You Are My Soft Spot - Bab 256 Orang yang Makin Dekat Malah Harus Makin Diwaspadai (2)

Taylor Shen keluar dari gedung apartemen. Ia duduk di mobil, kemarahannya yang ada di rongga dadanya masih belum hilang sama sekali. Untuk menenangkan diri, Taylor Shen mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Angelina Lian jauh lebih jahat dari yang ia bayangkan. Selain berpura-pura jadi Tiara, dia juga memenjarakan Tiffany Song, merancang tragedi berdesakan di pesta kostum, lalu menyuruh orang membuat kekacauan di Parkway Plaza. Kira-kira apa lagi masalah yang berhubungan dengannya? Apa masih ada lagi?

Tujuh tahun lalu, waktu Tiffany Song dibawa orang pergi dari penjara, dia terlihat atau tidak?

Terlibat sih harusnya, kalau tidak mana mungkin dia rela mengorbankan nyawanya sendiri demi membuat Tiffany Song masuk penjara? Dia pasti sudah menanti-nanti momen ini. Gila, luar biasa gila. Wanita yang tidak pernah ia curigai ternyata selicik ini. Ia sudah ditusuk dari belakang berulang-ulang, namun baru sadar sekarang.

Taylor Shen menghembuskan asap rokok kencang-kencang. Berselang beberapa saat, ia baru mematikan rokok itu, membuangnya keluar jendela, lalu melajukan mobil.

Sekeluarnya dari ruang rapat, Vero He melihat Taylor Shen tengah bersandar di tembok. Satu tangan si pria dimasukkan ke kantong, sementara satu tangannya lagi tengah menjepit sebatang rokok. Tebalnya asap rokok di udara membuat ekspresi wajah Taylor Shen tidak terlihat jelas, tetapi aura tubuhnya memancarkan kemarahan dan ketidaksenangan yang kuat.

Si wanita menghampiri si pria dengan perlahan. Ia berdiri di hadapannya dan bertanya, “Kok kamu di sini?”

Taylor Shen mendongak dan menatap Vero He dalam-dalam. Yang ditatap refleks membuang muka. Si pria tiba-tiba mengulurkan kedua tangan dan memeluk wanita di depannya erat-erat.

“……”

Vero He agak malu melihat para pekerja yang ada di sekitar mereka. Ini tempat umum, masak ia dipeluk di sini sih? Ia berusaha melepaskan diri, namun Taylor Shen malah mengencangkan pelukannya sehingga dia jadi sulit bernafas.

“Ada apa?” tanya Vero He pelan. Tadi pagi waktu berpisah masih baik-baik saja, kok sekarang jadi seperti orang yang aneh begini?

Taylor Shen menaruh dagu di kepala Vero He. Matanya agak berkaca-kaca. Ada satu kalimat Angelina Lian yang betul. Tidak peduli ada berapa banyak orang yang mau mengerjai mereka, kalau ia sungguh-sungguh menjaga Tiffany Song. mereka pasti tidak bakal dapat kesempatan untuk mewujudkan niat buruknya. Tiffany Song waktu itu masuk penjara karena salah dia!

“Orang-orang lihatin kita loh.” Vero He makin lama makin gelisah. Diamnya Taylor Shen ini pun bikin dia khawatir.

Beberapa detik berlalu, Taylor Shen akhirnya menjawab dengan suara serak: “Tidak ada apa-apa. Aku cuma ingin peluk kamu. Sudah ya, aku pergi.”

Vero He terdiam di tempat sambil mengamati bayangan tubuh Taylor Shen yang menjauh. Dia itu bos besar yang punya banyak urusan. Masak dia bisa tiba-tiba datang kemari dan menunggunya kelar rapat hanya buat ajak pelukan sih?

Si wanita menggeleng tanpa berpikir lebih jauh lagi. Ia lalu berbalik badan dan masuk ruang kerja dengan diikuti Erin. Di dalam, Vero He bertanya: “Erin, yang waktu itu aku minta tolong padamu sudah diurus?”

Erin terhenyak. Dua hari lalu Nona He memanggilnya untuk minta dibelikan obat pencegah kehamilan. Entah bagaimana caranya, ia berhasil dapat resep untuk beli obat itu dan sudah membelinya. Tetapi, kalau bosnya itu tidak bertanya lagi, ia berniat tidak memberikan itu padanya.

“Nona He, kata dokter baik untuk jangka panjang atau pun untuk sesekali, penggunaan obat pencegah kehamilan bakal menimbulkan efek samping pada tubuh. Kalau bisa, lebih baik kamu yang suruh CEO Shen pakai pengaman.” Meski Erin adalah wanita yang kuat dan keras, wajahnya tetap memerah ketika bahas urusan pribadi begini.

Beberapa hari ini adalah masa aman Vero He dari kehamilan. Setelah masa aman ini berakhir, ia tidak ingin punya anak karena bakal menambah beban. Melihat kebutuhan Taylor Shen dalam hal ini, kalau dia tidak mau punya anak, dianya sendiri yang harus berinisiatif minum obat pencegah kehamilan. Kasarnya, ia tidak bisa mengharapkan si pria yang berhenti.

Melihat wajah merah Erin, Vero He iseng membuatnya makin gugup: “Dalam situasi ini, pria sekalinya terangsang mana peduli pakai kondom? Aku yang minum obat bakal jauh lebih aman sih rasanya?”

Sesuai dugaan, Erin jadi makin canggung. Telinganya makin merah. Ia tiba-tiba teringat sebuah pertanyaan yang sudah dia pendam cukup lama. Setelah menengok kiri kanan seperti memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua, ia bertanya pelan: “Nona He, anu, aku tanya kamu ya. Masuk setengah doang, memang bakal hamil?”

“Apanya yang masuk?” Vero He tidak langsung ngeh dengan maksud si asisten.

Erin terbata-bata: “Anu…… Ah sudah ah, anggap saja aku tidak bilang apa-apa. Aku ambil dulu obatnya.” Setelah mengucapkan ini, si asisten langsung berlari kabur ke luar.

Melihat Erin yang berlari lebih cepat dari kelinci, Vero He tiba-tiba tersadar apa yang dia maksud. Sudut bibirnya terangkat. Ya Tuhan, Erin sepolos ini kah? Jangan-jangan dia belakangan ini bengong gara-gara melakukan ini dengan pacarnya? Eh, tapi dia bilang tidak punya pacar kan?

Erin tidak balik-balik juga dengan obatnya. Ternyata, asisten itu kemudian malah menitipkannya pada seorang sekretaris. Sesuai petunjuk, Vero He meminumnya dengan air panas. Setelah menegak obat, ia teringat tingkah aneh Taylor Shen tadi. Ada apa gerangan dengan dia?

Vero He geleng-geleng tanpa memikirkannya lagi.

Sore harinya, waktu Vero He dan Erin membahas gaya produk baru, ponsel si asisten berdering. Ia melihat identitas peneleponnya, lalu langsung mengangkat telepon itu saat itu juga tanpa permisi untuk keluar pada si bos.

Vero He menulis-nulis catatan di katalog produk musim depan. Dari telinganya terdengar suara terkejut Erin, “Saksi sudah ditemukan? Oh, sudah dibawa ke kantor polisi? Baik, aku segera ke sana.”

Si asisten mematikan telepon, lalu langsung mengabari si bos, “Nona He, kami sudah menemukan saksi yang menyaksikan pembunuhan si pembunuh. Aku ke kantor polisi dulu.”

“Aku ikut.” Vero He menaruh pulpen di meja, menutup katalognya, lalu mengambil mantel.

Erin mengangguk. Mereka berdua lalu langsung berangkat.

Setibanya di kantor polisi, si saksi tengah berada di ruang interogasi. Polisi tengah menanyakan pertanyaan-pertanyaan padanya. Di sebelah si saksi, ada ahli sketsa wajah yang sibuk menggambar garis besar wajah si pelaku berdasarkan keterangan yang diberikan.

Kakak senior Erin melihat kedatangan mereka. Pria itu menyapa dengan anggukan. Erin lalu bertanya, “Jadi bagaimana penuturannya?”

“Si saksi bilang, waktu insiden terjadi, ia sedang bercinta dengan seorang wanita di pekarangan rumput belakang tempat kejadian. Mendengar tembakan senjata, keduanya langsung kaget setengah mati. Sambil buru-buru memasang celana, ia melirik diam-diam ke tempat kejadian. Ia melihat seorang pria berjaket hitam memasukkan senjata silver ke kantong, lalu bergegas pergi dengan motor balap,” cerita si senior.

Erin mengernyitkan alis, “Berhubung dia menyaksikan pembunuhan, mengapa tidak lapor polisi saat itu juga?”

“Yang bercinta dengan dia itu selingkuhannya. Ia takut istrinya bakal tahu perzinahan ini kalau ia melaporkan kasus ini. Belakangan, karena merasa tidak tenang dan melihat berita, ia baru memutuskan melapor.”

Vero He berdiri di samping jendela ruang interogasi. Ia tahu di dalam sepenuhnya gelap dan tidak bisa melihat pemandangan luar. Si saksi pembunuhan berwajah tembam dan bertelinga besar. Di lehernya ada terpasang sebuah kalung emas, sepertinya dia orang kaya baru. Dari gerak-geriknya daritadi, ia bisa melihat dia bukan orang yang licik. Keterangannya layak dipercaya.

“Ia sempat melihat wajah si pembunuh?” tanya Erin lagi.

“Ia bilang tidak bisa melihatnya dengan jelas karena jarak mereka terlalu jauh. Meski begitu, sketsa gambar yang dibuat pihak kepolisian berdasarkan cerita dia harusnya sudah cukup untuk memberi petunjuk,” ujar si senior.

“Cerita yang ia berikan kredibel nih?”

“Harusnya sih iya. Ia tidak terlihat berbohong.”

Erin mengangguk. Ahli sketsa wajah tidak lama kemudian keluar sambil membawa sebuah buku sketsa. Di salah satu lembarnya ada keterangan deskripsi si pelaku pembunuhan beserta gambar wajah sampingnya.

Melihat Erin, ahli skesta wajah itu menyapa ramah. Mereka sepertinya teman seangkatan waktu di sekolah dulu. Setelah saling sapa-menyapa, Erin melihat gambar yang sudah dibuat. Vero He tidak mau ketinggalan, jadi dia ikut menoleh. Begitu melihat gambar wajah samping si pelaku, wajahnya langsung memucat seperti habis lihat hantu. Sekujur tubuhnya gemetar.

Erin buru-buru menahan tubuhnya biar tidak jatuh. Ia bertanya khawatir: “Nona He, kamu tidak apa-apa?”

Vero He membuang muka. Ia menutupi wajah biar tidak dicurigai ketiga detektif dengan kepintaran bukan main di depannya. Sambil tetap menutupi muka, ia berdalih: “Aku agak pusing, sepertinya karena tekanan darah rendah. Aku ke luar dulu deh buat cari udara segar. Nanti saat udahan kamu cari aku di luar ya.”

“Baik. Jangan pergi dari kantor polisi, paham?”

“Iya.” Vero He melangkah dengan cepat. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana mungkin dia pelakunya? Dia sudah mati, dia tidak mungkin masih hidup dan berubah jadi pembunuh berdarah dingin. Apa pula maksud bayangan tubuh yang ia lihat di pinggir jalan waktu itu? Terus, wajah familiar di mobil balap waktu itu juga apa?

Pikiran Vero He kacau. Saking kacaunya, ia jadi tidak berkonsentrasi dengan pikirannya sendiri dan akhirnya menabrak seserorang. Berkas yang dipegang orang yang ditabrak itu jatuh semua ke lantai. Si wanita segera bangkit dari lamunannya dan berjongkok untuk memungut berkas-berkas itu, “Maaf, biar aku bantu kamu pungut.”

“Tidak apa-apa, biar aku lakukan sendiri.” Mendengar nada bicara yang rasa-rasanya familiar, Vero He relfeks mendongakkan kepala. Di hadapannya ada seorang wanita berseragam polisi dengan rambut yang diikuat ke belakang. Ia mengamatinya beberapa saat karena merasa wajahnya juga familiar, tetapi tidak ingat sama sekali pernah menjumpainya di mana.

Menyadari dirinya ditatap si penabrak, si polisi wanita ikut mendongakkan kepala. Begitu melihat wajah yang berada persis sejajar dengan wajahnya, tangannya langsung gemetar. Semua berkas yang sudah ia pungut kembali jatuh ke tanah. Wanita itu akhirnya kembali memunguti berkas-berkas itu dengan kepala tertunduk.

Kecurigaan muncul di benak Vero He. Polisi wanita ini gelisah ketika melihat wajahnya. Satu pertanyaan: mengapa?

Setelah kelar memunguti berkas, Vero He menyodorkannya pada si polisi wanita. Si polisi berucap sepatah terima kasih. Ketika mau pergi, ia dipanggil oleh Vero He, “Mohon tanya…… Sepertinya kita pernah bertemu entah di mana?”

“Tidak pernah,” jawab si polisi wanita cepat. Jawaban yang luar biasa cepat ini malah membuat Vero He makin curiga. Untuk meredakan kecurigaan ini, ia membual: “Semua temanku bilang wajahku sangat pasaran. Mungkin karena itu kamu jadi merasa kita pernah bertemu.”

“Oh begitu ya?” tanya Vero He curiga. Semakin dilihat, ia makin merasa familiar.

“Iya. Nyonya Shen, aku jalan dulu,” tutup si polisi wanita sambil melangkah pergi dengan cepat.

Vero He terdiam di tempat dengan tubuh yang serasa tersambar petir. Panggilan “Nyonya Shen” barusan membuatnya teringat sebuah memori masa lalu. Tujuh tahun lalu, pada malam pernikahan, ia dikurung di penjara. Saat itu juga Stella Han ingin menemuinya dan ia menyanggupi. Ketika mereka tengah berbincang, seorang polisi wanita datang membawakan dua gelas air. Berhubung memang haus, ia langsung menegaknya tanpa kecurigaan apa pun.

Setelah Stella Han pergi, ia kembali masuk sel penjara. Kepalanya perlahan terasa berat, lalu akhirnya ia tertidur di matras. Ketika bangun, Vero He tersadar kedua tangan dan kakinya sudah diikat tali. Selain itu, matanya juga tertutup oleh kain hitam. Ia bisa mendengar suara derungan mobil, jadi saat itu ia tahu dia ada di sebbuah mobil.

Melihat dia terbangun, orang yang menculiknya kembali memasukkan obat tidur ke mulutnya. Mereka ingin membuat Vero He kembali tidur. Waktu terbangun lagi, ia menemukan dirinya sudah dikunci di sebuah kamar.

Vero He memang tidak pernah habis pikir dengan rentetan kejadian ini. Waktu itu terjadi banyak sekali hal, masak iya dia bisa tidur begitu saja? Sekarang, kalau dipikir lebih seksama, pastilah air yang diberikan si polisi wanita mengandung sesuatu. Dan polisi wanita barusan, air itu pasti dia yang berikan jadi dia seketika gugup saat berjumpa dengannya.

Dalam diri Vero He langsung muncul hasrat untuk mengejar. Kalau memang polisi wanita barusan yang memberi airnya obat tidur, dia pasti punya komplotan lain di kantor polisi ini. Sebabnya, kejadian dibawa perginya waktu itu dibarengi dengan ledakan besar yang mengorbankan nyawa banyak tahanan yang tidak berdosa. Rencana sebesar ini tidak mungkin bisa dikerjakan hanya oleh satu dua orang saja.

Ia sungguh ingin tahu siapa orang-orang yang terlibat dalam ini semua. Ia mau tanya pada mereka satu per satu, mengapa mereka memperlakukannya sejahat ini? Memang ada apa dalam dirinya yang membuat mereka layak jahati terus?

Baru mengejar sampai ujung lorong, Erin menahan tangannya. Ia pun mau tidak mau diam. Si asisten bertanya kaget, “Nona He, kamu sedang mengejar apa?”

Vero He melepaskan tangan Erin dengan kencang. Ia saat ini tidak punya waktu untuk menjelaskan ini-itu. Biarlah semuanya dibicarakan setelah si polisi wanita berhasil ia tangkap. Melihat tingkah Vero He yang ganjil, Erin bertanya lagi dengan sedikit panik: “Lagi mengejar orang atau bagaimana? Cerita padaku, aku bantu kamu kejar.”

Novel Terkait

Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
3 tahun yang lalu
Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
4 tahun yang lalu