You Are My Soft Spot - Bab 205 Jennifer Li Cerai (2)

“Terima kasih,” ujar Vero He pelan. Ia juga punya seorang putri. Kalau putrinya masih hidup, usianya hanya lebih muda beberapa hari dari Evelyn. Memikirkan ini semua, tatapan Vero He dipenuhi rasa sedih. Ia berkata lagi: “Aku antar kamu ke depan.”

“Baik.” Stella Han datang kurang dari sepuluh menit, lalu pulang lagi. Vero He mengantarkannya sampai ke depan mobil. Ketika membuka pintu supir dan bersiap duduk, ia sempat menoleh sekilas ke tuan rumah.

Vero He kira wanita ini mau berkata sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak melontarkan satu kata pun. Si tamu menghadap mobil lagi dan duduk. Tidak lama kemudian, mobil melaju pergi.

Tuan rumah duduk di samping air mancur. Mini Cooper ungu milik Stella Han terlihat makin lama makin jauh, lalu akhirnya hilang. Ia tiba-tiba merasa ada tangan seseorang yang menepuk bahunya. Ketika ia menoleh, ia baru tahu James He ada di dekatnya. Si kakak bertanya, “Ia datang mencarimu?”

“Iya,” angguk Vero He.

“Ia ada bilang apa?” James He menunduk menatap adiknya. Entah karena pengaruh langit yang gelap atau apa, ia merasa mata lawan bicaranya ini agak khawatir.

“Ia tidak ada bicara macam-macam, makanya aku merasa heran. Ia datang mencariku kurang lebih pasti karena urusan Taylor Shen, tetapi setelah bertanya satu pertanyaan ia langsung pergi.” Pertemanan mereka dulu sama sekali tidak palsu. Stella Han barusan berhenti bicara mungkin karena tidak mau merusak hidup barunya yang sudah enak.

Sekalinya ia dikaitkan dengan Taylor Shen lagi, ia akan langsung kembali ke masa lalu yang menyakitkan.

Sayang, Stella Han tidak tahu urusannya dan Taylor Shen belum kelar.

“Apa pertanyaannya itu?” tanya James He lagi.

“Ia tanya aku, apa aku bahagia?”

“Terus kamu bahagia atau tidak?” Tanpa harus bertanya, sebenarnya James He sudah tahu jawabannya. Ia merangkul pundak adiknya dan mengajaknya balik vila, “Angin di luar kencang. Badanmu lemah, ayo masuk biar tidak pilek.”

“Kakak, aku ingin ke kantor polisi dan menemuninya.” Kata-kata Stella Han yang tidak diungkapkan harusnya ini. Wanita itu pasti berharap ia menemui Taylor Shen.

Lengan James He langsung kaku. Ia tidak bertanya mengapa, melainkan: “Mau kapan ke sana? Biar aku utus orang untuk monitor situasi.”

“Sekarang!”

……

James He mengantar Vero He ke kantor polisi. Si wanita tidak punya impresi yang baik soal tempat ini. Mimpi buruk enam tahun lalu kembali terbayang di benaknya dan membuat ia agak kesulitan bernafas. James He menghentikan mobil, lalu menoleh menatap Vero He yang duduk di bangku penumpang depan dengan khawatir.

Selama ini, setiap kali melihat mobil polisi dan mendengar sirinenya, Vero He selalu langsung ketakutan.

Si kakak memegang tangannya, tangan adik itu sangat dingin. Ia melihat wajah pucatnya juga, lalu menawarkan: “Perlu aku temani masuk?”

“Tidak perlu, aku tidak masalah masuk seorang diri kok.” Vero He mengambil kacamata hitam dan memakainya. Ia lalu membuka pintu mobil. Ketika mau turun, ia baru sadar tangannya masih dipegang erat oleh James He. Ia mau tidak mau terpaksa menatapnya lagi dan tersenyum canggung, “Kakak, jangan khawatirkan aku. Aku akan keluar dengan cepat.”

Si pria menatap adiknya lekat-lekat. Karena sepasang mata si adik tertutup kacamata hitam, ia tidak tahu apa emosi yang ada di tatapannya. Berselang beberapa saat, James He baru melepaskannya. Ia berujar pelan: “Paling lama setengah jam. Kalau kamu tidak keluar, aku akan masuk untuk membawamu keluar.”

“Baik!” Vero He turun dari mobil, menutup pintu, dan berjalan ke lobi kantor polisi.

Tanpa hambatan berarti, Vero He sampai di area penjara. Sepanjang mata memandang, yang ada hanya sel-sel hitam yang beberapa di antaranya sudah karatan. Vero He berjalan di belakang polisi penjaga. Memasuki tempat gelap ini, hatinya panik karena teringat kejadian ia masuk sini juga enam tahun lalu.

Wajah Vero He makin lama makin pucat. Ia ada terpikir untuk balik arah dan masuk mobil lagi, tetapi pada akhirnya ia terus menguatkan diri. Tidak boleh kabur. Ini tempat pertempurannya.

Vero He dan polisi penjaga akhirnya tiba di depan sel Taylor Shen. Polisi penjaga mengambil kunci dan membuka sel. Bunyi kunci diputar di lubang sel sangat nyaring dan membuat orang merinding. Di dalam, Taylor Shen berdiri dengan posisi membelakangi sel. Ia sama sekali tidak menoleh meski mendengar suara-suara dari belakang.

Sel penjara dibuka dan polisi memanggil: “Tuan Shen, ada orang datang menengokmu.”

Punggung Taylor Shen kaku. Kedua tangannya mengepal. Barusan, ia sudah dengar langkah sepatu hak tinggi yang semakin lama semakin dekat. Tanpa perlu menengok, ia sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan si dia?

Vero He melangkah masuk sel. Mendengar suara pintu sel mau ditutup, ia langsung panik dan refleks menahan pintu itu dengan tangannnya. Tetapi, melihat tatapan dingin polisi penjaga, ia memaksa dirinya untuk kembali tenang. Kalau tempat begini saja tidak bisa ia hadapi, jangan harap ia berani menghadapi pria di depannya ini. Jangan harap juga ia akan mampu mengatasi tekanan psikologis yang ditimbulkan dari hal yang akan ia lakukan habis ini.

Vero He kembali berjalan masuk. Ia mengamati bayangan tubuh si pria tanpa berbicara.

Waktu itu, pada suatu hari di musim dingin, ia dibawa polisi pergi sehabis pesta pernikahan. Matanya terkena tetesan salju, tetapi tidak menangis. Tetesan salju itu mendingin memasuki hatinya.

Ia tahu Taylor Shen sempat mengejar mobil polisi, juga tahu ia mondar mandi di depan kantor polisi dan ingin menemuinya. Tetapi, sejak Taylor Shen tidak bersuara ketika Tuan Besar Shen mau menelepon polisi, kepercayaannya pada pria itu sudah runtuh duluan.

Keduanya tidak bersuara sama sekali seolah tengah adu kesabaran.

Pada akhirnya, Taylor Shen yang kalah dalam adu ini. Ia berbalik badan. Melihat kehadiran wanita yang selalu ia dambakan, jantungnya berdebar kencang. Akhirnya wanita ini datang ketika pengharapannya sudah tersisa setetes.

Sekujur tubuh Taylor Shen bergetar saking emosionalnya. Meski begitu, ia tidak bisa melihat emosi yang ada di tatapan si wanita karena matanya ditutupi kacamata hitam. Aura intimidatif yang melekat pada tubuh Vero He terasa sangat kuat.

Si wanita berdiri di tempat dan menatap dingin Taylor Shen. Tangannya yang memegang tas mengeras. Ia mulai bicara, “Tuan Shen, bagaimana sensasinya tinggal di penjara?”

Taylor Shen terenyuh melihat gerakan bibir wanita yang pernah jadi orang terpenting dalam hidupnya. Ia berjalan pelan menghampiri si wanita, lalu berujar serak, “Tidak enak, tidak nyaman!”

Taylor Shen begini saja langsung merasa tidak nyaman, apalagi Tiffany Song yang enam tahun lalu ditangkap persis pada hari pernikahannya? Dia pasti sangat putus asa, apalagi yang membuatnya masuk sini adalah suami barunya sendiri. Taylor Shen tidak bisa membayangkan suasana hati si wanita saat itu. Sekarang, ia akhirnya bisa menerima alasan wanita itu benci dia.

Benar, waktu itu ia mencoba berpikir banyak hal, tetapi lupa memikirkan suasana hati Tiffany Song.

Taylor Shen menatap Vero He lekat-lekat. Meski sudah berlalu enam tahun, penyesalan yang ada di hatinya masih sangat kuat. Ia mengangkat tangan dan mengelus pipi Vero He, “Maaf, Tiffany Song.”

Mata Vero He memanas. Beruntung, tatapan terharunya tertutup oleh kacamata hitam yang ia kenakan. Wanita itu menenangkan diri, lalu berkata dingin: “Kata-kata ini harusnya kamu katakan ke almarhum istrimu. Kalau pun kamu merasa bersalah, jangan terus kunci dirimu di kondisi ini. Kamu selamanya tidak akan bisa mengobati rasa sakit yang kamu timbulkan padanya waktu itu.”

“Tiffany Song, aku harus bagaimana biar kamu mengaku kamu ini Tiffany Song?” Taylor Shen dalam hati sungguh ingin melepas kacamata hitam Vero He biar bisa melihat ekspresinya dengan jelas.

Vero He menggeleng, “Enam tahun lalu, tubuh Tiffany Song sudah hancur di sini. Ia kamu lepas sendiri. Buat apa kamu masih munafik-munafik begini di hadapanku? Biar hati nuranimu merasa agak baikan?”

“Tiffany Song, aku tahu kamu belum wafat. Sebelum terjadinya ledakan, kamu dibawa pergi oleh James He. Pria itu lalu menyembunyikanmu bertahun-tahun. Aku tahu kamu benci aku. Tidak apa-apa, asal kamu bersedia ada di sampingku, sebenci apa pun kamu padaku aku tidak masalah.” Taylor Shen memegang kedua bahu Vero He. Ia tidak ingin menganggap wanita di hadapannya ini Vero He lagi. Ia jelas sekali Tiffany Song, mantan istrinya. Kepura-puraan yang dilakukan wanita itu makin lama makin membuat hatinya pilu.

Stella Han dalam hati sangat marah. Taylor Shen masih bisa bilang James He membawanya pergi, padahal jelas-jelas ia…… Vero He memegang pergelangan kedua tangan Taylor Shen seolah ingin memaksanya melepaskan tangan itu dari bahu. Namun, pegangan Taylor Shen ke bahunya jauh kuat. Ia menatap dingin, “Benci? Taylor Shen, kamu salah. Dia tidak benci padamu, dia jijik dengan kelakuanmu yang tidak membelanya, dia jijik dengan sikapmu yang diam saja.”

Benci, bisa benci karena cinta. Tetapi ia tidak benci padanya, bukan benci!

Mata Taylor Shen sempat berbinar mendengar kalimat “dia tidak benci padamu”, lalu langsung meredup ketika Vero He bilang “jijik”. Perubahan pada tatapan Taylor Shen ini membuat Vero He jadi panik.

Ia refleks gigit-gigit bibir.

Taylor Shen menyadari gerakan kecil di wajah wanita di hadapannya. Lidah yang kecil, bibir merah merona yang basah, lalu sepasang mata sipit. Dalam hatinya tiba-tiba muncul nafsu. Ia ingin mendekatinya, ingin merasakan bibirnya, ingin melampiaskan semua keputusasaannya dalam bentuk ciuman.

Sudah berpikir begini, Taylor Shen ya langsung melakukannya.

Melihat Taylor Shen tiba-tiba mendekat, Vero He langsung memegang pintu sel dan bergegas membukanya. Takut Vero He kabur, Taylor Shen melayangkan tangannya dan menahan tangan wanita itu.

Tangan si wanita yang dingin ditimpa oleh tangan si pria yang tebal. Tangan yang ada di atas panas. Suasana dingin di antara mereka berdua kini berubah jadi suasana panas.

Ketika Vero He ingin berlaru keluar, Taylor Shen sudah menempelkan tubuh ke tubuhnya duluan. Nafas Taylor Shen naik dan turun dengan cepat. Sangat dekat, sangat dekat…… Si pria mengeluskan tangannya di pipi Vero He. Taylor Shen menempelkan bibir ke bibir Vero He. Dengan perlahan, pria itu menggigit bibirnya.

Seperti mengalami ledakan di otak, Vero He lupa melawan. Bibirnya ngilu digigit oleh Taylor Shen. Bibir itu juga melembut karena air liur keduanya yang bertukaran.

Taylor Shen melepas ikatan rambut belakang Vero He. Melihat rambut wanita di hadapannya terurai, Taylor Shen makin terangsang dan mengelus-elus rambut itu. Rambut yang panjang, lembut, dan beraroma khas Tiffany Song. Kalau bisa, ia mungkin mau saja memakan rambut-rambut itu.

Nafsu Taylor Shen jadi semakin berapi-api. Ia menempel Vero He kencang-kencang di pintu sel. Ada wanita ini di hadapannya, itu sudah jauh lebih cukup. Semua perasaan jijik wanita itu padanya tidak penting lagi.

“Tidak……” ujar Vero He susah payah ketika ada kesempatan. Sayang, bibirnya dengan cepat kembali ditimpa bibir Taylor Shen. Pria itu bahkan tidak memberi kesempatan baginya untuk bernafas. Seiring dengan semakin sadarnya Vero He dengan ketidakbenaran tindakan ini, perlawanannya semakin lama semakin kencang. Vero He menusuk lengan Taylor Shen dengan kuku-kunya.

Tidak bisa, mengapa tidak bisa?

Ia jijik dengan Taylor Shen, ia marah dengan Taylor Shen, jadi ya tidak bisa.

Si wanita mulai mengganas. Ia menggigit bibir Taylor Shen kencang-kencang, tetapi pria itu meringis kesakitan saja tanpa menghentikan tindakannya. Ciuman penuh paksaan itu pun tetap berlanjut. Sedetik, dua detik……

Vero He akhirnya sepenuhnya marah. Ia seharusnya tidak datang kemari dan memancing nafsunya. Di hadapan Taylor Shen, ia adalah sosok yang lemah dan mudah dicumbui.

Dari kejauhan terdengar langkah kaki sepatu polisi mendekat. Vero He terpikir sesuatu. Ia mengangkat lutut kanannya dan menghempaskannya ke organ vital Taylor Shen. Si pria, yang daritadi larut dalam nafsunya, langsung terhenyak dan memegangi organ itu dengan kesakitan.

Pintu sel di belakang dibuka oleh polisi penjaga. Vero He melompat keluar dari sel seperti kelinci yang ketakutan, lalu berlari pergi sekencang-kencangnya.

Jidat Taylor Shen berkeringat dingin saking sakitnya hempasan barusan. Ia mendengar langkah lari si wanita. Masih sambil memegangi organ vital, Taylor Shen menggeretakkan gigi: “Tiffany Song, berani kabur kamu!”

Novel Terkait

Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
3 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu