia bisa punya hubungan gelap dengan pria beristri.

Sebenarnya dunia ini kenapa? Mengapa semua orang yang ia anggap lurus dan normal ternyata bisa berbelok begini?

Melihat wajah Vero He yang pucat, Fabio Jin bertanya khawatir, “Vero He, ada apa? Kamu tidak enak badan atau apa?”

Yang ditanya menggeleng, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya butuh menenangkan diri sebentar.”

Vero He melepaskan tangan Fabio Jin, memakai tas yang tadi dia letakkan di kursi, lalu berjalan keluar ruang privat. Si pria khawatir akan terjadi apa-apa padanya kalau sendirian dengan suasana hati kacau begini, jadi buru-buru mengikutinya.

Si wanita menelepon ponsel Erin. Telepon itu tersambung, namun tidak diangkat-angkat. Ketika menelepon kakak, telepon juga tidak diangkat. Ia mengecangkan pegangan pada ponsel seolah menjaga harapan terakhirnya.

Mengapa semuanya sepeti ini? Mengapa kakak bisa jadi peselingkuh? Dia adalah orang yang paling dia percayai, jiwa dan dunianya juga ditopang olehnya. Impresi dia pada kakak semuanya adalah positif, tetapi sekarang, kakak malah berselingkuh……

Kalau kakak saja berselingkuh, ia harus percaya siapa lagi?

Fabio Jin terus mengikuti Vero He. Sejak tahu Erin dibawa pergi James He, gerak-gerik si wanita langsung jadi sangat tidak beres. Daritadi, ia hanya berdiri di belakang Vero He saja sebab wanita itu menolak didekati.

Vero Her berjalan keluar hotel. Udara di luar sangat dingin. Baru keluar dari ruangan yang ada AC-nya, ia merasa bulu di sekujur tubuhnya merinding semua. Si wanita menggendong tas dan terus berjalan tanpa sebenarnya tahu harus pergi ke mana.

Golden Imperial Hotel terletak di area bisnis yang sangat ramai. Di area ini, cahaya gedung-gedung tinggi dan lampu jalan saling melengkapi dalam menciptakan malam yang indah dan berwarna.

Dengan hati kacau, si wanita sama sekali tidak menikmati pemandangan ini. Semua pikirannya terpusat pada perselingkuhan kakak. Insiden ini menjadi sebuah hantaman yang sangat besar baginya, bahkan sampai dia nyaris tidak kuat.

Setelah berjalan beberapa menit, Fabio Jin berfirasat Vero He masih akan terus jalan ke depan lagi. Ia berlari menyusul dan menahan pergelangan tangannya: “Vero He, jangan keluar. Cuaca dingin, kamu bakal pilek kalau keluar dengan pakaian tipis begini.”

Si wanita menatap si pria dengan tidak enak hati: “Fabio Jin, maaf. Aku harusnya tidak membawa kamu terjerembab dalam kejadian malam ini. Ini salahku, aku tidak tahu siapa lagi pria yang bisa dipercaya untuk berkenalan dengan Erin.”

Fabio Jin tidak tahu harus senang atau tidak. Ternyata, Erin diperkenalkan padanya karena Vero He merasa dirinya bisa dipercaya dan diandalkan. Ia melepas mantel dan memakaikannya buat Vero He, lalu membalas lembut: “Tidak apa-apa. Biar aku antar kamu pulang, oke?”

Sehabis melepas mantel, yang tersisa di tubuh Fabio Jin kini hanya jas yang tipis. Melihatnya begini, Vero He jadi merasa iba kalau masih lanjut berjalan. Selain itu, dia sendiri juga sadar jalan sampai ke ujung dunia pun tidak bisa mengatasi masalah ini. Untuk itu, si wanita pun mengangguk mengiyakan.

Fabio Jin merangkul Vero He berjalan ke sisi jalan. Daritadi, supir keluarga Jin memang terus mengikuti mereka dari agak jauh. Melihat bosnya melambaikan tangan, si supir buru-buru mendekat dan berhenti di depan mereka.

SI pria membuka kursi belakang, lalu mendudukkan Vero He dan dirinya sendiri.

Mobil melaju ke rumah kediaman keluarga He dengan suasana kabin yang super sunyi. Seperti biasa, Vero He mengamati pemandangan luar dari awal sampai akhir. Orang yang paling dia percayai sudah mengingkari kepercayaannya, lantas dia harus percaya pada siapa lagi?

Fabio Jin mengamati si wanita dengan khawatir. Pada situasi begini, kata-kata yang menenangkan tidak akan berguna. Kalau Taylor Shen ada di sini, kira-kira pria itu akan melakukan apa? Ah, bisa-bisanya dia memikirkan pria itu. Dia terobsesi padanya atau bagaimana sih?

Mobil berhenti di depan rumah kediaman keluarga He. Melihat Vero He masih bengong melihat pemandangan luar, si pria mengingatkan pelan: “Vero He, kita sudah tiba di rumah kediaman keluarga He. Turunlah.”

Vero He akhirnya terbangun dari lamunan. Ia buru-buru mengangguk dan mengembalikan mantel: “Fabio Jin, terima kasih sudah mengantarkan aku. Sampai jumpa!”

Fabio Jin menerima sodoran mantel dan ikut turun. Ia menemani Vero He berjalan sampai ke pintu utama, “Vero He, kalau kamu punya pertanyaan atau kecurigaan apa pun, tanyakanlah langsung pada James He dan jangan bikin tebakan sendiri yang macam-macam. Kamu tenang saja, kakakmu tidak bakal bohong padamu!”

“Paham, terima kasih.” Si wanita menoleh pada si pria. Wajah pria di sebelahnya ini terlihat tampan terkena cahaya lampu jalan. Jelas-jelas malam ini dia yang salah, tetapi Fabio Jin malah terus memberi perhatian pada dirinya. Takut hati si pria terluka, ia minta maaf lagi entah untuk yang keberapa kali, “Maaf, lain kali aku tidak akan membawamu masuk situasi seperti tadi.”

Fabio Jin membuang nafas panjagn. Semakin Vero He sungkan pada dirinya, ia malah merasa tidak nyaman. Pria itu mengelus bahu si wanita dan membalas: “Santai saja. Jangan bilang maaf-maaf lagi, masuklah.”

Vero He tidak bilang apa-apa lagi. Setelah pamit pada Fabio Jin, ia melangkah memasuki rumah kediaman keluarga He.

Novel Terkait

Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
The True Identity of My Hubby

The True Identity of My Hubby

Sweety Girl
Misteri
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu