You Are My Soft Spot - Bab 196 Dari Dulu Memang Tidak Kenal, Mengapa Terus Dituduh Lupa? (3)

Vero He masuk kamar mandi. Ketika bercermin, adegan yang terlupakan terlintas di benaknya, bau amis darah juga kembali tercium di hidung. Ia menengok ke ranjang dengan cemas dan pucat.

Wanita itu turun ke lantai bawah setelah kelar mandi dan beres-beres. Dari pekarangan terdengar bunyi mesin mobil yang sedang dinyalakan, ia pun buru-buru berjalan ke sana. Ketika ia sampai di depan pintu rumah, Maybach hitam yang ingin ia dekati sudah melintas ke luar. Vero he terdiam di tempat dan mengamati mobil itu dengan perasaan bersalah.

Felix He melihat anaknya ini dan bertanya: “Ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan kakakmu?”

“Iya, aku sudah menyakiti hatinya,” angguk Vero He. Selama ini, James He selalu memanjakan dirinya. Kemanjaan yang diberikan pria itu adalah model kemanjaan yang diberikan seorang kakak pada adiknya, bukan yang diberikan seorang pria pada kekasihnya. Kata-katanya tadi di kamar pasti sudah menyakiti hati James He.

“Nanti siang ajak dia makan siang saja. Kakakmu ini orang yang hatinya lembut. Ia mudah dibujuk dan ditenangkan,” ujar Felix He tersenyum tipis.

Vero He sedikit lebih tenang mendengar kata-kata ayahnya. Ia lalu duduk di kursi makan dan menyantap makanan dalam diam. Felix He menghampiri dan duduk di sebelah: “Barusan aku lihat tangan James He diperban. Aku tanya karena apa, ia tidak mau cerita. Kamu tahu karena apa?”

Vero He menunduk dengan penuh rasa bersalah.

Wajah Felix He berubah serius, “Aku dengar Dokter Yang kemarin malam kemari. Vero He, penyakitmu kambuh lagi ya.”

“Papa, aku tidak kenapa-napa,” jawab si anak.

“Karena ketemu Taylor Shen ya? Atau karena teringat masa lalu yang tidak ingin diingat?” Felix He tidak tahan untuk tidak bertanya begitu. Ada beberapa hal yang memang ia ingin bicarakan dengan Vero He sejak mereka tinggal bersama pertama kali lima tahun lalu, namun James He terus melarang. Pria itu khawatir Vero He tahu apa yang terjadi sebenarnya dan tidak mau tinggal di sini lagi.

Si wanita mendongak menatap ayahnya. Nada bicaranya bernuansa keras kepala: “Papa, aku tidak kenapa-napa!”

Felix He mengamati anaknya dalam diam. Wanita ini tidak mengizinkan siapa pun masuk ke hatinya dan menyentuh lukanya, tetapi kalau tidak diajak bicara, bagaimana luka itu akan sembuh? Si ayah bilang: ““Vero He, kami sangat khawatir padamu.”

“Iya, aku tahu. Aku tidak akan kenapa-kenapa lagi. Aku sudah kenyang, berangkat kerja dulu.” Vero He menaruh mangkuk ke tengah meja, bangkit berdiri, lalu pergi. Felix He membuang nafas pasrah sambil mengamati bayangan tubuhnya.

Ruang kerja Vero He terletak di lantai paling atas Parkway Plaza. Kaca-kaca yang ada di ruangan itu merupakan kaca anti peluru, jadi terlihat lebih gelap dibanding kaca-kaca lain dari luar gedung. James He memasangkan kaca model ini sebab ia takut hitam.

Setiap malam tiba, si wanita tidak berani diam di situ lama-lama. Itu karena kaca anti peluru yang hitam juga membuat ruangan gelap gulita.

Bau harum bunga langsung memenuhi lubang hidung Vero He ketika ia masuk ruang kerja. Di meja kerjanya ada sebuket makar merah. Mawar itu sangat menarik perhatian mata karena warnanya kontrak dengan nuansa ruang kerja yang gelap.

Langkah Vero He terhenti, lalu kembali berlanjut. Sesampainya di meja kerja, ia menemukan sebuah kartu ucapan di samping buket bunga. Tidak ada tulisan apa-apa di atasnya. Si wanita tersenyum dingin, “Sengaja main misteri-misterian ya.”

Vero He pun mengambil buket bunga itu, membawanya keluar ruang kerja, lalu membuangnya di tong sampah. Ia sama sekali merasa tidak sayang seolah bunga itu adalah kertas bekas.

Melihat suasana hati bosnya kurang baik, Erin mengenryitkan alis. Ia lalu membawa iPad masuk ke ruang kerja si bos untuk melapor jadwal hari ini. Vero He mendengarkan sambil menjawab email yang masuk. Ia tengah bernegosiasi dengan sebuah merek fashion terkenal di Italia. Kalau berhasil, merek itu akan buka toko di Parkway Plaza.

Di tengah kondisi ekonomi yang tidak begitu baik ini, ia terus berusaha merebut kesempatan lebih awal dari para pesaingnya. Hasil akhir yang diinginkan tentu pendapatan yang maksimal.

“Nona, setelah urusan sore kelar, Tuan Muda sudah menjadwalkan ketemuan dengan pria untukmu. Mohon hadir tepat waktu di lokasi pertemuan.” Seusai melapor urusan kerjaan, Erin beralih membicarakan urusan pribadi.

Tangan Vero He berhenti menggerakkan mouse dan matanya beralih dari layar komputer ke wajah Erin, “Dengan putra keluarga Guo, Ned Guo?”

“Betul,” angguk sang asisten.

“Baik, aku paham. Kabari dia aku akan datang tepat waktu.” Vero He kembali menatap layar komputer dan melanjutkan pekerjaan.

Erin belum pergi juga. Si bos mengernyitkan alis, “Masih ada urusan lagi?”

“Kamu mau pakai pakaian ini ketemu pria?”

“Memang ada masalah apa?” Vero He menunduk menatap pakaiannya. Jas hitam, kemeja putih, celana semata lutut. Tidak ada yang tidak cocok, ah.

“Aku minta orang antarkan gaun kemari deh,” tutup Erin dengan diikuti langkah keluar. Vero He meringis menatap bayangan tubuh asistennya. Ini pertama kalinya Erin mengomentari pakaiannya, memang selera berpakaiannya sejelek itu apa?

Ia seorang bos mal yang terkenal dengan merek-merek fashionnya. Ia sudah mengundak banyak sekali merek pakaian raksasa untuk buka toko di Parkway Plaza, masa gaya berpakaiannya sendiri bermasalah? Ah, mungkin Erin kali yang bermasalah.

Staf merek fashion Italia yang tengah bernegosiasi dengannya membalas email. Pihak mereka bilang bisa buka toko, tetapi hanya akan menjual barang-barang sisa tahun lalu. Vero He tersenyum kecut. Membawa masuk barang-barang bekas sama saja merendahkan selera fashion orang Tiongkok. Ia tidak akan melakukannya.

Vero He membalas email dengan kesal. Ia jadi sakit kepala.

Sekitar satu jam kemudian, ketika mengecek waktu, si wanita baru sadar jam makan siang sudah tiba. Ia teringat kejadian tadi pagi dan buru-buru menelepon sebuah nomor. Telepon baru diangkat setelah percobaan ketiga. Dari seberang terdengar suara acuh tak acuh, “Ada urusan?”

“Jelas ada, kalau tidak ada urusan namanya pengangguran dong. Siang ini makan bareng yuk,” ajak Vero He.

“Siang ini tidak ada waktu luang. Aku sudah terlanjur janji makan bareng dengan kakak iparmu.” Nada bicara James He santai-santai saja seolah tidak terjadi apa-apa semalam dan tadi pagi.

“Oh, ya sudah aku tidak ganggu kalian deh.” Vero He mematikan telepon dan membuang nafas panjang. Teringat luka di tangan kakaknya, si adik memutuskan pergi ke apotek untuk membeli obat dan mengantarnya ke kantor si kakak.

Mobil berhenti di jalan utama depan kantor He’s Corp. Setelah Maybach hitam kakaknya keluar dari kantor, Vero He baru melaju masuk dan memarkir mobil. Ia naik lift ke lantai paling atas dan menaruh obat luka di meja kerja James He. Ketika ia berbalik badan ingin pergi, orang yang ia ingin hindari entah bagaimana ada di hadapannya.

Vero He berdiri canggung sammbil menatap tangan kiri James He. Di sana ada perban, nampaknya lukanya tidak ringan. Ia terbata-bata, “Anu, aku sudah belikan obat luka untukmu. Maaf, aku semalam gigitnya kasar sekali.”

James He diam saja dengan posisi tangan disimpan di kantong. Dibandingkan dengan adiknya yang gugup dan canggung, si kakak tidak kenapa-kenapa, “Aku tadi lihat mobilmu datang kok. Kamu mau datang sembunyi-sembunyi lalu pergi dengan sembunyi-sembunyi juga ya?”

“Tidak lah, buat apa sembunyi-sembunyi,” debat Vero He.

“Ayo jalan, makan bareng dengan kami. Kakak Iparmu sudah menunggu di bawah.” James He melihat sekilas obat luka yang ada di meja kerja, lalu berbalik badan. Vero He gigit-gigit bibir dan akhirnya menyusul dia.

Seusai makan siang, Vero He kembali ke ruang kerjanya sendiri untuk melanjutkan berbagai urusan. Pertemuan nanti malam akan diadakan di Golden Imperial Hotel. Gaun yang dibawakan bawahan berwarna pink. Gaun itu agak terbuka dan desainnya rumit.

Vero He mengernytikan alis sambil terus memutar-mutar gaun, “Asistenku, kamu tidak merasa warna ini terlalu kemudaan untukku?”

“Bagaimana bisa kemudaan? Kalau kamu tidak sebut usia, tidak akan ada orang menyangka kamu sudah tiga puluh tahun,” canda si asisten dengan santai.

Vero He memutar bola mata. Tanpa harus mengatakan umur, Ned Guo juga sudah tahu kali umurnya. Wanita itu kembali ke ruang istirahat sambil berujar, “Aku rasa aku pakai pakaian kerja saja, pakai yang konservatif sedikit. Aku takut disangka mereka wanita yang sangat agresif menggoda pria.”

“……” Erin menelepon bawahan untuk mengantarkan gaun yang lebih umum.

Kali ini yang diantar adalah gaun ungu muda yang desainnya sederhana. Belahan dada tidak terlihat, punggung pun tidak. Seusai memakainya, Vero He mengangguk-angguk puas, “Nah, ini cocok.”

Erin mengamati bosnya dari atas ke bawah. Gaun tertutup ini membuat aura dan pesona bosnya jadi tertahan di dalam. Pria yang melihat pasti malah jadi ingin merobek gaunnya. Iya, terutama pria yang semalam.

Tetapi ia tidak berani mengungkapkan ini, gila saja!

Erin memberikan sebuah tas putih pada Vero He, “Ponsel dan kartu ada di dalam. Meski putra keluarga Guo itu bukan orang yang akan minta ditraktir wanita, bawa kartu tetap lebih aman. Aku akan antar kamu ke depan hotel, jadi kamu tidak perlu bawa kunci mobil.”

Si bos menerima tas itu, “Ayo jalan.”

Pukul tujuh malam, Lamborghini tiba tepat waktu di depan Golden Imperial Hotel. Vero He turun dari mobil dengan rambut tergerai. Sesampainya di depan pintu lobi, ada staf hotel menyambutnya, “Nona He, mari ikut aku. Tuan Guo sudah menunggumu.”

Si wanita mengikuti staf pria itu masuk lift. Menyadari lift naik ke lantai paling atas, ia dalam hati merasa ada yang tidak beres. Mau ketemuan untuk makan kok malah dibawa ke area Presidential Suit? Kelihatannya ia sudah meremehkan pendapatan Ned Guo.

Ya sudah lah jalani saja, apa yang perlu ditakuti?

Staf hotel membawa tamunya ke kamar Presidential Suit paling ujung. Pintu berwarna emas yang berkilauan sudah cukup untuk menggambarkan betapa mahalnya harga kamar ini. Ketika mereka menekan bel, pintu kamar langsung dibuka. Yang buka bukan Ned Guo, tapi Christian.

Tiffany Song menatapnya datar. Ia tidak merasa terkejut dengan keberadaan pria itu di sini. Ia simbol Taylor Shen. Di mana ada dia, maka Taylor Shen pasti berada tidak jauh darinya.

“Nona He, silahkan masuk.” Christian tersandar dari lamunannya dan menyambut ramah. Wanita di hadapannya ini sungguh sangat mirip dengan Nyonya Shen. Yang ini hanya kelihatan lebih pendiam dan kalem sedikit.

Vero He masuk ke kamar Presidential Suit. Christian tidak ikut mendampingi, melainkan langsung keluar sekaligus mengunci pintu. Mendengar suara pintu dikunci, si wanita agak terkejut. Ia berdiri diam di lorong jalan, namun akhirnya tetap memberanikan diri untuk melangkah masuk.

Lampu kristal gantung menerangi seluruh sudut ruang tamu. Seorang pria berdiri menghadap jendela kaca, jadi posisinya membelakangi Vero He. Pria itu mengenakan kemeja dan jas hitam-hitam. Penampilannya amat intimidatif sekaligus atraktif.

Si wanita menekan tas dan tersenyum tipis: “Tuan Guo sepertinya tidak tulus membuat janji ketemuan ya. Kalau tidak tertarik padaku harusnya batalkan saja, buat apa suruh orang lain menggantikan?”

Si pria berbalik badan dan menatap Vero He muram, “Hanya dengan melihat punggungku, Nona He bisa langsung tahu aku bukan Ned Guo. Itu sebuah kehormatan buatku, berarti kamu sama sekali belum lupa padaku kan?”

Vero He mengernyitkan alis. Ia tetap berjalan memasuki ruang tamu, lalu duduk di sofa, “Tuan Shen sungguh pandai melawak. Dari dulu kita memang tidak pernah kenal, mengapa aku terus dituduh lupa?”

Tatapan Taylor Shen memancarkan ancaman. Ia melangkah menghampiri si wanita, lalu menunduk dan mengangkat dagunya. Ketika tatapan mereka sudah saling bertemu, ia berujar datar, “Nona He, bagaimana kalau kita bertaruh? Ayo bertaruh kamu benar-benar lupa atau hanya pura-pura.”

Novel Terkait

Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu