You Are My Soft Spot - Bab 217 Di Antara Kami Tidak Pernah Ada Cinta (2)

Melihat Angelina Lian makin terpancing emosi, Vero He tersenyum tipis: “Kelihatannya daya tarung Nona Lian sudah pulih ya. Memang mau bagaimana lagi? Pria yang setiap hari kamu idamkan ternyata hanya punya aku di hatinya. Walau aku melewatkan malam pernikahan di penjara, yang ia nikahi tetap aku dan bukan kamu.”

Angelina Lian murka hingga sekujur tubuhnya gemetar. Selama tujuh tahun kemarin, bumi terus berotasi, waktu terus berjalan, setiap orang terus berubah. Yang tidak berubah hanya perasaan cinta Taylor Shen pada Tiffany Song.

Mengapa ia terus-terusan kalah dari wanita di hadapannya ini?

Vero He menanggapi: “Yang ia nikahi memang kamu, terus kenapa? Ia membiarkan kamu masuk penjara kan juga untuk membelaku, ya kan? Tiffany Song, kamu jangan terlalu geer dia cinta kamu.”

Christian ketakutan mendengar pembicaraan mereka. Urusan tujuh tahun yang lalu adalah topik pembicaraan yang tabu. Angelina Lian tahu betul mengungkitnya akan memancing tempramen Vero He. Ia benar-benar khawatir pancingan ini akan membuat Vero He makin benci CEO Shen.

Vero He tidak merasa terhina atau apa. Ia ikutan mengungkit masa lalu: “Nona Lian, selamat, kepintaranmu tertinggal di tujuh tahun yang lalu. Kamu pikir drama yang kamu sutradai dan perankan sendiri itu bisa mengubah apa? Selain membuatmu terbaring di ranjang selama tujuh tahun bagai orang mati, tidak ada lagi yang terjadi.”

Mendengar Vero He menyamakan dirinya dengan orang mati, Angelina Lian sungguh gusar. Ia merespon: “Tiffany Song, jangan merasa memang. Apa saja yang aku ubah hatimu pasti paham. Kamu dan Taylor Shen tidak akan bersatu lagi.”

Angelina Lian lalu keluar dari ruang pasien Taylor Shen dengan langkah goyah.

Vero He mengamati bayangan tubuh wanita yang pergi dengan muram. Christian berdiri di sebelahnya dan mendinginkan suasana: “Nyonya Shen, kata-kata Nona Tiara tidak perlu kamu masukkan dalam hati. Anggap saja dia pasien yang baru pulih dari koma dan tidak tahu apa-apa.”

Tanpa menjawab, Vero He menoleh ke Taylro Shen. Ia bertanya: “Dokter memberikan dia obat tidur seberapa banyak sih? Kita ribut parah begini kok bisa-bisanya dia masih tidur bagai babi mati?”

“……” Christian kehabisan kata-kata mendengar bosnya disamakan dengan babi.

Vero He mengelus wajah Taylor Shen dengan lembut. Ia berkomentar: “Sudah tua tapi kulitnya masih bagus dan terawat ya. Aku sungguh cemburu dan iri.”

“……” Christian terdiam lagi tidak tahu harus menanggapi apa.

Vero He mengembalikan tangan ke posisi semula, memakai kacamata hitam, dan bertanya: “Aku sudah datang, juga sudah lihat. Sekarang boleh aku pulang?”

Christian awalnya mau minta si wanita menunggu Taylor Shen bangun, tetapi tidak berani menyampaikan permintaan ini. Ia membalas: “Aku antar kamu ke depan.”

Vero He berjalan keluar tanpa memendam ketidakrelaan pergi sedikit pun. Christian membukakan pintu dan ikut keluar. Keduanya berjalan ke depan lift, lalu si asisten menekan tombol turun. Pintu lift perlahan terbuka dan keduanya masuk.

Vero He menatap bayangannya sendiri di sisi samping lift. Ia tiba-tiba bertanya: “Christian, setelah meninggalkan Kota Tong, CEO Shen sebelumnya benar-benar belum pulang ke sini lagi sekali pun?”

“Iya. Dia bilang Kota Tong penuh kenangan buruk. Kali ini saja, kalau bukan diundang CEO Li, ia pasti tidak akan kemari,” jawab Christian. Orang itu melanjutkan: “Nyonya Shen, aku tahu kamu menyimpan dendam dan benci pada CEO Shen, tetapi dia juga orang yang layak dikasihani. Dia……”

“Dia apa?” kejar si wanita.

“Em, tidak apa-apa. Ada beberapa hal yang harus CEO Shen bicarakan sendiri padamu,” geleng Christian.

Vero He gigit-gigit bibir tanpa bertanya. Ia sebenarnya tidak paham dengan dirinya sendiri. Jelas-jelas ia benci Taylor Shen dan ingin dia mati, jelas-jelas Taylor shen jahat padanya, jelas-jelas Taylor Shen mengaku tidak menginginkan dia dan anaknya, tetapi mengapa saat pria itu masuk rumah sakit ia tidak tahan untuk tidak menjenguknya?

Vero He merasa seperti didorong sebuah kekuatan misterius untuk mendekatinya. Tidak peduli dalam situasi apa, kekuatan itu terus muncul.

Lift tiba di lantai satu. Christian mengantar Vero He ke parkiran. Ketika mobil si tamu sudah pergi, Christian baru menarik pandangannya dan berjalan kembali masuk rumah sakit. Ia memikirkan baik-baik pertanyaan Nyonya Shen barusan, namun tidak menemukan petunjuk apa pun. Pria itu menggeleng dan balik ruang pasien.

Setelah menyetir beberapa saat, Vero He menyalakan lampu sen dan meminggirkan mobil di sisi jalan. Ia lalu menyalakan lampu hazard untuk mengingatkan mobil-mobil lain akan keberadaan mobilnya di sana. Wanita itu lalu memijit-mijit jidat yang pusing, menurunkan posisi sandaran mobil sampai ke bawah, dan berbaring.

Di benak Vero He, muncul wajah Taylor Shen yang pucat pasi seperti di ranjang pasien tadi. Kalau pria itu pura-pura sakit hanya untuk menarik simpatinya, saat ia dan Angela He ribut dia pasti terbangun. Kenyataannya Taylor Shen tidak bangun sama sekali, tandanya dia sungguhan sakit.

Tadi saat ia memarah-marahinya di hotel, ia juga bisa merasakan rasa sakit dan rasa bersalah Taylor Shen yang alami dan tidak dibuat-buat. Di hati Vero He, Taylor Shen adalah orang yang menjijikan, bahkan tega menelantarkan istri dan anak. Tetapi, mengapa impresinya ini terus berubah semakin lama ia mengenalnya?

Pria berdarah dingin dan tidak berperasaan yang ada di ingatannya, ap aitu benar Taylor Shen? Kalau bukan Taylor Shen, itu siapa?

Otak Vero He terasa mau pecah akibat berpikir keras soal ini. Sebenarnya Taylor Shen yang sungguhan itu yang mana? Pria yang sekarang lemah dan terluka, atau pria yang seingatnya kejam dan tidak berperasaan?

Vero He merasa seperti menjadi besi di tengah dua magnet. Mau ikut yang kiri, atau mau ikut yang kanan? Ia tidak tahu harus percaya pada ingatannya atau pada semua yang ada di depan mata……

Tok tok tok, kaca mobil diketuk orang. Suara ketukan itu menarik Vero He dari lamunannya. Ia menegakkan posisi duduk daan menoleh ke luar. Seorang petugas lalu lintas berdiri di sumber ketukan. Ia pun kaca dan polisi berujar: “Nona, kamu tidak kenapa-kenapa kan? Di sini tidak boleh parkir, mohon pergi.”

“Iya, aku baik-baik saja. Baik, aku segera pergi. Terima kasih,” angguk Vero He. Ia kembali menutup jendela dan melajukan mobil.

……

Keesokan hari, Taylor Shen terbangun ketika hari sudah terang. Ia mendudukkan diri pelan-pelan. Bau rumah sakit memenuhi rongga hidupnya. Ia juga melihat tag nama bertuliskan namanya di sisi ranjang.

Taylor Shen hanya ingat seluruh pandangannya hitam saat berada di lobi hotel. Setelah itu, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.

Di ruang ini, hanya ada dia seorang. Ketika ia melepas selimut dan turun dari ranjang, pintu ruangan dibuka seseorang. Christian, yang masuk sambil membawa bubur, terkejut melihat bosnya sudah bangun. Ia menyambut penuh sumringah: “CEO Shen, akhirnya kamu bangun juga. Semalam kamu sungguh membuatku takut. Dokter bilang kamu pingsan karena kelelahan dan banyak pikiran. Ia menyuruhmu istirahat dulu beberapa hari.”

Yang disambut melipat dahi dan membalas tidak simpatik: “Aku paham dengan kondisi tubuhku sendiri. Cepat urus prosedur keluar rumah sakit.”

“CEO Shen, belakangan imsoniamu makin parah, badanmu yang kuat saja sampai tidak tahan. Lebih baik menginap dulu di rumah sakit dua hari untuk memulihkan kondisi.” Christian menaruh bubur yang ia bawa di meja.

Si bos makin gusar, “Sejak kapan kamu banyak basa-basi begini?”

“Ini bukan aku yang bilang, tapi Nona He. Ia kemarin datang menjengukmu. Demi Nona He, kamu pasti mau memulihkan diri kan?” Christian berbohong demi kebaikan. Selain Vero He, rasa-rasanya tidak ada lagi orang yang bisa digunakan untuk menekan Taylor Shen.

Si bos tidak percaya. Semalam ia melihat sendiri Vero He pergi dengan Fabio Jin, jadi mana mungkin ia dikunjungi? Ia memaksa, “Aku sudah bilang aku mau segera keluar. Cepat urus prosedur keluar!”

“CEO Shen, kamu tidak mau dengar kata-kata Nona He? Ia pasti akan sangat kecewa.” Christian masih berusaha membujuk. Bosnya akhirnya terpengaruh juga.

“Ia semalam benar-benar datang?” tanya Taylor Shen. Ia semalam sudah menamparnya dan wanita itu marah besar, bahkan bilang benci dirinya. Saat ia sakit, masak dia benar-benar menjenguk?

“Sungguhan, aku berani sumpah!”

Taylor Shen mengangguk dengan hati yang masih tidak percaya. Ia merogoh ponsel dan menelepon Vero He di hadapan Christian. Nada tunggu berbunyi tiga kali, lalu telepon diangkat dan yang di seberang bertanya dingin, “Sudah bangun?”

“Iya. Kamu kemarin malam datang kemari?” Taylor Shen berjalan ke sisi jendela. Dari sini, ia bisa melihat seluruh bagian dalam rumah sakit. Mendengar pertanyaan Vero He, perasaannya terbang ke langit ketujuh. Ternyata wanita itu masih menjenguknya meski habis bilang benci……

“Benar. Christian bilang kamu pingsan, jadi aku pergi menjenguk. Waktu aku di sana, kamu belum bangun.” Nada bicara Vero He datar dan tidak menyiratkan kelembutan sama sekali.

Tetapi, bagi Taylor Shen, kata-kata Tiffany Song adalah pemupuk semangatnya yang paling efektif. Ia terdiam, yang di seberang juga diam. Taylor Shen tiba-tiba berujar: “Tiffany Song, maaf, aku tidak seharusnya memukulmu kemarin malam. Aku……”

“Aku semalam juga agak kehilangan kendali, jadi aku tidak mau menyalahkanmu. Tetapi, Taylor Shen, kejadian ini sangat merendahkan harga diriku. Kita juga tidak dekat, jadi aku harap kamu tidak mengulangnya lagi.” Keduanya kembali hening.

Suasana jadi agak canggung. Si pria terbayang adegan si wanita berujar benci padanya. Dengan suara serak, ia bertanya: “Tiffany Song, aku harus bagaimana biar kamu tidak benci aku?”

Vero He terhenyak. Taylor Shen benar-benar memasukkan kata-katanya ke dalam hati. Ia memijat-mijat jidatnya yang pusing. Ia tidak tidur semalaman karena lagi-lagi memikirkan kenyataan dan ingatan yang bertolak belakang. Vero He tidak tahu mana yang benar dan harus diikuti……

“Kalau aku minta kamu untuk tidak muncul di hadapanku lagi, kamu bisa laksanakan?”

Taylor Shen terdiam. Beberapa detik kemudian, ia baru menjawab: “Tidak bisa. Tiffany Song, walau pikiran rasionalku terus menyuruhku melepasmu, hatiku tidak bisa melakukannya.”

“Berarti aku juga tidak bisa berhenti membencimu.” Vero He mematikan telepon tanpa menunggu jawaban lagi. Kebetulan sekali, Erin pada saat bersamaan membuka pintu dan masuk. Melihat raut bosnya tidak begitu baik, ia bertanya: “Ada apa? Sakit ya?”

“Tidak. Kebetulan kamu datang, aku ingin memintamu menyelidiki sesuatu.” Vero He mengeluarkan sebuah gambar dari laci. Gambar ini ia buat ketika baru terbangun dari mimpi buruk dan masih ingat betul mimpinya. Vero He menyerahkan gambar ke Erin, “Erin, pergi ke tempat ini dan cari bangunan ini.”

Si asisten menerima gambar itu. Melihat alamat yang tertulis di sana, ia bertanya heran, “Cari untuk apa?”

“Nanti kalau sudah ketemu, lapor ke aku.” Vero He tidak menjelaskan lebih lanjut karena sekarang pikirannya lagi kacau. Semua yang ada di depan matanya terasa palsu, ingatannya juga begitu. Ia entah mengapa merasa dunia sedang mengerjainya. Semua yang ia ketahui jangan-jangan juga palsu. Kalau semuanya ini palsu, jadi apa yang asli?

“Baik.” Erin tidak bertanya lagi dan bersiap keluar sambil membawa gambar.

Ketika Erin buka pintu, Vero He teringat sesuatu, “Erin, jangan sampai ada orang lain tahu soal ini.”

“Siap,” angguk si bawahan.

“Satu lagi, utus orang mengawasi Angelina Lian. Ia sudah bangun, jadi pasti akan banyak masalah yang ia timbulkan lagi. Jangan sampai ia sadar ia diawasi.” Vero He teringat tatapan kebencian Angelina Lian semalam. Ia sama sekali tidak nyaman dengan tatapan ini. Sekali pun ia sudah tahu rahasianya, ia tidak mau berdiam diri ketika “ditusukkan pisau” begini.

Erin mengangguk-angguk tanda paham. Ia merespon: “Baik, aku akan segera utus orang.”

Vero He mengibas-ibaskan tangan tanda menyuruhnya keluar. Ruang kerja wanita itu kembali tenang. Ia menunduk menatap ponsel. Sebenarnya masih ada satu solusi yang sangat langsung, yakni pergi bertanya ke Taylor Shen sendiri.

Novel Terkait

Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
4 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
5 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu