You Are My Soft Spot - Bab 267 Pada Hari Ketika Kamu “Wafat” Tujuh Tahun Lalu, Dia…… (1)

Erin terkesiap. Ciuman si pria sangat agresif sampai Erin tidak berani meneteskan air mata. Dia hanya bisa menahan kedua tangannnya di dada si pria biar setidaknya bisa tetap mempertahankan jarak yang ada di antara mereka. Mana dia tahu terharunya karena menonton drama bisa dimanfaatkan James He buat melakukan beginian?

James He memegangi leher belakang Erin dengan satu tangan, lalu satu tangannya lagi menahan kepala belakangnya. Ia sepertinya dari awal sudah menebak Erin akan berusaha melawan. Terhadap Erin, James He selalu memiliki gairah yang tidak pernah berhasil dilampiaskan. Semakin tidak berhasil, gairah itu malah makin kuat.

Keduanya berciuman dengan panas. Lebih tepatnya, James He menciumi Erin dengan panas. Pria itu bahkan sudah mau hilang kendali dan terpikir untuk melakukan yang lebih jauh lagi. Gairah yang sudah bertahan lama dalam dirinya tanpa sadar sudah membuat sebuah kekerasan hati. Ia tidak akan menyerah sampai benar-benar bisa mendapatkan Erin, begitu pikir James He.

Menyadari tangan James He yang sudah mulai masuk-masuk ke jaketnya, Erin terkejut lagi. Ini tidak bisa berlanjut lagi, kalau berlanjut James He bakal makin aneh-aneh. Ia mengencangkan tenaganya untuk melepaskan diri, “Ugh, lepaskan aku……”

“Erin, aku menyentuhmu begini masak kamu tidak ada sedikit sensasi pun? Bisa begitu ya?” Nafas si pria terasa hangat di wajah si wanita. Pria itu menjilat sedikit sudut bibir Erin, lalu melepaskan dia sesuai permintaannya. Ingat, hanya dilepaskan saja, bukan diperbolehkan pergi!

Wajah Erin seketika memerah. Ia bukan tidak punya sensasi. Sensasinya malahan sangat besar, maka dari itu adegan tadi tidak boleh dilanjutkan lagi. Erin biasanya masuk kelompok wanita yang sangat tahan dengan nafsu, tetapi tiap bertemu dengan James He…… Pria itu seperti bunga paling indah di dunia. Jelas-jelas tidak boleh menyentuhnya, dalam diri dia selalu saja muncul hasrat untuk menyentuh.

Erin menghindari tatapan James He dan sengaja mendinginkan nada bicara: “Tidak ada. Aku tidak suka kamu.”

“Oh ya?” Di wajah si pria tidak terlihat kekesalan sama sekali. Pria itu lalu mendekatkan wajahnya kembali ke wajah Erin dan berkata, “Nih aku cium lagi, kamu rasakan baik-baik ada sensasi tidak.”

“……” Erin menatap James He dengan marah, “Tuan Muda, tolong jaga sikap!”

James He memainkan jari di telinga Erin yang merah. Telinga itu kecil dan lengkungannya indah. Si pria menelan ludah seperti menahan nafsu yang mau membara lagi. Ia mengernyitkan alis: “Jaga sikap? Kalau aku tidak jaga sikap, kamu daritadi sudah aku tindih di atas meja kerja.”

“……” Rasa malu Erin sudah tidak terkira lagi. Kalau bisa, ia ingin menggali tanah dan mengumpat di dalam selama mungkijn. Ia akhirnya paham, tidak peduli pakaian apa yang dia pakai, kalau James He pada dasarnya sudah nafsu dia tidak akan bisa menghindar.

James He mengamati celana jeans Erin yang tertutup erat dan bahkan dipakaikan ikat pinggang. Kancing-kancing dan resletingnya semua dipasang buat melawan dirinya ya pasti? Tangan si pria kini sudah tidak di telinga si wanita lagi. Dengan melewati perut, tangan itu bergerak ke salah satu kancing celana jeans Erin, “Buat antisipasi seranganku ya?”

Erin tidak menyangka tindakananya itu terungkap. Pandangannya, yang daritadi ia sengaja hindarkan dari pandangan James He, kini mengarah ke komputer ruangan. Pria ini tadi memanggil dia dengan bilang ada urusan kantor yang mau dibahas, tetapi sekarang kok malah melakukan hal-hal nafsuan begini sih?

“Film sudah selesai, bisa kita pergi sekarang?”

Kemampuan Erin dalam mengalihkan topik memang juara. James He melepaskan tangan dari tubuh Erin, lalu berdiri seperti biasa lagi dengan setengah bersandar ke punggung kursi. Ia bertanya datar: “Jadi, kamu punya pendapat apa soal film barusan?”

Sudut mata si wanita sekilas menangkap perubahan gestur si pria. Sungguh kagum dia dibuatnya oleh perubahan yang sangat drastis ini. Tadi masih jadi pria brengsek yang nafsuan, sekarang sudah jadi seorang pria normal yang mau mengajak wanita berdiskusi. Bagiamana bisa dia melakukan ini? Erin gigit-gigti bibir. Merasakan masih ada air liur James He di bagian depan bibirnya, Erin meringis jijik. Ringisan itu hanya sebentar dan langsung digantikan sikap tenang yang dipaksakan: “Musuh yang tidak kita ketahui sama halnya dengan hantu di film. Dia terus mengawasi kita dari jauh dan mengambil kesempatan untuk melakukan sesuatu tiap kita lengah. Da pasti suka Nona He, tetapi cintanya berubah jadi benci karena tidak kunjung bisa mendapatkan hatinya. Tujuan dari semua aksinya ini adalah untuk merebut Vero He secara paksa.”

James He mengelus dagu dengan tangan. Ia mencoba menganalisa, “Di sekitar Nona He tidak ada orang segila ini. Masak sayang tetapi ingin menyakiti? Setiap aksinya juga dijalankan dengan sangat cerdik dan bersih sampai kita tidak bisa melihat penampilannya.”

“Mungkin musuh hanya iseng memilih satu lagi tanpa maksud tertentu. Paling kita saja yang berpikir terlalu jauh,” balas Erin.

Telunjuk dari tangan James He yang satunya lagi diketuk-ketukkan ke tangan kursi. Ini gerakan tidak sadar yang ia selalu lakukan tiap berpikir keras. Ia berucap, “Tidak mungkin. Dia pasti memilih lagu ini karena tujuan tertentu. Kalau tidak, dia tidak akan bersusah-payah meretas ponsel Vero He untuk memutar lagu ini.”

“Terus kita selanjutnya harus bagaimana?” tanya Erin sambil menatap wajah tampannya.

“Erin, bisa jadi kita ada melewatkan sesuatu. Ada orang-orang yang sudah lama tidak kita temui, tetapi itu bukan berarti mereka sudah lenyap dari dunia ini. Tujuh tahun lalu, sebelum Vero He menikah dengan Taylor Shen, ia pernah melalui sebuah pernikahan yang penuh duka. Mantan suaminya adalah orang yang menolong dia, lalu mereka saling jatuh cinta. Vero He jadi cinta pertama si suami, si suami juga jadi cinta pertama Vero He. Kamu tahu kan cinta pertama tidak akan bisa dilupakan? Setelah mereka cerai, suaminya itu merindukan dan menginginkan Vero He kembali. Tetapi, pada titik itu Vero He sudah jatuh cinta pada Taylor Shen, jadi mereka tidak mungkin bersama. Kalau kita bicara soal cinta yang berubah jadi benci, maka William Tang adalah orang yang paling layak dicurigai,” jawab James He.

Erin terhenyak, “Jadi maksudmu semua ini William Tang yang lakukan?”

“Bisa jadi, kemungkinan ini tidak boleh diabaikan. Erin, selidiki William Tang sekarang ada di mana. Setelah mengetahui motif musuh dengan jelas dan terus membuntutinya, semua fakta perlahan akan terungkap.”

“Baik, aku segera suruh orang untuk lakukan penyelidikan.” Erin berbalik badan dan keluar dari ruang buku.

James He mengambil ponsel dengan tatapan intimidatif. Siapa sebenarnya dalang di balik ini semua? Semoga jawabannya bisa diketahui dengan segera!

……

Keeesokan pagi, James He mengembalikan ponsel Vero He. Ia sudah memasang program pengaman di dalamnya. Cara kerjanya adalah semua informasi yang tidak jelas asal-usulnya tidak bakal bisa masuk, jadi peretas tidak akan bisa macam-macam lagi.

Kalau pun bisa macam-macam, ponsel akan langsung melacak jejaknya. Alamat IP tempat si peretas berada pun bakal terdeteksi saat itu juga.

Vero He menerima ponsel pemberian sang kakak. Mendengar penjelasan soal fitur baru itu, hatinya jadi sangat lega. Ia berkata: “Terima kasih kakak.”

“Vero He, tidak usah sungkan denganku. Oh iya, kalung yang aku kasih mana? Kok kamu tidak pakai?” Vero He hari ini mengenakan baju bulu berleher bundar. Sekujur lehernya yang enak dipandang pun jadi terlihat jelas.

Si adik refleks memegang-megang leher. Ia baru ingat waktu itu ia pernah memberikan kalungnya ke Jacob Shen. Mungkin karena panik, anak itu lalu menghilangkannya. Ia pun menjawab dengan rasa bersalah: “Sepertinya waktu itu hilang di gudang barang bekas. Maaf, kakak.”

“Tidak apa-apa, nanti aku suruh orang untuk buatkan satu lagi. Ingat ya, kalung yang baru nanti tidak boleh lepas dari tubuhmu lagi.” Nada bicara James He tidak mengandung kemarahan sama sekali. Ia merangkul bahu adiknya dan mereka pun berjalan bersama ke dapur.

Seusai sarapan, Vero He mengantar Evelyn ke sekolah. Erin menyetir mobil, sementara mereka berdua duduk bersebelahan di belakang. Evelyn menoleh ke Vero He, “Tante He, mama belum menelepon juga?”

“Evelyn jangan khawatir, mama pasti bakal segera telepon. Janji pada Tante He kamu akan belajar dengan baik ya, nanti mama pasti bakal datang dan jemput kamu,” kata si wanita sambil mengelus rambut si anak dengan halus.

Evelyn tidak berbicara lagi. Melihat raut kekhawatiran di wajahnya yang makin dalam, Vero He membuang nafas pasrah

Mobil berhenti di depan sekolah. Vero He turun dari mobil, kemudian memasangkan ransel Evelyn. Anak lucu itu melambaikan tangan dan berjalan masuk gerbang sekolah. Setelah Evelyn sudah masuk cukup jauh ke kompleks sekolah, Vero He baru berbalik badan dan berjalan ke Bentley.

Baru berjalan beberapa langkah, sebuah Rolls-Royce hitam berhenti di dekatnya. Langkah si wanita pun terhenti. Di dunia ini, memang ada orang-orang yang semakin ingin dijauhi malah semakin sering dijumpai di mana pun……

Pintu belakang terbuka, kemudian terdengarlah keluhan Jacob Shen, “Papa, semuanya salah kamu. Aku jadi hampir terlambat.”

Vero He dalam hati bertanya-tanya apa yang terjadi. Melihat bayangan tubuh anak kecil yang mengenakan seragam turun dari mobil, ia memanggil pelan: “Jacob Shen……”

Si anak mendongak dengan dingin. Seolah tidak melihat si wanita, anak itu langsung berjalan masuk ke gerbang sekolah. Vero He pun menelan ludah dengan canggung.

Taylor Shen turun dari mobil. Ia masih mengenakan pakaian semalam, yang sekarang sudah agak lecek. Pandangan matanya menyapukan area di depannya dengan datar, lalu kembali ditarik. Pria itu masuk mobil lagi dan melaju pergi.

Vero He berdiri dalam diam di tengah cuaca yang dingin. Sepasang ayah dan anak ini mengapa kompak bersikap dingin begini padanya? Ia mengelus-elus dada dengan pasrah, lalu melangkah cepat memasuki mobil.

Melihat wajah si bos yang rasanya agak kelelahan, Erin bertanya: “Nona He, semalam tidurmu tidak nyenyak?”

“Tidak juga sih. Aku hanya merasa agak kelelahan saja, tidak apa-apa kok.” Vero He bersandar di kursi mobil sambil menatap bayangan luar yang berlalu dengan cepat. Ia terus teringat tatapan dingin yang diberikan Jacob Shen tadi. Tatapan itu terus ada di benaknya dan tidak hilang juga meski sudah diusahakan.

Vero He tidak tahu mengapa dirinya jadi resah begini. Ia harusnya senang, sebab tatapan dingin dari anak itu, berikut dari ayahnya juga, menandakan mereka sudah risih dan tidak mau berhubungan dengan dirinya lagi. Namun, hati Vero He sekarang malah dipenuhi rasa tidak nyaman yang sulit dideskripsikan.

Erin mengemudi sambil sesekali memperhatikan wajah Vero He dengan spion belakang. Meski tidak diceritakan, ia tahu apa yang terjadi sebab tadi sempat melihat. Si bos bisa resah begini karena barusan dianggap sebagai orang asing oleh sepasang anak dan ayah.

Haduh, jelas-jelas tidak rela berpisah, mengapa harus menyiksa diri seperti ini sih?

……

Saat mobil memasuki Parkway Plaza, ponsel Vero He berdering. Wanita itu membaca sekilas identitas si penelepon, lalu buru-buru mengangkat, “Stella Han, kamu ke mana sih sampai seharian tidak bisa dihubungi? Aku sudah mau mati saking khawatirnya, tahu tidak?”

Nada bicara Stella Han lemah dan malas, “Tiffany Song, aku di hotel. Kemarilah sebentar.”

Tanpa ragu, Vero He langsung menyuruh Erin untuk memutar mobil ke hotel.

Mobil berhenti di depan hotel setengah jam kemudian. Vero He segera turun dan berlari masuk hotel. Setibanya di kamar Stella Han, ia memencet bel beberapa kali seolah ada urusan mendadak dengan orang di dalam.

Pintu dibuka tidak lama kemudian. Sekalinya dibuka, Vero He langsung menjumpai wajah Stella Han yang penuh keputusasaan. Ia seketika terdiam. Di tengah diamnya, Stella Han menyambut, “Eh, aku membuatmu kaget ya. Yuk, masuklah.”

Suara Stella Han yang serak dan agak sengau membuat hati Vero He terenyuh.

“Iya.” Sesudah masuk, Vero He baru menyadari kamar hotel ini gelap gelita. Bau bir yang cukup keras memenuhi seluruh sudut ruangan. Di lantai, ia bisa melihat belasan botol bir lokal dan dua botol bir impor. Minum sebanyak ini masak tidak keracunan sih?

Sama seperti udara ruangan, tubuh Stella Han juga penuh bau bir. Matanya agak bengkak, dandannya jug sedikit pudar. Ia terlihat sangat menyedihkan. Wanita itu pamit sebentar: “Tiffany Song, duduk dulu ya. Aku mau mandi, penampilanku sangat berantakan.”

“Baik, mandilah,” angguk Vero He. Ia mengamati Stella Han berjalan gontai ke kamar mandi, kemudian menaruh tas di sofa dan mulai membersihkan kamar hotle itu.

Ketika Stella Han keluar dari kamar mandi, botol-botol bir di ruang tamu sudah lenyap tidak berjejak. Tirai ruangan juga sudah dibuka, jadi cahaya matahari masuk dengan terang ke dalam. Saking terangnya, wanita itu bahkan sampai meringis dan menghalangi kedua mata dengan tangan.

Stella Han menjalani dua hari ini seperti orang yang mati segan hidup tidak mau. Ia hanya peduli untuk mabuk, tidur, mabuk lagi, dan tidur lagi tanpa mengurusi hal lain. Ia bahkan sempat terpikir untuk bunuh diri biar langsung lepas dari urusan perceraian.

Dari dapur tercium harum bubur. Stella Han pergi ke sana dan menjumpai Vero He yang memang sedang memanaskan bubur. Ia menghampiri sahabatnya itu dengan perlahan, lalu merangkul pinggangnya dengan kedua tangan. Vero He terkejut luar biasa. Ketika buru-buru menoleh ke belakang, ia melihat Stella Han tengah bersandar di punggungnya dengan terpejam. Vero He bertanya: “Ada apa? Tindakanmu ini bisa orang salah pahami loh.”

“Tiffany Song, aku sungguh bersyukur punya kamu!” kata Stella Han masih dengan mata terpejam. Tujuh tahun ini tiap teringat perjumpaan terakhir mereka di kantor polisi, hatinya selalu terasa sedih sekali.

Hati Vero He terenyuh, namun ia tetap pura-pura enggan meladeni tingkah aneh ini, “Hidih, menggelikan. Sana pergi, hush.”

Stella Han lalu menyandarkan kepala di bahu Vero He. Mereka sudah berkenalan dari lama. Waktu tinggal bareng, meski tidak terhitung sangat dekat, ia merasa sangat nyaman dan tenang tiap berjumpa dengannya waktu pulang ke apartemen. Ia tahu di sana ada orang yang akan selalu menunggu kepulangannya. Kepuasan yang dihasilkan dari peraasaan itu sungguh tidak tergantikan oleh apa pun juga.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
5 tahun yang lalu