You Are My Soft Spot - Bab 268 Cinta Adalah Pisau Bermata Dua (3)

Keesokan hari, Stella Han sudah terbangun sebelum jam lima. Saat menoleh, ia melihat Vero He terbaring di sebelahnya. Hatinya langsung terasa sangat hangat. Menyenangkan dan menghibur sekali rasanya ada sahabat yang terus mendampingi di masa-masa sulit begini……

Mungkin karena kemarin tidur cukup awal dan sangat nyenyak, Stella Han tidak bisa lanjut tidur lagi. Ia menyalakan ponsel dan menerima sebuah pesan baru. Itu pesan dari Evelyn, bunyinya: “Mama, kamu di mana? Nenek bilang kamu tidak mau aku lagi, apa kamu sungguh-sungguh tidak mau aku lagi?”

Pesan itu diakhiri dengan simbol orang menangis kencang. Hati Stella Han langsung berdesir. Ia memejamkan matanya yang tanpa sadar sudah berkaca-kaca. Bagaimana mungkin ia sungguh-sungguh tidak mau Evelyn lagi? Tetapi, kalau dia masih menginginkannya, memang Jordan Bo bakal beri izin?

Sudah menikah lama dengan Jordan Bo, Stella Han tahu betul pria itu sangat keras kepala dengan sikap yang sudah diambil. Ia sudah bertahan enam tahun demi Evelyn, namun sekarang tidak bisa lagi.

Evelyn, putriku tersayang…… Mama harus apa biar papamu bisa berubah pikiran?

Stella Han membaca pesan dari Evelyn berulang-ulang. Makin lama, hatinya makin terasa pilu. Wanita itu lalu mendudukkan diri dengan perlahan biar tidak membangunkan Vero He, lalu berjalan keluar kamar dengan berjinjit. Melihat satu sosok gelap tidur sofa, ia kaget setengah mati sampai memegangi dada. Ia bertanya hati-hati: “Siapa?”

“Nona Han, aku Erin.” Si asisten menyalakan lampu meja teh dan seluruh penjuru ruang tamu jadi terang.

Stella Han membuang nafas lega. Ia lalu bertanya: “Nona Erin kok bisa ada di sini?”

“Di mana Nona He berada, aku akan di situ juga. Nona Han ini mau pergi ya?” Erin bertanya begini karena melihat Stella Han menenteng tas dan mantel.

Yang ditanya mengangguk, “Iya, ada sesuatu yang mau diurus.”

Erin bangkit berdiri dari sofa. Rambutnya agak berantakan karena tadi tidur. Ia berujar: “Nona He, aku sebenarnya tidak berhak berbicara begini, tetapi aku merasa harus membicarakannya padamu. Nona He sangat perhatian denganmu, aku harap kamu bisa pertimbangkan lagi rencana perceraiamnmu itu. Dia dari kecil tumbuh sebatang kara, jadi paham betul rasanya ditinggalkan kedua orang tua. Ia tidak ingin Evelyn juga kehilangan kehangatan keluarga. Kalau masalahnya bukan sesuatu yang bersifat prinsipal, jangan terlalu keraskan hatimu. Orang tua yang cerai, anaknya yang kasihan.”

Stella Han gigit-gigit bibir tanpa menanggapi. Berselang beberapa saat, ia berpesan: “Biarkan dia tidur, jangan dibangunkan.”

Erin mengamati sosok Stella Han yang berjalan ke pintu kamar hotel dan keluar. Sekalinya pintu luar ditutup olehnya, pintu dalam kamar dibuka oleh Vero He. Wanita itu berdiri di depan pintu sambil tersenyum kecut, “Kita pada akhirnya tetap tidak bisa mengubah keputusannya bukan?”

“Dia masih peduli anaknya. Mungkin urusan ini sebenarnya tidak sekacau yang kita bayangkan,” jawab Erin.

“Semogalah.” Vero He memijat-mijat pelipisnya yang nyut-nyutan, lalu kembali masuk kamar.

Pelipis yang nyut-nyutan itu ternyata pertanda Vero He sakit parah. Suhu tubuhnya naik cukup tinggi. Erin daritadi menunggu di luar, namun si bos belum keluar kamar juga sampai jam sepuluh pagi. Erin memutuskan masuk ke kamarnya dan baru menyadari wajahnya sangat merah. Pasti ada yang tidak beres, begitu pikir Eri.

Si asisten menempelkan punggung tangan ke jidat Vero He. Ketika merasakan betapa panasnya jidat itu, ia refleks melepaskan tangannya dari situ dan berseru panik: “Nona He, Nona He, kamu sakit. Bangunlah, aku antar kamu ke rumah sakit!”

“Aduh, mendadak aku pusing!” gumam Vero He dengan tidak jelas. Erin terhenyak dan mendekatkan telinga ke bibirnya biar bisa mendengar penuturannya dengan lebih jelas. Ia mendengar si bos bergumam lagi, “Taylor Shen, aku pusing sekali……”

Erin mendongak menatap Vero He. Lagi sakit saja masih mengucap nama Taylor Shen, dasar pasangan aneh!

Biar Vero He bisa segera mendapat pertolongan, Erin buru-buru menelepon dokter keluarga untuk datang. Setibanya dokter itu di kamar hotel, Erin sudah mengompres Vero He namun efeknya sangat minimal.

Dokter mengecek badan Vero He dengan alat ini dan alat itu, lalu bertanya pada Erin, “Demamnya mulai sejak kapan?”

“Tadi pagi,” jawab si asisten. Ia menebak Nona He pasti sakit karena semalam pakai gaun terbuka di udara dingin.

“Ini karena udara dingin, juga karena dia belakangan banyak pikiran. Aku beri dia obat pereda demam dan infus. Kalau tidak turun-turun juga demamnya, antarlah dia ke rumah sakit,” tutur dokter keluarga sembari mengeluarkan sekotak obat pereda demam dari kotak obat. Ia memintanya untuk menyiapkan obat itu sekarang juga.

Erin bergegas menuang air panas, lalu memapah Vero He untuk duduk dan menegak obat. Setelah kelar dan kembali berbaring, bosnya itu lagi-lagi menggumamkan berbagai hal aneh.

Dokter keluarga langsung pergi setelah memasangkan infus. Setelah tadi memanggil-manggil Taylor Shen, Vero He kini memanggil satu nama lain, “Anna, Anna, mama minta maaf nak……”

Demam Vero He makin parah setelah lewat tengah hari. Saat Erin mengecek suhu tubuhnya dengan termometer, suhunya itu bahkan mencapai empat puluh koma lima derajat Celcius. Dengan tarngat bergetar karena tambah panik, Erin mengambil ponsel untuk menelepon James He. Ia tiba-tiba terpikir sesuatu dan memutuskan menelepon Taylor Shen saja.

Yang ditelepon baru mau mulai rapat. Mendengar kabar Vero He demam parah, ia langsung bergegas keluar ruangan tanpa pamit dulu pada para petinggi perusahaan yang duduk di sebelahnya dan berdiskusi soal isu rapat. Taylor Shen lalu mengemudi dengan sangat kencang ke hotel.

Dalam dua puluh menit, Taylor Shen sudah berdiri di depan kamar hotel yang ditinggali Erin dan Vero He lalu memencet bel. Begitu dibukakan pintu oleh Erin, ia langsung berjalan masuk dengan langkah cepat. Erin buru-buru menutup pintu dan berlari untuk mengimbanginya.

“Dia sudah demam berapa lama?”

“Sudah mau sehari. Demamnya tidak turun juga, harus dibawa ke rumah sakit sepertinya.” Melihat wajah Taylor Shen yang gelisah, Erin jadi terbayang wajahnya yang dingin kemarin. Kedua wajah ini berbanding seratus delapan puluh derajat. Jelas sekali bahwa si pria sangat khawatir dengan sakitnya Vero He.

Taylor Shen melepas mantel, membopong Vero He, dan melangkah keluar kamar tidur.

Erin mengepak baju untuk dibawa ke rumah sakit. Begitu dia keluar dari kamar, Taylor Shen dan Vero He sudah tidak ada di ruang tamu lagi. Mereka pasti sudah keluar kamar hotel, bahkan bisa jadi sudah dekat sekali dengan mobil.

Taylor Shen mengantar Vero He ke rumah sakit. Dokter di sana menyuntikkan obat pereda demam yang cukup keras. Seperti tadi, si wanita masih terus bergumam tidak jelas. Taylor Shen mendekatkan telinga ke bibir Vero He dan mendengarkan beberapa nama. Dua nama yang paling banyak disebut adalah mama dan Anna.

Hati Taylor Shen terasa pedih mendengar nama Anna. Sambil duduk di sebelah ranjang pasien, ia menggengam tangan Vero He dan menempelkannya ke pipinya, “Tiffany Song, maaf!”

Demam Vero He baru turun pada malam harinya. Ketika membuka mata, pemandangan yang dijumpai wanita itu adalah ruangan yang seluruh penjurunya serba putih. Hidungnya juga mencium bau disinfektan yang sangat kuat. Ia langsung sadar dirinya berada di rumah sakit.

Vero He menggerak-gerakkan badan. Badan itu rasanya serba pegal seperti baru melakukan olahraga yang intensitasnya sangat berat.

Ketika menggerakkan badan, ia menyadari tangan kanannya tertahan sesuatu. Begitu menengok, ia melihat sesuatu itu adalah sebuah kepala dengan rambut hitam. Tanpa perlu berpikir, Vero He langsung tahu itu siapa. Ia segera menarik tangannya, lalu Taylor Shen pun terbanugn karena kaget.

Melihat Vero He sudah buka mata, Taylor Shen bangkit berdiri dengan kedua tangan yang bertumpu pada ranjang. Karena tadi menekan tangan Vero He dengan cukup lama, di titik bekas ia menaruh kepala ada lubang bekas tekanan yang cukup dalam.

“Sudah bangun? Masih demam kamu?” tanya Taylor Shen sambil mengulurkan tangan ke jidat Vero He. Si wanita refleks membuang muka ke arah berlawanan untuk menghindari tangannya.

Tangan Taylor Shen pun tertahan di udara hampa. Ia menurunkan tangan itu dan berujar: “Sepertinya sudah turun tuh. Bibi Lan tadi kemari mengantar bubur, kamu lapar tidak? Mau aku suapi semangkuk?”

Vero He tidak nyaman diperhatikan begini setelah kemarin diperlakukan dingin. Ia menjawab tidak acuh, “Aku tidak nafsu makan.”

“Makanlah biar hanya sedikit. Kasihan tubuhmu sudah demam satu hari.” Taylor Shen bergegas ke dapur dan keluar dari sana dengan semangkuk bubur yang harum. Vero He, yang sebenarnya lapar dan tadi hanya bohong saja, langsung merasa perutnya keroncongan.

Wajah Vero He langsung canggung. Ia tidak berani melihat ekspresi Taylor Shen begitu tahu sudah dibohongi.

Si pria pura-pura tidak sadar saja. Pria itu menaruh bubur di kepala ranjang, lalu menaikkan sandaran ranjang ke posisi yang bisa membuat tubuh Vero He agak tegak. Ia kemudian memasangkan bantal di punggung si wanita, memakaikan mantel untuknya, dan duduk di sisi ranjang.

Uap tipis bertiup di atas bubur, maklumlah bubur itu masih panas. Taylor Shen mengaduk-aduknya, menyendok, dan meniup-niupnya biar panasnya mereda. Si wanita merasa risih dan mengulurkan tangan untuk mengambil alih mangkuk, “Biar aku makan sendiri.”

Taylor Shen tetap menahan mangkuk bubur dengan kencang, “Kamu yakin kuat memegang mangkuk ini?”

Tubuh Vero He memang lemas, tetapi mana ada sih orang yang bisa lemas sampai tidak mampu memegang mangkuk? Meski dalam hati bertanya begitu, si wanita tahu betul dirinya tidak akan bisa menang lawan Taylor Shen. Dia sendiri pun sudah sangat lapar, jadi ya sudah lah tidak perlu menghabiskan waktu mendebatkan ini.

Sendok bubur diarahkan ke bibir Vero He. Tanpa menolak, wanita itu meraupnya dengan mulut dan mengunyah.

Si pria menyuapi si wanita dengan sangat sabar. Satu sendok demi satu sendok ia tiupi, lalu antarkan ke mulut Vero He. Berhubung menyuapi dan makan bukan tindakan yang menimbulkan suara berisik, suasana ruang pasien jadi sangat sepi. Dalam kurang dari sepuluh menit, mangkuk bubur sudah kosong. Taylor Shen mengambil tisu dan membersihkan sisa-sisa makanan di bubur Vero He sambil bertanya, “Masih mau makan?”

Sudah tidak makan seharian, Vero He merasa porsi barusan kurang cukup. Apalagi, bubur buatan Bibi Lan rasanya sangat lezat. Ia sangat ingin makan semangkuk lagi, namun begitu teringat Taylor Shen akan kembali menyuapinya malah menggeleng, “Tidak.”

Si pria bisa melihat konflik dalam dirinya melalui ekspresi dan kata-kata yang tidak sinkron. Jelas-jelas masih mau makan, tetapi tidak mau mengaku. Ia pun bangkit berdiri dan kembali menyendokkan semangkuk bubur di dapur. Sekembalinya dari dapur, Taylor Shen membuka meja yang tersambung dengan ranjang pasien dan menaruh bubur di sana, “Makanlah.”

Vero He terhenyak menatap Taylor Shen. Ia barusan jelas-jelas tidak bilang apa pun, tetapi pikirannya malah dibaca. Hatinya jadi merasakan sesuatu yang tidak bias dideskripsikan. Ia memegang sendok dan menyuap bubur satu demi satu sendok. Anehnya, bubur yang kali ini terasa tawar.

Vero He seketika merasa dirinya sangat aneh. Waktu disuapi Taylor Shen dia tidak nyaman, tetpai merasa bubur sangat enak. Sekarang, ketika dia makan sendiri, ia malah merasa bubur yang sama rasanya tawar. Dirinya ini apa-apaan sih?

Si pria menatap si wanita dengan tenang sambil duduk di kursi. Vero He yang sudah bangun terlihat sangat jaga jarak dengan dirinya. Tidak ada kehangatan seperti waktu dia menempelkan tangannya ke dagu waktu tidur. Haduh, wanita ini benar-benar bikin dia pusing tujuh keliling.

Taylor Shen kembali teringat sebuah nama yang tadi digumamkan Vero He waktu demam. Hampir setiap orang memang mempunyai luka yang tidak akan pernah pudar seumur hidup……

Setelah Vero He kelar makan, Taylor Shen mengambil mangkuknya untuk dibawa ke dapur. Ia sekalian berujar hangat sebelum pergi, “Tidur dululah, aku pergi mandi sebentar.”

Vero He ragu sejenak, baru kemudian menyampaikan sebuah permintaan: “Sekarang sudah larut, kamu pulang saja.”

Taylor Shen memegang mangkuk yang ada di tangan dengan lebih erat. Baru balikan sedikit, wanita ini kok buru-buru mengusirnya pergi? Ia berujar datar namun penuh kebulatan hati: “Sebelum kamu keluar dari rumah sakit, aku akan bertahan di sini dan merawatmu.”

Melihat si pria sudah mulai berjalan ke dapur, Vero He bertanya, “Taylor Shen, apa tujuh tahun lalu terjadi sesuatu yang tidak aku ketahui?”

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu