You Are My Soft Spot - Bab 207 Jangan Dorong Aku (2)

“Coba katakan apa motifku?” tanya James He.

Motif, motif James He? Ia beberapa hari terakhir sempat memikirkan ini, tetapi tiba-tiba lupa dengan hasil pemikirannya. Yang jelas, malam ini, ia resah melihat James He membawa pergi Vero He. Dibilang kakak adik bukan, dibilang pasangan yang saling mencintai juga bukan.

“Menghabisi aku, menghabisi Shen’s Corp.”

“Kalau begitu, selama kamu pergi bertahun-tahun ini, apa He’s Corp pernah menunjukkan sikap bermusuhan dengan Shen’s Corp barang hanya sekali?” tanya James He lagi.

Meski selama ini tidak tinggal di Kota Tong, Taylor Shen kurang lebih tahu apa saja yang terjadi di kota ini. He’s Corp tidak pernah memancing masalah dengan Shen’s Corp, bahkan beberapa kali mengalah ketika tengah bertarung memperebutkan proyek. Ia menjawab dengan sangkaan, “Tidak, tidak pernah, namun itu tidak berarti kamu tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan kedepannya.”

“Taylor Shen, kalau aku memang mau menghabisimu, Shen’s Corp sudah dari dulu lenyap dari Kota Tong. Buat apa coba aku menunggu sampai sekarang?” balas James He. Lima tahun lalu, ketika membawa pulang Vero He dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, ia marah besar dan ingin segera mencari target pelampiasan.

Tetapi papa menghalanginya. Bukan demi kebaikan orang lain, melainkan demi kebaikan Vero He sendiri.

“Waktu itu, benarkah kamu yang bawa pergi dia?” Taylor Shen diam-diam menyadari jalan berpikirnya salah. Kemunculan pemilik toko kecil yang bilang tahu detail tragedi ledakan enam tahun lalu, bahkan sempat mengungkit nama paman James He, hanyalah untuk mengalihkan perhatiannya biar ia berprasangka pada keluarga He.

Setelah pemilik toko itu dibunuh, James He terus menampilkan impresi palsu bahwa ia bukan seseorang yang tega membunuh. Dari sini bisa disimpulkan, dalang pembunuhan ini adalah James He. Tujuannya jelas, untuk membalaskan dendam keluarga He pada dirinya sekaligus keluarga Shen.

Dendam apa itu? Jawabannya ada dua dendam. Satu, dendam soal penyetubuhan Angela He oleh Wayne Shen, padahal yang dijadikan target adalah Taylor Shen. Kedua, dendam soal keguguran Angela He dan perceraiannya dengan Wayne Shen. Keluarga He murka putrinya bernasib tragis begini, makanya timbul dengki.

“Bukan aku. Waktu itu, ketika menjenguknya, aku melihat pakaiannya terlalu tipis. Badannya terus gemetar selama duduk, jadi aku melepaskan mantelku dan memberikannya pada dia biar tubuhnya bisa hangatan. Waktu itu, dalam situasi bukti tersangka yang komplit, aku bahkan menugaskan pengacara pribadiku untuk mencari bukti kejiwaan Tiffany Song bermasalah biar dia bisa dibebaskan. Sayang, usaha kami semua terlambat. Kantor polisi diledakkan duluan.” Ini adalah momen yang paling disayangkan James He sepanjang hidupnya. Kalau saja gerakannya lebih cepat sedikit dan Tiffany Song tidak bermalam di sana, mana mungkin terjadi kematian yang sia-sia seperti itu?

Dari mata James He, Taylor Shen bisa melihat perasaan bersalah dan kekecewaan. Ini baru laki-laki yang sungguh-sungguh peduli pada Tiffany Song, bukan seperti dirinya yang diam saja ketika Tuan Besar Shen memanggil polisi! Entah mengapa, ia tidak jijik dan cemburu padanya.

“Itu memang salahku. Aku salah karena melanggar janjiku untuk melindunginya,” ujar Taylor Shen menyalahkan diri sendiri. Berkat kelalaiannya, musuh-musuhnya jadi punya kesempatan untuk menghabisi si istri baru. Kembali ke topik, kalau bukan James He yang membawa pergi Tiffany Song, lantas siapa?

James He tersenyum dingin. Ia sungguh ingin menampar Taylor Shen. Saat ini, seberapa pun pria di hadapannya ini menyesal, masa lalu itu tidak bisa datang lagi. Ia berucap tajam, “Ia tidak perlu perlindunganmu. Ia hanya butuh kepercayaanmu, sayangnya ini pun tidak bisa kamu lakukan.”

Taylor Shen hening. Adegan Tiffany Song dibawa pergi polisi masih terekam jelas di benaknya. Raut tatapan Tiffany Song waktu itu memang tidak ketakutan. Wanita itu hanya mengejar jawabannya atas apakah ia percaya dengannya atau tidak, itu saja.

Tiffany Song sekarang tidak mau berjumpa dirinya lagi. Apa pun yang terjadi, sekalinya tidak mau artinya selamanya tidak mau.

“Vero He adalah Tiffany Song, benar kan?” Taylor Shen mengira dirinya tidak akan bertanya seblak-blakan ini, tetapi akhirnya terucap juga.

James He menggeleng dan tertawa, “Tiffany Song sudah meninggal, meninggal dalam tragedi ledakan. Yang sekarang hidup adalah Vero He.”

Taylor Shen paham sikap si lawan bicara. Yang “membunuh” Tiffany Song adalah dia sendiri, jadi punya hak apa ia ingin mencari kembali wanita itu?

James He bangkit berdiri. Ia tidak bersedia melihat wajah orang di hadapannya ini lagi. Sambil menenteng kantong plastik, ia berjalan keluar. Teringat Vero He, ia mengingatkan, “Mungkin kamu sudah menelusuri ini. Lima tahun lalu aku membawa Vero He ke rumah biar hidupnya bisa tenang. Waktu itu, pikirannya sangat linglung. Berkat pertolonganku, keadaannya perlahan membaik hingga seperti sekarang. Selama aku rawat, ia tidak pernah bercerita detail soal dua tahun hilangnya dia itu.”

Taylor Shen mendongak menatapnya. Ia tidak mengira James He akan bercerita soal kronologis pertemuan keduanya.

Pria itu melanjtukan: “Taylor Shen, kamu pasti tidak pernah lihat bagaimana penampilannya sesaat setelah baru keluar dari neraka kan? Aku pernah lihat, jadi aku harap kamu jangan menganggunya lagi.”

Tanpa menunggu respon Taylor Shen, James He segera pergi menjauh dengan langkah cepat.

Taylor Shen duduk dalam kondisi termenung. Pertanyaan James He barusan terngiang belasan kali, bahkan puluhan kali, di telinganya, “Kamu pasti tidak pernah lihat bagaimana penampilannya sesaat setelah baru keluar dari neraka?”

Neraka, neraka itu bagaimana? Tiffany Song yang waktu itu juga bagaimana?

Si pria yang ditinggalkan memegangi dada dengan pilu. James He bilang Tiffany Song sudah meninggal, yang hidup sekarang adalah Vero He. Dengan kata lain, yang diselamatkan dari neraka juga Vero He.

Ternyata, kebencian Tiffany Song padanya bukan hanya dipicu kejadian ia mengabaikannya pada hari pernikahan mereka, melainkan juga penderitaan-penderitaan lain yang ia alami selama berhubungan dengannya. Taylor Shen memegangi kepala, bagaimana bisa ia mengompensasi semua luka yang ia tinggalkan ini?

Ketika keluar dari kafe, langkah James He terhenti sebentar. Ia menoleh ke belakang melihat lawan bicaranya barusan. Taylor Shen sudah tidak berwajah datar lagi. Ia kini memegangi kepala dengan wajah meringis.

Sudut bibir James He terangkat senang. Taylor Shen, aku tidak akan membiarkanmu menyakiti si dia dengan cara-cara menjijikanmu lagi. Barusan, hanya dengan menceritakan sedikit penderitaan yang Tiffany Song alami bersamanya, ia sudah langsung hancur begini.

James He menarik pandangan kembali ke depan dan membuka engsel pintu. Suara terbukanya pintu memecah kesunyian di tengah malam.

Pria itu melangkah menjauh dan pintu di belakangnya perlahan tertutup. Ia segera lenyap ditelan kegelapan malam.

……

Vero He terbangun dengan keringat dingin. Ia duduk di ranjang dengan tatapan kosong dan raut gelisah. Beberapa waktu kemudian, ia baru bangkit dari lamunannya dan mengelap keringat jidat.

Si wanita membuang nafas panjang.

Lagi-lagi mimpi buruk…… Dalam mimpi buruknya yang kali ini, ia mendengar suara misterius berkata, “Bunuh dia, bunuh dia, setelah bunuh dia kamu akan lega.”

Vero He memejamkan mata. Ia terus bertanya pada si pemilik suara “dia” itu siapa, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Mimpi ini membuatnya panik dan takut. Untuk menghalau pikiran negatif, ia memutuskan turun dari ranjang dan pergi mandi.

Di bawah shower, air hangat perlahan mulai mengalir keluar membasahi kepala Vero He. Tubuhnya yang dingin pun kini jadi lebih hangat. Ia mengusap-usap wajah dan menarik nafas panjang.

Sesudah berpakaian lengkap, Vero He turun ke bawah sambil membawa tas. Bibi Yun sudah menyiapkan sarapan berupa bubur dengan taburan jagung dan dimsum. Mencium bau wanginya yang menyebar sampai ke tangga, ia memuji: “Wah, enak nih sarapan hari ini.”

Felix He dan James He duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Meski sudah pensiun, si ayah tetap punya banyak urusan dan kegiatan. Dua hari terakhir, ia pergi ke Beijing untuk mengikuti seminar. Ia baru pulang kemarin malam dan tidak mengabari apa-apa, jadi pagi-pagi saat turun ke bawah pun James He kaget.

Mendengar suara langkah kaki Vero He, Felix He melipat korannya dan mengembalikannya ke meja. Ia tersenyum lebar, “Akhirnya Vero He turun. Kelihatannya semangat dan suasana hatimu baik sekali nih hari ini.”

Mata Vero He berbinar-binar. Ia berlari menghampiri ayahnya tanpa peduli tengah pakai sepatu hak tinggi, “Papa, sejak kapan kamu pulang?”

Felix He membuka kedua lengan menunggu Vero He tiba di depannya. Ketika wanita itu benar-benar tiba, ia langsung memeluknya seerat mungkin. Pria itu lalu menepuk-nepuk bahunya dan berkomentar: “Eh, kok kamu pakai sepatu hak tinggi sih? Bibi Yun baru saja mengepel, kalau nanti terpeleset bagaimana?”

Vero He menjulurkan lidah lalu meledek, “Aku tidak mungkin terpeleset. Kamu sejak kapan pulang?”

“Kemarin malam. Aku tidak mau mengganggu kalian, jadi tidak memanggil.” Felix He menyuruh Vero He duduk di sofa sebelahnya. Beberapa hari ini ia memang sangat kangen dengan dia. Ia sempat khawatir dengan kondisinya ketika mendengar kabar Taylor Shen ditangkap polisi. Beruntung, wanita ini baik-baik saja.

Vero He menatap kerutan-kerutan yang ada di jidat ayahnya, lalu mendongak menatap uban-ubannya. Ia mendesah risih, “Lain kali, tidak peduli seberapa malam kamu pulang, kamu harus mengabari kami. Aku dan kakak sangat rindu denganmu.”

“Baik, baik. Sudah lapar kan pasti, yuk sarapan.” Felix He menggandeng tangan Vero He seperti menganggapnya benar-benar anak kandung. Sikapnya pada Vero He penuh kemanjaan dan kasih sayang.

“Yuk.” Keduanya pun berjalan ke ruang makan.

James He melipat koran, menaruhnya di meja, dan ikut pergi ke dapur. Bibi Yun dengan segera menyajikan dimsum dan bubur jagung ke atas meja.

Vero He ada rapat pagi di kantor, jadi ia pamit duluan. Felix He dan James He dari jendela mengamati Lamborghini biru si putri melaju keluar, lalu saling bertatapan. Si ayah mengingatkan lagi, “James He, terus awasi adikmu. Jangan sampai ia terluka.”

“Pa, aku mengerti. Aku takkan membiarkan siapa pun dapat kesempatan untuk menyakitinya lagi,” jamin si anak sambil menaruh sumpit di atas mangkuk dan mengambil tisu.

Felix He mengangguk, “Pokoknya awas saja, itu cukup. Urusan lainnya kamu tidak perlu pedulikan, nanti pasti ada yang kerjakan kok.”

“Aku tahu batas-batasnya kok,” angguk James He lagi. Sekalinya menyerang orang lain, James He selalu melakukannya dengan tajam dan tanpa perasaan. Pasti, Taylor Shen pasti tidak akan muncul lagi di hadapan adiknya.

Senyum licik muncul di wajah James He saat memikirkan ini.

Felix He agak meriding melihat senyum di wajah anaknya. Ia paham betul anak ini. Setiap kali ia menyerang orang, orang yang diserang pasti akan langsung dihabisi tanpa ampun. Kelihatannya buruk sekali masa depan Taylor Shen.

Si pria paruh baya membuang nafas panjang. Biarlah anak muda mengikuti cara bertindak dan jalan pikiran mereka masing-masing. Kalau ditegur dan dibatasi, James He bisa-bisa malah jadi stres.

……

Vero He langsung keluar dari ruang rapat begitu rapat usai. Dari jauh, ia melihat Erin sesekali berjinjit-jinjit menengok kaca pintu ruang kerjanya dengan waspada. Ia mengabaikan asisten itu dan tetap fokus membicarakan berkas berisi rancangan acara yang ia pegang dengan bawahan. Akhir tahun sudah mau tiba, ada banyak perusahaan yang merilis program kartu keanggotaan dan lain-lain. Dulunya yang melakukan ini sebagian besar adalah supermarket, sekarang mal-mal pun ikutan. Mau tidak mau, mereka juga harus membuat gebrakan serupa untuk menjaga loyalitas konsumen.

Sesampainya di dekat lift, Vero He baru mengakhiri diskusi. Ia meminta bawahannya itu memperbarui rancangan acara sesuai yang dibicarakan dalam rapat. Besok, ketika rapat lagi, rancangan acara hasil revisi akan dibahas lagi. Kalau bisa, mereka juga akan secepatnya mengunci negosiasi dengan beberapa merek terkemuka untuk berpartisipasi dalam program ini.

Vero He lalu mendatangi Erin. Si asisten sedang menelepon, jadi wanita itu menjauhkan sebentar gagang teleponnya dan menunjuk ruang kerjanya: “Ada tamu.”

Si bos mengangguk dan bergegas pergi ke ruang kerja. Erin tidak ikut ke sana sebab harus lanjut menelepon.

Vero He membuka pintu dan menyapukan mata sekilas ke area penyambutan tamu. Tidak ada orang. Ia mengernyitkan alis dan berjalan ke meja. Kursi kerjanya yang tinggi tengah membelakangi meja. Ia tidak bisa melihat dengan jelas apakah ada orang yang duduk di kursi itu atau tidak. Alis Vero He kembali terangkat. Ia menaruh berkasnya, lalu mulailah tercium bau tubuh pria yang sangat familiar……

Novel Terkait

More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu