You Are My Soft Spot - Bab 182 Aku Temani Kamu (2)

“Memotong rekaman dan memasukkannya ulang bukan hal yang mudah. Hanya peretas yang bisa melakukan itu. Kalau si pelaku sudah membuat video serupa sebelum kejadian, itu rasanya juga tidak mungkin karena waktu yang ia punya sangat singkat. Sungguh menakutkan bila ada anggota keluarga Shen yang bisa melakukannya.” Wayne Shen heran dengan taktik si pelaku. Mereka menghabiskan tenaga sebanyak ini hanya untuk membuat takut Tiffany Song, bukankah itu sangat berlebihan?

Taylor Shen bertanya, “Kira-kira mengapa mereka bertindak begini? Apa tujuan mereka? Hanya untuk menakut-nakuti Tiffany Song?”

“Seharusnya sih tidak, tetapi aku juga belum bisa menebak apa motif lainnya. Satu hal yang pasti untuk saat ini adalah perkuat keamanan vila ini. Sebentar lagi kamu dan Kakak Ipar Keempat kan juga mau menikah, nanti pasti ada banyak tamu. Aku takut tragedi lima belas tahun yang lalu terjadi lagi.” Wayne Shen melipat dahi. Ini sepertinya memang sebuah rekayasa, namun ia masih belum menebak apa motif si perekayasa.

“Baik, urusan itu aku serahkan padamu dan jangan cerita ke siapa-siapa. Pasang juga kamera CCTV tersembunyi di segala penjuru vila, khususnya di ruang tamu lantai satu,” perintah Taylor Shen.

Wayne Shen mengangguk, “Baik, Kakak Keempat. Aku akan kerjakan besok.”

“Satu hal lagi, aku selalu merasa ada yang tidak beres dengan insiden kebakaran lima belas tahun yang lalu. Aku sudah menyuruh orang untuk melakukan penyelidikan diam-diam. Sebagai orang yang sudah lebih lama tinggal di sini, kamu ada petunjuk apa tidak?”

“Tidak ada sih. Kakak Keempat sendiri ada tidak?” Wayne Shen sebenarnya tidak lama-lama amat tinggal di sini. Sebagian besar masa lalunya dilalui di Kota Jiangning. Waktu terjadi kebakaran ia pun masih kecil, jadi tidak begitu memerhatikan insiden ini.

“Untuk saat ini belum ada, tetapi hatiku sudah mencurigai seseorang. Sudah malam, cepatlah istirahat, sisanya biar aku yang kerjakan,” ujar Taylor Shen sambil menepuk-nepuk pundak adiknya.

Wayne Shen menatap Tiffany Song yang masih tidak sadarkan diri, “Kakak Ipar Keempat baik-baik saja kan?”

“Ia tadi hanya kaget saja, tidur semalam juga sudah baikan kok. Kamu tidak perlu khawatir, istirahatlah sana,” jawab Taylor Shen datar. Si adik mengangguk, “Baik. Kamu sendiri juga jangan terlalu cemas. Cepat atau lambat kejadian hari ini akan terang-benderang kok.”

“Iya.” Taylor Shen mengantar Wayne Shen sampai ke depan pintu. Ia lalu mengunci pintu dan kembali duduk di sisi ranjang dengan rasa bersalah.

……

Tiffany Song bermimpi aneh. Ia berada di zaman kerajaan dengan identitas sebagai Xu Xian. Ia baru saja menikahi Taylor Shen yang mengenakan pakaian wanita. Setelah acara pernikahan selesai, mereka masuk ke kamar pengantin.

Tiffany Song berada dalam keadaan mabuk. Tatapannya buram dan langkahnya gontai, jadi ia berjalan dengan perlahan. Sesampainya di samping ranjang pengantin, ia melihat di dalam tirai kasur sudah ada seseorang yang berbaring.

Tiffany Song dengan ganas melepas pakaian pengantin prianya dan masuk ke dalam selimut. Ia pikir yang berbaring itu Taylor Shen versi wanita, tetapi ternyata sebuah benda bulat-bulat yang dingin. Tiffany Song meluruskan pandangannya, ia ternyata sedang memeluk seekor ular seukuran manusia. Ia langsung turun dari ranjang dan berlari keluar, “Tolong, ada ular, tolong!”

Sembari Tiffany Song berlari, dari belakangnya terdengar suara desisan-desisan. Ia menoleh, ternyata ular raksasa yang barusan ia peluk sudah ada di hadapannya. Ular itu bicara bak manusia, “Sayang, kamu sudah menunggu aku dari dulu, kok tiba-tiba mau kabur begini? Kamu sungguh menyakiti hatiku, sini aku makan kamu!”

Si ular kemudian membuka mulut lebar-lebar dan menelan Tiffany Song tanpa ampun.

Tiffany Song berteriak-teriak hingga terbangun. Ia duduk di ranjang dengan jidat berkeringat dan nafas yang naik-turun dengan cepat. Taylor Shen terkejut dan bertanya khawatir, “Tiffany Song, kamu mimpi buruk?”

Tiffany Song kaget setengah mati mendengar suara yang tiba-tiba. Ia kembali berbaring di kasur sambil mencengkeram selimut. Taylor Shen mendekap Tiffany Song dengan lembut dan mengelus-elus pungunggnya.

Tubuh Tiffany Song masih gemetar. Taylor Shen berusaha menenangkan lagi: “Jangan takut, ada aku di sini. Jangan takut.”

“Ular, banyak sekali ular. Mereka mau gigit aku.” Tiffany Song ketakutan sampai tergagap-gagap. Ia sebelumnya belum pernah melihat kumpulan ular sebanyak itu. Memikirkannya saja sanggup membuat bulu kuduknya berdiri.

“Sudah tidak ada lagi. Ular-ularnya sudah diurusi oleh para pekerja rumah. Sini, aku temani kami,” ujar Taylor Shen lembut. Si pria dalam hati bersumpah akan mencari orang yang membuat istrinya ketakutan sampai begini rupa. Ia akan buat orang itu hidup segan mati tak bisa!

Tiffany Song perlahan bisa tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk merilekskan detak jantung.

Ketika istrinya sudah tenang sepenuhnya, Taylor Shen bertanya hati-hati: “Tiffany Song, kamu bisa ceritakan detail kejadian tadi?”

Tiffany Song bercerita detil: “Sekembalinya aku ke kemar, aku ambil baju dan pergi mandi. Baru buka baju, aku dengar suara aneh di luar. Begitu aku coba mendengarkan dengan seksama, suara itu hilang. Aku pikir aku yang berhalusinasi, jadi aku lupakan itu. Seusai mandi, aku duduk di ranjang sambil baca majalah. Baru baca sebentar, aku mendengar lagi suara yang aneh. Suara itu berasal dari ruang tamu kamar. Pas aku bangkit berdiri, aku langsung…… langsung melihat……”

Badan Tiffany Song kembali gemetar lagi. Ia sungguh geli melihat sisik-sisik ular yang ada di karpet ruang tamu kamarnya tadi.

“Jangan takut, sudah tidak ada lagi.” Wajah Taylor Shen muram. Sebenarnya siapa yang mengerjai Tiffany Song dengan cara sejaham ini? Ia sudah berusaha melindungi istrinya sebaik mungkin, tetapi tetap saja kecolongan.

“Maaf, Tiffany Song. Kalau aku malam ini pulang denganmu dan tidak lembur, kamu tidak akan mengalami ini,” balas Taylor Shen menyalahkan diri sendiri.

Tiffany Song menggeleng, “Bukan salahmu kok, aku saja yang penakut. Kalau aku lebih pemberani, masalahnya pasti tidak akan seheboh ini. Orang yang taruh ular sudah ditangkap?”

Tenggorokan Taylor Shen terasa kering. Ia menggeleng juga, “Belum. Yang tinggal di vila ini ada anggota-anggota keluarga Shen, asisten rumah, dan pengawal pribadi. Totalnya kurang lebih tiga puluh hingga empat puluh orang. Kalau mau mengecek satu per satu, kita butuh waktu. Meski begitu, kamu tenang saja. Aku pasti akan menangkap orang itu dan tidak membiarkannya mengerjaimu lagi.”

“Oh.” Tiffany Song menunduk. Ia paham hal semacam ini tidak mudah didalami. Ia kemudian teringat sesuatu, “Oh ya, di depan kamar kita ada kamera CCTV. Kameranya tidak merekam orang yang menaruh ular?”

“Tidak, rekamannya sudah diedit si pelaku juga.”

Tiffany Song mengangguk. Ia bercerita lagi: “Saat aku masuk kamar, aku sempat mengunci pintu. Aku juga yakin sekali saat masih kamar tidak ada yang aneh. Itu orang gimana bisa masuk ya?”

“Kemungkinan pakai kunci cadangan vila ini. Tiffany Song, jangan khawatir sudah. Masalah ini akan aku telusuri sampa terang benderang, aku tidak akan menoleransi pelakunya sedikit pun,” jamin Taylor Shen.

Tiffany Song masih sedikit ketakutan begitu terbayang kumpulan ular tadi. Ia berujar pelan: “Aku lelah, mau tidur lagi.”

“Tidurlah, aku temani kamu tidur.” Taylor Shen membaringkan Tiffany Song dan memeluknya. Istrinya belum tutup mata dan tiba-tiba menyadari desain kamar ini tidak familiar. Ia bertanya: “Eh, ini kita di mana?”

“Di ruang tamu. Bau amis darah di kamar tidur kita sangat keras, untuk sementara tidak bisa tidur di situ,” tutur Taylor Shen.

“Oh.” Tiffany Song menatap langit-langit. Fisiknya memang lelah, tetapi matanya tidak mau dipejamkan dan dibawa tidur. Ia berpikir, apa yang terjadi malam ini hanya sandiwara belaka? Kalau memang sandiwara, kok ada orang sekejam itu sampai berani mempermainkan nyawanya?

Taylor Shen tahu Tiffany Song tidak bisa tidur dan larut dalam pikiran. Ia memutuskan mengajak bicara lagi: “Barusan saat kamu mimpi buruk, aku dengar kamu terus memanggil-manggil namaku. Kamu mimpi apa?

Tiffany Song mengernyitkan alis berusaha mengingat-ingat mimpinya. Ia kemudian menatap suaminya. Ia sangat takut mati dalam mimpi tadi, untung saja itu hanya sebatas imajinasi. Ia tidak bisa menahan tawa: “Aku mimpi aku seorang pria yang baru saja menikah. Yang aku nikahi adalah wanita paling cantik di Kota Kyoto, Taylor Shen.”

Taylor Shen sangat tertarik dengan awalan mimpi absurdnya. Ia berucap, “Lanjutkan.”

“Aku mimpi aku ranking pertama ujian nasional, terus aku menikah dengan wanita paling cantik di Kota Kyoto, Taylor Shen. Pada malam pernikahan, di dalam tirai kasur kita, kamu berubah jadi seekor ular hijau. Pas kamu mau makan aku, aku langsung bangun,” ujar Tiffany Song sambil diikuti tawa.

Taylor Shen ikut tertawa sambil geleng-geleng, “Pantas saja sepanjang bermimpi kamu terus memanggil-manggil aku. Sekarang masih takut?”

“Sudah tidak takut,” balas Tiffany Song. Ketakutannya sebenarnya masih tersisa sedikit, namun ia memutuskan memendamnya agar Taylor Shen tidak khawatir dan merasa bersalah.

“Maksudku takut pada insiden ular yang tadi, bukan pada mimpi.”

“Sudah tidak juga. Ular-ular itu sekarang di mana?” Tiffany Song yakin sekali insiden itu disengaja oleh seseorang. Tidak mungkin ular-ular sebanyak itu bisa berkumpul di satu tempat secara kebetulan.

“Kamu masih punya tenaga untuk mengurusi itu?” tanya Taylor Shen. Ia membuang nafas lega, “Semuanya sudah mati. Di dalam vila tidak akan muncul ular lagi, kamu tenang saja.”

“Baik.”

Taylor Shen menyampaikan isi hatinya: “Tiffany Song, aku rasa kita balik saja ke Sunshine City. Orang-orang di sini licik semua. Aku khawatir mereka nanti-nanti akan mengerjaimu lagi.”

Tiffany Song menggeleng, “Aku paham dengan pemikiranmu, tetapi aku tidak mau jadi tentara yang kabur dari medan perang. Aku tidak mau kabur begitu saja ketika ada masalah. Aku ingin menangkap sendiri orang yang mengerjaiku dan menanyai alasan ia melakukan itu. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang pernah membuat ia tidak berkenan padaku.”

“Tiffany Song……” Taylor Shen berusaha membujuk, “Ular-ular malam ini tidak beracun, mentok-mentok kamu hanya ketakutan saja. Yang aku takutkan adalah kalau lain kali…….”

“Kalau aku terbirit-birit kabur dari sini, impian orang itu berarti terpenuhi. Aku tidak mau keinginannya terpenuhi. Lagipula, kalau kita tinggal di sini, kamu kan jadi lebih mudah menyelidiki peristiwa kebakaran waktu itu,” balas Tiffany Song.

“Sudah begini kamu masih memikirkan aku? Tiffany Song, aku harus menanggapi apa?” Taylor Shen sangat tersentuh dengan pertimbangan istrinya yang dewasa.

“Taylor Shen, kamu itu suamiku. Kalau aku tidak memikirkan kamu, aku memikirkan siapa? Aku pokoknya tetap mau tinggal di sini. Semakin orang itu ingin aku pergi, maka kebulatan hati aku untuk tinggal di sini akan semakin keras juga. Aku sangat penasaran siapa yang memainkan drama ini di belakangku.” Tiffany Song dalam hati berpikir, kalau pun mau pindah, ia harus menemukan si pelaku terlebih dahulu. Ia ingin pergi dengan bangga dan bukan karena kabur.

“Kamu selalu keras hati begini aku harus bilang apa? Penyelidikan cukup aku dan Wayne Shen yang pegang. Kamu tidak usah ikut kami berlelah-lelahan.”

“Tidak, aku mau ikut juga. Aku baru sebentar datang ke rumah kediaman keluarga Shen, juga belum pernah menyakiti hati siapa-siapa, jadi siapa yang setega ini? Kalau asisten rumah, aku rasa kemungkinannya sangat kecil,” kata Tiffany Song.

“Sudah ada orang yang kamu curigai?”

“Sudah. Tidurlah, kita kumpulkan lagi tenaga untuk bertarung besok.” TiffanyS Song memejamkan mata. Yang bisa main-main begini dengan dia di villa ini hanya tiga orang. Orang-oranng lain tidak ada kepentingan untuk mengerjainya.

Taylor Shen membuang nafas panjang tanpa bertanya siapa orang yang Tiffany Song curigai. Ia sendiri juga sudah punya tebakan. Ia merasa seharusnya orang yang mereka tuduh sama. Apa memang benar si dia pelakunya, itu harus lihat hasil penyelidikan.

Keesokan bagi, Taylor Shen merangkul Tiffany Song keluar kamar. Meski sudah tidur, kekagetan Tiffany Song semalam membuat auranya tidak begitu segar. Wajahnya pun agak pucat.

Ketika mereka berjalan ke ruang tamu, mereka melihat seorang asisten rumah berlutut di tengah-tengah. Di ruang tamu, ada beberapa anggota keluarga yang duduk di sofa. Melihat kedatangan Taylor Shen dan Tiffany Song, si asisten rumah langsung bersujud pada Tiffany Song, “Nyonya Muda Keempat, ular-ular semalam itu aku yang taruh. Mohon ampuni aku.”

Tiffany Song menoleh menatap Taylor Shen, lalu kembali menatap si asisten rumah. Wajah asisten rumah ini sangat tidak familiar, ia belum pernah bertemu dengannya. Tiffany Song bertanya, “Mengapa kamu taruh ular-ular itu di kamarku?”

“Aku merasa kamu tidak layak bersanding dengan Tuan Muda Keempat, jadi aku ingin membuatmu pergi dari sini,” jawab si asisten rumah.

Novel Terkait

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu