You Are My Soft Spot - Bab 283 Stella Han Adalah Adikmu (1)

Melihat wajah si nyonya yang khawatir, Vero He menggeleng sambil tersenyum: “Eh, tidak apa-apa kok nyonya. Aku hanya agak tidak biasa saja dengan permintaanmu. Sudah sebesar ini, aku belum pernah didekati orang seperti didekati nyonya begini.”

Hati Nancy Xu merasa iba mendengar ceritanya. Kasihan sekali anak ini, sampai sekarang tidak pernah didekati orang dan bingung cara menanggapinya. Ia mengeratkan gandengan tangan di antara mereka: “Jadi kamu bersedia menemaniku keliling?”

“Bersedia,” angguk Vero He. Ia sendiri sebenarnya juga merasa aneh karena tidak risih digandeng begini oleh orang yang baru berjumpa dua kali. Bukannya risih, dia malah merasa sangat senang dan nyaman.

Nyonya Xu dan Vero He berkeliling Parkway Plaza sambil berbincang santai dan tertawa-tawa. Ketika masuk sebuah toko khusus, penjaga toko menyambut Vero He dengan sopan sekaligus hormat. Si wanita mengangguk, lalu menjelaskan tren fashion terkini pada Nyonya Xu.

Di bawah pendampingan Vero He, si nyonya mencoba sebuah mantel yang cocok dipakai segala usia. Meski kekuatan pesona Nyonya Xu ketika mengenakannya tidak beda jauh dengan ketika memakai mantel lain, namun wanita paruh baya itu pada dasarnya sudah sangat mempesona. Jadi, dia tetap terlihat menarik dan mengesankan.

Nancy Xu sangat puas dengan mantel yang satu ini. Sudah hangat, mantelnya cantik pula. Menyadari mantel model ini ada pilihan warna pink, ia menyuruh petugas toko untuk mengambilkan satu dan memberikannya pada Vero He.

Si wanita terkejut dengan sodoran itu, “Nyonya……”

“Pakailah, aku mau lihat kamu pakai,” kata nyonya ramah. Tatapannya yang dipenuhi penantian membuat Vero He akhirnya tidak sampai hati buat menolak.

Si wanita muda hanya mau mencoba saja, namun tidak mau dibelikan. Ia bilang dari awal sebagai bentuk antisipasi: “Nyonya, pakaianku sudah sangat banyak. Kamu tidak perlu membelikanku lagi.”

“Tidak apa-apa ah,” balas nyonya.

Vero He akhirnya tidak punya pilihan lain selain melepas mantel dan mengenakan mantel pink itu. Dengan mantel warna ini, si wanita terlihat sangat lucu dan muda. Tubuhnya yang ramping dan posturnya yang ideal menambah pesona si wanita.

Petugas toko berdecak kagum, “CEO He cantik sekali pakai mantel ini. Yang keluaran tahun ini memang tidak bakal membuat orang terlihat gendut. Tubuh CEO He sangat ideal, iri aku jadinya.”

Vero He menatap dirinya sendiri di cermin. Ia tahun ini sudah berusia tiga puluh dua tahun, rasa-rasanya pakai warna ini agak kekanak-kanakkan. Ia merapi-rapikan mantelnya dan bertanya pada nyonya, “Nyonya, aku pakai warna ini tidakkah kelihatan agak kekanak-kanakan?”

Bagi Nancy Xu, warna pink ini malah sangat cocok dengan kulit Vero He yang putih. Dalam artian, keputihan kulitnya jadi semakin terlihat karena kontras dengan warna mantel. Ia menanggapi lembut: “Tidak kok. Kamu ini masih muda, jangan anggap dirimu kekanak-kanakkan dong.”

Nyonya Xu lalu menatap cermin dan melihat bayangan mereka berdua. Keduanya memakai mantel dengan model yang sama, hanya warnanya saja yang beda. Yang dia pakai adalah warna abu-abu, sementara yang Vero He pakai adalah warna pink.

Petugas toko, yang berdiri di sebelah, memuji lagi: “Pakai mantel ini, CEO He dan Nyonya terlihat seperti sepasang ibu dan anak!”

Vero He terhenyak. Kalau petugas toko tidak bilang, dia tidak bakal sadar dirinya memiliki kemiripan fisik dengan Nyonya He. Dengan mantel serupa yang mereka kenakan, kemiripan itu jadi makin kentara.

Hati Nancy Xu senang mendengar ini, tetapi dia menampilkan alis terangkat pada si petugas toko karena takut Vero He canggung: “Sungguhkah?”

“Sungguh,” angguk petugas toko.

“Ya sudah beli dua, bikin notanya ya,” suruh Nyonya Xu.

Vero He bangkit dari lamunan dan segera mencegah: “Nyonya, jangan begitu. Beli satu untuk dirimu sendiri saja.”

Nyonya Xu membalas si wanita muda, “Nona He, kamu hari ini sudah menemaniku keliling sepanjang sore. Anggap saja ini hadiah dariku sebagai rasa terima kasih, oke?”

“Aku tidak melakukan apa-apa kok. Kamu berbelanja di sini hitungannya juga sudah memberi keuntungan buat bisnisku, jadi harusnya malah aku yang berterima kasih. Sudahlah Nyonya, jangan keluarkan uang buat aku.” Vero He berusaha melepas mantel ini.

Nancy Xu buru-buru mencegahnya melakukan itu, “Nona He, anggaplah ini wujud kebaikan hatiku padamu. Jangan menolak. Pakaian ini juga tidak malah kok, terimalah.”

Melihat si nyonya jadi agak panik, hati Vero He entah mengapa luluh. Ia menawarkan jalan tengah: “Kalau begitu, aku saja yang bayar ya?”

Si wanita menambahkan kata-katanya dengan “ancaman”: “Kalau kamu menolak, ya sudah yang punyaku tidak usah beli.”

Nyonya Xu akhirnya mengangguk dengan pasrah. Seumur hidup, bukankah momen ini yang ia nanti-nantikan?

Vero He menandatangani nota. Ia meminta plastik pada petugas toko untuk menyimpankan mantel baru mereka, namun Nancy Xu tidak bersedia. Mereka pun hanya menggunting label harga dan berjalan keluar toko khusus sambil tetap memakainya.

Di belakang, satu petugas toko berbisik pada seorang rekan kerjanya, “CEO He dan Nyonya tadi sangat mirip. Kalau tidak tahu CEO He adalah anak sebatang kara, aku pasti bakal mengira dia tadi datang dengan ibu kandungnya.”

“Benar tuh, benar. Pas pakai mantel yang sejenis, mereka bahkan jadi makin mirip,” timpal yang dibisiki.

Seusai kegiatan berbelanja kelar, Nyonya Xu menyuruh asisten rumahnya pulang dylu. Ia lalu membawa Vero He makan malam. Mobil dilajukan oleh supir ke restoran yang sempat ia kunjungi waktu itu dengan Taylor Shen.

Pelayan restoran mendampingi mereka masuk ruang privat. Di dalam ruangan ada pemanas ruangan, jadi keduanya melepaskan mantel. Vero He mengambil mantel Nancy Xu dan menggantungnya di gantungan, lalu duduk di seberangnya.

Nyonya Xu lagi melihat-lihat buku menu. Melihatnya sudah duduk, wanita itu bangkit berdiri saambil membawa buku menu dan pindah tempat duduk ke sebelahnya. Ia menyodorkan buku itu pada si wanita muda: “Ingin makan apa?”

“Terserah, Nyonya pesankan saja,” balas Vero He sambil mengembalikan buku menu padanya. Si nyonya pun menyebutkan nama-nama pesanan sembari terus menatap buku menu. Karena agak lambat, ia baru menyudahi pesanannya setelah kurang lebih lima menit.

Ponsel Vero He tiba-tiba berdering. Si pemiliknya mengecek idnetitas penelepon dan keluar untuk mengangkat. Di seberang sana terdengar suara datar Taylor Shen, “Kamu sedang apa?”

“Sedang makan di luar. Ada apa?” tanya Vero He sambil bersandar pada tembok depan ruang privat.

“Dengan siapa?”

“Kamu pengawas karyawan atau apa sih?” ledek si wanita mendengar nada was-was si pria.

Taylor Shen juga menyadari dirinya kelewat gelisah. Ia melembutkan nada bicara, “Bukannya dokter menyuruhmu istirahat di rumah? Kok kamu malah keluar-keluar?”

“Aku tidak mau istirahat, maunya ke luar. Kamu ada urusan apa?” tanya si wanita datar.

“Tidak ada, hanya ingin dengar suaramu saja.”

“Aku sudah mau makan. Kamu juga cepat makan sana.” Ketika Vero He bersiap menutup telepon, Taylor Shen berucap datar, “Tiffany Song, aku cinta kamu!”

Hati si wanita senang mendengar ucapan yang tiba-tiba macam ini. Belum sampai di situ, pria di seberang masih berbicara lagi: “Aku cinta kamu, sungguh cinta kamu. Hanya mendengar suaramu untuk beberapa saat saja, hatiku sudah merasa sangat puas.”

Vero He gigit-gigit bibir. Kata-kata si pria terdengar seperti tengah diucapkan langsung di telinganya. Sepasang telinga itu memerah, pipinya juga tidak ketinggalan.

Tidak mendapat balasan ucapan cinta, Taylor Shen menutup dengan sedikit muram, “Sana makan, seusai makan hubungi aku lagi ya. Biar aku jemput kamu nanti.”

Merasa si pria akan segera menutup telepon, si wanita buru-buru membalas: “Taylor Shen……”

“Ya?” Saat itu juga, Taylor Shen langsung merasa tegang menantikan kata-kata yang akan keluar dari bibir Vero He setelahnya. Telepon menghening untuk beberapa saat, lalu Vero He baru menyelesaikan kata-katanya: “Tidak ada apa-apa. Aku matikan ya.”

Si wanita menurunkan ponsel dan mematikan telepon mereka. Melihat layar yang sudah menghitam, ia baru berani bicara apa yang tadi ingin ia sampaikan: “Aku juga cinta kamu!”

Mendengar bunyi telepon yang sudah diputus, hati Taylor Shen terasa hahmpa. Ia menaruh ponselnya di meja kerja dan duduk diam. Tiba-tiba, Christian membuka pintu dan berdiri di depan sana, “CEO Shen, CEO He datang berkunjung.”

“Persilahkan dia masuk!”

Si bos segera memperbaiki suasana hatinya dan bangkit berdiri untuk menyambut. James He datang dengan mengenakan jas biru tua. Di belakangnya, ada Erin yang membuntut.

Taylor Shen menyapa dan mempersilahkan keduanya duduk. Ia juga meminta Christian membuatkan dua gelas kopi.

Erin masih belum duduk. Sebelum duduk, ia menyerahkan sebuah kartu ucapan dulu pada Taylor Shen dan bercerita: “CEO Shen, ini kartu ucapan yang tadi diterima Nona He. Aku dan Tuan Muda curiga musuh kita sudah kembali ke Kota Tong. Target dia sangat sederhana, yakni merebut Nona He.”

Si pria membuka kartu ucapan itu dan melihat tulisan di dalamnya. Ia mengernyitkan alis, “Ini sebuah kartu ucapan yang sangat biasa, apanya yang menakutkan?”

“Kamu lihat belakangnya,” balas Erin.

Taylor Shen membalik kartu ucapan itu. Melihat gambar topeng putih yang ada di bawahnya, ia merasa pernah melihat topeng itu entah di mana. Si pria kemudian membaca promosi tentang “Kembalinya Hantu the Phantom of the Opera” yang ada di atasnya, lalu mendongak, menyapukan pandangan ke James He, dan menatap Erin: “Jelaskan lebih detail.”

“Waktu ponsel Nona He diretas waktu itu, ada orang memutarkan lagu the Phantom of the Opera dari sana. Aku dan Tuan Muda pernah menelusuri kisah the Phantom of the Opera ini secara khusus. Kisahnya sangat mirip dengan kisah Nona He, akhir-akhirnya si Hantu terkunci di istana bawah tanah. Promosi yang tertulis di kartu ucapan yang kamu pegang itu adalah tentang kembalinya si Hantu. Aku berfirasat ini cara si musuh memberitahu kita bahwa dia akhirnya akan segera menampilkan diri.”

Si pria menatap tajam kartu ucapan yang lagi dipegang: “Jadi maksudmu kartu ini menjadi sarana komunikasi si musuh pada Vero He?”

“Benar. Waktu melihat kartu ucapan ini, Nona He jadi agak kehilangan kendali,” angguk si asisten Vero He. Terus mendampingi Vero He setiap waktu, Erin tidak juga bisa sepenuhnya menjaga si atasannya dari hal yang tidak-tidak. Maklumlah, tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini. Entah apa lagi cara yang akan digunakan musuh untuk menakut-nakuti Vero He lagi......

Taylor Shen mengencangkan pegangannya sampai kartu itu sedikit lecek. Ia tersenyum satir dan bertanya: “Hantu yang kembali? Jadi sekarang tidak mau bersembunyi lagi?”

James He melipat kedua kaki dan bersandar anggun di sofa. Ia menjelaskan: “Mungkin si musuh merasa waktunya sudah pas dan tepat.”

“Tidak peduli dia manusia atau benar-benar hantu, aku tidak akan melepaskannya begitu saja,” kata Taylor Shen dengan mata yang menyiratkan kemarahan.

“CEO Shen, selain untuk mengingatkanmu tentang ini, kami datang kemari untuk satu urusan lagi. Apa Nona He pernah bercerita padamu soal pengalaman disekapnya selama dua tahun? Kami curiga tempat disekapnya itu tidak eksis di dunia nyata,” tutur James He.

Taylor Shen menyipitkan mata dan bertanya bingung, “Maksudnya?”

“Maksudku, hal-hal yang ada dalam ingatan Nona He bisa jadi fiktif dan dimasukkan secara sengaja oleh orang lain. Sebagai akibatnya, usaha kita lima tahun ini untuk menyelidiki penyekapan itu tidak juga menemukan titik terang.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Taylor Shen terkejut. Ia pernah dengar tentang hipnotis, namun tidak menyangka hal macam ini benar-benar ada. Kalau semua ingatan Vero He tidak benar-benar nyata, lantas apa yang sebenarnya nyata?

James He menoleh ke Erin. Yang ditatapan berinisiatif menerangkan: “Vero He pernah menggambar sebuah bangunan berdasarkan ingatannya. Ia bilang itu tempat Tuan Muda menyelamatkannya, lalu ia menyuruhku untuk mencari bangunan itu. Ketika aku pergi mencari, orang-orang di sekitar tempat yang dimaksud bilang tidak pernah melihat bangunan macam itu. Aku lantas jadi curiga Nona He sebenarnya tidak pernah tinggal di bangunan itu.”

“Aku ingat aku waktu itu ke Kota H karena ada urusan kantor. Si musuh mungkin mengetahui ini, lalu sengaja menampilkan Vero He biar aku bawa pulang ke Kota Tong,” timpal James He.

“Tetapi kamu sempat bilang, waktu kamu menemukan Tiffany Song, dia terlihat seperti baru keluar dari neraka. Kok sekarang tidak bilang begitu lagi?” tanya Taylor Shen. Kalau ingatan Vero He palsu, usaha penelusuran mereka saat ini bisa dikatakan baru menghasilkan titik terang sebesar nol persen.

“Kata-kataku masih sama kok, dia keluar dengan kondisi tubuh luka berat dan penuh darah. Setelah kubawa balik ke Kota Tong, aku butuh waktu nyaris satu tahun untuk membuatnya responsif lagi pada keadaan sekitar. Setelah itu, aku masih butuh tiga tahun lagi untuk mengenalkan ulang dunia padanya. Aku menebak memori Vero He ada yang diubah-ubah. Yang disisakan adalah memori-memori buruk, yakni memori-memori yang biasa membuatnya kehilangan kendali,” respon James He dengan wajah yang makin serius.

Dahi Taylor Shen terlipat sangat dalam. Ia awalnya mengira urusan mereka sekarang sudah cukup rumit. Tidak disangka-sangka, ternyata kerumitan ini masih bisa bertambah signifikan. Jadi, Vero He merasa dunianya saat ini sangat kacau karena dia tidak tahu mana yang sungguhan dan mana yang layak dipercayai?

Erin gigit-gigit bibir. Wanita itu kemudian menambahkan: “Ada satu hal lagi. CEO Shen adalah orang paling dekat Nona He, juga merupakan orang yang paling mungkin menyakitinya. Karena ketidaktenangan dia berasal dari kamu, aku terpikir kita harus mengerjakan dua hal secara sekaligus. Pertama, jelas kita harus membawa Nona He menjalani pengobatan. Kedua, CEO Shen untuk sementara ini jangan berhubungan dengannya.”

“Apa?” Taylor Shen bangkit berdiri dengan gusar, “Kamu menyuruhku untuk berhenti menghubunginya sementara? Kamu yakin kamu tidak sedang bercanda?”

“Aku serius. Semalam Tuan Muda sudah cerita padamu, semakin dalam hubungan kalian, maka Nona He bakal semakin kacau. Hari ini dia bilang padaku dia mendengarkan suara aneh terus-menerus. Suara itu mengingatkannya untuk tidak percaya padamu dan bilang Jacob Shen merupakan bukti pengkhianatanmu padanya,” jawab Erin dengan tenang dan tanpa terpancing.

Novel Terkait

Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu