You Are My Soft Spot - Bab 187 Setua-Tuanya Aku, Kamu Masih Lebih Tua (1)

Stella Han terkejut. Ia menatap Tiffany Song dan merasa sahabatnya itu saat ini sangat kasihan. Ia membentangkan kedua tangan, memeluknya, dan berujar halus: “Tiffany Song, tidak apa-apa. Kalau pun tidak ada mereka, kamu sendiri kan juga sudah dewasa.”

Stella Han sungguh merasa iba. Meski ia dibesarkan bukan dari keluarga kaya, ayah ibunya tetap membesarkan dia layaknya harta karun. Ia tidak pernah merasa tidak nyaman dalam hal apa pun. Sebaliknya, Tiffany Song, dia dibesarkan di keluarga Song yang kaya raya tetapi sebenarnya tidak tahu di mana keberadaan orangtua kandung.

Tiffany Song menaruh dagu di bahu Stella Han. Nada bicaranya sangat pilu, “Meski mereka tidak menghendaki keberadaanku, aku tetap ingin tahu siapa mereka. Stella Han, apa aku ini memang sudah ditakdirkan untuk tidak tahu ayah dan ibuku seumur hidup?”

“Jangan berpikir begitu. Siapa tahu mereka punya alasan mereka sendiri,” Stella Han menenangkan.

Tiffany Song tersenyum kecut, alasan apa itu? Kalau saja ia anak laki-laki, semuanya pasti akan berubah drastis kan? Pikiran ini tiba-tiba melintas di benaknya. Ia buru-buru menghilangkan pikiran itu, kok bisa sih sampai terpikir begitu?

Kepala Panti Asuhan bilang orangtua Tiffany Song datang dengan membawa pengawal pribadi. Para pengawalnya juga memanggilnya “perwira tinggi”. Hanya petinggi pemerintahan yang bisa dapat panggilan begitu. Dengan status sosial mereka yang tinggi, mereka tidak mungkin tidak bisa menghupi satu orang anak. Apa mereka membuangnya dan membiarkan ia terlunta-lunta di luar begini karena menganggap ia tidak berguna?

Tiffany Song menarik nafas panjang. Sayang, rasa benci yang membara di hatinya tidak bisa juga dipadamkan. Tiffany Song sebelumnya tidak pernah berpikiran untuk membenci mereka, namun kunjungan kali ini sungguh memantik rasa benci itu. Beberapa saat kemudian, Tiffany Song bilang: “Stella Han, ayo pulang. Aku tidak mau datang lagi ke tempat ini.”

Stella Han mengangguk, “Baik, ayo. Kamu besok mau menikah, jangan pikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Nikmatilah momenmu sebagai pengantin baru semaksimal mungkin.”

“Iya,” angguk Tiffany Song balik. Stella Han menggandeng lengan Tiffany Song berjalan keluar dari panti asuhan. Ia sekilas mendengar suara tawa dua orang anak di belakang. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak menemukan apa-apa. Kedua tawa itu juga sekejap hilang.

Tiffany Song memperhatikan keanehan Stella Han. Ia bertanya: “Stella Han, kamu kenapa?”

Stella Han menggeleng, “Tidak kenapa-kenapa. Yuk jalan.”

Keduanya membuka pintu mobil dan masuk. Stella Han menyalakan mesin sambil mengamati pohon lokus yang berada jauh di depan sana. Ia mencoba mengingat-ingat memori apa dalam benaknya yang bersinggungan dengan pohon itu.

“Stella Han, Stella Han……” Panggilan Tiffany Song menyadarkan sahabatnya dari lamunan. Stella Han bertanya, “Apa?”

“Kamu lihat apa?” Tiffany Song merasa Stella Han tidak berkonsentrasi, “Kamu tidak enak badan ya? Perlu aku yang nyupir?”

“Tidak perlu. Yuk pulang sekarang.” Stella Han memutar balik mobil dan melajukan mobil dengan kencang. Bangunan panti asuhan yang mirip gereja semakin lama semakin jauh dari mereka. Stella Han dalam hati masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin? Ia punya ayah punya ibu, mana mungkin dia pernah tinggal di situ?

Beberapa lama kemudian, mereka berpapasan dengan rombongan mobil mewah di jalur berlawanan. Di depan rombongan ada dua Mercedes-Benz, sementara di tengah-tengahnya ada Hongqi. Rombongan itu melaju lebih kencang daripada Maserati milik Stella Han, jadi dalam perjumpaan mereka hanya sekejap saja.

Stelal Han mendesah: “Sekarang sungguh banyak orang kaya ya. Mercedes Benz buka jalan, tengah-tengahnya Hongqi. Sepertinya itu mobil tentara.”

Tiffany Song menengok ke belakang melihat rombongan mobil yang sudah sangat jauh. Ia tidak berpikiran lebih panjang lagi. Ia menarik pandangannya dan berujar pada si penyetir: “Stella Han, kedatangan kita ke panti asuhan kali ini untuk sementara jangan ceritakan ke siapa-siapa ya.”

“Iya. Tenang saja, aku akan tutup mulut rapat-rapat,” jamin Stella Han.

Tiffany Song memejamkan mata. Ia lalu mengeluarkan gembok emas dari tasnya dan mengamatinya berlama-lama. Melihat tingkah sahabatnya itu, Stella Han dalam hati membuang nafas pasrah. Nasib Tiffany Song sungguh menyedihkan!

……

Di dalam lembaga permasyarakatan, seorang polisi masuk ke ruang tempat Karry Lian ditahan. Ia membuka pembicaraan: “Tuan Lian, pemilik lama tambang batubara sudah ditangkap. Ia mengaku sudah menjual tambang batubara yang berisiko padamu. Kamu bebas dari tuduhan dan bisa pergi sekarang.”

Karry Lian, yang tengah duduk di lantai, bangkit berdiri. Ia tersenyum lebar: “Pak Polisi, terima kasih.”

“Sama-sama. Pengurus rumahmu sudah menunggu di depan,” balas polisi dengan wajah tegas. Begitu Karry Lian sudah keluar, ia membanting jeruji sel dan menguncinya. Suara bantingan itu membuat Karry Lian gemetar.

Karry Lian menghentikan langkahnya dan menoleh ke jeruji sel. Setelah menatapinya sebentar dengan perasaan campur aduk, ia kembali berjalan ke depan tanpa menoleh lagi.

Di depan lembaga permasyarakatan, seorang pria paruh baya sudah menunggu Karry Lian. Pria itu memegang mantel biru gelap di lengan. Melihat kehadiran Karry Lian, ia buru-buru mengampirinya dan memberikan mantel yang ia pegang, “Pakailah, di luar dingin!”

Karry Lian menerima sodoran manted dan memakainya. Mereka kemudian berjalan ke mobil. Pria tua membukakan pintu belakang, menunggu Karry Lian masuk, lalu menutupnya. Ia kemudian memutari mobil dan masuk pintu supir. Mobil menyala dan siap dikemudikan.

Sekeluarnya dari kompleks lembaga permasyarakatan, Karry Lian yang dari tadi diam akhirnya buka mulut: “Paman Bai, semuanya sudah diatur?”

“Sudah, Tuan Muda. Aku sudah mengaturnya sesuai perintahmu. Pihak nona sana akan menurut padamu.” Paman Bai adalah orang kepercayaan keluarga Lian. Seumur hidupnya dihabiskan untuk bekerja pada keluarga ini. Sekali pun yang ingin dilakukan Karry Lian sangat riskan dan berbahaya, ia tetap membantunya melakukan itu tanpa protes satu kata pun.

“Seratus persen aman?” tanya Karry Lian sambil mengamati pemandangan luar yang berlalu cepat.

“Jamin seratus persen,” garansi Paman Bai.

Karry Lian memejamkan mata dan tidak bicara lagi. Paman Bai mengamatinya melalui kaca sion belakang. Ia semakin lama semakin merasa kasihan pada tuan muda. Semua dendam almarhum Tuan Besar Lian ada di pundaknya. Ia takut tuan muda terbebani dan stress

Karry Lian kembali membuka mata dengan tatapan berbinar-binar. Ia sudah tertangkap basah mau membunuh Taylor Shen. Meski begitu, ia tidak akan menyerah dengan usahanya. Ada pepatah bilang, kalau mau menghabisi seseorang, mulailah dengan menghabisi sesuatu yang ia paling pedulikan. Yang Taylor Shen paling pedulikan siapa lagi kalau bukan…… Tiffany Song!

Setengah jam kemudian, Taylor Shen dapat kabar Karry Lian sudah bebas. Pria itu duduk di kursi kerja sambil bertanya pada Eden Zhu: “Dia sudah bebas?”

“Iya. Ia keluar setengah jam lalu dan dijemput pengurus rumah keluarga Lian,” jawab Eden Zhu.

Taylor Shen memijit-mijit jidat. Lian’s Corp saat ini sudah kosong-melompong, para pemegang saham pasti tidak menghendaki Karry Lian kembali. Ia mengambil keputusan: “Kita tidak perlu pedulikan dia. Tanpa Lian’s Corp, ia tidak bisa menganggu kita.”

“Tetapi…… CEO Shen, sekalinya seseorang kehilangan segalanya, ia akan jadi lebih menakutkan dibanding orang gila. Rasa-rasanya kita perlu memperkuat pengamanan kita?” saran Eden Zhu.

Taylor Shen menimbang-nimbang. Ia berujar lagi: “Tambah orang yang berjaga di sekitar Sunshine City, jangan biarkan ia mendekati Tiffany Song. Satu lagi, utus orang untuk mengawasi setiap gerak geriknya. Setiap ada yang aneh, kamu langsung lapor ke aku. Dua hari ini aku tidak akan melakukan apa-apa pada dia, semuanya nanti kita bicarakan lagi seusai acara pernikahan.”

“Baik, CEO Shen, aku akan segera tambah dan utus orang,” angguk Eden Zhu sambil bergegas keluar.

Taylor Shen bangkit berdiri dari kursi dan berjalan ke jendela ruangan. Di luar sana sedang turun hujan salju super lebat. Semua gedung tinggi dibuat putih olehnya. Musim dingin tahun ini tiba cukup dini. Beberapa hari terakhir selalu turun hujan salju, pinggir-pinggir jalanan jadinya penuh tumpukan salju yang sangat tebal.

Ini pertanda baik untuk tahun berikutnya, tetapi entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang abnormal dari banyak salju tahun ini.

Taylor Shen mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong. Ia mengambil satu rokok dari dalam dan menaruhnya di tengah-tengah bibir. Taylor Shen menyalakan rokok itu dan menghembuskan asap yang cukup tebal. Hatinya entah mengapa tiba-tiba merasa khawatir. Setelah selesai merokok, ia kembali ke meja dan menaruh rokok itu di asbak putih kristal. Abu-abu pada ujung rokok jatuh di asbak dan rokok pun mati. Taylor Shen lalu mengambil kunci mobilnya dari atas meja, mengenakan mantel yang ada di lemari, lalu berjalan keluar.

Stella Han mengantar Tiffany Song kembali ke Sunshine City. Vila itu penuh dekorasi lentera dan pita warna-warni. Di pintu utama dan jendela-jendela sekitar juga sudah dipasangi stiker huruf Mandarin khas orang menikah. Dari taman bunga hingga ke bangunan rumah bahkan ada hiasan pintu bundar untuk pasangan yang baru menikah juga. Dekorasi warna ungu nampak sangat romantis. Di bawah hujan aslju yang lebat, seluruh sisi vila itu sungguh memanjakan mata.

Melihat dekorasi-dekorasi ini, Tiffany Song baru merasakan ia akan segera menginjak tangga pelaminan besok.

Bibi Lan daritadi sudah menunggu si nyonya. Melihat Tifafny Song pulang, ia senang sekali. Dekorasi-dekorasi baru di rumah membuat hati Tiffany Song yang gundah jadi jauh lebih baik. Ia tidak semuram sebelumnya.

Stella Han ikut Tiffany Song masuk. Bibi Lan mengamatinya dan menyapa: “Ini Nona Stella Han kan pasti? Kamu cantik sekali. Aku sering mendengar nyonya menyebut-nyebut kamu.”

“Bibi Lan, halo.” Stella Han menyambut sapaan Bibi Lan. Si bibi jadi makin ceria. Ia berujar: “Nona Han, ayo duduk. Aku senang sekali dengan kedatanganmu. Kalau ada yang sesuatu yang membuatmu kurang berkenan, mohon maklum-maklum ya.”

Tiffany Song berdiri di sebelah Stella Han. Mendengar panggilan Bibi Lan pada sahabatnya, ia memperbaiki dengan maksud meledek: “Bibi Lan, jangan panggil dia Nona Han. Panggilah dia sebagai Nyonya Bo.”

“Oh iya, betul juga. Sebentar ya Nyonya Bo, aku mau siapkan snack untukmu,” balas Bibi Lan. Vila sudah lama sekali tidak seramai ini, jadi ia sangat senang dengan kedatangan si tamu.

Merasa diisengi oleh Tiffany Song, Stella Han memandangi sahabatnya dengan pura-pura marah. Tiffany Song tertawa riang, “Kita duduk situ yuk.”

Tiffany Song jadi jauh lebih bawel sepulangnya ke Sunshine City. Ini rumah dia yang sebenarnya, tempat di mana ia bisa berekspresi sebebas-bebasnya tanpa mengkhawatirkan apa pun. Rumah kediaman keluarga Shen, sebaliknya, adalah penjara yang sering membuatnya kesulitan bernafas.

Tiffany Song dan Stella Han duduk di sofa. Para asisten rumah mengantarkan teh dan penganan-penganan kecil tanpa mengganggu perbincangan mereka. Besok Tiffany Song akan menikah, jadi ia harus merayakan hari terakhir kelajangannya sesuai adat istiadat yang berlaku. Sayang, teman Tiffany Song sangat sedikit. Keluarganya…… Tiffany Song tidak tahu siapa keluarganya.

Karena masalahnya dengan Lindsey Song, keluarga Song bersikap semakin dingin padanya. Callista Dong juga tidak mau bertemu lagi, mungkin karena tidak memaafkan fakta yang ia sembunyikan. Sekarang yang bisa menemani dan mengantarkannya ke tangga pernikahan hanya Stella Han.

“Stella Han, kamu belum cerita ke orangtua soal pernikahanmu dengan Jordan Bo?”

“Iya belum, aku masih ingin menunggu dulu lagi.” Senyuman di wajah Stella Han langsung pudar begitu mendengar nama si pria. Ia hari ini tidak pergi kerja pun karena bertengkar dengan Jordan Bo. Ia sungguh tidak paham apa sebenarnya mau si pria.

“Tunggu apa?”

“Aku selalu merasa hubunganku dengan dia belum stabil, jadi aku tidak berani bercerita ke orangtuaku.” Stella Han mengambil satu biskuit dan melahapnya. Ia memuji: “Enak! Tiffany Song, makan juga deh coba.”

Tiffany Song sadar Stella Han tengah berusaha mengalihkan topik. Beberapa hari lau, saat mereka makan malam ke Swiss Sea Club, ia merasa ada masalah di antara sahabatnya itu dengan si suami. Meski begitu, ia tidak bisa ikut campur dengan urusan pribadi macam itu.

Tiffany Song mengambil biskuit yang ditunjuk Stella Han. Baru makan sekali, mungkin karena rasanya agak kuat atau alasan lainnya, ia langsung merasa perutnya teraduk-aduk. Tiffany Song buru-buru menaruh biskuit tehnya di meja dan berlari ke kamar mandi.

Stella Han bangkit berdiri dan buru-buru mengikutinya. Baru masuk ke kamar mandi sebentar, Tiffany Song sudah merasa perutnya tenang lagi. Ia mengelus-elus dada dengan lega. Stella Han bertanya khawatir, “Tiffany Song, kamu kenapa?”

“Mungkin masuk angin. Aku tidak apa-apa kok.” Tiffany Song keluar dari kamar mandi dan kembali ke sofa. Ia tidak mau menyentuh biskuit itu lagi.

“Mau tidak panggil dokter untuk cek? Kamu besok mau nikahan loh, jangan sampai sakit,” tawar Stella Han perhatian setelah mereka kembali duduk.

“Tidak perlu. Ini bukan masalah besar, minum air panas juga sembuh kok,” geleng Tiffany Song. Hujan salju makin makin besar seiring mereka berbincang. Stella Han berbaring di sofa sambil mengamati pemandangan luar. Ia teringat awal-awal perkenalan mereka: “Cuaca sekarang sangat cocok untuk makan hotpot daging kambing. Tiffany Song, kamu masih ingat pertama kali kita makan hotpot daging kambing?”

“Masih dong. Waktu itu kita sangat miskin. Kita hidup sangat hemat setelah bayar sewa rumah, namun hari itu kita melanggar penghematan ini karena mau makan hotpot daging kambing. Kita pergi ke restoran terdekat, terus memesan dua porsi daging kambing dan sepuluh iris sawi putih. Sesudah makan, kita terus meler saking pedasnya.” Keduanya sama sekali tidak merasa malu membicarakan masa lalu yang absurd. Mereka malah merasa sangat sayang dengannya karena hari itu tidak akan bisa diulang lagi.

“Iya, aku meler semalaman loh. Kalau sekarang kita makan itu lagi untuk merayakan berakhirnya masa lajang kita enak sih……” cetus Stella Han.

“Ayo kita beli ke supermarket sekarang juga.” Tiffany Song juga merasa itu ide bagus. Ia bangkit berdiri dan menarik Stella Han keluar vila. Di dekat vila ada sebuah supermarker yang lengkap. Seusai membeli daging kambing dan sayur-mayur, keduanya kembali ke vila dengan menerobos hujan salju.

Setibanya di Sunshine City, mereka melihat ada dua pria berdiri di depan bangunan vila. Keduanya mengenakan mantel hitam dan sarung tangan kulit. Mereka berdiri gagah sambil menatapi hujan dan kedua wanita pulang.

Melihat Tiffany Song dan Stella Han berjalan mendekat, kedua pria langsung menyambut dengan mengambilkan kantong plastik yang mereka tenteng.

Tiffany Song mengamati prianya dengan heran, “Bukannya kamu bilang hari ini kamu tidak kemari?”

Novel Terkait

Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu