You Are My Soft Spot - Bab 156 Sehidup Semati (2)

Raut Huffman langsung tidak senang. Ia menoleh ke ahli penjinak bom yang berdiri di belakangnya, tetapi orang itu ternyata sudah pergi melakukan olah TKP. Ia menatap bayangan tubuh Taylor Shen dan Tiffany Song yang semakin lama semakin jauh sambil geleng-geleng, lalu berteriak kesal: “Pasukan bubar!”

Ketika Taylor Shen dan Tiffany Song sudah hampir sampai di bawah gunung, dari belakang terdengar suara ledakan bom yang sangat memekakkan telinga. Semua bagian kompleks makam bergetar. Tiffany Song berbalik badan ke belakang sambil tetap membopong Tiffany Song. Yang mereka langsung lihat pertaman kali adalah kepulan asap tebal yang perlahan naik ke atas. Sudut bibir Taylor Shen terangkat, ia tersenyum dingin.

Bakal gentayangan ya jadi jiwa kakakmu itu?

Tiffany Song agak ketakutan melihat pemandangan ini. Kalau saja Taylor Shen salah potong kabel, yang akan terkoyak-koyak oleh bom sekuat ini adalah mereka.

Tanpa sadar Tiffany Song mengencangkan pegangannya pada baju Taylor Shen. Ia bersandar semakin dekat dengan bahu pria itu. Taylor Shen menyadari kegelisahan Tiffany Song. Ia menunduk menatapnya dan bertanya lembut: “Tiffany Song, yakin kamu tidak ketakutan?”

Tiffany Song menggeleng, “Tidak, ada kamu di sisiku.”

Taylor Shen mencium jidat Tiffany Song. Seberkas ketakutan ikut muncul dari wajahnya seolah tertular dari Tiffany Song. Ia berucap: “Tiffany Song, aku sangat takut, takut kehilangan kamu.”

Tiffany Song sebenarnya mana mungkin tidak ketakutan? Ketika pria itu tiba-tiba muncul di hadapannya dan memasukannya dalam koper, ia berpikir ia sudah bertemu pembunuh berdarah dingin yang siap memutilasinya bagai di berita-berita.

Ia saat itu sungguh ketakutan. Tiba-tiba terbangun di tengah kompleks makam yang gelap gulita, ia jelas panik, tetapi ia mau tidak mau harus tetap berusaha menjaga rasionalitasnya untuk berhadapan dengan pria yang menculiknya. Untung saja Taylor Shen berhasil menggunting kabel yang benar.

Taylor Shen sungguh seorang pahlawan yang rela berkorban untuknya.

“Taylor Shen, kamu barusan potong kabel yang mana?” tanya Tiffany Song penasaran.

Sambil tetap berjalan turun gunung, Taylor Shen membuang nafas panjang dan menjawab: “Yang kuning.”

“Mengapa terpikir yang kuning?”

“Sebenarnya aku juga tidak tahu kabel mana yang aman, tapi aku tiba-tiba teringat Jason pernah cerita padaku adiknya suka warna kuning. Aku jadi memotong kabel yang kuning deh.” Nada bicara Taylor Shen lembut dan tenang. Ia sebenarnya barusan juga bertaruh, baik untuk Tiffany Song maupun untuk dirinya sendiri.

Ia pikir, kalau bom meledak, ya sudahlah mereka mati sama-sama. Dengan begitu dalam hidupnya tidak akan tersisa penyesalan apa pun.

Tiffany Song memegang erat pinggang Taylor Shen. Ia memuji: “Taylor Shen, aku benar-benar kagum denganmu. Kamu bisa berpikir rasional pada situasi setegang itu. Kalau aku jadi kamu, pikiranku dari awal pasti sudah langsung kacau balau.”

Taylor Shen tersenyum sambil menggeleng: “Pikiranku juga kacacu kok. Ketika aku potong kabel itu, aku tidak tahu apakah satu detik kemudian kita masih akan hidup atau bakal mati. Satu-satunya yang aku tahu adalah kita akan bersama-sama entah itu dalam keadaan hidup atau mati. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, kuharap kamu juga bersikap begitu padaku. Itu sudah cukup bagiku.”

Tiffany Song tidak pernah mengira bakal ada seorang pria yang rela hidup dan mati dengannya. Matanya terasa hangat berkat pengorbanan Taylor Shen. Ketika tahu di tubuhnya tertempel bom, yang Tiffany Song pikirkan pertama kali adalah bersembunyi. Tidak masalah ia akan hidup atau mati setelahnya, tetapi ia tidak boleh membiarkan Taylor Shen mati bersamanya.

Tetapi cinta Taylor Shen pada dasarnya memang agresif dan nekat. Kalau pun taruhannya nyawa, ia tidak akan mau melepaskan Tiffany Song.

“Taylor Shen, aku sayang kamu!”

“Aku juga sayang kamu!”

Taylor Shen membopong Tiffany Song masuk mobil polisi. Sirine mobil tidak lama kemudian mulai meraung-raung, mobil pun bergegas pergi. Satu jam kemudian, di tengah kepulan asap di kompleks makam, muncul bayangan tubuh seseorang. Ia mengepalkan kedua tangannya. Taylor Shen, dendamku padamu semakin berlipat ganda. Suatu hari aku akan membuatmu benar-benar mati, lihat saja!

……

Tiffany Song diantar ke rumah sakit. Setelah melalui pengecekan, lukanya dinyatakan tidak parah. Selain punggung kepalanya lecet sedikit karena terkena benda tajam dan tangannya bergores karena terkena ikatan tali yang kencang, ia tidak punya luka lain lagi.

Tetapi, karena detak jantungnya masih cukup kencang akibat ketakutan, dokter menyarankan ia untuk tinggal di rumah sakit dulu.

Huffman membawa bawahan-bawahannya ke ruang Tiffany Song dirawat untuk meminta keterangan. Setelahnya, sebelum mereka semua pergi, ia menyisakan dua orang bawahan untuk menjaga keduanya.

Taylor Shen meminta balok es dan handuk pada suster. Sekembalinya ke kamar pasien, ia menaruh balok es itu di dalam handuk, lalu menempelkannya pelan-pelan ke wajah Tiffany Song. Mungkin karena kaget, Tiffany Song yang terkantuk-kantuk langsung membelalak. Melihat Taylor Shen di hadapannya, ia langsung mengubah posisinya dari berbaring jadi duduk.

Taylor Shen memijit-mijit bahu Tiffany Song dan berujar lembut: “Kamu sudah ketakutan semalaman, jadi istirahatlah sebentar. Itu wajahmu juga bengkak, aku kompres sebentar ya biar besok pagi saat bangun tidak nyeri.”

Tiffany Song kembali berbaring. Ia kemudian berkata: “Taylor Shen, aku ingin pulang.”

Tiffany Song tidak akan pernah datang ke negara ini lagi. Kenangan buruk yang diberikan negara ini padanya terlalu membekas tajam.

Taylor Shen dengan perlahan mengopres wajah Tiffany Song bagian per bagian. Ia sungguh bersyukur masih punya waktu untuk hidup dengan Tiffany Song. Nyaris saja ia kehilangan wanita ini untuk selamanya. Meski Tiffany Song sekarang berbaring di hadapannya, hatinya tetap tidak tenang.

Ia khawatir Tom akan kembali muncul dan melakukan sesuatu lagi pada Tiffany Song. Nanti, ia harus membuat pria itu benar-benar menghilang selamanya.

“Baik. Setelah hasil tes DNA keluar, kita langsung pulang.” Taylor Shen mengopres ulang bagian wajah Tiffany Song yang sebelumnya sudah dikompres. Bengkak di wajah wanita itu sangat parah. Ini jelas membuktikan seberapa kasar dan kencangnya pukulan-pukulan Tom.

Tiffany Song mengenggam tangan Taylor Shen dan memejamkan mata. Mungkin karena sudah jauh lebih tenang karena berada di dekatnya, ia tidak lama kemudian sudah terlelap.

Taylor Shen menyudahi kompresannya. Melihat bekas ikatan tali di pergelangan tangan dan kaki Tiffany Song, ia mengambil obat oles dan mengoleskannya di kedua bagian itu dengan lembut. Taylor Shen lalu mengecup jidat Tiffany Song dan berujar pelan: “Tiffany Song, tidurlah yang nyenyak. Kita akan pulang secepatnya.”

Setelah berbaring sebentar, Taylor Shen bangkit berdiri dan berjalan ke kaca jendela. Ia menelepon sebuah nomor tidak dikenal dan berkata dingin, “Bantu aku cari orang itu. Besok malam, aku harus bertemu dengannya.”

Habis mematikan tellepon, wajah Taylor Shen berubah garang dan marah. Ia sama sekali tidak percaya polisi bisa menyelesaikan kasus ini dengan tuntas. Sama seperti kejadian dengan Jason waktu itu, kalau saja ia tidak percaya polisi, Tiara tidak mungkin disetubuhi oleh pria-pria brengsek itu.

Kejadian hari ini sekali lagi mengingatkannya bahwa hanya pertumpahan darah yang bisa mengakhiri semua malapetaka ini.

Tiffany Song daritadi gelisah. Dalam mimpi, ia melihat sebuah bom meledak dari tubuhnya dengan diikuti kepulan asap tebal. Ada seseorang meneriakkan namanya dengan panik. Ia langsung terbangun dan teriak, “Taylor Shen, Taylor Shen!”

Taylor Shen berjalan ke sisi ranjang. Melihat kepala Tiffany Song penuh keringat dingin, ia langsung mengusap-usap kepala itu sambil menenangkan: “Tiffany Song, tidak apa-apa, tidak apa-apa, jangan takut.”

Melihat Taylor Shen ada di sampingnya, detak jantung Tiffany Song yang kencang perlahan memelan. Ia mengelus-elus wajah Taylor Shen sambil meneteskan air mata. Wanita itu kemudian bersandar di bahu Taylor Shen dengan terisak.

Taylor Shen iba sekaligus merasa bersalah. Ia memeluk Tiffany Song erat-erat lalu mengelus-elus punggungnya, “Ada aku di sampingmu. Jangan takut ya, jangan takut.”

Suasana hati Tiffany Song perlahan kembali tenang. Ketika Tiffany Song tidak bergerak-gerak lagi, Taylor Shen menoleh menatap wajahnya. Ia ternyata sudah tertidur. Taylor Shen pun membaringkannya balik ke kasur. Meski sudah dikompres, bengkak di wajah Tiffany Song masih terlihat jelas.

Tiffany Song adalah wanita yang tidak berani ia marahi satu kalimat pun. Sekarang, melihatnya dipukuli sampai bonyok begini, bayangkan saja sendiri seberapa getir hatinya. Ia mengepalkan kedua tangan dengan geram. Ia akan buat orang yang sudah berani memperlakukan Tiffany Song begini membayar “harga” yang sangat mahal.

Sore hari, Taylor Shen mendapat telepon yang mengabari bahwa hasil tes DNA sudah keluar. Soal apakah Angelina Lian benar-benar adik kandungnya atau tidak, ia akan membaca hasil tes DNA itu sendiri. Taylor Shen berujar pada Tiffany Song yang tengah bersantap bubur: “Tiffany Song, hasil tes DNA sudah keluar. Aku mau pergi sebentar.”

Tiffany Song mendongak menatap Taylor Shen. Mungkin karena trauma, ia sangat takut sendirian di sini. Ia membalas: “Aku sudah tidak apa-apa. Tolong urusi administrasi rumah sakit, aku ingin keluar dari sini sekarang juga lalu kita pergi sama-sama.”

Taylor Shen mengangguk setuju. Meski ada polisi di depan, hatinya tetap tidak tenang kalau meninggalkan Tiffany Song sendirian di kamar pasien.

Setelah kelar dengan urusan tetek-bengek rumah sakit, mereka berdua naik mobil yang disediakan perusahaan cabang. Taylor Shen memapah Tiffany Song masuk dan mengabari supir alamat tujuannya. Di belakang mobil kantor ada mobil polisi yang terus mengikuti. Selama mereka berada di Amerika, polisi akan selalu mendampingi mereka ke mana pun dan di mana pun.

Sesampainya di pusat tes DNA, teman Taylor Shen menyambut mereka dan langsung menyerahkan laporan hasil tes. Melihat Tiffany Song, ia mengangguk ramah dan bertanya: “Dengar-dengar kamu sempat diculik. Sekarang baik-baik saja kan?”

Tiffany Song mengangguk, “Iya, baik-baik saja kok. Terima kasih atas perhatianmu.”

Setelah mendapat laporan hasil tes, Taylor Shen berpamitan dengan temannya. Mereka kembali masuk mobil. Melihat Taylor Shen memegang laporan itu dengan gundah, ia bertanya: “Taylor Shen, kok tidak segera buka?”

Taylor Shen menunduk menatap laporan yang ia pegang. Ketika memegang laporan hasil tes sebelum ini, ia takut jawabannya “ada hubungan darah”. Sekarang, di laporan hasil tes yang ini, ia berharap jawabannya “tidak ada hubungan darah”. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sebenarnya sudah tidak terlalu berharap bisa menemukan adiknya karena hasil pencariannya bertahun-tahun terus saja nihil. Hatinya terus berputar dalam siklus “punya harapan”, “tidak punya harapan”, dan “kembali punya harapan”. Siklus ini sungguh bikin dia lelah lahir batin.

Tiffany Song paham apa yang digundahkan Taylor Shen. Ia mengambil laporan hasil tes itu dari tangan Taylor Shen dan membukakannya. Laporan itu sepenuhnya ditulis dalam bahasa Inggris. Ia hanya paham beberapa kosakata sederhana, tetapi untungnya ia tetap bisa baca kolom hasil di bagian paling bawah. Ia berujar sumringah: “Taylor Shen, Angelina Lian adalah adikmu. Hasil tes DNA menunjukkan ia adalah adikmu. Lihat nih, tulisannya menyatakan ada hubungan kakak-adik!”

Taylor Shen segera mengambil kembali laporan tes DNA itu. Total ada dua lembar. Lembar pertama menyatakan ada hubungan darah ayah-adik, lalu lembar kedua menyatakan ada hubungan darah kakak-adik. Ia gembira sekali: “Tiffany Song, ternyata benar-benar Angelina Lian. Gila, ke mana saja aku selama ini.”

Melihat Taylor Shen tersenyum lega, Tiffany Song ikut tersenyum lebar. Ia seolah sudah lupa dengan tragedi penculikan kemarin. Ia menjawab: “Kabar bagus ini. Taylor Shen, Angelina Lian adalah adikmu. Kamu akhirnya menemukan adikmu.”

“Iya, akhirnya aku menemukannya. Aku sungguh merasa beruntung bisa kembali bertemu dengannya di kehidupanku yang sekarang.” Taylor Shen merangkul pundak Tiffany Song.

Taylor Shen baru bisa menenangkan hatinya kembali setelah berlalu beberapa saat. Ia membaca laporan tes DNA lagi berulang-ulang, senyumnya semakin lama semakin lebar. Melihat Taylor Shen gembira begini, Tiffany Song merasa beban yang selama ini ada dalam benaknya pudar seketika.

Keduanya kembali ke hotel. Taylor Shen sudah memesan tiket kembali ke Kota Tong besok sore. Akhirnya sepuluh tahun lebih pencariannya berbuah manis. Ia tidak sabar memberikan segala hal terbaik untuk Angelina Lian. Ia akan menyayangi dan memanjakan adiknya itu semaksimal mungkin untuk mengompensasi penderitaan yang ditanggungnya bertahun-tahun.

Novel Terkait

Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu